Abstrak
Karya tulis ini membahas
mengenai beberapa permasalahan terkait dengan peran
partai politik dalam
menentukan secara demokratis kader yang berkualitas untuk menjadi calon
kandidat dalam pemilihan presiden,
pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah. Sebagai
salah satu lembaga yang menjadi gerbang utama bagi calon pemimpin diharapkan partai
politik mampu menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik. Persoalannya, sejauh
ini dalam praktik
penentuan calon kandidat yang akan duduk pada pemerintahan,, partai politik
masih jauh dari kesan
demokratis, seperti melakukan
proses pengusungan kandidat yang bernuansa elite, rekrutmen calon yang tidak baik., penentuan calon secara sepihak. dan
tertutup. Partai politik tampaknya hanya sebatas
sebagai kendaraan
atau pemberi tiket politik saja. Akibatnya, tidak sedikit bermunculan
perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan kader partai yang kurang
berkualitas ketika menjabat dalam pemerintahan. Sejatinya, partai politik
muncul sebagai wadah bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya, apabila terjadi
kesalahan dalam penentuan calon kandidat, bisa dipastikan partai politik
melakukan penghianatan terhadap rakyat. UUD 1945 sebagai konstitusi telah
menjelaskan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Jelasnya, bahwa
partai politik yang melakukan perekrutan calon kandidat secara tidak demokratis
termasuk tindakan inkonstitusional. Pemilihan Raya dalam partai politik dirasa
mampu menjadi terobosan untuk memunculkan kader-kader berkualitas yang akan
duduk pada pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif. Karena mekanisme
Pemilihan Raya mampu memberikan ruang bagi kader partai politik untuk menjadi
calon kandidat sekaligus mengeluarkan aspirasi dalam penentuan kebijakan
partai.
Kata Kunci: demokratis, pemilihan raya,
partai politik,, calon kandidat.
Adeng Septi
Irawan,
Jurusan
Hukum Tata Negara dan Pidana Islam (Siyasah Jinayah)
Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya
085724663650
Demokratisasi Internal Partai Upaya Pemilihan
Kader Berkualitas Melalui Pemilihan Raya
Adeng Septi
Irawan,
Jurusan
Hukum Tata Negara dan Pidana Islam (Siyasah Jinayah)
Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya
Kata Kunci: demokratis, pemilihan raya,
partai politik, calon kandidat.
I. Pendahuluan
Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role)
yang penting dalam sistem demokrasi. Partai menjadi penghubung yang strategis
antara proses pemerintahan dan warga negara. Bahkan, banyak yang berpendapat
bahwa partai politiklah sebenarnya yang menentukan demokrasi, seperti pendapat
Schattscheider, “political parties created democracy”. Oleh karena itu,
Partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat derajat
pelembagaannya (the degree of institusionalization) dalam setiap sistem
politik yang demokratis. Bahkan, Schattscheider berpendapat, ”modern
democracy is unthinkable save in terms of the parties.”[1]
Sisi lain, partai politik itu sebenarnya tidak lebih dari kendaraan
politik sekelompok elit yang berkuasa atau berniat memuaskan kekuasaannya
sendiri. Partai politik hanya berfungsi sebagai alat bagi sebagian orang yang
beruntung berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah terpengaruh, untuk
memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu atau kepentingan
umum.
Partai politik merupakan salah satu bentuk pelembagaan sebagai wujud
ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam
masyarakat demokratis. Partai politik dalam hubungannya dengan kegiatan
bernegara. Peranannya sebagai media dan wahana tentulah sangat menonjol Partai
politik sangat berperan dalam proses dinamika perjuangan nilai dan kepentingan
dari konstituen yang diwakilinya untuk menentukan kebijakan dalam konteks
kegiatan bernegara. Partai politiklah yang bertindak sebagai perantara dalam
proses pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara
dengan institusi kenegaraan.
Partai politik sebagai suatu organisasi sangat berperan dalam mencetak pemimpin yang berkualitas dan berwawasan nasional. Pemimpin yang berkualitas
ini tidak hanya berorientasi pada kepentingan
partai politik yang diwakili. Ketika
menjadi
pemimpin nasional, ia otomatis menjadi
pemimpin semua orang. Pemimpin ini tidak
lahir dengan sendirinya. Perlu suatu proses
pendidikan baik yang bersifat
formal
maupun non-formal yang mampu
membentuk jiwa dan karakter pemimpin. Dalam
struktur dan sistem
politik, organisasi partai politiklah yang paling bertanggung
jawab
untuk
melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas.
Untuk dapat melakukan tugas ini, dalam tubuh organisasi partai
politik perlu dikembangkan
sistem rekrutmen, seleksi, dan kaderisasi politik. Mendapatkan sumber daya yang
baik
perlu dimulai
dari
sistem rekrutmen. Dengan adanya sistem ini, nantinya akan
dapat diseleksi kesesuaian antara karakteristik kandidat dengan sistem nilai
dan
ideologi partai
politiknya. Tentunya orang-orang yang memiliki
sistem nilai dan ideologi sama serta
memiliki potensi untuk dikembangkanlah yang perlu direkrut. Persaingan dengan partai politik lain juga terjadi untuk memperebutkan orang-orang
terbaik yang nantinya dapat
memperkuat
dan
mengembangkan organisasi partai politiknya.[2]
Menurut Robert Michels dalam bukunya, Political Parties A Sosiological
Srudy of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, disebutkan bahwa
“….organisasi….merupakan satu-satunya sarana ekonomi atau politik untuk
membentuk kemauan kolektif”.[3]
Kesempatan untuk berhasil dalam setiap perjuangan kepentingan sangat
banyak tergantung pada tingkat kebersamaan dalam organisasi. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa berorganisasi itu merupakan prasyarat mutlak bagi setiap
perjuangan politik. Dengan demikian, harus diakui peran partai politik sangat
penting dalam rangka dinamika pelembagaan demokrasi. Dengan adanya organisasi
perjuangan kepentingan bersama menjadi kuat kedudukannya dalam menghadapi pihak
lawan atau saingan.
