Tuesday, November 20, 2018

Contah Nota Pembelaan (Pledoi) Pidana


NOTA PEMBELAAN
No. Reg Perkara 172/Pid.B/10/2015
Atas Nama Terdakwa
Deni Septa

Kepada Yth.
Majelis Hakim Pemeriksa Perkara A Quo
Yang bertanda tangan di bawah ini:
1.      Risky Permatasari S.H.I, M.H
Kesemuanya adalah advokat pada kantor pengacara Risky Permatasari & Rekan, yang berkantor di Jln. Tunjungan No. 74 Surabaya, dalam hal ini berdasarkan surat Kuasa Khusus tanggal ……………………………2015 bertindak sebagai Penasehat Hukum untuk dan atas nama terdakwa:
Nama
:
Deni Septa
Tempat Lahir
:
Surabaya
Umur/Tanggal Lahir
:
33 Tahun/12 Juni 1982
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Kebangsaan
;
Indonesia
Tempat Tinggal
:
Jl. Prambanan No. 41 Wonocolo Surabaya
Agama
:
Kristen Protestan
Pendidikan
:
SMA
Pekerjaan
:
Pegawai Telkom

            Dalam perkara ini Terdakwa didakwa dengan dakwaan yang berbentuk Subsidair- Kumulatif, dengan uraian sebagai berikut:
KESATU
Primair
:
Pasal 340 jo Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Subsidair
:
Pasal 338 jo. Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

DAN
KEDUA
Pasal 181 jo pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Setelah membaca dan mempelajari surat dakwaan dan juga surat Tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, maka kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa, sesuai dengan ketentuan pasal 182 ayat (1) huruf b Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), akan mengajukan nota pembelaan dengan resume sebagai berikut:
Dakwaan Pertama
Primair
1.      Unsur “Barangsiapa”
Dalam surat tuntutannya, Jaksa Penuntut Umum dalam membuktikan unsur “barangsiapa” hanya dengan argumentasi bahwa Terdakwa Deni Sapto bin Kasmaran dalam persidangan dalam keadaan sehat dan tidak ada satupun alasan yang ditemukan dalam diri terdakwa untuk meniadakan atau menghapuskan kesalahan Terdakwa. Tentunya argumentasi seperti ini kurang pantas untuk disampaikann dalam pengadilan untuk membuktikan unsure dalam suatu tindak pidana. Tentunya Jaksa penuntut Umum sebagai Seorang sarjana Hukum, dapat memikirkan argumentasi yang lebih cerdas untuk membuktikan unsure tersebut.
Berdasarkan pasal 340 KUHP, unsure “barangsiapa” bukan merupakan delik inti, tetapi hanya sebagai elemen delik yang menunjukkan subjek hukum yang didakwa melakukan tindak pidana yang pembuktiannya bergantung kepada pembuktian unsure delik lainnya.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 951-K/Pid/1982 tertanggal 10 Agustus 1983 dengan nama Terdakwa Yojiro Kitajima, yang antara lain menerangkan bahwa unsure “barangsiapa” hanya merupakan kata ganti orang di mana unsure ini harus mempeunyai makna jika dikaitkan dengan unsure-unsur pidana lainnya. Oleh karena itu, haruslah unsure “barangsiapa” dibuktikan dengan unsure-unsur delik lainnya dalam delik yang didakwakan.
Dengan demikian, hadirnya terdakwa dalam persidangan tidaklah berarti unsure “barangsiapa” langsung terbukti, tanpa pembuktiannya juga unsure-unsur delik lainnya. Setelah terbukti unsur-unsur lainnya barulah Jaksa Penuntut Umum dapat menyatakan bahwa unsure “barangsiapa” telah terbukti.
Dengan demikian unsure “barangsiapa” TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.



