Wednesday, November 7, 2018

Penyertaan Dalam Tindak Pidana Umum dan Pidana Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam sejarang pengajaran Ilmu Hukum Pidana, pada sekitar abad ke-18 tercatat lahirnya suatu ajaran baru yakni ajaran tentang penyertaan dalam suatu tindak pidana, dengan tokohnya yakni Von Fauerbach. Adapun yang dimaksud dengan penyertaan atau deelneming pada hakikatnya ialah suatu keadaan kasus dimana lebih dari satu orang pelaku terlibat dalam satu tindak pidana tertentu, atau yang biasa kita kenal dengan istilah jamak pelaku tunggal delik. Dalam keadaan jamak pelaku ini, pada suatu penyertaan atau Deelneming bias kita dapatkan pada umumnya beberapa macam dasar pelaku yang perlu dibedakan pengertian maupun tanggung jawabnya, yang pada dasarnya masing-masing adalah sebagai berikut[1]:
a.       Perencana atau otak tindak pidana yang bersangkutan
b.      Pelaksana atau pelaku tindak pidana yang bersangkutan yang dalam hal ini pada hakikatnya dapat dibagi lagi atas pelaku utama dan pelaku peserta.
Tetapi, dalam kenyataan praktisnya, sering kali perencana atau otak atau arsitek suatu tindak pidana itu merangkap langsung sebagai pelaksananya juga , baik sebagai pelaku utama ataupun sebagai pelaku peserta[2].
Begitupun dalam pidana Islam, seiring perkembangan jaman, kejahatan semakin banyak jenisnya. Beberapa diantaranya tidak akan berhasil kecuali dengan kerjasama dari berbagai pihak dalam pelaksanaannya. Maka dari itu, penyusun ingin membahas lebih lanjut mengenai penyertaan tindak pidana dalam Hukum Pidana Islam dan apa saja  yang perlu diketahui mengenai hal tersebut, supaya penegakan keadilan dalam Islam dapat terealisasikan. Semoga makalah ini bermanfaat.


B.     Tujuan penulisan
Sesuai dengan judul makalah, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui tentang penyertaan dalam tindak pidana.
b.      Untuk memenuhi tugas kelompok di mata kuliah Hukum Pidana Islam guna mendapatkan nilai sempurna di mata kuliah ini.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Turut serta berbuat jarimah dalam bahasa Arab disebut dengan الأشتراك في الجريمة  berarti perbuatan yang dilakuan dua orang atau lebih, baik secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan suatu jarimah.[3] Pengertian turut serta berbuat jarimah sesungguhnya berbeda dengan berserikat dalam melakukan tindak pidana. Turut serta berbuat jarimah dapat terjadi tanpa menghendaki ataupun bersama-sama menghendaki hasil dari perbuatan tindak pidana atau perbuatan yang dimaksud. Sedangkan berserikat dalam jarimah adalah sama-sama melakukan dan menghendaki, demikian juga hasil dari perbuatan pidana juga sama-sama dikehendaki.[4] Dalam turut serta kita melihat adanya pelaku utama dan adanya pembantu, sedang pada berserikat keduanya merupakan pelaku utama.
Adapun dasar turut serta  dan berserikat dalam tindak pidana adalah hadits riwayat Daruqutni yang di kutip oleh Syaukani[5] :

اذا امسك الرجل الرجل و قتله الاخر يقتل الذى قتل و يخبس الذى امسك
 Jika ada seseorang yang menahan orang dan ada orang lain yang membunuhnya, maka bunuhlah orang yang membunuh dan kurunglah orang yang menahan.
Suatu jarimah adakalanya diperbuat oleh seorang diri atau adakalanya oleh beberapa orang. Apabila diperbuat oleh beberapa orang, maka bentuk-bentuk kerjasama antara mereka tidak lebih dari empat[6] :
1.      Pembuat melakukan jarimah bersama-sama orang lain (Memberikan bagiannya dalam melaksanakan jarimah). Artinya secra kebetulan melakukan bersama-sama.
2.      Pembuat mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melaksanakan jarimah.
3.      Pembuat menghasut (menyuruh) orang lain untuk memperbuat jarimah.
4.      Memberi bantuan atau kesempatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara, tanpa turut berbuat.