Pada intinya, proses pelembagaan demokrasi itu sangat ditentukan oleh
pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
sistem demokrasi. Oleh karena itu, menurut Yves Meny dan Andrew Knapp,
“A Democratic System Without Political Parties or with a single party is
impossible or at any rate hard to imagine”[4]
Suatu sistem politik dengan hanya satu partai politik sulit dibayangkan
untuk disebut demokratis, apalagi jika tanpa partai politik sama sekali.
Pilkada juga sebagai ajang bagi
daerah untuk menemukan calon-calon pemimpin
daerah yang berintegritas dan bisa mengemban
amanat rakyat. Pilkada berpeluang mendorong
majunya calon kepala daerah
yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat daerah sekaligus menguatkan derajat legitimasinya. Dengan demikian,
pilkada langsung dapat
memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses
pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
Artinya, masyarakat berkesempatan untuk terlibat
mempengaruhi pembuatan kebijakan publik yang
dilakukan kepala daerah sebagaimana janjinya saat kampanye
dan ikut pula mengawasi
kepala daerah jika menyalahgunakan kekuasaan sehingga proses ini dapat memaksa kepala daerah untuk tetap memperhatikan aspirasi
rakyat.[5]
Untuk mendekatkan harapan tersebut, salah satu pintu masuknya adalah
dengan cara melihat bagaimana proses yang dilakukan oleh partai politik
dalam mengajukan calon-calon pemimpin
daerah yang akan mereka usung. Partai politik sebagaimana yang tersebut
dalam UU No. 32 Tahun 2004 kemudian
direvisi menjadi UU No
12 Tahun 2008 merupakan salah satu institusi yang bisa mengajukan calon kepala daerah dalam
pilkada. Dalam konteks ini,
proses politik yang terjadi di
internal partai politik ikut mempengaruhi
bagaimana kualitas calon kepala
daerah. Dengan demikian, partai politik memiliki posisi dan peran yang siginifikan dalam menghadirkan individu-individu berintegritas
untuk memimpin sebuah daerah.
Namun
demikian, pada praktiknya kuasa partai politik tersebut kerap menuai kritik publik.
Di antaranya, proses pengusungan kandidat kerap terlihat elitis[6], rekrutmen calon yang buruk, semaraknya
isu mengenai
keharusan menyediakan uang “perahu” atau
“mahar” politik oleh kandidat agar
memperoleh tiket pencalonan dari partai
politik, abainya partai politik pada
suara publik terhadap persoalan yang menyangkut politik kekerabatan di daerah, sampai
mengenai bagaimana partai politik bisa bekerja
dalam mengawal pengusungan kandidat sebagai sebuah mesin politik yang efektif agar tidak
sekadar menjadi pemberi tiket bagi calon yang akan maju dalam pilpres, pileg,
maupun pilkada.
Tulisan
ini
akan mengurai sejumlah persoalan terkait partai politik
sebagai salah satu pintu
masuk dalam upaya untuk menghadirkan pemimpin yang berkualitas dalam
pilpres, pileg, dan pilkada. Sekaligus mencoba memberi sejumlah
usulan pembaruan bagi partai politik dalam pergulatannya
dalam pilpes, pileg, atau pilkada
agar kualitas demokrasi semakin baik.
II.
Rekrutmen Politik
Rekrutmen politik adalah seleksi dan pengangkatan seseorang atau
kelompok untuk melaksanakan sejumlah peran dalam system politik pada umumnya
dan pemerintahan pada khususnya.[7]
Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi anggota-aggota kelompok untuk
mewakili kelompoknya dalam jabatan administratif maupun politik. Dalam
pengertian lain, rekrutmen politik merupakan fungsi penyeleksian rakyat untuk
kegiatan politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media
komunikasi, menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu
dan sebagainya.
Sistem Perekrutan Politik Terdiri dari Beberapa
Cara:
1. Seleksi pemilihan melalui ujian
2. Latihan ( training ) Kedua hal tersebut menjadi indikator utama didalam
perekrutan politik
3. Penyortiran atau penarikan undian (cara tertua yang digunakan di Yunani
kuno)
4. Rotasi memiliki tujuan mencegah terjadinya dominasi jabatan dari
kelompok-kelompok yang berkuasa maka perlu adanya pergantian secara periode
dalam jabatan-jabatan politik.
5. Perebutan kekuasaan dengan menggunakan atau mengancam dengan kekerasan.Cara
ini tidak patut dicontoh karena untuk menjadi seorang pemimpin tidaklah harus
melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji karena kita telah dididik dengan baik
dan harus menerapkan teknik-teknik yang baik pula dalam berpolitik.
