Sunday, November 11, 2018

Demokratisasi Internal Partai Upaya Pemilihan Kader Berkualitas Melalui Pemilihan Raya




Abstrak

Karya tulis ini membahas mengenai beberapa permasalahan terkait dengan peran partai politik dalam menentukan secara demokratis kader yang berkualitas untuk menjadi calon kandidat dalam pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah. Sebagai salah satu lembaga yang menjadi gerbang utama bagi calon pemimpin diharapkan partai politik mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Persoalannya, sejauh ini dalam praktik penentuan calon kandidat yang akan duduk pada pemerintahan,, partai politik masih jauh dari kesan demokratis, seperti melakukan proses pengusungan kandidat yang bernuansa elite, rekrutmen calon yang tidak baik., penentuan calon secara sepihak. dan tertutup. Partai politik tampaknya hanya sebatas sebagai kendaraan atau pemberi tiket politik saja. Akibatnya, tidak sedikit bermunculan perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan kader partai yang kurang berkualitas ketika menjabat dalam pemerintahan. Sejatinya, partai politik muncul sebagai wadah bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya, apabila terjadi kesalahan dalam penentuan calon kandidat, bisa dipastikan partai politik melakukan penghianatan terhadap rakyat. UUD 1945 sebagai konstitusi telah menjelaskan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Jelasnya, bahwa partai politik yang melakukan perekrutan calon kandidat secara tidak demokratis termasuk tindakan inkonstitusional. Pemilihan Raya dalam partai politik dirasa mampu menjadi terobosan untuk memunculkan kader-kader berkualitas yang akan duduk pada pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif. Karena mekanisme Pemilihan Raya mampu memberikan ruang bagi kader partai politik untuk menjadi calon kandidat sekaligus mengeluarkan aspirasi dalam penentuan kebijakan partai.


Kata Kunci: demokratis, pemilihan raya, partai politik,, calon kandidat.



Adeng Septi Irawan,
Jurusan Hukum Tata Negara dan Pidana Islam (Siyasah Jinayah)
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya
085724663650


Demokratisasi Internal Partai Upaya Pemilihan Kader Berkualitas Melalui Pemilihan Raya

Adeng Septi Irawan,
Jurusan Hukum Tata Negara dan Pidana Islam (Siyasah Jinayah)
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Kata Kunci: demokratis, pemilihan raya, partai politik, calon kandidat.

