NOTA PEMBELAAN
No. Reg Perkara 172/Pid.B/10/2015
Atas Nama Terdakwa
Deni Septa
Kepada
Yth.
Majelis
Hakim Pemeriksa Perkara A Quo
Yang
bertanda tangan di bawah ini:
1. Risky
Permatasari S.H.I, M.H
Kesemuanya
adalah advokat pada kantor pengacara Risky
Permatasari & Rekan, yang berkantor di
Jln. Tunjungan No. 74 Surabaya, dalam hal ini berdasarkan surat Kuasa Khusus
tanggal ……………………………2015 bertindak sebagai Penasehat Hukum untuk dan atas nama terdakwa:
Nama
|
:
|
Deni Septa
|
Tempat Lahir
|
:
|
Surabaya
|
Umur/Tanggal Lahir
|
:
|
33 Tahun/12 Juni 1982
|
Jenis Kelamin
|
:
|
Laki-laki
|
Kebangsaan
|
;
|
Indonesia
|
Tempat Tinggal
|
:
|
Jl. Prambanan No. 41
Wonocolo Surabaya
|
Agama
|
:
|
Kristen Protestan
|
Pendidikan
|
:
|
SMA
|
Pekerjaan
|
:
|
Pegawai Telkom
|
Dalam perkara ini Terdakwa didakwa
dengan dakwaan yang berbentuk Subsidair- Kumulatif, dengan uraian sebagai
berikut:
KESATU
Primair
|
:
|
Pasal 340 jo Pasal 65
ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
|
Subsidair
|
:
|
Pasal 338 jo. Pasal 65
ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
|
DAN
KEDUA
Pasal
181 jo pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Setelah
membaca dan mempelajari surat dakwaan dan juga surat Tuntutan yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum, maka kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa, sesuai
dengan ketentuan pasal 182 ayat (1) huruf b Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), akan mengajukan nota pembelaan dengan resume sebagai berikut:
Dakwaan Pertama
Primair
1. Unsur “Barangsiapa”
Dalam
surat tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum dalam membuktikan unsur “barangsiapa”
hanya dengan argumentasi bahwa Terdakwa Deni Sapto bin Kasmaran dalam
persidangan dalam keadaan sehat dan tidak ada satupun alasan yang ditemukan
dalam diri terdakwa untuk meniadakan atau menghapuskan kesalahan Terdakwa.
Tentunya argumentasi seperti ini kurang pantas untuk disampaikann dalam
pengadilan untuk membuktikan unsure dalam suatu tindak pidana. Tentunya Jaksa
penuntut Umum sebagai Seorang sarjana Hukum, dapat memikirkan argumentasi yang
lebih cerdas untuk membuktikan unsure tersebut.
Berdasarkan
pasal 340 KUHP, unsure “barangsiapa” bukan merupakan delik inti, tetapi hanya
sebagai elemen delik yang menunjukkan subjek hukum yang didakwa melakukan
tindak pidana yang pembuktiannya bergantung kepada pembuktian unsure delik
lainnya.
Berdasarkan
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 951-K/Pid/1982 tertanggal 10
Agustus 1983 dengan nama Terdakwa Yojiro Kitajima, yang antara lain menerangkan
bahwa unsure “barangsiapa” hanya merupakan kata ganti orang di mana unsure ini
harus mempeunyai makna jika dikaitkan dengan unsure-unsur pidana lainnya. Oleh
karena itu, haruslah unsure “barangsiapa” dibuktikan dengan unsure-unsur delik
lainnya dalam delik yang didakwakan.
Dengan
demikian, hadirnya terdakwa dalam persidangan tidaklah berarti unsure
“barangsiapa” langsung terbukti, tanpa pembuktiannya juga unsure-unsur delik
lainnya. Setelah terbukti unsur-unsur lainnya barulah Jaksa Penuntut Umum dapat
menyatakan bahwa unsure “barangsiapa” telah terbukti.
Dengan
demikian unsure “barangsiapa” TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
2. Unsur “Dengan Sengaja dan
Direncanakan Terlebih Dahulu”
Unsur
kesengajaan dalam rumusan tindak pidana merupakan salah satu unsure yang
terpenting, berkaitan dengan unsure kesengajaan ini, maka apabila dalam rumusan
tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut opzettelijk, maka usnur kesengajaan ini
meliputi semua unsure lain yang dibelakngnya harus dibuktikan.