6. Petronag artinya suatu jabatan dapat dibeli dengan mudah melalui
relasi-relasi terdekat. Petronag masih memiliki keterkaitanya dengan budaya
korupsi.
7. Koopsi ( pemilihan anggota-anggota baru ) artinya memasukan orang-orang
atau anggota baru untuk menciptakan pemikiran yang baru sehingga membawa suatu
partai pada visi dan misi yang ditujunya.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam berbagai tingkatan baik itu pusat,
Provinsi maupun
Kabupaten/Kota
merupakan
lembaga
negara yang
memiliki peranan penting dalam mengawal serta menjalankan proses demokratisasi dan
proses penyelenggaraan ketatanegaraan.
Lembaga legislatif memiliki tiga fungsi,
yaitu fungsi legislasi, untuk membentuk Undang-undang, fungsi Budgeting untuk
menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja baik negara maupun daerah, dan
fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan agar menjamin
terwujudnya hak-hak konstitusional warga negara sehingga prinsip checks and balances dalam sistem yang demokratis dan konstitusional
senantiasa dapat
terjaga.
Begitu pentingnya peran
anggota legislatif bagi keberlangsungan iklim
demokrasi di negara kita membuat proses rekrutmen dari anggota legislatif ini turut menjadi
penting karena baik
buruknya anggota legislatif yang duduk di parlemen akan ditentukan
oleh proses rekrutmen yang terjadi di internal partai. Partai politik memainkan peranan penting
dalam proses
rekrutmen Calon anggota
legislatif (Caleg) yang nantinya akan duduk di parlemen karena rekrutmen Politik merupakan
salah satu fungsi dari keberadaan partai poltik. Ada berbagai cara yang dilakukan
oleh
partai politik untuk menjalankan fungsinya dalam melakukan rekrutmen politik. Ada yang melakukan rekrutmen politik
dengan cara
memasang iklan terbuka dengan
berbagai media layaknya sebuah perusahaan yang sedang membuka
lowongan kerja cara ini mulai banyak digunakan oleh partai politik untuk menjaring Caleg dari luar
partai.
Pemerintah
merupakan lembaga eksekutif yang bertugas menjalankan roda pemerintahan.
Presiden yang dipilih melalui Pilpres bertugas memimpin pemerintahan negara.
Sedangkan Kepala daerah yang dipilih melalui Pilkada berfungsi memimpin
pemerintahan daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Peran yang
begitu penting dari Presiden dan Kepala Daerah yang menentukan keberhasilan
suatu negara atau daerah. Maka disini perlunya sistem perekrutan presiden atau
kepala daerah yang demokratis dan transparan. Mekanisme pemilihan tersebut
dilakukan oleh partai politik. Sehingga disini perlu peran partai politik yang
benar-benar selektif dalam memilih kader yang berkualitas dan berintegritas.
Salah satu ahli yang pernah memberikan penjelasan mengenai rekrutmen
politik
adalah Ramlan
Surbakti
yang menyoroti
rekrutmen politik sebagai
seleksi dan pemilihan atau seleksi
dan
pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk
melaksanakan
sejumlah peranan dalam sistem
politik pada
umumnya
dan pemerintah pada khususnya.[8] Berkenaan dengan
prosedur
rekrutmen politik menurut Gabriel Almond dan Bingham Powell
terbagi dalam dua bentuk pelaksanaan, yaitu:[9]
1.
Prosedur
tertutup (Closed Recruitment Process)
adalah sistem rekrutmen partai yang ditentukan oleh elit partai, mengenai siapa saja yang dicalonkan sebagai
anggota legislatif maupun pejabat eksekutif
2.
Prosedur terbuka (Open Recruitment Process) adalah proses dimana nama- nama calon yang diajukan, diumumkan secara terbuka
dalam
bentuk
kompetisi yang murni dan transparan.
Selanjutnya berkaitan dengan sifat proses rekrutmen politik menurut Sahid Gatara yaitu:[10]
1.
Top-down artinya proses rekrutmen politik yang berasal dari atas atau orang-
orang yang sedang menjabat. Contoh dari sifat ini
adalah penunjukkan pribadi dan seleksi pengangkatan.
2.
Bottom-up artinya proses rekrutmen politik berasal dari masyarakat bawah seperti
proses mendaftarkan diri dari
individu-individu untuk menduduki
jabatan. Contoh sifat ini adalah individu-individu melamar pada partai politik
untuk maju sebagai
kandidat anggota legislatif maupun calon kepala daerah.
3.
Bersifat campuran artinya proses seleksi yang memadukan antara model top- down dan bottom-up.
Contoh sifat ini adalah pada proses pemilihan umum
baik pemilihan umum legislatif maupun eksekutif
III. Fungsi
Partai Politik
Pada umumnya
ilmuwan politik biasa mngambarkan adanya empat fungsi partai politik. Keempat
fungsi politik itu menurut Miriam Budiarjo meliputi sarana:[11]
(i) Komunikasi Politik; (ii) Sosialisasi Politik; (iii) Rekrutmen Politik; (iv)
Pengatur Konflik. Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai
politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi (ii) sarana memberikan
pengaruh terhadap perilaku memilih (iii) sarana rekrutmen politik (iv) sarana
laborasi pilihan-pilihan kebijakan. Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait
satu dengan yang lainnya. Fungsi pertama sebagai sarana komunikasi politik,
partai berperan penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan yang terdapat
dalam masyarakat
Terkait
dengan komunikasi politik, partai politik juga berperan dalam melakukan fungsi
kedua yaitu sosialisasi politik. Ide, visi, dan kebijakan strategis yang
menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan pada konstituen untuk
mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat. Fungsi ketiga partai
politik adalah sarana rekrutmen politik. Partai dibentuk dimaksudkan agar
menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada
jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih
secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara-cara tidak
langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat atau melalui cara tidak langsung
lainnya. Guna pengisian jabatan atau rekrutmen pejabat negara partai politik
dapat berperan.