I.       Pendahuluan
Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang penting dalam sistem demokrasi. Partai menjadi penghubung yang strategis antara proses pemerintahan dan warga negara. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah sebenarnya yang menentukan demokrasi, seperti pendapat Schattscheider, “political parties created democracy”. Oleh karena itu, Partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat pelembagaannya (the degree of institusionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Bahkan, Schattscheider berpendapat, ”modern democracy is unthinkable save in terms of the parties.”[1]
Sisi lain, partai politik itu sebenarnya tidak lebih dari kendaraan politik sekelompok elit yang berkuasa atau berniat memuaskan kekuasaannya sendiri. Partai politik hanya berfungsi sebagai alat bagi sebagian orang yang beruntung berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah terpengaruh, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu atau kepentingan umum.
Partai politik merupakan salah satu bentuk pelembagaan sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat demokratis. Partai politik dalam hubungannya dengan kegiatan bernegara. Peranannya sebagai media dan wahana tentulah sangat menonjol Partai politik sangat berperan dalam proses dinamika perjuangan nilai dan kepentingan dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan kebijakan dalam konteks kegiatan bernegara. Partai politiklah yang bertindak sebagai perantara dalam proses pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi kenegaraan.
Partai politik sebagai suatu organisasi sangat berperan dalam mencetak pemimpin yang berkualitas dan berwawasan nasional. Pemimpin yang berkualitas ini tidak hanya berorientasi pada kepentingan partai politik yang diwakili. Ketika menjadi pemimpin nasional, ia otomatis menjadi pemimpin semua orang. Pemimpin ini tidak lahir dengan sendirinya. Perlu suatu proses pendidikan baik yang bersifat formal maupun non-formal yang mampu membentuk jiwa dan karakter pemimpin. Dalam struktur dan sistem politik, organisasi partai politiklah yang paling bertanggung jawab untuk melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Untuk dapat melakukan tugas ini, dalam tubuh organisasi partai  politik perlu dikembangkan sistem rekrutmen, seleksi, dan kaderisasi politik. Mendapatkan sumber daya yang baik perlu dimulai dari sistem rekrutmen. Dengan adanya sistem ini, nantinya akan dapat diseleksi kesesuaian antara karakteristik kandidat dengan sistem nilai dan ideologi partai politiknya. Tentunya orang-orang yang memiliki sistem nilai dan ideologi sama serta memiliki potensi untuk dikembangkanlah yang perlu direkrut. Persaingan dengan partai politik lain juga terjadi untuk memperebutkan orang-orang terbaik yang nantinya dapat memperkuat dan mengembangkan organisasi partai politiknya.[2]
Menurut Robert Michels dalam bukunya, Political Parties A Sosiological Srudy of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, disebutkan bahwa
“….organisasi….merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk membentuk kemauan kolektif”.[3]
Kesempatan untuk berhasil dalam setiap perjuangan kepentingan sangat banyak tergantung pada tingkat kebersamaan dalam organisasi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa berorganisasi itu merupakan prasyarat mutlak bagi setiap perjuangan politik. Dengan demikian, harus diakui peran partai politik sangat penting dalam rangka dinamika pelembagaan demokrasi. Dengan adanya organisasi perjuangan kepentingan bersama menjadi kuat kedudukannya dalam menghadapi pihak lawan atau saingan.
Pada intinya, proses pelembagaan demokrasi itu sangat ditentukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi. Oleh karena itu, menurut Yves Meny dan Andrew Knapp,
“A Democratic System Without Political Parties or with a single party is impossible or at any rate hard to imagine”[4]
Suatu sistem politik dengan hanya satu partai politik sulit dibayangkan untuk disebut demokratis, apalagi jika tanpa partai politik sama sekali.
Pilkada juga sebagai ajang bagi daerah untuk menemukan calon-calon pemimpin daerah yang berintegritas dan bisa mengemban amanat rakyat. Pilkada berpeluang mendorong majunya calon kepala daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat daerah sekaligus menguatkan derajat legitimasinya. Dengan demikian, pilkada langsung dapat memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Artinya, masyarakat berkesempatan untuk terlibat mempengaruhi pembuatan kebijakan publik yang dilakukan kepala daerah sebagaimana janjinya saat kampanye dan ikut pula mengawasi kepala daerah jika menyalahgunakan kekuasaan sehingga proses ini dapat memaksa kepala daerah untuk tetap memperhatikan aspirasi rakyat.[5]
Untuk mendekatkan harapan tersebut, salah satu pintu masuknya adalah dengan cara melihat bagaimana proses yang dilakukan oleh partai politik dalam mengajukan calon-calon pemimpin daerah yang akan mereka usung. Partai politik sebagaimana yang tersebut dalam UU No. 32 Tahun 2004 kemudian direvisi menjadi UU No 12 Tahun 2008 merupakan salah satu institusi yang bisa mengajukan calon kepala daerah dalam pilkada. Dalam konteks ini, proses politik yang terjadi di internal partai politik ikut mempengaruhi bagaimana kualitas calon kepala daerah. Dengan demikian, partai politik memiliki posisi dan peran yang siginifikan dalam menghadirkan individu-individu berintegritas untuk memimpin sebuah daerah.
Namun demikian, pada praktiknya kuasa partai politik tersebut kerap menuai kritik publik. Di antaranya, proses pengusungan kandidat kerap terlihat elitis[6], rekrutmen calon yang buruk, semaraknya isu mengenai keharusan menyediakan uang “perahuatau “mahar” politik oleh kandidat agar memperoleh tiket pencalonan dari partai politik, abainya partai politik pada suara publik terhadap persoalan yang menyangkut politik kekerabatan di daerah, sampai mengenai bagaimana partai politik bisa bekerja dalam mengawal pengusungan kandidat sebagai sebuah mesin politik yang efektif agar tidak sekadar menjadi pemberi tiket bagi calon yang akan maju dalam pilpres, pileg, maupun pilkada.
Tulisan ini akan mengurai  sejumlah persoalan terkait partai politik sebagai salah satu pintu masuk dalam upaya untuk menghadirkan pemimpin yang berkualitas dalam pilpres, pileg, dan pilkada. Sekaligus mencoba memberi sejumlah usulan pembaruan bagi partai politik dalam pergulatannya dalam pilpes, pileg, atau pilkada agar kualitas demokrasi semakin baik.

