I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia ini kita
sering mendengar dan membaca kata “kebudayaan”. Di dalam hububungannya dengan
“agama” kita kerap kali mendengar atau membaca berbagai pendapat tentang
“kebudayaan” ini, yang satu dengan yang lainnya di samping ada yang sepaham, ada
pula yang berbeda paham, tidak kurang pula yang bertentangan satu dengan
lainnya.
Umat manusia, terlebih-lebih yang mengaku beragama,
tidak dapat lepas dari “agama” dan “kebudayaan” dalam kehidupan dan
penghidupannya sehari-hari. Baik “agama” maupun “kebudayaan” adalah seluas
kehidupan dan penghidupan itu sendiri.
Oleh karena itu, makalah kami akan sedikit membahas
tentang hubungan antara “Islam” dan “kebudayaan Indonesia”. Dimana akan dibahas
Islam dan kebudayaan melayu, islam dan kebudayaan jawa, Islam dan kebudayaan
lain di nusantara.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana hubungan Islam dengan Kebudayaan Melayu ?
2. Bagaimana hubungan Islam dengan Kebudayaan Jawa ?
3. Bagaimana hubungan Islam dengan Kebudayaan lain di
Nusantara ?
II.
PEMBAHASAN
A. Hubungan Islam dan Kebudayaan Melayu
Islam
merupakan agama yang fleksibel, agama yang mampu memposisikan ajarannya
terhadap kebiasaan sosial masyarakatnya. Begitu juga dengan kebudayaan yang
tidak dilarang oleh Islam selama kebudayaan tersebut tidak betentangan dengan
ajaran Islam.
Namun
di sisi lain, ada ketidaksetujuan dari sebagian ulama. Ada pendapat bahwa Islam
dan kebudayaan tidak saling mencakup, dalam arti Islam bukan kebudayaan dan
kebudayaan bukan Islam. Namun Islam dan kebudayaan bisa saja saling berhubungan
dalam area kegiatan manusia, dan hubungan antara keduanya itu dapat melahirkan
semacam kebudayaan tertentu, yakni kebudayaan yang dijiwai dan di warnai oleh
Islam.
Salah
satu contoh hubungan Islam dan kebudayaan adalah Islam dan kebudayaan melayu. Kebudayaan
melayu lebih dikenal dengan kebudayaan seninya, baik dari segi sastra maupun
upacaranya. Hubungan antara Islam dan Kebudayaan Melayu ini, merupakan salah
satu contoh proses dari sebuah akulturasi, penggabungan antara ajaran Islam
dengan Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat melayu.
Sebagai
contoh Banda Aceh yang merupakan masyarakat melayu mengenal adanya acara
Upacara Meumeugang. Acara ini diadakan sehari sebelum Ramadhan, proses acara
ini merupakan campuran antara kebudayaan masyarakat Aceh dengan ajaran-ajaran
Islam. Disini terbukti bila Islam memiliki hubungan dengan kebudayaan melayu.
Di
melayu sendiri, agama menjadi sebuah penegasan bahwa jika mereka orang melayu,
mereka harus muslim. Disini terlihat, Islam sudah menjadi “syarat wajib” bagi orang melayu. Hubungan antara Islam dan
kebudayaan pada masyarakat melayu sudah mencapai pada titik sosial masyarakat.
Dimana hampir segala kegiatan kebudayaan melayu selalu berbau Islam.
Selain upacara yang bernafaskan Islam, ada juga karya seni yang
merupakan kebudayaan masyarakat melayu yaitu Kesusastraan. Kesusastraan
masyarakat melayu dahulu yang mengagung-agungkan raja, setelah masuknya Islam
kesusastraan melayu menjadi bertema tentang ketuhanan. Kesustraan ini berbentuk
prosa dan puisi.
B. Islam dan Kebudayaan Jawa
Kebudayaan
jawa lebih dikenal dengan mitos-mitosnya, masyarakat jawa masih mempercai
hal-hal yang bersifat mistis. Kebudayaan jawa juga tidak bisa terlepas dari
ajaran Hindu-Budha yang berkembang di jawa sebelum Islam masuk ke pulau jawa.
Islam
sendiri masuk ke pulau jawa pada saat pulau jawa masih terdominasi oleh ajaran
Hindu-Budha. Wali Songo tidak bisa
dikesampingkan dalam perannya meng-islamisasi pulau jawa. Wali songo
memilik peran besar dalam pendominasian Islam di pulau jawa.