Fungsi
keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat.
Nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang tumbuh di masyarakat sangatlah
beragam, rumit, dan cenderung saling bersaing satu sama lain. Jika partai
politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat
disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi,
program, dan alternatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain.
IV. Selayang
Pandang Partai Politik
Partai
politik selain memiliki kelebihan juga memiliki berbagai kekurangan,
diantaranya: bahwa oraganisasi cenderung bersifat oligarkis, partai politik
kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat,
akan tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingannya
sendiri. Untuk mengatasi berbagai potensi buruk partai politik seperti diatas,
diperlukan beberapa mekanisme penunjang.
Pertama,
mekanisme internal yang menjamin demokratisasi melalui partisipasi anggota
partai politik itu sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Pengaturan
mengenai hal itu sangat penting dirumuskan secara tertulis dalam anggaran dasar
dan anggaran rumah tangga patai politik yang bersangkutan yang ditardisikan
dalam rangka rule of law.
Disamping
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, sesuai tuntutan perkembangan perlu
diperkenalkan pula sistem kode etika positif yang dituangkan sebagai kode etik
yang dijamin tegaknya melalui dewan kehormatan yang efektif. Dengan begitu, di
dalam dinamika internal organisasi partai, berlaku tiga dokumen sekaligus,
yaitu Code of Law yang tertuang dalam anggaran dasar, Code of Conduct
yang tertuang dslam anggaran rumah tangga, dan Code of Ethics dalam
dokumen tersendiri. Dengan demikian, norma hukum, norma moral, dan norma etika
diharapkan dapat berfungsi efektif membangun kultur internal setiap partai
politik.. Aturan-aturan yang dituangkan diatas kertas, juga ditegakkan secara
nyata dalam praktik, sehingga prinsip Rule of Law dan Rule of Ethics
dapat sungguh-sungguh diwujudkan mulai dari kalangan internal partai politik
sebagai sumber kader kepemimpinan negara.
Dalam ketiga
kode normatif tersebut tersedia berbagai prosedur kerja pengurus dan
hubungannya dengan anggota, pengaturan-pengaturan lembaga internal, mekanisme
hubungan lembaga-lembaga, serta mekanisme penyelesaian konflik yang elegan dan
dapat dijadikan pegangan bersama. Dengan begitu setiap perbedaan pendapat dapat
disalurkan secara baik dan konflik dapat diatasi agar tidak membawa kepada
perpecahan yang tidak demokratis dan biasanya kurang beradab.
Kedua,
mekanisme keterbukaan partai dimana warga masyarakat di luar partai dapat ikut
serta berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang hendak diperjuangkan
melalui dan oleh partai politik. Sehingga, diperlukan perubahan paradigma dalam
cara memahami partai dan kegiatan berpartai. Menjadi pengurus bukanlah
segalanya. Namun , yang terpenting menjadi wakil rakyat. Akan tetapi, jika yang
menjadi faktor penentu adalah terpilih tidaknya seseorang menjadi wakil rakyat,
setiap orang tentu akan berlomba-lomba menjadi pengurus dan bahkan untuk
menjadi pimpinan puncak partai politik. Akibatnya, menjadi pengurus dianggap
sebuah keharusan dan kelak dapat sekaligus menjadi wakil rakyat, dan untuk
selanjutnya partai politik hanya dapat berfungsi sebagai kendaraan bagi
individu para pengurusnya untuk terus mempertahankan posisi sebagai wakil
rakyat dan untuk meraih jabatan-jabatan public lainnya.
Kepengurusan
partai politik di masa akan datang alangkah baiknya diarahkan untuk menjadi
pengelola yang professional yang terpisah dan dipisahkan dari para calon wakil
rakyat. Mungkin ada baiknya untuk dipikirkan bahwa kepengurusan partai politik
dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu: (i) komponen kader wakil rakyat; (ii)
Komponen pejabat eksekutif; (iii) komponen pengelola professional. Ketiganya
diatur dalam struktur yang terpisah dan tidak boleh ada rangkap jabatan dan
pilihan jalur. Pola rekrutmen dan promosi diharuskan mengikuti jalur yang sudah
ditentukan dalam salah satu dari ketiga jalur tersebut. Jika sesorang berminat
untuk menjadi anggota DPRD atau DPR ia diberikan kesempatan sejak awal untuk
menjadi anggota Dewan Perwakilan Partai atau yang dapat disebut dengan nama
lainya yang disediakan tersendiri strukturnya dalam kepengurusan partai.
Sementara itu, kader yang berminat di lembaga eksekutif duduk dalam Dewan
Kabinet atau yang disebut dengan nama lain. Di luar kedua struktur itu adalah
struktur kepengurusan biasa yang dijabat oleh professional, digaji oleh partai,
dan tidak dimaksudkan untuk direkrut menjadi wakil rakyat atau untuk
dipromosikan menduduki jabatan eksekutif. Ketiga kelompok pengurus tersebut
hendaknya jangan dicampur atau terlalu mudah berpindah posisi dan jalur.