B.     Turut berbuat Jarimah Langsung
Dalam hubungannya dengan turut berbuat jarimah, para fuqaha mengenal dua macam turut berbuat jarimah langsung yaitu at-tawafuq dan at-tamalu’.
At-tawafuq adalah beberapa orang yang melakukan suatu kejahatan secara bersama tanpa kesepakatan sebelumnha. Jadi, kejahatan itu terjadi karena adanya pengaruh psikologis dan pemikiran yang dating secara tiba-tiba. Seperti kejahatan yang terjadi ketika sedang berlangsungnya demonstrasi, yang tanpa perencanaan sebelumnya untuk melakukan suatu kejahatan. Dalam kasus ini, para pelaku kejahatan hanya bertanggung jawab atas perbuatannya masing-masing[7].
At-tamalu’ adalah kejahatan yang dilakukan oleh beberapa orang secara bersama dan terencana. Misalnya pembunuhan atas seseorang oleh sekelompok orang secara terencana: ada yang mengikatnya, ada yang memukulnya, ada yang menembaknya. Mereka semua bertanggung jawag atas kematian korban.[8]

C.    Turut berbuat Jarimah Tidak Langsung
Turut berbuat tidak langsung ialah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, atau menyuruh (menghasut) orang lain atau memberi bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dah menyuruh serta memberi bantuan.[9]
Dalam kasus ini, menurut para ulama di kalangan mazhab Maliki, Syafi’I, dan Ahmad, orang yang menyuruh itu hanyalah alat yang digerakkan oleh si penyuruh.[10]
Adapun menurut Abu Hanifah, si penyuruh itu tidak dianggap sebagai pelaku langsung kecuali bila suruhannya itu sudah sampai pada tingkat paksaan.[11] Dalam kasus suruhan yang tidak sampai pada tingkat paksaan yang disuruh itu bertanggung jawab atas kematian korban, sedangkan yang menyuruh dikenai sanksi ta’zir.
Turut berbuat tidak langsung terjadi dengan cara-cara sebagai berikut[12]:
1.      Persepakatan
Persepakatan bias terjadi karena adanya saling pengertian dan kesamaan kehendak untuk melakukan suatu jarimah. Kalau tidak ada persepakatan sebelumnya maka tidak terdapat turut berbuat. Meskipun ada persepakatan tetapi jarimah yang terjadi bukan yang disepakati maka juga tidak ada turut berbuat. Dengan demikian untuk terjadinya turut berbuat dengan cara persepakatan, jarimah yang terjadi harus merupakan akibat dari persepakatan itu.  
2.      Suruhan dan hasutan
Menyuruh atau menghasut adalah membujuk orang lain untuk melakukan suatu jarimah dan bujukan itu menjadi pendorong untuk dilakukannya jarimah itu. Bujukan atau hasutan terhadap orang lain untuk melakukan suatu jarimahmerupakan suatu maksiatyang sudah bias dijatuhi hukuman.
Dalam tingkatan paling rendah dorongan bias berupa memberi semangat kepada orang lain untuk melakukan jarimah. Paksaan merupakan tingkatan yang lebih tinggi lagi. Paksaan ini terjadi apabila orang yang mengeluarkan perintah atau bujukan itu mempunyai kekuasaan atas orang yang diperintahnya, seperti orang tua terhadap anaknya atau atasan kepada bawahannya.
3.      Memberi bantuan
Orang yang memberikan bantuan kepada orang lain dalam melaksanakan suatu jarimah dianggapsebagai kawan berbuat tidak langsung, meskipun tidak ada persepakatan sebelumnya. Seperti mengamat-amati jaan untuk memudahkan proses pencurian bagi orang lain.


D.    Unsur-unsur Penyertaan dalam Tindak Pidana
Dalam terminologi fiqh jinayah, dikenal istilah arkan al jarimah (rukun-rukun jarimah). Rukun tersebut terdiri dari al rukn al syar’i (ada tidaknya nash), al rukn al madiy (unsur materiil) dan al rukn al adabiy (unsur moril).[13]
Yang dimaksud dengan rukun syar’i adalah ada atau tidaknya nash yang melarang suatu jarmah. Sedangkan dari segi materiil, unsur-unsur yang harus ada dalam delik penyertaan dalam hukum pidana Islam secara umum ada dua, yaitu (1) pelakunya lebih dari satu, dan (2) semua pelaku melakukan perbuatan yang mengakibatkan terjadinya suatu jarimah tertentu. Unsur moriil berbicara mengenai niat/maksud para pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana.[14]

