BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam sejarang
pengajaran Ilmu Hukum Pidana, pada sekitar abad ke-18 tercatat lahirnya suatu
ajaran baru yakni ajaran tentang penyertaan dalam suatu tindak pidana, dengan
tokohnya yakni Von Fauerbach. Adapun yang dimaksud dengan penyertaan
atau deelneming pada hakikatnya ialah suatu keadaan kasus dimana lebih
dari satu orang pelaku terlibat dalam satu tindak pidana tertentu, atau yang
biasa kita kenal dengan istilah jamak pelaku tunggal delik. Dalam
keadaan jamak pelaku ini, pada suatu penyertaan atau Deelneming bias
kita dapatkan pada umumnya beberapa macam dasar pelaku yang perlu dibedakan
pengertian maupun tanggung jawabnya, yang pada dasarnya masing-masing adalah
sebagai berikut[1]:
a. Perencana
atau otak tindak pidana yang bersangkutan
b. Pelaksana
atau pelaku tindak pidana yang bersangkutan yang dalam hal ini pada hakikatnya
dapat dibagi lagi atas pelaku utama dan pelaku peserta.
Tetapi, dalam
kenyataan praktisnya, sering kali perencana atau otak atau arsitek suatu tindak
pidana itu merangkap langsung sebagai pelaksananya juga , baik sebagai pelaku
utama ataupun sebagai pelaku peserta[2].
Begitupun
dalam pidana Islam, seiring perkembangan jaman, kejahatan semakin banyak
jenisnya. Beberapa diantaranya tidak akan berhasil kecuali dengan kerjasama
dari berbagai pihak dalam pelaksanaannya. Maka dari itu, penyusun ingin
membahas lebih lanjut mengenai penyertaan tindak pidana dalam Hukum Pidana
Islam dan apa saja yang perlu diketahui
mengenai hal tersebut, supaya penegakan keadilan dalam Islam dapat terealisasikan.
Semoga makalah ini bermanfaat.
B. Tujuan
penulisan
Sesuai
dengan judul makalah, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai
berikut :
a. Untuk mengetahui tentang penyertaan dalam
tindak pidana.
b. Untuk memenuhi tugas kelompok di mata kuliah Hukum
Pidana Islam guna mendapatkan nilai sempurna di mata kuliah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Turut
serta berbuat jarimah dalam bahasa Arab disebut dengan الأشتراك في الجريمة berarti perbuatan yang dilakuan dua orang
atau lebih, baik secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan suatu jarimah.[3] Pengertian
turut serta berbuat jarimah sesungguhnya berbeda dengan berserikat dalam
melakukan tindak pidana. Turut serta berbuat jarimah dapat terjadi tanpa
menghendaki ataupun bersama-sama menghendaki hasil dari perbuatan tindak pidana
atau perbuatan yang dimaksud. Sedangkan berserikat dalam jarimah adalah
sama-sama melakukan dan menghendaki, demikian juga hasil dari perbuatan pidana
juga sama-sama dikehendaki.[4]
Dalam turut serta kita melihat adanya pelaku utama dan adanya pembantu, sedang
pada berserikat keduanya merupakan pelaku utama.
Adapun dasar turut
serta dan berserikat dalam tindak pidana
adalah hadits riwayat Daruqutni yang di kutip oleh Syaukani[5] :
اذا
امسك الرجل الرجل و قتله الاخر يقتل الذى قتل و يخبس الذى امسك
Jika ada seseorang
yang menahan orang dan ada orang lain yang membunuhnya, maka bunuhlah orang
yang membunuh dan kurunglah orang yang menahan.
Suatu jarimah adakalanya diperbuat
oleh seorang diri atau adakalanya oleh beberapa orang. Apabila diperbuat oleh
beberapa orang, maka bentuk-bentuk kerjasama antara mereka tidak lebih dari
empat[6] :
1. Pembuat
melakukan jarimah bersama-sama orang lain (Memberikan bagiannya dalam
melaksanakan jarimah). Artinya
secra kebetulan melakukan bersama-sama.
2. Pembuat
mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah.
3. Pembuat
menghasut (menyuruh) orang lain untuk memperbuat jarimah.
4. Memberi
bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara, tanpa
turut berbuat.
B. Turut
berbuat Jarimah Langsung
Dalam hubungannya
dengan turut berbuat jarimah, para fuqaha mengenal dua macam turut berbuat
jarimah langsung yaitu at-tawafuq dan at-tamalu’.