II.     Rekrutmen Politik
Rekrutmen  politik adalah seleksi dan pengangkatan seseorang atau kelompok untuk melaksanakan sejumlah peran dalam system politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya.[7]
Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi anggota-aggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan administratif maupun politik. Dalam pengertian lain, rekrutmen politik merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu dan sebagainya.
Sistem Perekrutan Politik Terdiri dari Beberapa Cara:
1.      Seleksi pemilihan melalui ujian
2.      Latihan ( training ) Kedua hal tersebut menjadi indikator utama didalam perekrutan politik
3.      Penyortiran atau penarikan undian (cara tertua yang digunakan di Yunani kuno)
4.      Rotasi memiliki tujuan mencegah terjadinya dominasi jabatan dari kelompok-kelompok yang berkuasa maka perlu adanya pergantian secara periode dalam jabatan-jabatan politik.
5.      Perebutan kekuasaan dengan menggunakan atau mengancam dengan kekerasan.Cara ini tidak patut dicontoh karena untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah harus melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji karena kita telah dididik dengan baik dan harus menerapkan teknik-teknik yang baik pula dalam berpolitik.
6.      Petronag artinya suatu jabatan dapat dibeli dengan mudah melalui relasi-relasi terdekat. Petronag masih memiliki keterkaitanya dengan budaya korupsi.
7.      Koopsi ( pemilihan anggota-anggota baru ) artinya memasukan orang-orang atau anggota baru untuk menciptakan pemikiran yang baru sehingga membawa suatu partai pada visi dan misi yang ditujunya.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam berbagai tingkatan baik itu pusat, Provinsi  maupun  Kabupaten/Kota  merupakan  lembaga  negara  yang  memiliki peranan penting dalam mengawal serta menjalankan proses demokratisasi dan proses penyelenggaraan ketatanegaraan. Lembaga legislatif memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, untuk membentuk Undang-undang, fungsi Budgeting untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja baik negara maupun daerah, dan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan agar menjamin terwujudnya hak-hak konstitusional warga negara sehingga prinsip checks and balances dalam sistem yang demokratis dan konstitusional senantiasa dapat terjaga.
Begitu pentingnya peran anggota legislatif bagi keberlangsungan iklim demokrasi di negara kita membuat proses rekrutmen dari anggota legislatif ini turut menjadi penting karena baik buruknya anggota legislatif yang duduk di parlemen akan ditentukan oleh proses rekrutmen yang terjadi di internal partai. Partai politik memainkan  peranan  penting  dalam  proses  rekrutmen  Calon  anggota  legislatif (Caleg) yang nantinya akan duduk di parlemen karena rekrutmen Politik merupakan salah satu fungsi dari keberadaan partai poltik. Ada berbagai cara yang dilakukan oleh partai politik untuk menjalankan fungsinya dalam melakukan rekrutmen politik. Ada yang melakukan rekrutmen politik dengan cara memasang iklan terbuka dengan berbagai media layaknya  sebuah perusahaan  yang sedang membuka  lowongan kerja cara ini mulai banyak digunakan oleh partai politik untuk menjaring Caleg dari luar partai.
Pemerintah merupakan lembaga eksekutif yang bertugas menjalankan roda pemerintahan. Presiden yang dipilih melalui Pilpres bertugas memimpin pemerintahan negara. Sedangkan Kepala daerah yang dipilih melalui Pilkada berfungsi memimpin pemerintahan daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Peran yang begitu penting dari Presiden dan Kepala Daerah yang menentukan keberhasilan suatu negara atau daerah. Maka disini perlunya sistem perekrutan presiden atau kepala daerah yang demokratis dan transparan. Mekanisme pemilihan tersebut dilakukan oleh partai politik. Sehingga disini perlu peran partai politik yang benar-benar selektif dalam memilih kader yang berkualitas dan berintegritas.
Salah satu ahli yang pernah memberikan penjelasan mengenai rekrutmen politik adalah Ramlan Surbakti yang menyoroti  rekrutmen politik sebagai seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya.[8] Berkenaan dengan prosedur rekrutmen politik menurut Gabriel Almond dan Bingham Powell terbagi dalam dua bentuk pelaksanaan, yaitu:[9]
1.      Prosedur  tertutup  (Closed  Recruitment  Process)  adalah  sistem  rekrutmen partai yang ditentukan oleh elit partai, mengenai siapa saja yang dicalonkan sebagai anggota legislatif maupun pejabat eksekutif
2.      Prosedur terbuka (Open Recruitment Process) adalah proses dimana nama- nama  calon  yang  diajukan,  diumumkan  secara  terbuka  dalam  bentuk kompetisi yang murni dan transparan.
Selanjutnya berkaitan dengan sifat proses rekrutmen politik menurut Sahid Gatara yaitu:[10]
1.      Top-down artinya proses rekrutmen politik yang berasal dari atas atau orang- orang yang sedang menjabat. Contoh dari sifat ini adalah penunjukkan pribadi dan seleksi pengangkatan.
2.      Bottom-up artinya proses rekrutmen politik berasal dari masyarakat bawah seperti  proses  mendaftarkan  diri  dari  individu-individu  untuk  menduduki jabatan. Contoh sifat ini adalah individu-individu melamar pada partai politik untuk maju sebagai kandidat anggota legislatif maupun calon kepala daerah.
3.      Bersifat campuran artinya proses seleksi yang memadukan antara model top- down dan bottom-up. Contoh sifat ini adalah pada proses pemilihan umum baik pemilihan umum legislatif maupun eksekutif

III.    Fungsi Partai Politik
Pada umumnya ilmuwan politik biasa mngambarkan adanya empat fungsi partai politik. Keempat fungsi politik itu menurut Miriam Budiarjo meliputi sarana:[11] (i) Komunikasi Politik; (ii) Sosialisasi Politik; (iii) Rekrutmen Politik; (iv) Pengatur Konflik. Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi (ii) sarana memberikan pengaruh terhadap perilaku memilih (iii) sarana rekrutmen politik (iv) sarana laborasi pilihan-pilihan kebijakan. Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Fungsi pertama sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan yang terdapat dalam masyarakat
Terkait dengan komunikasi politik, partai politik juga berperan dalam melakukan fungsi kedua yaitu sosialisasi politik. Ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan pada konstituen untuk mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat. Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekrutmen politik. Partai dibentuk dimaksudkan agar menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara-cara tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau melalui cara tidak langsung lainnya. Guna pengisian jabatan atau rekrutmen pejabat negara partai politik dapat berperan.
Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat. Nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang tumbuh di masyarakat sangatlah beragam, rumit, dan cenderung saling bersaing satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan alternatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.