E.     Macam-macam Penyertaan dalam KUHP (Delneming)
Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, penyertaan dibagi menjadi dua pembagian besar, yaitu [15]:
a.       Pembuat (Dader) sebagai pembuat suatu perbuatan pidana :
Ke-1 mereka yang melakukan, yang  menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan
Ke-2 mereka dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,dengan kekerasan ancaman,atau dengan memberi kesempatan,sarana atau keterangan menganjurkan oranglain supaya melakukan perbuatan.
b.      Terhadap penganjuran hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan,beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 berbunyi :dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan :
Ke-1 mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan
Ke-2 mereka yang sengaja memberi kesempatan,sarana atau keterangan untuk dilakukan.
Berdasar ketentuan pasal diatas tersebut dapat disimpulkan bahwwa yang dimaksud dengan penyertaan yaitu apabila orang yang tersangkut untuk terjadinya suatu perbuatan pidana atau kejahatan itu tidak hanya satu orang,melainkan lebih dari satu orang. Akan tetapi tidak semua orang yang tersangkut akan kejadian perbuatan pidana itu dinamakan sebagai peserta yang dapat dipidana, karena mereka harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 55 & 56 sebagaimana pelaku (pleger), orang yang menyuruh (doenpleger),orang yang turut serta (Medepleger),penganjur (wuitlokker),pembantu (medeplichtige).[16] Dalam pasal ini di jelaskan status dan kapasitas seseorang dalam terjadinya suatu tindak pidana, yakni apabila seseorang itu adalah sebagai pelaku (pleger), orang yang menyuruh (doenpleger),orang yang turut serta (Medepleger),penganjur (wuitlokker), maka dapat dikenai ancaman pidana maksimal. Jika seseorang itu kedudukannya sebagai pembantu (medeplichtige) dia dikenai ancaman pidana maksimum dikurangi sepertiga sesuai ketentuan pasal yang dilanggar.

1.      Pelaku ( Pleger )
Yaitu orang yang secara materiil dan personil nyata-nyata melakukan perbuatan yang secara sempurna memenuhi semua unsur dari rumusan delik yang terjadi. Seorang pleger adalah orang yang pperbuatannya telah memenuhi setiap unsur delik yang terdapat dalam pasal yang dilanggar.
Perlu juga dibedakan antara dader dengan pleger. Dader yaitu pembuat suatu perbuatan pidana atau orang yang melaksanakan semua unsur rumusan delik, sedang pleger yaitu orang yang menjadi pelaku dalam penyertaan yang dapat dipidanakan yang sama dengan pembuat.
Sekalipun seorang pleger bukan seorang yang turut serta, kiranya dia dapat dimengerti mengapa dai perlu disebut pelaku disampingpihak-pihak yang turut serta maka dia akan dipidana bersama-sama dengan sebagai pelaku, sedangkan cara penyertaan dilakukan dan tanggung jawab terhadapnya juga turut ditentukan oleh keterkaitannya dengan perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dengan demikian Pleger adalah orang yang memenuhi semua unsur delik termasuk juga bila dilakukan melalui orang-orang lain atau bawahan  mereka.[17]

2.      Orang yang Turut Serta ( Medepleger )
Ada pendapat dari ahli hukum, dari moeljatno dia mengatakan bahwa medepleger adalah setidak-tidaknya mereka itu semua melakukan unsur perbuatan pidana dan tidak berarti bahwa masing-masing harus melakukan unsur pidana. Yang perlu ditekankan disini adalah dalam medepleger terjadi kerjasama yang erat antara mereka pada saat melakukan perbuatan pidana[18]. Jadi medepleger adalah orang yang melakukan kesempatan dengan orang lain unutk melakukan –erbuatan pidana dan secara bersama-sama dia turut beraksi dalam pelaksanaan perbuatan pidana sesuai dengan yang telah disepakati. Dengan demikian dalam penyertaan bentuk turut serta ini, dua orang atau lebiih yang dikatakan sebagai medepleger, semua harus terlibat aktif dalam suatu kerja sama saat melakukan perbuatan pidana.
Didalam medepleger terdapat ciri penting yang membedakan dengan penyertaan lain: pertama , pelaksanaan perbuatan pidana melibatkan dua orang atau lebih. Kedua semua yang terlibat benar-benar melakukan kerja sama secara fisik dalam pelaksanaan perbuatan pidana yang terjadi. Ketiga terjadinya kerja sama fisik bukan karena kebetulan, tetapi memeangtelah merupakan kesepakatan yang telah direncanakan.[19] Ciri adanya medepleger pertama adanya kerjasama secara sadar. Kedua ada pelaksanaan bersama secara fisik.