At-tawafuq
adalah beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa
kesepakatan sebelumnha. Jadi, kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh
psikologis dan pemikiran yang dating secara tiba-tiba. Seperti kejahatan yang
terjadi ketika sedang berlangsungnya demonstrasi, yang tanpa perencanaan
sebelumnya untuk melakukan suatu kejahatan. Dalam kasus ini, para pelaku
kejahatan hanya bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing[7].
At-tamalu’
adalah kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama dan
terencana. Misalnya pembunuhan atas seseorang oleh sekelompok orang secara
terencana: ada yang mengikatnya, ada yang memukulnya, ada yang menembaknya.
Mereka semua bertanggung jawag atas kematian korban.[8]
C. Turut
berbuat Jarimah Tidak Langsung
Turut berbuat
tidak langsung ialah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain
untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh (menghasut)
orang lain atau memberi bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai
kesengajaan dalam persepakatan dah menyuruh serta memberi bantuan.[9]
Dalam kasus ini,
menurut para ulama di kalangan mazhab Maliki, Syafi’I, dan Ahmad, orang yang
menyuruh itu hanyalah alat yang digerakkan oleh si penyuruh.[10]
Adapun menurut Abu
Hanifah, si penyuruh itu tidak dianggap sebagai pelaku langsung kecuali bila
suruhannya itu sudah sampai pada tingkat paksaan.[11]
Dalam kasus suruhan yang tidak sampai pada tingkat paksaan yang disuruh itu
bertanggung jawab atas kematian korban, sedangkan yang menyuruh dikenai sanksi
ta’zir.
Turut berbuat
tidak langsung terjadi dengan cara-cara sebagai berikut[12]:
1. Persepakatan
Persepakatan bias
terjadi karena adanya saling pengertian dan kesamaan kehendak untuk melakukan
suatu jarimah. Kalau tidak ada persepakatan sebelumnya maka tidak terdapat
turut berbuat. Meskipun ada persepakatan tetapi jarimah yang terjadi bukan yang
disepakati maka juga tidak ada turut berbuat. Dengan demikian untuk terjadinya
turut berbuat dengan cara persepakatan, jarimah yang terjadi harus merupakan
akibat dari persepakatan itu.
2. Suruhan
dan hasutan
Menyuruh atau
menghasut adalah membujuk orang lain untuk melakukan suatu jarimah dan bujukan
itu menjadi pendorong untuk dilakukannya jarimah itu. Bujukan atau hasutan
terhadap orang lain untuk melakukan suatu jarimahmerupakan suatu maksiatyang
sudah bias dijatuhi hukuman.
Dalam tingkatan
paling rendah dorongan bias berupa memberi semangat kepada orang lain untuk
melakukan jarimah. Paksaan merupakan tingkatan yang lebih tinggi lagi. Paksaan
ini terjadi apabila orang yang mengeluarkan perintah atau bujukan itu mempunyai
kekuasaan atas orang yang diperintahnya, seperti orang tua terhadap anaknya
atau atasan kepada bawahannya.
3. Memberi
bantuan
Orang yang
memberikan bantuan kepada orang lain dalam melaksanakan suatu jarimah
dianggapsebagai kawan berbuat tidak langsung, meskipun tidak ada persepakatan
sebelumnya. Seperti mengamat-amati jaan untuk memudahkan proses pencurian bagi
orang lain.
D. Unsur-unsur Penyertaan dalam Tindak Pidana
Dalam
terminologi fiqh jinayah, dikenal istilah arkan al jarimah
(rukun-rukun jarimah). Rukun tersebut terdiri dari al rukn al syar’i (ada
tidaknya nash), al rukn al madiy (unsur materiil) dan al rukn al
adabiy (unsur moril).[13]
Yang
dimaksud dengan rukun syar’i adalah ada atau tidaknya nash yang melarang
suatu jarmah. Sedangkan dari segi materiil, unsur-unsur yang harus ada dalam
delik penyertaan dalam hukum pidana Islam secara umum ada dua, yaitu (1)
pelakunya lebih dari satu, dan (2) semua pelaku melakukan perbuatan yang
mengakibatkan terjadinya suatu jarimah tertentu. Unsur moriil berbicara
mengenai niat/maksud para pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana.[14]
E. Macam-macam
Penyertaan dalam KUHP (Delneming)
Penyertaan diatur
dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, penyertaan
dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu [15]:
a. Pembuat
(Dader) sebagai pembuat suatu perbuatan pidana :
Ke-1
mereka yang melakukan, yang menyuruh
lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan
Ke-2
mereka dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat,dengan kekerasan ancaman,atau dengan memberi
kesempatan,sarana atau keterangan menganjurkan oranglain supaya melakukan perbuatan.
b. Terhadap
penganjuran hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang
diperhitungkan,beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 berbunyi :dipidana sebagai
pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan :
Ke-1
mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan
Ke-2
mereka yang sengaja memberi kesempatan,sarana atau keterangan untuk dilakukan.