IV.   Selayang Pandang Partai Politik
Partai politik selain memiliki kelebihan juga memiliki berbagai kekurangan, diantaranya: bahwa oraganisasi cenderung bersifat oligarkis, partai politik kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, akan tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingannya sendiri. Untuk mengatasi berbagai potensi buruk partai politik seperti diatas, diperlukan beberapa mekanisme penunjang.
Pertama, mekanisme internal yang menjamin demokratisasi melalui partisipasi anggota partai politik itu sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Pengaturan mengenai hal itu sangat penting dirumuskan secara tertulis dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga patai politik yang bersangkutan yang ditardisikan dalam rangka rule of law.
Disamping anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, sesuai tuntutan perkembangan perlu diperkenalkan pula sistem kode etika positif yang dituangkan sebagai kode etik yang dijamin tegaknya melalui dewan kehormatan yang efektif. Dengan begitu, di dalam dinamika internal organisasi partai, berlaku tiga dokumen sekaligus, yaitu Code of Law yang tertuang dalam anggaran dasar, Code of Conduct yang tertuang dslam anggaran rumah tangga, dan Code of Ethics dalam dokumen tersendiri. Dengan demikian, norma hukum, norma moral, dan norma etika diharapkan dapat berfungsi efektif membangun kultur internal setiap partai politik.. Aturan-aturan yang dituangkan diatas kertas, juga ditegakkan secara nyata dalam praktik, sehingga prinsip Rule of Law dan Rule of Ethics dapat sungguh-sungguh diwujudkan mulai dari kalangan internal partai politik sebagai sumber kader kepemimpinan negara.
Dalam ketiga kode normatif tersebut tersedia berbagai prosedur kerja pengurus dan hubungannya dengan anggota, pengaturan-pengaturan lembaga internal, mekanisme hubungan lembaga-lembaga, serta mekanisme penyelesaian konflik yang elegan dan dapat dijadikan pegangan bersama. Dengan begitu setiap perbedaan pendapat dapat disalurkan secara baik dan konflik dapat diatasi agar tidak membawa kepada perpecahan yang tidak demokratis dan biasanya kurang beradab.
Kedua, mekanisme keterbukaan partai dimana warga masyarakat di luar partai dapat ikut serta berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang hendak diperjuangkan melalui dan oleh partai politik. Sehingga, diperlukan perubahan paradigma dalam cara memahami partai dan kegiatan berpartai. Menjadi pengurus bukanlah segalanya. Namun , yang terpenting menjadi wakil rakyat. Akan tetapi, jika yang menjadi faktor penentu adalah terpilih tidaknya seseorang menjadi wakil rakyat, setiap orang tentu akan berlomba-lomba menjadi pengurus dan bahkan untuk menjadi pimpinan puncak partai politik. Akibatnya, menjadi pengurus dianggap sebuah keharusan dan kelak dapat sekaligus menjadi wakil rakyat, dan untuk selanjutnya partai politik hanya dapat berfungsi sebagai kendaraan bagi individu para pengurusnya untuk terus mempertahankan posisi sebagai wakil rakyat dan untuk meraih jabatan-jabatan public lainnya.
Kepengurusan partai politik di masa akan datang alangkah baiknya diarahkan untuk menjadi pengelola yang professional yang terpisah dan dipisahkan dari para calon wakil rakyat. Mungkin ada baiknya untuk dipikirkan bahwa kepengurusan partai politik dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu: (i) komponen kader wakil rakyat; (ii) Komponen pejabat eksekutif; (iii) komponen pengelola professional. Ketiganya diatur dalam struktur yang terpisah dan tidak boleh ada rangkap jabatan dan pilihan jalur. Pola rekrutmen dan promosi diharuskan mengikuti jalur yang sudah ditentukan dalam salah satu dari ketiga jalur tersebut. Jika sesorang berminat untuk menjadi anggota DPRD atau DPR ia diberikan kesempatan sejak awal untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Partai atau yang dapat disebut dengan nama lainya yang disediakan tersendiri strukturnya dalam kepengurusan partai. Sementara itu, kader yang berminat di lembaga eksekutif duduk dalam Dewan Kabinet atau yang disebut dengan nama lain. Di luar kedua struktur itu adalah struktur kepengurusan biasa yang dijabat oleh professional, digaji oleh partai, dan tidak dimaksudkan untuk direkrut menjadi wakil rakyat atau untuk dipromosikan menduduki jabatan eksekutif. Ketiga kelompok pengurus tersebut hendaknya jangan dicampur atau terlalu mudah berpindah posisi dan jalur. Kalaupun ada seseorang yang ingin pindah jalur karena alasan yang rasional. Hal itu dapat dimungkinkan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. sehingga tidak justru menjadi stimulus bagi kaum-kaum opportune yang akan merusak kultur demokrasi dan rule of law dalam partai.
Guna mendorong agar mekanisme kepengurusan dan pengelolaan partai menjadi makin baik, pengaturannya perlu dituangkan dalam undang-undang. Hal itu tidak cukup hanya diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang bersangkutan. Mekanisme pertama dan kedua tersebut berkaitan dengan aspek internal organisasi partai politik.
Ketiga, penyelenggaraan negara yang baik dengan makin meniningkatnya kualitas pelayanan publik, serta keterbukaan dan akuntabilitas organisasi kekuasaan dalam kegiatan penyelenggaraan negara. Sehingga iklim politik dengan sendirinya akan tumbuh sehat bagi partai.
Keempat, berkembangnya pers bebas yang semakin profesional dan mendidik. Kelima, Kuatnya jaminan kebebasan berpikir dan berekspresi, serta kebebasan untuk berkumpul dan berorganisasi secara damai. Dalam sistem Representative Democracy. partisipasi rakyat yang berdaulat terutama disalurkan melalui pemungutan suara untuk membentuk lembaga perwakilan. Mekanisme perwakilan ini dianggap efektif untuk maksud menjamin keterwakilan aspirasi atau kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dalam sistem perwakilan, kedudukan, dan peranan partai politik sangatlah dominan.[12]