Kalaupun ada seseorang yang ingin pindah jalur karena alasan yang rasional. Hal
itu dapat dimungkinkan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. sehingga tidak
justru menjadi stimulus bagi kaum-kaum opportune yang akan merusak kultur
demokrasi dan rule of law dalam partai.
Guna
mendorong agar mekanisme kepengurusan dan pengelolaan partai menjadi makin
baik, pengaturannya perlu dituangkan dalam undang-undang. Hal itu tidak cukup
hanya diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang
bersangkutan. Mekanisme pertama dan kedua tersebut berkaitan dengan aspek
internal organisasi partai politik.
Ketiga,
penyelenggaraan negara yang baik dengan makin meniningkatnya kualitas pelayanan
publik, serta keterbukaan dan akuntabilitas organisasi kekuasaan dalam kegiatan
penyelenggaraan negara. Sehingga iklim politik dengan sendirinya akan tumbuh
sehat bagi partai.
Keempat,
berkembangnya pers bebas yang semakin profesional dan mendidik. Kelima, Kuatnya
jaminan kebebasan berpikir dan berekspresi, serta kebebasan untuk berkumpul dan
berorganisasi secara damai. Dalam sistem Representative Democracy.
partisipasi rakyat yang berdaulat terutama disalurkan melalui pemungutan suara
untuk membentuk lembaga perwakilan. Mekanisme perwakilan ini dianggap efektif
untuk maksud menjamin keterwakilan aspirasi atau kepentingan rakyat. Oleh
karena itu, dalam sistem perwakilan, kedudukan, dan peranan partai politik
sangatlah dominan.[12]
V.
Kasus Internal Partai Politik
Hal ini dapat dilihat dari beberapa
kejadian internal politik yang rapuh karena kader tidak dilibatkan dalam mekanisme pengusungan calon presiden atau calon kepala daerah. Contohnya pada tingkat nasional PPP dimana ketika Surya Dharma Ali secara sepihak memberikan dukungan kepada Prabowo bahkan sebelum pileg terjadi. Hal itu membuat perpecahan di tubuh PPP dari Pra Pileg dan pasca pileg belum juga usai.[13]
Kemudian Golkar, dimana para kader senior golkar menganggap Abu Rizal Bakrie terlalu egois dan terburu-buru dalam menambatkan dukungan kepada
Prabowo. Perpecahan di
tubuh Golkar dapat terlihat dari pembangkangan beberapa kadernya yang bahkan akhirnya bergabung
kepada tubuh Jokowi misal Luhut Pandjaitan, Nudirman Munir, dll.
Bahkan pasca pilpres keretakan di tubuh
Golkar semakin kentara dengan adanya Munas tandingan.
Kemudian juga terdapat kasus di daerah seperti di Jawa Tengah ketika publik
dikagetkan dengan pemilihan Ganjar Pranowo yang diusung PDIP pada pemilihan
Gubernur Jawa Tengah.
Ada
juga
kasus Sumatera Utara pada partai Demokrat dimana justru terjadi persaingan antar elit demokrat antara
Sutan
Bhato Ghana dan Ruhut sitompul
dalam memperebutkan kursi pencalonan dari partai demokrat, ironisnya kader kader grassroot Demokrat tidak dilibatkan. Beberapa
kasus diatas adalah
sebagian dari
begitu banyaknya ketidakberesan mekanisme
partai politik dalam mengajukan calon yang akan
diusung untuk menempati jabatan-jabatan publik. Hal ini tentunya perlu diperbaiki demi kehidupan demokrasi yang lebih partisipatif. Oleh karena itu, perlu menegaskan
kembali pentingnya perbaikan mekanisme pengusungan atau pemberian dukungan partai
politik pada demokrasi yang jika
dihubungkan dengan representasi hal ini semacam
mencari basis representasi dari sebuah tokoh agar diusung tidak hanya elitis namun partisipatif.
VI.
Tahapan Sistem Pemilihan Raya
Partai Politik
Sebelum membahas lebih jauh mengenai Pemilihan Raya, sangatlah penting
untuk memahami tentang Majelis Syuro. Majelis
syuro adalah organ tertinggi dalam tubuh Partai
yang bersifat tetap dan memiliki fungsi menentukan keputusan-keputusan strategis partai. Adapun Majelis
Syuro ada yang
berkedudukan di tingkat pusat dan daerah. Majelis Syuro
di tingkat
pusat terdiri dari beberapa orang. Anggota majelis syuro pusat tersebut dipilih oleh kader yang ada di tingkat daerah. Kuota anggota majelis
syuro dari setiap daerah tergantung dari banyaknya jumlah
kader
di daerah tersebut. Mekanisme yang tidak jauh berbeda juga diterapkan untuk
membentuk majelis syuro di tingkat daerah. Dimana pemilihan anggota majelis syuro daerah dilakukan dari
setiap kabupaten/kota di setiap provinsi.
Adapula dalam hal Majelis Syuro menentukan kandidat yang akan diusung,
Majelis Syuro akan melakukan musyawarah. Pada musyawarah ini hal-hal penting yang menjadi pertimbangan adalah, pertama, kapasitas, track record, jaringan, dan visi misi bakal calon. Kedua, elektabilitas bakal calon. Perolehan data elektabilitas ini dilakukan dengan
melakukan survei elektabilitas bakal calon di kalangan masyarakat. Survei ini sendiri
dapat dilakukan oleh tim partai
politik itu sendiri atau menggunakan jasa lembaga survey profesional.