Berdasar ketentuan
pasal diatas
tersebut dapat disimpulkan bahwwa yang dimaksud dengan penyertaan yaitu apabila
orang yang tersangkut untuk terjadinya suatu perbuatan pidana atau kejahatan
itu tidak hanya satu orang,melainkan lebih dari satu orang. Akan tetapi tidak
semua orang yang tersangkut akan kejadian perbuatan pidana itu dinamakan
sebagai peserta yang dapat dipidana, karena mereka harus memenuhi syarat-syarat
sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 55 & 56 sebagaimana pelaku (pleger), orang yang menyuruh (doenpleger),orang yang turut serta (Medepleger),penganjur (wuitlokker),pembantu (medeplichtige).[16] Dalam
pasal ini di jelaskan status dan kapasitas seseorang dalam terjadinya suatu
tindak pidana, yakni apabila seseorang itu adalah sebagai pelaku (pleger), orang yang menyuruh (doenpleger),orang yang turut serta (Medepleger),penganjur (wuitlokker), maka dapat dikenai ancaman pidana maksimal. Jika seseorang itu
kedudukannya sebagai pembantu (medeplichtige)
dia dikenai ancaman pidana maksimum dikurangi sepertiga sesuai ketentuan
pasal yang dilanggar.
1. Pelaku
( Pleger )
Yaitu orang yang
secara materiil dan personil nyata-nyata melakukan perbuatan yang secara
sempurna memenuhi semua unsur dari rumusan delik yang terjadi. Seorang pleger
adalah orang yang pperbuatannya telah memenuhi setiap unsur delik yang terdapat
dalam pasal yang dilanggar.
Perlu juga
dibedakan antara dader dengan pleger. Dader yaitu pembuat suatu perbuatan
pidana atau orang yang melaksanakan semua unsur rumusan delik, sedang pleger
yaitu orang yang menjadi pelaku dalam penyertaan yang dapat dipidanakan yang
sama dengan pembuat.
Sekalipun seorang
pleger bukan seorang yang turut serta, kiranya dia dapat dimengerti mengapa dai
perlu disebut pelaku disampingpihak-pihak yang turut serta maka dia akan
dipidana bersama-sama dengan sebagai pelaku, sedangkan cara penyertaan
dilakukan dan tanggung jawab terhadapnya juga turut ditentukan oleh
keterkaitannya dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dengan
demikian Pleger adalah orang yang memenuhi semua unsur delik termasuk juga bila
dilakukan melalui orang-orang lain atau bawahan
mereka.[17]
2. Orang
yang Turut Serta ( Medepleger )
Ada pendapat dari
ahli hukum, dari moeljatno dia mengatakan bahwa medepleger adalah
setidak-tidaknya mereka itu semua melakukan unsur perbuatan pidana dan tidak
berarti bahwa masing-masing harus melakukan unsur pidana. Yang perlu ditekankan
disini adalah dalam medepleger terjadi kerjasama yang erat antara mereka pada
saat melakukan perbuatan pidana[18].
Jadi medepleger adalah orang yang melakukan kesempatan dengan orang lain unutk
melakukan –erbuatan pidana dan secara bersama-sama dia turut beraksi dalam
pelaksanaan perbuatan pidana sesuai dengan yang telah disepakati. Dengan
demikian dalam penyertaan bentuk turut serta ini, dua orang atau lebiih yang
dikatakan sebagai medepleger, semua harus terlibat aktif dalam suatu kerja sama
saat melakukan perbuatan pidana.
Didalam medepleger
terdapat ciri penting yang membedakan dengan penyertaan lain: pertama , pelaksanaan perbuatan pidana
melibatkan dua orang atau lebih. Kedua
semua yang terlibat benar-benar melakukan kerja sama secara fisik dalam
pelaksanaan perbuatan pidana yang terjadi. Ketiga
terjadinya kerja sama fisik bukan karena kebetulan, tetapi memeangtelah
merupakan kesepakatan yang telah direncanakan.[19]
Ciri adanya medepleger pertama adanya
kerjasama secara sadar. Kedua ada
pelaksanaan bersama secara fisik.