V.     Kasus Internal Partai Politik
Hal ini dapat dilihat dari beberapa kejadian internal politik yang rapuh karena kader tidak dilibatkan dalam mekanisme pengusungan calon presiden atau calon kepala daerah. Contohnya pada tingkat nasional PPP dimana ketika Surya Dharma Ali secara sepihak memberikan dukungan kepada Prabowo bahkan sebelum pileg terjadi. Hal itu membuat perpecahan di tubuh PPP dari Pra Pileg dan pasca pileg belum juga usai.[13]
Kemudian Golkar, dimana para kader senior golkar menganggap Abu Rizal Bakrie terlalu egois dan terburu-buru dalam menambatkan dukungan kepada Prabowo. Perpecahan di tubuh Golkar dapat terlihat dari pembangkangan beberapa kadernya yang bahkan akhirnya bergabung kepada tubuh Jokowi misal Luhut Pandjaitan, Nudirman Munir, dll. Bahkan pasca pilpres keretakan di tubuh Golkar semakin kentara dengan adanya Munas tandingan. Kemudian juga terdapat kasus di daerah seperti di Jawa Tengah ketika publik dikagetkan dengan pemilihan Ganjar Pranowo yang diusung PDIP pada pemilihan Gubernur Jawa Tengah.
Ada juga kasus Sumatera Utara pada partai Demokrat dimana justru terjadi persaingan antar elit demokrat antara Sutan Bhato Ghana dan Ruhut sitompul dalam memperebutkan kursi pencalonan dari partai demokrat, ironisnya kader kader grassroot Demokrat tidak dilibatkan. Beberapa kasus diatas adalah sebagian dari begitu banyaknya ketidakberesan mekanisme partai politik dalam mengajukan calon yang akan diusung untuk menempati jabatan-jabatan publik. Hal ini tentunya perlu diperbaiki demi kehidupan demokrasi yang lebih partisipatif. Oleh karena itu, perlu menegaskan kembali pentingnya perbaikan mekanisme pengusungan atau pemberian dukungan partai politik pada demokrasi yang jika dihubungkan dengan representasi hal ini semacam mencari basis representasi dari sebuah tokoh agar diusung tidak hanya elitis namun partisipatif.