3.      Penyuruh Melakukan ( Doenpleger )
Dalam ilmu pengetahuan Hukum Pidana orang yang menyuruh lakukan biasanya disebut sebagai Midellijk dader atau Mittelbar tate yakni seorang pelaku yang secara tidak langsung melakukan sendiri perbuatan pidana, melainkan dengan perantar orang lain.[20] Doen pleger yaitu orang yang menyuruh oranglain untuk melakukan suatu perbuatan pidana, dimana secara yuridis orang tersebut yang disuruh dan akhirnya secara nyata melakukan perbuatan pidana tersebut harus merupakan orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Di KUHP doenpleger mempunyai ciri dan unsur. Unsur yang terdapat dalam doenpleger ada dua :
1.      Orang yang digunakan sebagai alat oleh pembuat delik.
2.      Orang yang dijadikan sebagai alat itu merupakan sambungan atau kepanjangan tangan dari orang lain yang menyuruh orang itu.
Ciri yang terdapat dalam Doenpleger;
1.      Melibatkan minimal 2 orang,dimana satu pihak bertindak sebagai aktor intelektualis,yaitu orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana, dan pihak yang lain bertindak sebagai aktor materialis, yaitu orang yang melakukan tindak pidana atas suruhan aktor intelektualis.
2.      Secara yuridis, aktor materialis adalah orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas tindak pidana yang dilakukannya, karena dalam dirinya terdapat hal-hal yang merupakan alasan pemaaf.

4.      Penganjur ( uitlokker )
Penganjur ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang itentukan oleh undang-undang ssecara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan,ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan,sarana,atau keterangan(pasal 55 ayat 1 angka 2).
Penganjuran mirip dengan menyuruhlakukan yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara. Akan tetapi terdapat perbedaan diantara keduanya yaitu[21] :
1.      Pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana tertentu (limitatif) yang tersebut dalam KUHP, sedang menyuruh lakukan menggeerakkannya dengan sarana tidak ditentukan.
2.      Pada penganjuran, pembuat materiil dapat dipertanggung jawabkan, sedang menyuruh lakukan pembuat materiil tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Syarat-syarat penganjuran yang dapat dipidana[22]:
1.      Ada kesengajaan menggerakkan orang lain
2.      Menggerakkan dengan sarana atau upaya seperti terebut limitatif dalam KUHP
3.      Putusan kehenndak pembuat meteriil ditimbulkan karena upaya-upaya tersebut
4.      Pembuat meteriil melakukan atau mencoba lakukan tindak pidana yang dianjurkan
Pembuat materiil dapat dipertanggung jawabkan

5.      Pembantuan (Medeplichtige )
Adalah orang yang sengaja memberi bantuan berupa saran,informasi atau kesempatan kepada orang lain yang melakukan tidak pidana, dimana tindak pidana tersebut diberikan baik pada saat atau sebelum tidak pidana itu terjadi[23]. Dalam KUHP ajaran tentang delik penyertaan dengan bentuk pembantuan diatur dalam pasal 56 yang berbunyi:
“dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) suatu kejahatan : 1. Mereka yang sengaja memberikan bantuan pada waktu kejahatan dilakukan. 2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan,sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. “
Pembantuan itu mirip dengan turut serta , namun terdapat perbedaan yaitu terletak pada[24] :
1.      Pada pembantuan, perbuatan hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
2.      Pada pembuatan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedang dalam turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana dengan cara bekerjasama dan mempunyai tujuan sendiri.
3.      Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana(pasal 60 KUHP), sedang turut serta dalam pelanggaran tindak pidana tetap dipidana.
4.      Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiga, sedang turut serta dipidana sama.
Mengenai pertanggungjawaban pidana dari seseorang yang terlibat pembantuan, KUHP mengatur dalam pasal 57 yang berbunyi :
1.      Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,dikurangi sepertiga
2.      Jika kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun.
3.      Pidana tambahan bagi pembantuan adalah sama dengan kejahatan sendiri.
Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibatnya.