3. Penyuruh
Melakukan ( Doenpleger )
Dalam ilmu
pengetahuan Hukum Pidana orang yang menyuruh lakukan biasanya disebut sebagai
Midellijk dader atau Mittelbar tate yakni seorang pelaku yang secara tidak
langsung melakukan sendiri perbuatan pidana, melainkan dengan perantar orang
lain.[20]
Doen pleger yaitu orang yang menyuruh oranglain untuk melakukan suatu perbuatan
pidana, dimana secara yuridis orang tersebut yang disuruh dan akhirnya secara
nyata melakukan perbuatan pidana tersebut harus merupakan orang yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Di KUHP doenpleger mempunyai
ciri dan unsur. Unsur yang terdapat dalam doenpleger ada dua :
1. Orang
yang digunakan sebagai alat oleh pembuat delik.
2. Orang
yang dijadikan sebagai alat itu merupakan sambungan atau kepanjangan tangan
dari orang lain yang menyuruh orang itu.
Ciri yang terdapat
dalam Doenpleger;
1. Melibatkan
minimal 2 orang,dimana satu pihak bertindak sebagai aktor intelektualis,yaitu orang yang menyuruh orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana, dan pihak yang lain bertindak sebagai aktor materialis, yaitu orang yang
melakukan tindak pidana atas suruhan aktor intelektualis.
2. Secara
yuridis, aktor materialis adalah orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana atas tindak pidana yang dilakukannya, karena dalam dirinya
terdapat hal-hal yang merupakan alasan pemaaf.
4. Penganjur
( uitlokker )
Penganjur ialah
orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan
menggunakan sarana-sarana yang itentukan oleh undang-undang ssecara limitatif,
yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,
kekerasan,ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan,sarana,atau
keterangan(pasal 55 ayat 1 angka 2).
Penganjuran mirip
dengan menyuruhlakukan yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara.
Akan tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya yaitu[21] :
1. Pada
penganjuran, menggerakkan dengan sarana tertentu (limitatif) yang tersebut
dalam KUHP, sedang menyuruh lakukan menggeerakkannya dengan sarana tidak
ditentukan.
2. Pada
penganjuran, pembuat materiil dapat dipertanggung jawabkan, sedang menyuruh
lakukan pembuat materiil tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Syarat-syarat
penganjuran yang dapat dipidana[22]:
1. Ada
kesengajaan menggerakkan orang lain
2. Menggerakkan
dengan sarana atau upaya seperti terebut limitatif dalam KUHP
3. Putusan
kehenndak pembuat meteriil ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut
4. Pembuat
meteriil melakukan atau mencoba lakukan tindak pidana yang dianjurkan
Pembuat materiil dapat
dipertanggung jawabkan
5. Pembantuan
(Medeplichtige )
Adalah orang yang
sengaja memberi bantuan berupa saran,informasi atau kesempatan kepada orang
lain yang melakukan tidak pidana, dimana tindak pidana tersebut diberikan baik
pada saat atau sebelum tidak pidana itu terjadi[23].
Dalam KUHP ajaran tentang delik penyertaan dengan bentuk pembantuan diatur dalam
pasal 56 yang berbunyi:
“dipidana
sebagai pembantu (medeplichtige)
suatu kejahatan : 1. Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu
kejahatan dilakukan. 2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan,sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan. “
Pembantuan itu
mirip dengan turut serta , namun terdapat perbedaan yaitu terletak pada[24] :
1. Pada
pembantuan, perbuatan hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut
serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
2. Pada
pembuatan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerja
sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedang dalam turut serta,
orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana dengan cara bekerjasama
dan mempunyai tujuan sendiri.
3. Pembantuan
dalam pelanggaran tidak dipidana(pasal 60 KUHP), sedang turut serta dalam
pelanggaran tindak pidana tetap dipidana.
4. Maksimum
pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga,
sedang turut serta dipidana sama.
Mengenai
pertanggungjawaban pidana dari seseorang yang terlibat pembantuan, KUHP
mengatur dalam pasal 57 yang berbunyi :
1. Dalam
hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,dikurangi sepertiga
2. Jika
kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,
dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
3. Pidana
tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan kejahatan sendiri.
Dalam menentukan
pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja
dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibatnya.
BAB
III
KESIMPULAN
Turut serta berbuat
jarimah dalam bahasa Arab disebut dengan الأشتراك في
الجريمة berarti perbuatan yang dilakuan dua orang atau
lebih, baik secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan suatu jarimah.