2.      Unsur “Dengan Sengaja dan Direncanakan Terlebih Dahulu”
Unsur kesengajaan dalam rumusan tindak pidana merupakan salah satu unsure yang terpenting, berkaitan dengan unsure kesengajaan ini, maka apabila dalam rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut opzettelijk, maka usnur kesengajaan ini meliputi semua unsure lain yang dibelakngnya harus dibuktikan.
Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa yang dilakukannya itu dilakukan “dengansengaja” terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau menurut MvT (Memorie van Toelechting) bisa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan “dengansengaja” itu haruslah memenuhi unsure wettens yaitu harus mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Jika dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud sebagai “dengan sengaja” adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat  dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya tersebut yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu. Maka pembuktian adanya unsure kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku hanya diakitkan dengan keadaan serta tinmdakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Mengenai unsure “direncanakan terlebih dahulu” dalam KUHP sendiri tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud sebagai direncanakan terlebih dahulu. Namun, penjelasan tentang unsure direncanakan terlebih dahulu dapat dilihat dalam MvT (Memorie van Toelechting) yang menyatakan bahwa istilah voorbedachte rade atau “dengan rencana terlebih dahulu’ menunjuk pada suatu saat untuk menimbang dengan tenang. Istilah tersebut merupakan kebalikan dari pertumbuhan kehendak yang dengan tiba-tiba. Bahwa tidak ada ketentuan berapa lamanya harus berlaku diantara saat timbulnya maksud untuk melakukan perbuatan itu dengan saat dilaksanakannya. Akan tetapi, nyatalah harus ada suatu antara dimana ia dapat menggunakan pikirannya tentang guna merencanakan segala sesuatunya. Begitu pula menurut R. Soesilo dalam bukunya Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Bagi Penegak Hukum), Halaman 203, meyatakan, bahwa saat antara timbulnya kehendak dengan pelaksanaannya tidak boleh terlalu sempit, tetapi juga sebaliknya tidak perlu terlalu lama, yang terpenting adalah apakah di dalam tempo itu pelaku sudah memiliki kesempatan untuk berubah pikran dan tidak jadi melanjutkan perbuatannya.
Dalam konteks pasal 340 KUHP untuk lebih jelasnya lagi, terkandung tiga syarat yaitu: memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedianya waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak samapi dengan pelaksanaan kehendak itu, dan pelaksanaan kehendak tersebut dalam suasana tenang. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang mengandung maksud bahwa memeustuskan kehendak dengan tenang. Artinya pada saat pelaku memutuskan kehendaknya untuk membunuh, keadaan batin orang tersebut dalam keadaan tenang. Tidak dalam keadaan tergesa-gesa, tidak dalam keadaan terpaksa dan tidak berada dalam keadaan emosi tinggi. Maka dari itu kehendak yang diputuskan oleh pelaku merupakan kehendak yang dilakukan dalam suasana batin yang tenang.
Tersedianya waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak itu. Merupakan syarat yang bersifat relative. Persolannya adalah bukan lamanya waktu. Tersedianya waktu yang cukup mengandung pengertian bahwa tempo waktu yang tersedia itu, pelaku masih dapat berpikir dengan tenang. Jadi persoalannya tidak pada masalah lamanya waktu, tetapi persoalan lamanya waktu yang cukup itu lebih mengarah pada penggunaan waktu yang tersedia itu. Artinya, apakah dalam waktu yang tersedia itu benar-benar telah dapat untuk berpikir dengan tenang atau tidak. Sekalipun masalah tersedianya waktu yang cukup itu tidak menunjuk pada persoalan lamanya waktu, tetapi tersedianya waktu yang cukup tersebut, tidak boleh menunjuk pada suatu waktu yang terlalu singkat. Sebab apabila terlalu singkat kesempatan untuk berpikir dengan tenang tersebut mungkin tidak terjadi.
Tidak mungkin rasanya seseorang dapat berpikir dengan tenang dalam waktu yang singkat, biasanya dalam waktu yang sangat singkat itu orang justru berpikir secara tergesa-gesa, panic dan tidak terencana. Apabila waktu yng tersedia itu tdak cukup diikuti pula dengan perasaan takut, khawatir dan sebagainya, dalam waktu yang demikian, jelas sama sekali tidak menggambarkan suasana batin yang tenang.
Berdasarkan uraian tersebut dengan “dengan sengaja”. Bisa dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan sebab antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu, maka hukum pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya itu. Sebab pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya secara jelas dapat ditimpakan kepada pelaku. Tetapi jika hubungan kausal tersebut tidak ada maka pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidananya itu tidak dapat ditimpakan kepada pelakunya itu sehingga hukuman pidana tidak dapat dijatuhkan kepada pelakunya.
Terkait konteks “dengan rencana terlebih dahulu”, maka apabila pikiran-pikiran untuk membunuh tersebut dalam keadaan marah, tidak tenang, waktu yang terlalu singkat, yang berakibat akan berfikir secara tergesa-gesa, panik, dan tidak terencana, dan dalam suatu suasana kejiwaan yang tidak memungkinkan untuk berfikir dengan tenang, maka disitu tidak ada unsur perencanaan. 
Dengan demikian, unsur “Dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu”, TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.