Kemudian, Ketiga, pemilihan internal kader.
Namun pemilihan di internal kader ini hanya dilakukan oleh kader pada tingkatan tertentu yang jumlahnya
tidak terlalu banyak, terutama di tingkat daerah. Pemilihan yang
hanya diikuti kader tingkatan tertentu ini ditentukan dengan pertimbangan kader
tersebut dianggap telah dapat memilih preferensi kandidat secara baik. Kader ini
juga
dinilai telah cukup memiliki loyalitas kepada partai. Sehingga diharapkan pilihan dari tingkat internal
ini adalah hasil yang terbaik dari kader untuk partai. pemilihan internal kader memiliki porsi yang sangat besar, yaitu
50%, sehingga hasil preferensi kader akan menjadi pertimbangan yang serius dalam
musyawarah.
Mekanime dan
tahapan Pemilihan Raya Kader Partai Politik:
Pertama, setiap DPW Partai
politik (Dewan Pimpinan Wilayah/pengurus tingkat provinsi) diberikan pengarahan mengenai rencana pelaksanaan Pemilihan Raya partai politik. DPW Partai kemudian ditugaskan untuk membentuk komisi
pemilihan internal yang bertanggung
jawab menyelenggarakan Pemilihan Raya partai ini. Komisi pemilihan
ini bersifat adhoc
atau sementara.
Kedua, setiap DPW Partai dipersilahkan untuk menyetorkan lima nama kader internal
baik di tingkat daerah maupun nasional, yang memenuhi kriteria dan dianggap layak
untuk dicalonkan sebagai calon presiden. Nama-nama tersebut diberikan kepada DPP bagian Lembaga Pelaksana Penokohan Kader (LPPK). Kemudian LPPK akan
melakukan verifikasi terhadap nama-nama tersebut. Hasil verifikasi tersebut
kemudian di umumkan. Bagi calon peserta Pemilihan
Raya yang tidak bersedia mengikuti proses pemilihan, dipersilakan untuk mengajukan pengunduran diri dari proses pencalonan
Pemilihan Raya. Perlu
diketahui bahwa nama-nama yang
muncul hanyalah nama-nama yang
diusulkan dari DPW. Sehingga tidak
diperkenankan
seorang kader
mengajukan dirinya sendiri.
Ketiga, LPPK akan mengumumkan nama-nama
yang resmi menjadi calon. LPPK mempersilakan para calon untuk melakukan kampanye maupun
sosialisasi kepada kader-kader
lain
di tingkat daerah.
Keempat, komisi pemilihan di tingkah daerah akan
menyiapkan
Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilihan
Raya Partai. DPT terdiri dari para kader yang terdiri dari berbagai tingkat, mulai dari tingkat bawah hingga atas. Sehingga pelaksanaan Pemilihan Raya kali ini tidak lagi ada
pembatasan tingkatan
kader.
Komisi pemilihan kemudian memberikan pemberitahuan dan undangan kepada kader tentang tanggal, tempat, dan mekanisme Pemilihan Pemira
(Pemilihan Raya) Partai. Hal tersebut dilakukan melalui undangan tertulis, email, sms, ataupun pemaparan langsung
ditengah agenda-agenda rutin Partai.
Kelima, kader-kader Partai akan melakukan pencoblosan pada
hari yang telah
ditetapkan secara serentak di Indonesia. Tempat Pemungutan Suara (TPS) umumnya berada di DPC (kantor Partai
di tingkat kecamatan). Namun hal ini berlaku fleksibel, apabila dalam kecamatan tersebut jumlah kader tidak
begitu banyak, maka dimungkinkan TPS dari berbagai kecamatan untuk digabung. Para
pemilih diperkenankan untuk mencoblos maksimal lima nama
Keenam, hasil pencoblosan kemudian akan dihitung
di masing-masing TPS. Kemudian akan direkapitulasi di
tingkat DPD, DPW hingga DPP. Penghitungan dan rekapitulasi dilakukan secara transparan dan terbuka. Ketujuh, hasil rekapitulasi di tingkat nasional akan diumumkan kepada
publik selambat-lambatnya satu bulan setelah pelaksanaan Pemira Partai. Tiga-lima besar nama hasil Pemira kemudian akan diberikan kepada Majelis Syuro untuk menjadi pertimbangan serius dalam penentuan
pilihan politik
Partai di Pilpres nanti. Kedelapan, nama yang diberikan kepada
Majelis Syuro kemudian akan dilakukan uji publik. Majelis syuro berhak untuk menentukan
berapa
calon yang
akan diuji publik, bisa lima calon atau bahkan hanya satu calon. Hasil akumulasi dari
Pemira Partai dan uji publik adalah dua pertimbangan yang akan dibawa dalam penentuan kandidat yang akan
di usung.