Turut berbuat jarimah secara langsung dibagi menjadi dua bentuk, yaitu at
tawafuq dan at tamalu’. Sedangkan secara tidak langsung, menghasut/
mempengaruhi orang agar melakukan jarimah termasuk juga dalam delik turut serta
dalam jarimah.
Unsur-unsur penyertaan tindak pidana dalam hukum pidana islam terdiri dari
unsur ada tidaknya nash, unsur moriil dan unsur materiil, Dari segi materiil, unsur-unsur yang harus ada dalam
delik penyertaan dalam hukum pidana Islam secara umum ada dua, yaitu (1)
pelakunya lebih dari satu, dan (2) semua pelaku melakukan perbuatan yang
mengakibatkan terjadinya suatu jarimah tertentu. Unsur moriil berbicara
mengenai niat/maksud para pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana.
Dalam KUHP, unsur-unsur penyertaan secara umum ada 5, yaitu pelaku (pleger),
orang yang menyuruh (doenpleger), orang
yang turut serta (Medepleger), penganjur
(wuitlokker), dan pembantu (medeplichtige).
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: sinar grafika,2012.
Bahiej,
Ahmad, Hukum Pidana, Yogyakarta: bidang akademik UIN Sunan Kalijaga,
2008
Djazuli,
A., Fiqh Jinayah, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1997.
Halim,
Ridwan, Tindak Pidana Pendidikan dalam Asas-asas Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
Haliman,
Hukum Pidana Islam menurut Adjaran Ahli Sunnah wal Djamaah, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Hanafi,
A., Asas-asas Hukum Pidana Islam,Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Hamid, Kamil
Muhammad Husain. Ahkamul Isytirak Fi al-Jarimah Fi al-Fiqh al Islami (Dirasah Muqaranah Ma’a al-Qanun
al-Wadh’i). Skripsi pada Jami’ah an-Najah al-Wathaniyah Palestina. 2010
Lamintang,
Dassar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar baru, 1984
Moeljatno,
Hukum Pidana Dan Delik-Delik Percobaan Dan Delik-Delik Penyertaan,
Jakarta: Bina Aksara, 2003
Munajat,
Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indpnesia, Yogyakarta: Bidang akademik
UIN Sunan Kalijaga. 2008.
Remmelink
, Jan, Hukum Pidana, Jakarta: Pustaka Utama, 2003.
Zahrah, Muhammad Abu, al-Jarimah Wal Uqubah fi Al-Fiqh
al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr
[1]
Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan dalam Asas-asas Hukum Pidana
Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm.158.
[2]
Dalam hal otak atau arsitek tindak pidana itu tidak melakukan sendiri melainkan
menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana rancangannya itu, maka hal
ini termasuk suatu doen plegen.
[4]
Haliman, hukum Pidana Islam menurut Adjaran Ahli Sunnah wal Djamaah, (
Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 225.
[5]
Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indpnesia, ( Yogyakarta: Bidang
akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008 ) , hlm. 63.
[6] A.
Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1976 ),
hlm. 154.
[7] A.
Djazuli, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997 ), hlm.
17.
[8] Ibid,
hlm. 17
[9]
Haliman, op cit, hlm. 227; A. Hanafi, op cit,, hlm.142
[10] A.
Djazuli, op cit, hlm 18
[11] Ibid.
[12]
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam
[13] Kamil Muhammad
Husain Hamid. Ahkamul Isytirak Fi al-Jarimah Fi al-Fiqh al Islami (Dirasah
Muqaranah Ma’a al-Qanun al-Wadh’i). Skripsi pada Jami’ah an-Najah
al-Wathaniyah Palestina. 2010 hlm 58
[15]
Mahrus ali, dasar-dasar hukum pidana,(
Jakarta: sinar grafika,2012), hlm 122
[16]
ibid hlm 123
[17] Jan
remmelink,Hukum Pidana,( Jakarat: pustaka utama,2003), hlm 308
[18]
Moeljatno, Hukum Pidana Dan Delik-Delik Percobaan Dan Delik-Delik Penyertaan,(
Jakarta: Bina Aksara ), hlm 113
[19]
Mahrus ali,op cit, hlm 127
[20]
Lamintang, Dassar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,( Bandung: Sinar baru,
1984 ), hlm 609
[21]
Ahmad bahiej, hukum pidana,( Yogyakarta: bidang akademik UIN Sunan
Kalijaga,2008), hlm 53
[22]
Ibid, hlm 54
[23]
Mahrus ali,op cit, hlm 131
[24]
Ahmad bahiej,op cit, hlm 54-55
No comments:
Post a Comment