VI.   Tahapan Sistem Pemilihan Raya Partai Politik
Sebelum membahas lebih jauh mengenai Pemilihan Raya, sangatlah penting untuk memahami tentang Majelis Syuro. Majelis syuro adalah organ tertinggi dalam tubuh Partai yang bersifat tetap dan memiliki fungsi menentukan keputusan-keputusan strategis partai. Adapun Majelis Syuro ada yang berkedudukan di tingkat pusat dan daerah. Majelis Syuro di tingkat pusat terdiri dari beberapa orang. Anggota majelis syuro pusat tersebut dipilih oleh kader yang ada di tingkat daerah. Kuota anggota majelis syuro dari setiap daerah tergantung dari banyaknya jumlah kader di daerah tersebut. Mekanisme yang tidak jauh berbeda juga diterapkan untuk membentuk majelis syuro di tingkat daerah. Dimana pemilihan anggota majelis syuro daerah dilakukan dari setiap kabupaten/kota di setiap provinsi.
Adapula dalam hal Majelis Syuro menentukan  kandidat  yang akan diusung, Majelis Syuro akan melakukan musyawarah. Pada musyawarah ini hal-hal penting yang menjadi pertimbangan adalah, pertama, kapasitas, track record, jaringan, dan visi misi bakal calon.  Kedua, elektabilitas bakal calon. Perolehan data elektabilitas ini dilakukan dengan melakukan survei elektabilitas bakal calon di kalangan masyarakat. Survei ini sendiri dapat dilakukan oleh tim partai politik itu sendiri atau menggunakan jasa lembaga survey profesional.
Kemudian, Ketiga, pemilihan internal kader. Namun pemilihan di internal kader ini hanya dilakukan oleh kader pada tingkatan tertentu yang jumlahnya tidak terlalu banyak, terutama di tingkat daerah. Pemilihan yang hanya diikuti kader tingkatan tertentu ini ditentukan dengan pertimbangan kader tersebut dianggap telah dapat memilih preferensi kandidat secara baik. Kader ini juga dinilai telah cukup memiliki loyalitas kepada partai. Sehingga diharapkan pilihan dari tingkat internal ini adalah hasil yang terbaik dari kader untuk partai. pemilihan internal kader memiliki porsi yang sangat besar, yaitu 50%, sehingga hasil preferensi kader akan menjadi pertimbangan yang serius dalam musyawarah.
Mekanime dan tahapan Pemilihan Raya Kader Partai Politik:
Pertama, setiap DPW Partai politik (Dewan Pimpinan Wilayah/pengurus tingkat provinsi) diberikan pengarahan mengenai rencana pelaksanaan Pemilihan Raya partai politik. DPW Partai kemudian ditugaskan untuk membentuk komisi pemilihan internal yang bertanggung jawab menyelenggarakan Pemilihan Raya partai ini. Komisi pemilihan ini bersifat adhoc atau sementara.
Kedua, setiap DPW Partai dipersilahkan untuk menyetorkan lima nama kader internal  baik di tingkat daerah maupun nasional, yang memenuhi kriteria dan dianggap layak untuk dicalonkan sebagai calon presiden. Nama-nama tersebut diberikan kepada DPP  bagian  Lembaga  Pelaksana Penokohan  Kader (LPPK).  Kemudian  LPPK akan melakukan verifikasi terhadap nama-nama tersebut. Hasil verifikasi tersebut kemudian di umumkan. Bagi calon peserta Pemilihan Raya yang tidak bersedia mengikuti proses pemilihan, dipersilakan untuk mengajukan pengunduran diri dari proses pencalonan Pemilihan Raya. Perlu diketahui bahwa nama-nama yang muncul hanyalah nama-nama yang diusulkan dari DPW. Sehingga tidak diperkenankan seorang kader mengajukan dirinya sendiri.
Ketiga,  LPPK akan mengumumkan nama-nama  yang resmi menjadi  calon. LPPK mempersilakan para calon untuk melakukan kampanye maupun sosialisasi kepada kader-kader lain di tingkat daerah.
Keempat, komisi pemilihan di tingkah daerah akan menyiapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilihan Raya Partai. DPT terdiri dari para kader yang terdiri dari berbagai tingkat, mulai dari tingkat bawah hingga atas. Sehingga pelaksanaan Pemilihan Raya kali ini tidak lagi ada pembatasan tingkatan kader. Komisi pemilihan kemudian memberikan pemberitahuan dan undangan kepada kader tentang tanggal, tempat, dan mekanisme Pemilihan Pemira (Pemilihan Raya) Partai. Hal tersebut dilakukan melalui undangan tertulis, email, sms, ataupun pemaparan langsung ditengah agenda-agenda rutin Partai.
Kelima, kader-kader Partai akan melakukan pencoblosan pada hari yang telah ditetapkan secara serentak di Indonesia. Tempat Pemungutan Suara (TPS) umumnya berada di DPC (kantor Partai di tingkat kecamatan). Namun hal ini berlaku fleksibel,  apabila dalam  kecamatan  tersebut  jumlah kader  tidak  begitu  banyak,  maka dimungkinkan TPS dari berbagai kecamatan untuk digabung. Para pemilih diperkenankan untuk mencoblos maksimal lima nama
Keenam, hasil pencoblosan kemudian akan dihitung di masing-masing TPS. Kemudian akan direkapitulasi di tingkat DPD, DPW hingga DPP. Penghitungan dan rekapitulasi dilakukan secara transparan dan terbuka. Ketujuh, hasil rekapitulasi di tingkat nasional akan diumumkan kepada publik selambat-lambatnya satu bulan setelah pelaksanaan Pemira Partai. Tiga-lima besar nama hasil Pemira kemudian akan diberikan kepada Majelis Syuro untuk menjadi pertimbangan serius dalam penentuan pilihan politik Partai di Pilpres nanti. Kedelapan, nama yang diberikan kepada Majelis Syuro kemudian akan dilakukan uji publik. Majelis syuro berhak untuk menentukan berapa calon yang akan diuji publik, bisa lima calon atau bahkan hanya satu calon. Hasil akumulasi dari Pemira Partai dan uji publik adalah dua pertimbangan yang akan dibawa dalam penentuan kandidat yang akan di usung.