Dalam
melakukan proses Islamisasi, wali
songo melakukan berbagai cara pendekatan terhadap masyarakat. Salah satu metode
wali songo adalah melakukan pendekatan melalui peran kebudayaan yang berkembang
pada masyarakat jawa. Disinilah terjadi keterkaitan antara Islam dan kebudayaan
masyarakat jawa.
Masyarakat
jawa yang awalnya menganut ajaran Hindu-Budha memiliki berbagai kegiatan
kebudayaan yang berunsur Hindu-Budha. Dengan jalur kebudayaan itulah Islam
mulai menghilangkan unsur-unsur dari ajaran Hindu-Budha. Islam mengisi
unsur-unsur kebudayaan itu dengan ajaran-ajaran Islam.
Akulturasi nilai-nilai Islam terhadap kebudayaan jawa yang terkenal
dengan mitos-mitosnya, banyak menghadirkan pro dan kontra dikalangan para
ulama. Ada yang berpendapat bahwa akulturasi Islam terhadap budaya jawa sebagai
metode pengikisan ajaran-ajaran Hindu-Budha yang termuat dalam kebudayaan jawa
yang telah melekat pada masyarakat jawa. Ada juga yang berpendapat bahwa
nilai-nilai Islam yang menjadi unsur kebudayaan jawa menimbulkan bid’ah dan dapat menuju kemusyrikan.
Salah satu contoh hubungan Islam dengan kebudayaan jawa adalah tradisi syukuran, dimana awalnya tradisi ini
diselenggarakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan dengan memberikan sesajen dan di hanyutkan ke laut,
tradisi tersebut merupakan ajaran Hindu, namun setelah Islam masuk dan
menggantikan unsur-unsur Hindu tersebut, Islam tetap memperbolehkan syukuran tetapi tidak dengan cara pelaksanaannya, Islam mengganti
cara pelaksanaan syukuran dengan cara
membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an seprti Surat
Yasin. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan islam dengan kebudayaan
masyarakat jawa.
Selain
tradisi syukuran, pada kebudayaan
masyarakat jawa juga terkenal tradisi peringatan 3 hari, 7 hari, dan 100 hari setelah seseorang meninggal. Tradisi
ini merupakan kegiatan yang diajarkan kepada masyarakat jawa pada masa
Hindu-Budha di Indonesia. Seperti halnya syukuran,
tradisi ini juga menjurus kepada kemusyrikan, yang sudah pasti bertentangan
dengan ajaran-ajaran Islam.
Namun
tradisi ini oleh wali songo tetap diperbolehkan, hanya saja tata cara
pelaksanaannya yang dilarang. Peringatan tersebut tetap boleh diadakan tetapi
dengan cara yang Islami, wali songo mengajarkan cara melaksanakan tradisi
tersebut dengan membaca tahlil.
Sebenarnya,
masih banyak lagi keterkaitan Islam dengan kebudayaan jawa, terutama pada masa
wali songo. Metode ini dilakukan, agar masyarakat jawa mau untuk menerima Islam
dan menggap positif agama Islam. Walau banyak pro dan kontra, tetapi metode ini
terbukti berhasil.
Masyarakat jawa, atau tepatnya suku bangsa jawa,
secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya
menggunakan bahasa jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun,
sedangkan pengertian Jawa yang dimaksud adalah pulau yang terbentang diantara
kepulauan Nusantara, yang konon banyak menghasilkan jewawut (padi-padian), dari
kata itulah kemudian dikenal dengan jawa.
Dalam segala perkembangannya,
kebudayaan jawa masih tetap pada dasar hakikinya yang menurut berbagai
kitab-kitab jawa klasik dan peninggalan lain-lainnya, dapat sebagai berikut:
1.
Orang Jawa percaya dan berlindung kepada sang pencipta, Zat Maha Tinggi,
penyebab segala kehidupan, penyebab adanya dunia dan alam semesta yang awal dan
Yang akhir.
2.
Orang jawa yakin bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam. Manusia dan
kodrat alam senantiasa saling pengaruh-mempengaruhi, namun manusia sekaligus
harus sanggup melawan alam untuk mewujudkan kehendaknya, cita-citanya maupun
fantasinya.
3.
Rukun damai berarti tertib pada lahirnya dan damai pada batinnya sekaligus
membangkitkan sifat luhur dan perikemanusiaan. Orang jawa menjunjung tinggi
amanat yang terangkum dalam sasanti atau semboyan : mamayu hayuning bawana (Memelihara kesejahteraan dunia)
4.