Maka
berkaitan dengan pembuktian bahwa yang dilakukannya itu dilakukan
“dengansengaja” terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau menurut
MvT (Memorie van Toelechting) bisa
disebut dengan willens en wetens. Yang
dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan
“dengansengaja” itu haruslah memenuhi unsure
wettens yaitu harus mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Jika
dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel, maka dapat
dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai “dengan sengaja” adalah kehendak membuat
suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari
perbuatannya tersebut yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu. Maka
pembuktian adanya unsure kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar
hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku
hanya diakitkan dengan keadaan serta tinmdakan si pelaku pada waktu ia
melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Mengenai
unsure “direncanakan terlebih dahulu” dalam KUHP sendiri tidak ada penjelasan
tentang apa yang dimaksud sebagai direncanakan terlebih dahulu. Namun,
penjelasan tentang unsure direncanakan terlebih dahulu dapat dilihat dalam MvT
(Memorie van Toelechting) yang
menyatakan bahwa istilah voorbedachte
rade atau “dengan rencana terlebih dahulu’ menunjuk pada suatu saat untuk
menimbang dengan tenang. Istilah tersebut merupakan kebalikan dari pertumbuhan
kehendak yang dengan tiba-tiba. Bahwa tidak ada ketentuan berapa lamanya harus
berlaku diantara saat timbulnya maksud untuk melakukan perbuatan itu dengan
saat dilaksanakannya. Akan tetapi, nyatalah harus ada suatu antara dimana ia
dapat menggunakan pikirannya tentang guna merencanakan segala sesuatunya.
Begitu pula menurut R. Soesilo dalam bukunya Hukum Acara Pidana (Prosedur
Penyelesaian Perkara Pidana Bagi Penegak Hukum), Halaman 203, meyatakan, bahwa
saat antara timbulnya kehendak dengan pelaksanaannya tidak boleh terlalu
sempit, tetapi juga sebaliknya tidak perlu terlalu lama, yang terpenting adalah
apakah di dalam tempo itu pelaku sudah memiliki kesempatan untuk berubah pikran
dan tidak jadi melanjutkan perbuatannya.
Dalam
konteks pasal 340 KUHP untuk lebih jelasnya lagi, terkandung tiga syarat yaitu:
memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedianya waktu yang cukup sejak
timbulnya kehendak samapi dengan pelaksanaan kehendak itu, dan pelaksanaan
kehendak tersebut dalam suasana tenang. Memutuskan kehendak dalam suasana
tenang mengandung maksud bahwa memeustuskan kehendak dengan tenang. Artinya
pada saat pelaku memutuskan kehendaknya untuk membunuh, keadaan batin orang
tersebut dalam keadaan tenang. Tidak dalam keadaan tergesa-gesa, tidak dalam
keadaan terpaksa dan tidak berada dalam keadaan emosi tinggi. Maka dari itu
kehendak yang diputuskan oleh pelaku merupakan kehendak yang dilakukan dalam
suasana batin yang tenang.
Tersedianya
waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak
itu. Merupakan syarat yang bersifat relative. Persolannya adalah bukan lamanya
waktu. Tersedianya waktu yang cukup mengandung pengertian bahwa tempo waktu
yang tersedia itu, pelaku masih dapat berpikir dengan tenang. Jadi persoalannya
tidak pada masalah lamanya waktu, tetapi persoalan lamanya waktu yang cukup itu
lebih mengarah pada penggunaan waktu yang tersedia itu. Artinya, apakah dalam
waktu yang tersedia itu benar-benar telah dapat untuk berpikir dengan tenang
atau tidak. Sekalipun masalah tersedianya waktu yang cukup itu tidak menunjuk
pada persoalan lamanya waktu, tetapi tersedianya waktu yang cukup tersebut,
tidak boleh menunjuk pada suatu waktu yang terlalu singkat. Sebab apabila
terlalu singkat kesempatan untuk berpikir dengan tenang tersebut mungkin tidak
terjadi.
Tidak
mungkin rasanya seseorang dapat berpikir dengan tenang dalam waktu yang
singkat, biasanya dalam waktu yang sangat singkat itu orang justru berpikir
secara tergesa-gesa, panic dan tidak terencana. Apabila waktu yng tersedia itu
tdak cukup diikuti pula dengan perasaan takut, khawatir dan sebagainya, dalam
waktu yang demikian, jelas sama sekali tidak menggambarkan suasana batin yang
tenang.
Berdasarkan
uraian tersebut dengan “dengan sengaja”. Bisa dikatakan bahwa jika ada hubungan
antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada
hubungan lahir yang merupakan hubungan sebab antara perbuatan pelaku dengan
akibat yang dilarang itu, maka hukum pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku
atas perbuatan pidananya itu. Sebab pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya
secara jelas dapat ditimpakan kepada pelaku. Tetapi jika hubungan kausal
tersebut tidak ada maka pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidananya itu
tidak dapat ditimpakan kepada pelakunya itu sehingga hukuman pidana tidak dapat
dijatuhkan kepada pelakunya.
Terkait konteks “dengan rencana
terlebih dahulu”, maka apabila pikiran-pikiran untuk membunuh tersebut dalam
keadaan marah, tidak tenang, waktu yang terlalu singkat, yang berakibat akan
berfikir secara tergesa-gesa, panik, dan tidak terencana, dan dalam suatu
suasana kejiwaan yang tidak memungkinkan untuk berfikir dengan tenang, maka
disitu tidak ada unsur perencanaan.