VII.Teori Sistem Pemilihan Raya Partai Politik
Di dalam konsep demokrasi partisipatori, semua warga negara memiliki hak untuk terlibat dalam proses pemilihan dan pembuatan keputusan politik. Tidak ada diskriminasi dalam hal berpartisipasi. Biasanya partisipasi tersebut dalam bentuk mengikuti pemilihan untuk memilih pemimpin diantara mereka. Adanya transparansi serta akuntabilitas dalam mengikuti seluruh rangkaian pemilihan hingga pembuatan keputusan adalah salah satu kunci dari konsep demokrasi partisipatory ini. Jika dikaitkan dengan Pemilihan Raya Partai, secara konsep Pemira partai sudah baik dan kompatibel dalam melakukan pemilihan di dalam internalnya, Partai politik mencoba meminimalisir elitism dan oligarki yang selama ini banyak terjadi dalam praktek Pemilu, baik eksekutif maupun legislatif.
Logika demokrasi partisipatori ini diterapkan dalam Pemira Partai  yang menyelenggarakan pemilu di dalam tubuh partai. Pelaksanaan Pemira partai yang dilakukan secara Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (luber jurdil) patut diapresiasi. Melalui Pemira, partai mencoba melakukan pemilihan calon presiden yang nantinya akan diusung oleh partai pada Pilpres, pemilihan calon legislator yang akan diusung dalam Pileg, dan pemilihan calon kepala daerah yang akan diusung dalam Pilkada. Adanya proses pencalonan yang bottom up sharing system, dimana mensyaratkan dilakukannya pemilihan melalui musyawarah dari tingkat bawah dimulai dari DPC, DPD, dan DPW untuk memilih kader yang kompatibel untuk dicalonkan. Adanya kesempatan untuk kader-kader yang lain memilih kader yang sesuai dengan keinginan mereka melalui pemilihan merupakan bentuk praktek dari demokrasi partisipatif. sistem ini mencoba meminimalisir elitisme yang selama ni terjadi di banyak praktek Pemilu baik eksekutif maupun legislatif. Pemira partai ini adalah bentuk konkret dari pelembagaan partisipasi akar rumput terhadap kebijakan strategis partai.
Dalam  partisipatory budgetting,  anggaran  dibahas  secara  partisipatif melibatkan masyarakat. Hal ini terjadi karena pada sejarahnya soal anggaran selalu dibahas secara elitis dan tersembunyi dari masyarakat. Kacamata participatory budgetting ini digunakan untuk melihat keterlibatan anggota partai, dalam kasus ini adalah anggota partai politik berperan dalam penentuan beberapa kebijakan partai.
Salah satu yang paling kontroversial dari kebijakan partai-partai saat ini adalah mengenai calon legislatif dan eksekutif yang akan diusung. Jika kebanyakan partai menggunakan skema konvensi yang masih terasa elitis. Sedangkan dalam sistem partai politik menggunakan skema Pemilihan Raya untuk mengusung calon yang akan mewakili partai dirasa lebih demokratis.
Pada sekian banyak kasus yang terjadi pada partai-partai di Indonesia pengusungan calon-calon yang akan dimajukan untuk merebut jabatan-jabatan publik biasanya hanya dipilih oleh segelintir petinggi partai. Pemilihan ini seringnya berjalan secara tertutup dan tak jarang memiliki watak elitis. Berpijak dari sinilah terjadi kesejajaran dalam konsep participatory budgetting. Partai adalah salah satu lembaga/institusi demokrasi ternyata menyimpan watak elitisme dalam memilih calon yang akan diusungkan. Watak elitisme dalam konsep participatory budgeting ini berusaha direduksi dengan pastisipasi langsung anggota partai. Salah satu skema partisipasi anggota untuk mereduksi ke elitisan dalam tubuh partai telah dipraktikkan yaitu dengan Pemilihan Raya partai politik. Pemira efektif untuk menampung aspirasi atau kecenderungan anggota partai. Pemira bukan menjadi alat mobilisasi namun ini juga dapat dipandang sebagai tindakan kolektif anggota. Tindakan kolektif ini berdasarkan kesadaran akan kepentingan dan kebutuhannya sendiri.
Menurut Surbakti ada lima derajat untuk mengukur partisipasi dalam pemilihan calon anggota legislatif dan eksekutif dengan melihat pada pemilihan pendahuluan terbuka, pemilihan pendahuluan tertutup, kaukus lokal, konvensi partai serta seleksi dan penetapan oleh pengurus.[14] Pemilihan pendahuluan terbuka ini masyarakat luas dilibatkan dalam memilih calon yang akan mewakili mereka dapat berbentuk survei. Pemilihan pendahuluan tertutup, ini dilakukan oleh anggota partai didalamnya untuk mewakili partai. Inilah yang dipraktikkan oleh partai dalam sistem pemira ini. Dalam pemilihan pendahuluan tertutup memang derajat inklusifnya lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan pendahuluan terbuka. Namun, pemilihan pendahuluan tertutup seperti yang dipraktikkan partai melalui Pemira derajatnya lebih  tinggi dibandingkan dengan penetapan oleh pengurus  yang cenderung memiliki watak elitis dan eksklusif.

