UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
31 Tahun 1999 jo 20 Tahun 2001 (dalam satu naskah)
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi
secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas,
sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;
b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum,
menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam
memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4)
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3209);
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3851);
4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874);
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG
NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA
KORUPSI.
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-undang ini yang
dimaksud dengan:
1.
Korporasi
adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
2.
Pegawai
Negeri adalah meliputi:
a.
pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;
b.
pegawai
negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;
c.
Orang
yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d.
Orang
yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah;
e.
Orang
yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau
fasilitas dari negara atau masyarakat.
3.
Setiap
orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
BAB
II
TINDAK
PIDANA KORUPSI
Pasal
2
(1). Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya dirisendiri atau orang
lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangannegara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidupatau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2). Dalam hal
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
(Pasal 2 ayat (2) substansi tetap,
penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan
Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini. Yang dimaksud dengan "keadaan
tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan
pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut
dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya,
bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas,
penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana
korupsi)
Pasal
3
Setiap orang yang
dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal
4
Pengembalian
kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan
dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
3.
(Ketentuan Pasal
5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12,
rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam
masing-masing pasal Kitab Undangundang Hukum Pidana yang diacu, sehingga
berbunyi sebagai berikut)
Pasal
5
(1) Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang:
a. memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan
maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
(2) Bagi pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal
6
(1) Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili.
(2) Bagi hakim
yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal
7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda
paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00
(tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli
bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang
pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang
yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang
yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan
atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang
yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia
dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang
yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
Pasal
8
Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil
atau digelapkan
oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Pasal
9
Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja
memalsu buku-buku atau daftardaftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal
10
Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri
atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan,
menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka
pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan
orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang
lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal
11
Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal
12
Dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan
agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan
kewajibannya;
b. pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena
telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya;
c. hakim yang
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untukdiadili;
d. seseorang yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat
atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima,
atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui
bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau
menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada
dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri
atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan
tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa
perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan;atau
i. pegawai negeri
atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja
turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
(Di antara Pasal
12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B,
dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:)
Pasal 12 A
(1) Ketentuan
mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak
berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku
tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B
(1) Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi
tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya
kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi
pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar upiah).
Pasal 12 C
(1) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima
gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat
menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan
mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam
Undangundang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal
13
Setiap orang yang
memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan
atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah
atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana denga
pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling banyak Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal
14
Setiap orang yang
melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa
pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak pidana
korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal
15
Setiap orang yang
melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal
16
Setiap orang
diluar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan,
sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana
yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal
17
Selain dapat
dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18.
Pasal
18
(1). Selain pidana
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sebagai
pidana tambahan adalah:
A. perampasan
barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan,
begitu pula dari barang yang mengantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan
Seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan
Seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan Seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana.
(2). Jika
terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3). Dalam hal
terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Pasal
19
1. Putusan
pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak
dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan.
2. Dalam hal
putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk juga barang pihak
ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan
surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu paling lambat
2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk
umum.
3. Pengajuan surat
keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
4. Dalam keadaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim meminta keterangan penuntut umum dan
pihak yang berkepentingan.
5. Penetapan hakim
atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dimintakan
kasasi ke Mahkamah Agung oleh pemohon atau penuntut umum.
Pasal
20
1. Dalam hal
tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penhatuhan
pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
2. Tindak pidana
korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh
orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal
tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut
diwakili oleh pengurus.
4. Pengurus yang
mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diwakili oleh
orang lain.
5. Hakim dapat
memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan
dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
6. Dalam hal
tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengilan untuk menghadap dan
Penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat
tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
7. Pidana pokok
yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan
maksimum pidana ditambah 1/3 (satu per tiga).
BAB
III
TINDAK
PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA
KORUPSI
Pasal
21
Setiap orang yang
dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau
tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan
terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal
22
Setiap orang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang
dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak
benar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 9tiga) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah)
Pasal
23
Dalam perkara
korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220,
Pasal 231, Pasal 241, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
Pasal
24
Saksi yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
BAB
IV
PENYIDIKAN,
PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG
PENGADILAN
Pasal
25
Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
Pasal
26
Penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi,
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang ini.
(Di antara Pasal
26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A yang berbunyi
sebagai berikutJ
Pasal 26 A
Alat bukti yang
sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk
tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain
yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni
setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna.
Pasal
27
Dalam hal
ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk
tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
Pasal
28
Untuk kepentingan
penyisikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang Seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Pasal
29
1. Untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidikan,
penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang
keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
2. Permintaan
keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
3. Gubernur Bank
Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) dalam waktu selambat-ambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak
dokumen permintaan diterima secara lengkap.
4. Penyidik,
penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening
simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
5. Dalam hal hasil
pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup,
atas permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim, bank pada hari itu juga
mencabut pemblokiran.