Sikap hidup seperti diatas berlandaskan pada pokok pemikirannya adanya
keseimbangan hidup lahir dan batin,
antara iman dan amal, antara kemauan dan kesanggupan, antara kemampuan dan kesungguhan,
antara amal ibadah dan partisipasi dalam tata hidup lahir batin sampai pada
kesimbangan antara Khalik dan makhluk.
Salah satu ciri masyarakat jawa adalah
berketuhanan, suku bangsa jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan
animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada
benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri, mereka
membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus
pengerjaannya sebagai tempat untuk memuja nenek moyang, agar keluarga mereka
terlindung dari roh yang jahat, mereka menyiapkan sesajen dan membakar kemenyan
atau bau-bau lainnya yang digemari nenek moyang dan disempurnakan dengan
bunyi-bunyian dan tarian.
Seperti
halnya upacara-upacara yang lainnya yakni slametan
surtanah, slametan telung dino, slametan mitung dino sampai slametan
ngewis-ngewisi atau peringatan saat kematian seseorang untuk terakhir
kalinya.
Sedangkan dinamisme masyarakat
jawa beranggapan bahwa semua yang bergerak itu hidup dan mempunyai kekuatan
gaib/ memiliki watak baik atau buruk, dan agar terhindar dari itu mereka
menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara disertai dengan sesaji, disamping
itu merka percaya bahwa apa telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam
disadari merupakan penetuan dari kehidupan seluruhnya.
Bukti-bukti tertua mengenai
adanya negara-negara Hindu Jawa berupa prasasti-prasasti dari batu yang
ditemukan dipantai utara jawa barat. Dari tulisannya dapat diketahui bahwa
prasasti itu merupakan suatu deskripsi mengenai beberapa upacara yang dilakukan
oleh raja untuk meresmikan bangunan
irigasi dan bangunan keagamaan abad ke-4[1], bukti yang
lainnya bahwa banyak nama tempat dipulau Jawa
yang berasal dari bahasa sansekerta, yang membuktikan adanya
kehendak untuk menciptakan kembali
geografi india yang dianggap keramat itu. Bukan hanya gunung-gunungnya, tetapi
juga kerajaan-kerajaan yang namanya dipinjam dari Mahabarata.
Seperti halnya pada masa animisme dan dinamisme masyarakat Jawa maka
pada masa hinduppun ada upacara-upacara, yakni wiwit yang diwujudkan pada
pemujaan dewi sri, upacara kurban kerbau, pagelaran wayang kulit dan juga
penjamasan dan perawatan pusaka serta grebeg, dan sebagainya.
Masuknya Islam di Jawa sampai sekarang masih
menimbulkan hasil telaah yang beragam. Bukti
faktual barangkali adalah ditemukannya batu nisan kubur Fatimah binti Maemun di
Leran Gresik, bukti yang lain adalah adanya masjid yang menunjukkan adanya
komunitas muslim yang pernah ada, dan juga adanya kaligrafi serta letak tata
kota.
Sulit untuk mengetahui tokoh yang pertama kali
memperkenalkan islam di Jawa dari fakta tradisional, akan tetapi hal itu dapat
ditelusuri melalui alur hubungan negeri Cempa-Majapahit. Ditemukannya beberapa
makam disitus istana Majapahit, yang
pada kesimpulan bahwa makam tersebut adalah makam orang-orang muslim dan
menunjukkan tahun kejayaan majapahit.
Diantara yang menyebarkan Islam di Jawa dikenal
dengan Istilah walisanga, namun Istilah walisanga juga mengandung kontroversi.
Disatu sisi adalah sebutan terhadap sembilan orang tokoh Islam di pulau Jawa
yang menjadi penyebar islam yakni:
1.
Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.
2.
Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel
Surabaya.
3.
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum
Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4.
Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin,
menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5.
Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri
(Gresik)
6.
Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di
daerah Kudus.
7.
Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran
Islam di daerah Demak.
8.
Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid
menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9.
Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa
Barat (Cirebon),
Namun di sisi lain juga dinyatakan sebagai
lembaga kewalian yang memang jumlahnya sembilan orang. Prof. Tjan sebagaimana
dikutip Widji Saksono (1999:21-22) menyatakan bahwa walisanga adalah para wali
yang datang dari delapan penjuru angin dan ditambah satu yang menjadi titik
pusatnya. Akan tetapi menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid yang mengutip Kanz
al-Ulum karya Ibnu Batutah dan diteruskan Syeikh Maulana Maghribi bahwa kata
itu bermakna lembaga dakwah walisanga, yang mengalami empat kali periode
perubahan.