VII.Teori
Sistem Pemilihan Raya Partai Politik
Di dalam konsep demokrasi partisipatori, semua warga negara memiliki hak untuk
terlibat dalam proses pemilihan dan pembuatan keputusan politik. Tidak ada diskriminasi dalam hal berpartisipasi. Biasanya partisipasi tersebut dalam bentuk mengikuti pemilihan untuk
memilih pemimpin diantara mereka. Adanya transparansi serta akuntabilitas dalam mengikuti seluruh rangkaian pemilihan hingga pembuatan keputusan adalah
salah satu kunci dari konsep
demokrasi partisipatory ini. Jika dikaitkan dengan Pemilihan
Raya Partai, secara
konsep Pemira partai sudah baik dan kompatibel dalam melakukan pemilihan di dalam
internalnya, Partai politik mencoba meminimalisir elitism dan oligarki yang
selama ini banyak terjadi dalam praktek Pemilu, baik eksekutif maupun
legislatif.
Logika demokrasi partisipatori ini diterapkan dalam Pemira Partai yang
menyelenggarakan pemilu di dalam tubuh partai. Pelaksanaan Pemira
partai yang
dilakukan secara Langsung,
Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (luber jurdil) patut diapresiasi. Melalui Pemira, partai mencoba melakukan pemilihan calon presiden yang nantinya akan diusung
oleh partai pada Pilpres, pemilihan calon legislator yang akan
diusung dalam Pileg, dan pemilihan calon kepala daerah yang akan diusung dalam
Pilkada. Adanya proses pencalonan yang bottom up sharing
system, dimana mensyaratkan dilakukannya
pemilihan
melalui musyawarah dari
tingkat bawah
dimulai dari DPC, DPD,
dan DPW untuk memilih kader yang
kompatibel untuk dicalonkan. Adanya kesempatan untuk kader-kader yang
lain memilih kader yang
sesuai dengan keinginan mereka melalui pemilihan merupakan bentuk praktek
dari
demokrasi partisipatif.
sistem ini mencoba meminimalisir elitisme yang
selama ni terjadi di banyak praktek Pemilu baik eksekutif maupun legislatif. Pemira
partai ini adalah bentuk konkret dari
pelembagaan partisipasi akar rumput terhadap kebijakan
strategis partai.
Dalam
partisipatory budgetting,
anggaran
dibahas secara
partisipatif melibatkan masyarakat. Hal ini terjadi karena pada
sejarahnya soal anggaran selalu dibahas secara elitis dan tersembunyi dari masyarakat. Kacamata participatory budgetting ini digunakan
untuk melihat keterlibatan anggota partai, dalam kasus ini adalah
anggota partai politik berperan dalam penentuan beberapa kebijakan partai.
Salah satu yang paling kontroversial dari kebijakan partai-partai saat ini adalah mengenai
calon legislatif
dan eksekutif yang akan diusung. Jika kebanyakan partai menggunakan skema konvensi yang masih terasa elitis. Sedangkan dalam sistem partai politik menggunakan skema
Pemilihan Raya untuk mengusung calon yang akan mewakili partai
dirasa lebih demokratis.
Pada
sekian banyak kasus yang terjadi pada
partai-partai di Indonesia pengusungan
calon-calon yang akan dimajukan untuk merebut jabatan-jabatan publik biasanya hanya
dipilih oleh segelintir petinggi partai. Pemilihan ini seringnya berjalan secara tertutup dan tak jarang
memiliki watak elitis. Berpijak dari sinilah terjadi kesejajaran dalam konsep
participatory budgetting. Partai adalah
salah
satu lembaga/institusi demokrasi ternyata
menyimpan watak elitisme
dalam memilih calon yang akan diusungkan. Watak
elitisme dalam konsep participatory budgeting ini berusaha direduksi
dengan pastisipasi langsung anggota partai. Salah satu skema partisipasi anggota untuk mereduksi ke
elitisan dalam
tubuh partai telah dipraktikkan yaitu dengan Pemilihan Raya
partai politik. Pemira efektif untuk menampung aspirasi atau kecenderungan anggota partai. Pemira
bukan menjadi alat
mobilisasi namun ini juga
dapat dipandang sebagai tindakan kolektif
anggota. Tindakan kolektif ini berdasarkan kesadaran akan
kepentingan
dan
kebutuhannya sendiri.
Menurut
Surbakti ada
lima
derajat untuk mengukur partisipasi dalam pemilihan calon anggota legislatif dan eksekutif dengan melihat pada
pemilihan pendahuluan
terbuka, pemilihan pendahuluan
tertutup, kaukus lokal, konvensi partai serta seleksi dan
penetapan oleh pengurus.[14] Pemilihan pendahuluan
terbuka ini masyarakat luas dilibatkan
dalam memilih calon yang
akan mewakili mereka dapat berbentuk survei. Pemilihan pendahuluan
tertutup, ini dilakukan oleh anggota partai didalamnya untuk mewakili partai. Inilah yang dipraktikkan oleh partai
dalam sistem pemira ini. Dalam pemilihan pendahuluan tertutup memang
derajat inklusifnya lebih rendah dibandingkan dengan pemilihan pendahuluan
terbuka. Namun, pemilihan pendahuluan tertutup seperti yang
dipraktikkan partai
melalui
Pemira derajatnya lebih
tinggi dibandingkan dengan penetapan oleh pengurus yang
cenderung memiliki watak
elitis dan
eksklusif.
VIII.Penutup
Partai adalah salah satu wujud dari demokrasi, bahkan merupakan alat atau
institusi yang merepresentasikan demokrasi. Namun, yang terjadi di Indonesia partai
memiliki wajah dan unsur elitis. Unsur elitis ini dapat dilihat salah satunya dari mekanisme pengusungan calon legislatif dan calon eksekutif yang akan diusung partai.