Pasal
30
Penyidik berhak
membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi,
atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak
pidana korupsi yang sedang diperiksa.
Pasal
31
1. Dalam
penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat
Pelopor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya
identitas pelapor.
2. Sebelum
pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan
kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal
32
1. Dalam hal
penyidikan menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana
korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikian tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan
perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan
gugatan.
2. Putusan bebas
dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut
kerugian terhadap keuangan negara.
Pasal
33
Dalam hal
tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata
telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli
warisnya.
Pasal
34
Dalam hal terdakwa
meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan
secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan
salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau
diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata
terhadap ahli warisnya.
Pasal
35
1. Setiap orang
wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek,
nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
2. Orang yang
dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diperiksa
sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh
terdakwa.
3. Tanpa
persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan
keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Pasal
36
Kewajiban
memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap
mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan
menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus
menyimpan rahasia.
(Pasal 37 dipecah
menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan ketentuan
sebagai berikutJ
a. Pasal 37 dengan
substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2) dengan penyempurnaan pada
ayat (2) frasa yang berbunyi "keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal
yang menguntungkan baginya" diubah menjadi "pembuktian tersebut
digunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti",
sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Terdakwa
mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal
terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka
pembuktian tersebu dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa
dakwaan tidak terbukti.
b. Pasal 37 A
dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan
penyempurnaan kata "dapat" pada ayat (4) dihapus dan penunjukan ayat
(1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus, serta ayat (3), ayat (4), dan ayat (5)
masing-masing berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), sehingga bunyi
keseluruhan Pasal 37 A adalah sebagai berikut:
Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib
memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau
suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal
terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau
perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang undang
ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal
38
1. Dalam hal
terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa
alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
2. Dalam hal
terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa
wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan
dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
3. Putusan yang
dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan
pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada
kuasanya.
4. Terdakwa atau
kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
5. Dalam hal
terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang
cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidanan korupsi, maka
hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang
telah disita.
6. Penetapan
perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya
banding.
7. Setiap orang
yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah
menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3).
Di antara Pasal 38
dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal
38 C yang seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
Pasal 38 A
Pembuktian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan
di sidang pengadilan.
Pasal 38 B
(1) Setiap orang
yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan
sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari
tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal
terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut
dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang
memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan
perampasan harta benda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan untutannya
pada perkara pokok
(4) Pembuktian
bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak
pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara
pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
(5) Hakim wajib
membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan
terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila
terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari
perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38 C
Apabila setelah
putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih
terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal
dari tindak pidana korupsi yang belumdikenakan perampasan untuk negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan
gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
Pasal
39
Jaksa Agung
mengkoordinasikan dan mengendalikan Penyelidikan, penyidikan, dan penuntut
tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada
Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Pasal
40
Dalam hal terdapat
cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di lingkungan Peradilan Militer,
maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) huruf g
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat diberlakukan.
BAB
V
PERAN
SERTA MASYARAKAT
Pasal
41
1. Masyarakat
dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
2. Peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a.. hak mencari,
memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari,
memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana
korupsikepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum
yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk
memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada
penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk
memperoleh perlindungan hukum dalam hal;
1. melaksanakan
haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2. diminta hadir
dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi
pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
3. masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggungjawab dalam upaya
mencegah pemberantasan tindak pidana korupsi;
4. hak dan
tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat 93) dilaksanakan
dengan berpegang teguh pada asas-asas aau ketentuan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial
lainnya;
5. ketentuan
mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini,
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
42
1. Pemerintah
memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat telah berjasa membantu upaya
pencegahan, pemberantasan, atau pengangkapan tindak pidana korupsi.
2. Ketentuan
mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
VI
KETENTUAN
LAIN-LAIN
Pasal
43
1. Dalam waktu
paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Komisi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan
koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
3. Keanggotaan
Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan
unsur masyarakat.
4. Ketentuan
mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas
dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3) diatur dengan Undangundang.
(Di antara Bab VI dan
Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan Peralihan yang
berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang diletakkan di antara Pasal 43 dan
Pasal 44 sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
BAB VI A
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43 A
(1) Tindak pidana
korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus
berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan
bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8,
Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan
minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan
Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana
korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(3) Tindak pidana
korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang ini diundangkan, diperiksa dan
diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara
bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2)
Undang-undang ini.
BAB
VII
KETENTUAN
PENUTUP
(Dalam BAB VII
sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B yang berbunyi
sebagai berikutJ
Pasal 43 B
Pada saat mulai
berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal
415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal
425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undangmHukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor
9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah
Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999
tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
44
Pada saat mulai
berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 19,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
45
Undang-undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang
ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 21 Nopember 2001
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
No comments:
Post a Comment