VIII.Penutup
Partai adalah salah satu wujud dari demokrasi,  bahkan merupakan  alat atau institusi yang merepresentasikan demokrasi. Namun, yang terjadi di Indonesia partai memiliki wajah dan unsur elitis. Unsur elitis ini dapat dilihat salah satunya dari mekanisme pengusungan calon legislatif dan calon eksekutif yang akan diusung partai. Partai yang seharusnya menjadi mesin bagi demokrasi justru menjadi elitis. Untuk itu dibutuhkan partisipasi langsung dibutuhkan untuk mengikis elitisme yang ada dalam tubuh partai. Hal ini sesuai dengan nalar participatory badgetting. Karena participatory budgetting pun hadir untuk mengikis sifat elitis dalam penyusunan anggaran, logika inilah yang salah satunya dipakai dalam kajian ini.
Contoh demokrasi partisipatif dan nalar partisipatory budggeting dapat dilihat dalam sistem pemilihan raya partai politik ini.. Salah satunya adalah mekanisme pengusungan calon eksekutif dan calon legislatif yang disebut dengan Pemira. Walaupun masih terdapat kekurangan dalam hasil penerapan sistem Pemira ini, namun setidaknya kita dapat melihat upaya perbaikan. Perbaikan untuk sifat elitis dan menumbuhkan partisipasi yang bottom up sharing system secara menyeluruh, transparan dan terbuka dalam menentukan calon presiden atau calon legislator atau calon kepala daerah yang akan diusung dalam tubuh partai.
Sudah saatnya membicarakan lebih serius demokrasi partisipatoris dalam tubuh partai politik. Partai Politik di Indonesia harus keluar dalam jurang oligarki dan elit partai. Wacana mengenai demokrasi partisipatoris dalam partai politik harus dapat dilembagakan bahkan sampai tingkat Undang-undang Partai Politik. Partisipasi akar rumput kader partai akan membuat kader partai memiliki rasa  kepemilikan partai yang kuat. Partisipasi yang dilakukan secara adil dan transparan juga akan membuat masyarakat lebih menghargai dan mempercayai kebijakan partai politik.





Daftar Pustaka

Almond, Gabriel dan Powel G Bingham. 2007.  A Word View Fourth Editions. London: London Press.

Budiarjo, Miriam. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Cholisin. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak.

Djohan, Djohermansyah.2005. “Masalah Krusial Pilkada”, dalam Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi (Ed), Pilkada Langsung: Pemikiran dan Peraturan. Jakarta: IIP Press.

Firmanzah. 2008. Mengelola  Partai  Politik  komunikasi  dan  Positioning  Ideologi  Politik  di  Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gatara, Sahid. 2007. Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian. Bandung: Cv Pustaka Setia.

Kompas, “Seleksi Calon Legislator”, 5 Februari 2013
Meny, Yves and Andrew Knapp. 1998. Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany.3 edition. Oxford: Oxford University Press.

Michels, Roberts. 1984. Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi. Jakarta: Rajawali.

Oliver, Dawn. 2003. Constitutional Reform in the UK. London: Oxford University Press.

Rizki. “Kisruh Perpecahan PPP dukung Prabowo atau tidak”. http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2039412/kisruh-perpecahan-ppp-dukung-prabowo-atau-tidak, diakses tanggal 4 Januari 2015

Schattscheider. 1975. The Semisovereign People: A realist’s view of democracy in America. Illinois: The Dryden Press Hinsdale.

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.





Adeng Septi Irawan
Mahasiswa yang saat ini sedang menempuh pendidikan S1 pada Program Studi Siyasah Jinayah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Alumni Klinik Etika dan Hukum Komisi Yudisial 2015, Peneliti di Unit Kegiatan Pengembangan Intelektual UIN Sunan Ampel. Memiliki bidang keahlian, khususnya hukum tata negara dan hukum pidana islam. Tulisannya tersebar di berbagai media dan jurnal hukum.





[1] Schattscheider, The Semisovereign People: A realist’s view of democracy in America, (Illinois: The Dryden Press Hinsdale, 1975), hlm 110
[2] Firmanzah, Mengelola  Partai  Politik  komunikasi  dan  Positioning  Ideologi  Politik  di  Era Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2008), hlm. 70
[3] Robert Michels, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 23
[4] Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany.3 edition, (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 86.
[5] Djohermansyah Djohan, “Masalah Krusial Pilkada”, dalam Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi (Ed), Pilkada Langsung: Pemikiran dan Peraturan, (Jakarta: IIP Press, 2005), hlm. 36-37.
[6] Yang dimaksud elitis di sini adalah para calon lebih banyak ditentukan oleh elite partai atau perlunya sebuah persetujuan dari petinggi partai politik untuk bisa menjadi calon partai yang bersangkutan
[7] Cholisin, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 113
[8] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,1992), hlm.118
[9] Gabriel Almond dan Powel G Bingham, A Word View Fourth Editions, (London:,1988), hlm.108.
[10] Sahid Gatara, Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2007), hlm. 17
[11] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 163-164
[12] Dawn Oliver, Constitutional Reform in the UK, (London: Oxford University Press, 2003), hlm. 35
[13] Rizki. Kisruh Perpecahan PPP dukung Prabowo atau tidak,” http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2039412/kisruh-perpecahan-ppp-dukung-prabowo-atau-tidak, diakses tanggal 4 januari 2015.
[14] Seleksi Calon Legislator”. Kompas, 5 Februari 2013

No comments:

Post a Comment