Dan dikatakan pula kekuatan
dagang dan hukum menunjukkan Kerala merupakan salah satu sumber Islamisasi
Jawa, kesamaan arsitektur kian mengokohkan posisi ini. Di Kerala, Jawa dan
Lombok, masjid-masjid lama lebih banyak terbuat dari kayu dari pada batu bata, mempunyai
atap bersusun tiga sama dengan kuil-kuil Hindu Asia Selatan dan Jain.
Islam yang berkembang di Indonesia mula-mula
adalah sufi yang salah satu cirinya adalah sifatnya yang toleran dan akomodatif
terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, namun hal ini disatu sisi memang
dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisme dan pencampur adukan antara
islam dan budaya asli, namun aspek positifnya, ajaran yang disinkretasikan
tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan Jawa dalam menerima Islam.
Konsep masuknya unsur-unsur simbolisme dan ikonografi Hindu dan Budha
kedalam Islam Jawa sama seperti Islam di timur tengah menyerap unsur-unsur
tradisi Hellenistik dan Persia.
Dalam menghadapi tradisi dan
kepercayaan lama, para penyiar islam menyeleksi kepercayaan mana yang dapat
diakomodasikan oleh sebab itu, mana yang harus ditolak dan dihilangkan, maka
ketika melihat wayang purwa (kulit), yang merupakan gubahan dari epik Ramayana
dan Mahabarata, Yang mana antara Wayang dan budaya Jawa ibarat sekeping uang
logam yang tak terpisahkan, dan bagi masyarakat Jawa wayang tidak hanya sekedar
hiburan, tetapi sebagai media dakwah dan pendidikan serta mengandung makna
lebih jauh dan mendalam karena mengungkapkan gambaran hidup semesta
(wewayangani urip), maka para Wali mengadakan perubahan secara halus sehingga
tanpa terasa nilai-nilai islam dapat masuk dalam karya adi luhung yang dikagumi
banyak orang ini.
Upacara-upacara dalam agama
Hindu tampak memiliki kekuatan magis, yang diwujudkan dalam bentuk sesaji,
sesaji merupakan warisan budaya Hindu sedangkan doa merupakan inti ibadah dalam
Islam, keduanya menjadi tradisi dikalangan banyak islam Jawa
Secara luwes Islam memberikan
warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau selametan, didalam
upacara ini yang pokok adalah pembacaan doa.
Dari uraian diatas tentang
hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan ritual diatas
menunjukkan secara jelas, baik tersirat maupun tersurat, secara langsung maupun
tidak langsung bahkan memang telah terjadi dalam kehidupan keberagaman orang
Jawa suatu upaya untuk mengakomodasikan antara nilai-nilai Islam dengan Budaya
Jawa pra-Islam.
III.
PENUTUP
KESIMPULAN
Indonesia
merupakan negara yang memiliki banyak kebudayaan. Keberagaman kebudayaan
tersebut tidak terlepas dari peran agama. Walaupun tidak semua kebudayaan di
Indonesia berkarakter Islam, namun mayoritas kebudayaan di Indonesia berunsur
Islam.
Oleh
karena itu, kita harus memiliki sikap terhadap kebudayaan itu sendiri. Sikap
seorang muslim terhadap kebudayaan adalah:
1. Memelihara unsur-unsur nilai dan norma kebudayaan yang
sudah ada yang positif.
2. Menghilangkan unsur-unsur nilai dan norma kebudayaan
baru yang belum ada yang positif.
3. Menumbuhkan unsur-unsur nilai dan norma yang baru yang
belum ada yang positif.
4. Bersikap selektif, dan asimilatif terhadap kebudayaan
pada umumnya.
5. Menyelenggarakan penyucian kebudayaan, agarkebudayaan
tersebut sesuai, sejalan atau tidak bertentangan dengan norma-norma dan nilai-nilai
Islam sendiri
Dengan demikian akan
terwujud, hubungan yang ideal antara agama dan kebudayaan. Terbinanya
kebudayaan yang dijiwai, diwarnai, dan ditopang oleh nilai-nilai dan
norma-norma yang abadi dan universal yang terdapat pada al-Islam.
IV.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, 1972, Endang Saifuddin, Agama dan Kebudayaan, Bina Ilmu, Surabaya
Hasjmy, 1990, Sejarah
Kebudayaan Islam di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta
Fang, Liaw Yock, 1991, Sejarah kesusastraan Melayu Klasik, Erlangga, Jakarta
No comments:
Post a Comment