BAB III
KESIMPULAN

Turut serta berbuat jarimah dalam bahasa Arab disebut dengan الأشتراك في الجريمة  berarti perbuatan yang dilakuan dua orang atau lebih, baik secara langsung atau tidak langsung yang menyebabkan suatu jarimah.
Turut berbuat jarimah secara langsung dibagi menjadi dua bentuk, yaitu at tawafuq dan at tamalu’. Sedangkan secara tidak langsung, menghasut/ mempengaruhi orang agar melakukan jarimah termasuk juga dalam delik turut serta dalam jarimah.
Unsur-unsur penyertaan tindak pidana dalam hukum pidana islam terdiri dari unsur ada tidaknya nash, unsur moriil dan unsur materiil, Dari segi materiil, unsur-unsur yang harus ada dalam delik penyertaan dalam hukum pidana Islam secara umum ada dua, yaitu (1) pelakunya lebih dari satu, dan (2) semua pelaku melakukan perbuatan yang mengakibatkan terjadinya suatu jarimah tertentu. Unsur moriil berbicara mengenai niat/maksud para pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana.
Dalam KUHP, unsur-unsur penyertaan secara umum ada 5, yaitu pelaku (pleger), orang yang menyuruh (doenpleger), orang yang turut serta (Medepleger), penganjur (wuitlokker), dan pembantu (medeplichtige).




DAFTAR PUSTAKA
                                     
Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: sinar grafika,2012.

Bahiej, Ahmad, Hukum Pidana, Yogyakarta: bidang akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008

Djazuli, A., Fiqh Jinayah,  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Halim, Ridwan, Tindak Pidana Pendidikan dalam Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Haliman, Hukum Pidana Islam menurut Adjaran Ahli Sunnah wal Djamaah,  Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Hanafi, A., Asas-asas Hukum Pidana Islam,Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Hamid, Kamil Muhammad Husain. Ahkamul Isytirak Fi al-Jarimah Fi al-Fiqh al Islami (Dirasah Muqaranah Ma’a al-Qanun al-Wadh’i). Skripsi pada Jami’ah an-Najah al-Wathaniyah Palestina. 2010
Lamintang, Dassar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar baru, 1984

Moeljatno, Hukum Pidana Dan Delik-Delik Percobaan Dan Delik-Delik Penyertaan, Jakarta: Bina Aksara, 2003

Munajat, Makhrus, Hukum Pidana Islam di Indpnesia, Yogyakarta: Bidang akademik UIN Sunan Kalijaga. 2008.

Remmelink , Jan, Hukum Pidana, Jakarta: Pustaka Utama, 2003.

Zahrah, Muhammad Abu, al-Jarimah Wal Uqubah fi Al-Fiqh al-Islami. Beirut: Dar al-Fikr







[1] Ridwan Halim, Tindak Pidana Pendidikan dalam Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm.158.
[2] Dalam hal otak atau arsitek tindak pidana itu tidak melakukan sendiri melainkan menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana rancangannya itu, maka hal ini termasuk suatu doen plegen.
[3] Abu Zahrah, al-Jarimah Wal Uqubah fi Al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Fikr) hlm 292
[4] Haliman, hukum Pidana Islam menurut Adjaran Ahli Sunnah wal Djamaah, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 225.
[5] Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indpnesia, ( Yogyakarta: Bidang akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008 ) , hlm. 63.
[6] A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1976 ), hlm. 154.
[7] A. Djazuli, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997 ), hlm. 17.
[8] Ibid, hlm. 17
[9] Haliman, op cit, hlm. 227; A. Hanafi, op cit,, hlm.142
[10] A. Djazuli, op cit, hlm 18
[11] Ibid.
[12] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam
[13] Kamil Muhammad Husain Hamid. Ahkamul Isytirak Fi al-Jarimah Fi al-Fiqh al Islami (Dirasah Muqaranah Ma’a al-Qanun al-Wadh’i). Skripsi pada Jami’ah an-Najah al-Wathaniyah Palestina. 2010 hlm 58
[14] Ibid., hlm 59
[15] Mahrus ali, dasar-dasar hukum pidana,( Jakarta: sinar grafika,2012), hlm 122
[16] ibid hlm 123
[17] Jan remmelink,Hukum Pidana,( Jakarat: pustaka utama,2003), hlm 308
[18] Moeljatno, Hukum Pidana Dan Delik-Delik Percobaan Dan Delik-Delik Penyertaan,( Jakarta: Bina Aksara ), hlm 113
[19] Mahrus ali,op cit, hlm 127
[20] Lamintang, Dassar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,( Bandung: Sinar baru, 1984 ), hlm 609
[21] Ahmad bahiej, hukum pidana,( Yogyakarta: bidang akademik UIN Sunan Kalijaga,2008), hlm 53
[22] Ibid, hlm 54
[23] Mahrus ali,op cit, hlm 131
[24] Ahmad bahiej,op cit, hlm 54-55

No comments:

Post a Comment