Dengan demikian, unsur “Dengan sengaja
dan direncanakan terlebih dahulu”, TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
3. Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang
Lain”
Yang
dimaksud dengan unsur ini adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain itu
haruslah merupakan perbuatan yang positif atau aktif walaupun dengan perbuatan
sekecil apapun. Jadi perbuatan tersebut haruslah diwujudkan secara aktif dengan
gerakan sebagian anggota tubuh. Oleh karenanya perbuatanya dapat berupa bermacam-macam
perbuatan. Dimana perbuatan tersebut berujung dengan timbulnya suatu akibat
hilangnya nyawa orang sebagai persyaratan mutlak.
Dalam unsur
“merampas nyawa orang lain” terdapat sifat obyektif dan subyektif, sifat
obyektif yaitu dilihat dari perbuatanya yang menghilangkan nyawa dengan obyek
orang lain. Sifat subyektif yaitu dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang
lain terdapat syarat-syarat yang harus dipatuhi, yaitu adanya wujud perbuatan,
adanya suatu kematian orang lain, dan adanya hubungan sebab akibat antara
perbuatan dan akibat kematian orang lain.
Terhadap unsur
ini, Saudara Penuntut Umum menyatakan Terdakwa telah merampas nyawa orang lain
yaitu korban Ronald Alimudin dan Sri Magdalena. Meskipun demikian konstruksi
hukumnya, kami selaku Penasihat Hukum berbeda pendapat dengan Penuntut Umum.Hal
ini berkaitan dengan perbuatan Terdakwa terhadap Korban yang tidak dapat
dilakukan penuntutan hukuman lagi meskipun dalam faktanya terungkap dari
keterangan terdakwa telah menghilangkan nyawa Korban, namun tanpa didukung
saksi yang mengetahui kejadian secara langsung sehingga meyebabkan potensi
terjadinya kesalahan terbuka lebar untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Dengan Demikian, Unsur
“Menghilangkan Nyawa Orang Lain”,TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
SUBSIDAIR
1.
Unsur “Barangsiapa”
Unsur “Barangsiapa” telah diuraikan
dalam analisis yuridis Dakwaan Primair diatas.
2.
Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain”
Unsur
“Menghilangkan Nyawa Orang Lain” telah diuraikan dalam analisis yuridis Dakwaan
Primair diatas.
DAKWAAN KEDUA
1.
Unsur “Setiap Orang”
Unsur
“Setiap Orang” telah diuraikan dalam analisis yuridis unsur “barangsiapa”
Dakwaan Primair diatas.
2.
Unsur “Menyembunyikan Kematian”
Untuk
membuktikan unsur ini, harus dititik-beratkan kepada maksud dari Terdakwa untuk
menyembnyikan korban, hal ini juga menunjukan bahwa Terdakwa juga harus
memiliki rencana untuk menyembunyikan mayat korban.
Seperti
yang disebutkan dalam penguraian unsur “dengan segaja dan rencana terlebih
dahulu”, istilah dengan rencana menunjuk kepada suatu saat untuk menimbang
dengan tenang, Untuk membuktikan perencanaan itu haruslah ada 3 syarat yang
diperhatikan yaitu: memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedianya waktu
yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaannya, dan
pelaksanaan kehendak tersebut dalam kondisi tenang.
Melihat
kepada kondisi psikologis Terdakwa pada saat itu yang beradadalam suasana shock,
panik dan sedang berada dalam kondisi emosi tinggi, maka sangatlah tidak
mungkin Terdakwa dapat memenuhi 3 (tiga) syarat tersebut. Sehingga sudah
tentu Terdakwa tidak memiliki rencana, ataupun maksud untuk
menyembunyikan kematian.
Oleh karena itu unsur
“Menyembunyikan Kematian Korban”, TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
Karena
terdakwa didakwa dengan dakwaan subsidair - kumulatif, maka dengan tidak
terbuktinya salah satu unsur dsalam dakwaan pertama dan/atau dakwaan kedua,
maka seluruh dakwaan yang diajukan kepada terdakwa, TIDAK TERBUKTI.
PERMOHONAN
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan
juga analisis yang telah kami paparkan, maka kami selaku Penasihat Hukum
Terdakwa dengan segala kerendahan hati kami, memohon kepada Majelis Hakim
Pemeriksa Perkara A Qou untuk menjatuhkan Putusan dengan amar sebagai
berikut:
PRIMAIR
1. Menyatakan bahwa Terdakwa Firmansyah
bin Firman Utina, tidak bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang
didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
2. Membebaskan Terdakwa Firmansyah bin
Firman Utina dari seluruh dakwaan dan tuntutan hukum.
3. Memulihkan hak terdakwa dalam hal
kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya.
4. Membebankan biaya perkara kepada
negara.
SUBSIDAIR
Apabila Majelis Hakim pemeriksa
perkara a quo berpendapat lain, maka kami memohon agar Majelis Hakim
dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono).
Demikianlah Nota Pembelaan ini kami
bacakan dan serahkan pada hari Senin, 8 Desember 2015 di Pengadilan Negeri
Surabaya.Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati dan memberikan bimbingan kepada
Majelis Hakim, agar dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya dan membawa
manfaat bagi semua pihak.
Hormat Kami,
Penasihat Hukum Terdakwa
RISKY PERMATASARI & Rekan
Risky
Permatasari S.H.I, M.H
|
No comments:
Post a Comment