Partai yang seharusnya menjadi mesin bagi demokrasi justru menjadi elitis. Untuk itu dibutuhkan partisipasi langsung dibutuhkan untuk mengikis elitisme yang ada dalam tubuh partai. Hal ini sesuai dengan nalar participatory badgetting. Karena participatory
budgetting pun hadir untuk mengikis sifat elitis dalam penyusunan anggaran, logika inilah yang salah satunya dipakai dalam
kajian ini.
Contoh demokrasi partisipatif dan nalar partisipatory
budggeting dapat dilihat
dalam sistem pemilihan raya partai politik ini.. Salah satunya adalah mekanisme pengusungan calon eksekutif
dan calon legislatif yang disebut dengan Pemira. Walaupun masih terdapat kekurangan dalam
hasil penerapan sistem Pemira ini, namun setidaknya kita dapat melihat upaya perbaikan.
Perbaikan untuk sifat elitis
dan menumbuhkan partisipasi yang bottom
up sharing system secara menyeluruh, transparan dan terbuka
dalam menentukan calon presiden atau calon
legislator atau calon kepala daerah yang akan
diusung dalam
tubuh partai.
Sudah saatnya
membicarakan lebih serius demokrasi partisipatoris dalam
tubuh partai politik. Partai Politik di Indonesia harus keluar dalam jurang oligarki dan elit
partai. Wacana mengenai demokrasi partisipatoris dalam partai politik harus dapat dilembagakan bahkan sampai tingkat Undang-undang Partai Politik. Partisipasi akar rumput
kader partai akan membuat kader partai memiliki rasa kepemilikan partai yang kuat. Partisipasi yang dilakukan secara adil dan transparan juga akan membuat
masyarakat
lebih
menghargai
dan mempercayai kebijakan
partai politik.
Daftar
Pustaka
Almond, Gabriel dan Powel G Bingham. 2007.
A Word View Fourth Editions. London: London Press.
Budiarjo, Miriam. 1992.
Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Cholisin. 2007. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Yogyakarta: Ombak.
Djohan, Djohermansyah.2005. “Masalah Krusial Pilkada”, dalam Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi (Ed), Pilkada
Langsung: Pemikiran dan Peraturan.
Jakarta: IIP Press.
Firmanzah. 2008. Mengelola
Partai
Politik
komunikasi
dan Positioning
Ideologi
Politik di
Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Gatara,
Sahid. 2007. Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian. Bandung: Cv Pustaka Setia.
Kompas, “Seleksi Calon Legislator”, 5 Februari 2013
Meny, Yves and Andrew
Knapp. 1998. Government and Politics in Western Europe: Britain, France,
Italy, Germany.3 edition. Oxford: Oxford University Press.
Michels, Roberts. 1984.
Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi. Jakarta:
Rajawali.
Oliver, Dawn. 2003. Constitutional
Reform in the UK. London: Oxford University Press.
Rizki. “Kisruh Perpecahan PPP dukung Prabowo atau tidak”. http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2039412/kisruh-perpecahan-ppp-dukung-prabowo-atau-tidak,
diakses tanggal 4 Januari 2015
Schattscheider. 1975. The
Semisovereign People: A realist’s view of democracy in America. Illinois:
The Dryden Press Hinsdale.
Surbakti, Ramlan.
1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Adeng Septi
Irawan
Mahasiswa yang saat ini sedang menempuh pendidikan S1 pada
Program Studi Siyasah Jinayah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel Surabaya, Alumni Klinik Etika dan Hukum Komisi Yudisial
2015, Peneliti di Unit Kegiatan Pengembangan Intelektual UIN Sunan Ampel.
Memiliki bidang keahlian, khususnya hukum tata negara dan hukum pidana islam.
Tulisannya tersebar di berbagai media dan jurnal hukum.
[1] Schattscheider, The Semisovereign People:
A realist’s view of democracy in America, (Illinois: The Dryden Press
Hinsdale, 1975), hlm 110
[2] Firmanzah, Mengelola Partai Politik komunikasi dan
Positioning Ideologi Politik
di Era Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2008), hlm. 70
[3] Robert Michels, Partai Politik:
Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 23
[4] Yves Meny and Andrew Knapp, Government
and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany.3 edition,
(Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 86.
[5] Djohermansyah Djohan, “Masalah Krusial
Pilkada”, dalam Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi (Ed), Pilkada
Langsung: Pemikiran dan Peraturan, (Jakarta: IIP Press, 2005), hlm. 36-37.
[6] Yang
dimaksud elitis di sini adalah para calon lebih banyak ditentukan oleh elite
partai atau perlunya sebuah persetujuan dari
petinggi partai politik untuk bisa
menjadi calon partai yang
bersangkutan
[7] Cholisin, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
(Yogyakarta: Ombak, 2007), hlm. 113
[8] Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,1992), hlm.118
[10] Sahid Gatara, Sosiologi Politik: Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2007), hlm. 17
[11] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 163-164
[12] Dawn Oliver, Constitutional Reform in the
UK, (London: Oxford University Press, 2003), hlm. 35
[13] Rizki. ”Kisruh Perpecahan PPP dukung Prabowo atau tidak,” http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2039412/kisruh-perpecahan-ppp-dukung-prabowo-atau-tidak,
diakses tanggal 4 januari 2015.
No comments:
Post a Comment