3.      Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain”
Yang dimaksud dengan unsur ini adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain itu haruslah merupakan perbuatan yang positif atau aktif walaupun dengan perbuatan sekecil apapun. Jadi perbuatan tersebut haruslah diwujudkan secara aktif dengan gerakan sebagian anggota tubuh. Oleh karenanya perbuatanya dapat berupa bermacam-macam perbuatan. Dimana perbuatan tersebut berujung dengan timbulnya suatu akibat hilangnya nyawa orang sebagai persyaratan mutlak.
Dalam unsur “merampas nyawa orang lain” terdapat sifat obyektif dan subyektif, sifat obyektif yaitu dilihat dari perbuatanya yang menghilangkan nyawa dengan obyek orang lain. Sifat subyektif yaitu dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat syarat-syarat yang harus dipatuhi, yaitu adanya wujud perbuatan, adanya suatu kematian orang lain, dan adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan akibat kematian orang lain.
Terhadap unsur ini, Saudara Penuntut Umum menyatakan Terdakwa telah merampas nyawa orang lain yaitu korban Ronald Alimudin dan Sri Magdalena. Meskipun demikian konstruksi hukumnya, kami selaku Penasihat Hukum berbeda pendapat dengan Penuntut Umum.Hal ini berkaitan dengan perbuatan Terdakwa terhadap Korban yang tidak dapat dilakukan penuntutan hukuman lagi meskipun dalam faktanya terungkap dari keterangan terdakwa telah menghilangkan nyawa Korban, namun tanpa didukung saksi yang mengetahui kejadian secara langsung sehingga meyebabkan potensi terjadinya kesalahan terbuka lebar untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Dengan Demikian, Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain”,TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.

SUBSIDAIR

1.      Unsur “Barangsiapa”
Unsur “Barangsiapa” telah diuraikan dalam analisis yuridis Dakwaan Primair diatas.

2.      Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain”
Unsur “Menghilangkan Nyawa Orang Lain” telah diuraikan dalam analisis yuridis Dakwaan Primair diatas.



DAKWAAN KEDUA

1.      Unsur “Setiap Orang”
Unsur “Setiap Orang” telah diuraikan dalam analisis yuridis unsur “barangsiapa” Dakwaan Primair diatas.

2.      Unsur “Menyembunyikan Kematian”
Untuk membuktikan unsur ini, harus dititik-beratkan kepada maksud dari Terdakwa untuk menyembnyikan korban, hal ini juga menunjukan bahwa Terdakwa juga harus memiliki rencana untuk menyembunyikan mayat korban.
Seperti yang disebutkan dalam penguraian unsur “dengan segaja dan rencana terlebih dahulu”, istilah dengan rencana menunjuk kepada suatu saat untuk menimbang dengan tenang, Untuk membuktikan perencanaan itu haruslah ada 3 syarat yang diperhatikan yaitu: memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedianya waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaannya, dan pelaksanaan kehendak tersebut dalam kondisi tenang.
Melihat kepada kondisi psikologis Terdakwa pada saat itu yang beradadalam suasana shock, panik dan sedang berada dalam kondisi emosi tinggi, maka sangatlah tidak mungkin Terdakwa dapat memenuhi 3 (tiga) syarat tersebut. Sehingga sudah tentu Terdakwa tidak memiliki  rencana, ataupun maksud untuk menyembunyikan kematian.
Oleh karena itu unsur “Menyembunyikan Kematian Korban”, TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.

Karena terdakwa didakwa dengan dakwaan subsidair - kumulatif, maka dengan tidak terbuktinya salah satu unsur dsalam dakwaan pertama dan/atau dakwaan kedua, maka seluruh dakwaan yang diajukan kepada terdakwa, TIDAK TERBUKTI.

PERMOHONAN
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan juga analisis yang telah kami paparkan, maka kami selaku Penasihat Hukum Terdakwa dengan segala kerendahan hati kami, memohon kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara A Qou untuk menjatuhkan Putusan dengan amar sebagai berikut:

PRIMAIR
1.      Menyatakan bahwa Terdakwa Firmansyah bin Firman Utina, tidak bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
2.      Membebaskan Terdakwa Firmansyah bin Firman Utina dari seluruh dakwaan dan tuntutan hukum.
3.      Memulihkan hak terdakwa dalam hal kemampuan, kedudukan, harkat, dan martabatnya.
4.      Membebankan biaya perkara kepada negara.

SUBSIDAIR
Apabila Majelis Hakim pemeriksa perkara a quo berpendapat lain, maka kami memohon agar Majelis Hakim dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (Ex Aequo Et Bono).

Demikianlah Nota Pembelaan ini kami bacakan dan serahkan pada hari Senin, 8 Desember 2015 di Pengadilan Negeri Surabaya.Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati dan memberikan bimbingan kepada Majelis Hakim, agar dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya dan membawa manfaat bagi semua pihak.

Hormat Kami,
Penasihat Hukum Terdakwa
RISKY PERMATASARI & Rekan




Risky Permatasari S.H.I, M.H



No comments:

Post a Comment