Friday, November 16, 2018

Islam dan Kebudayaan Indonesia


I.     PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia ini kita sering mendengar dan membaca kata “kebudayaan”. Di dalam hububungannya dengan “agama” kita kerap kali mendengar atau membaca berbagai pendapat tentang “kebudayaan” ini, yang satu dengan yang lainnya di samping ada yang sepaham, ada pula yang berbeda paham, tidak kurang pula yang bertentangan satu dengan lainnya.

Umat manusia, terlebih-lebih yang mengaku beragama, tidak dapat lepas dari “agama” dan “kebudayaan” dalam kehidupan dan penghidupannya sehari-hari. Baik “agama” maupun “kebudayaan” adalah seluas kehidupan dan penghidupan itu sendiri.

Oleh karena itu, makalah kami akan sedikit membahas tentang hubungan antara “Islam” dan “kebudayaan Indonesia”. Dimana akan dibahas Islam dan kebudayaan melayu, islam dan kebudayaan jawa, Islam dan kebudayaan lain di nusantara.




B.  Rumusan Masalah

1.     Bagaimana hubungan Islam dengan Kebudayaan Melayu ?
2.     Bagaimana hubungan Islam dengan Kebudayaan Jawa ?
3.     Bagaimana hubungan Islam dengan Kebudayaan lain di Nusantara ?




II.  PEMBAHASAN

A.  Hubungan Islam dan Kebudayaan Melayu

              Islam merupakan agama yang fleksibel, agama yang mampu memposisikan ajarannya terhadap kebiasaan sosial masyarakatnya. Begitu juga dengan kebudayaan yang tidak dilarang oleh Islam selama kebudayaan tersebut tidak betentangan dengan ajaran Islam.

              Namun di sisi lain, ada ketidaksetujuan dari sebagian ulama. Ada pendapat bahwa Islam dan kebudayaan tidak saling mencakup, dalam arti Islam bukan kebudayaan dan kebudayaan bukan Islam. Namun Islam dan kebudayaan bisa saja saling berhubungan dalam area kegiatan manusia, dan hubungan antara keduanya itu dapat melahirkan semacam kebudayaan tertentu, yakni kebudayaan yang dijiwai dan di warnai oleh Islam.

              Salah satu contoh hubungan Islam dan kebudayaan adalah Islam dan kebudayaan melayu. Kebudayaan melayu lebih dikenal dengan kebudayaan seninya, baik dari segi sastra maupun upacaranya. Hubungan antara Islam dan Kebudayaan Melayu ini, merupakan salah satu contoh proses dari sebuah akulturasi, penggabungan antara ajaran Islam dengan Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat melayu.

              Sebagai contoh Banda Aceh yang merupakan masyarakat melayu mengenal adanya acara Upacara Meumeugang. Acara ini diadakan sehari sebelum Ramadhan, proses acara ini merupakan campuran antara kebudayaan masyarakat Aceh dengan ajaran-ajaran Islam. Disini terbukti bila Islam memiliki hubungan dengan kebudayaan melayu.

             
              Di melayu sendiri, agama menjadi sebuah penegasan bahwa jika mereka orang melayu, mereka harus muslim. Disini terlihat, Islam sudah menjadi “syarat wajib” bagi orang melayu. Hubungan antara Islam dan kebudayaan pada masyarakat melayu sudah mencapai pada titik sosial masyarakat. Dimana hampir segala kegiatan kebudayaan melayu selalu berbau Islam.

              Selain upacara yang bernafaskan Islam, ada juga karya seni yang merupakan kebudayaan masyarakat melayu yaitu Kesusastraan. Kesusastraan masyarakat melayu dahulu yang mengagung-agungkan raja, setelah masuknya Islam kesusastraan melayu menjadi bertema tentang ketuhanan. Kesustraan ini berbentuk prosa dan puisi.

B.  Islam dan Kebudayaan Jawa

              Kebudayaan jawa lebih dikenal dengan mitos-mitosnya, masyarakat jawa masih mempercai hal-hal yang bersifat mistis. Kebudayaan jawa juga tidak bisa terlepas dari ajaran Hindu-Budha yang berkembang di jawa sebelum Islam masuk ke pulau jawa.

              Islam sendiri masuk ke pulau jawa pada saat pulau jawa masih terdominasi oleh ajaran Hindu-Budha. Wali Songo tidak bisa dikesampingkan dalam perannya meng-islamisasi pulau jawa. Wali songo memilik peran besar dalam pendominasian Islam di pulau jawa.

              Dalam melakukan proses Islamisasi, wali songo melakukan berbagai cara pendekatan terhadap masyarakat. Salah satu metode wali songo adalah melakukan pendekatan melalui peran kebudayaan yang berkembang pada masyarakat jawa. Disinilah terjadi keterkaitan antara Islam dan kebudayaan masyarakat jawa.

              Masyarakat jawa yang awalnya menganut ajaran Hindu-Budha memiliki berbagai kegiatan kebudayaan yang berunsur Hindu-Budha. Dengan jalur kebudayaan itulah Islam mulai menghilangkan unsur-unsur dari ajaran Hindu-Budha. Islam mengisi unsur-unsur kebudayaan itu dengan ajaran-ajaran Islam.

              Akulturasi nilai-nilai Islam terhadap kebudayaan jawa yang terkenal dengan mitos-mitosnya, banyak menghadirkan pro dan kontra dikalangan para ulama. Ada yang berpendapat bahwa akulturasi Islam terhadap budaya jawa sebagai metode pengikisan ajaran-ajaran Hindu-Budha yang termuat dalam kebudayaan jawa yang telah melekat pada masyarakat jawa. Ada juga yang berpendapat bahwa nilai-nilai Islam yang menjadi unsur kebudayaan jawa menimbulkan bid’ah dan dapat menuju kemusyrikan.

              Salah satu contoh hubungan Islam dengan kebudayaan jawa adalah tradisi syukuran, dimana awalnya tradisi ini diselenggarakan sebagai rasa syukur kepada Tuhan dengan memberikan sesajen dan di hanyutkan ke laut, tradisi tersebut merupakan ajaran Hindu, namun setelah Islam masuk dan menggantikan unsur-unsur Hindu tersebut, Islam tetap  memperbolehkan syukuran tetapi tidak dengan cara pelaksanaannya, Islam mengganti cara pelaksanaan syukuran dengan cara membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an seprti Surat Yasin. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan islam dengan kebudayaan masyarakat jawa.

              Selain tradisi syukuran, pada kebudayaan masyarakat jawa juga terkenal tradisi peringatan 3 hari, 7 hari, dan 100 hari setelah seseorang meninggal. Tradisi ini merupakan kegiatan yang diajarkan kepada masyarakat jawa pada masa Hindu-Budha di Indonesia. Seperti halnya syukuran, tradisi ini juga menjurus kepada kemusyrikan, yang sudah pasti bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.

              Namun tradisi ini oleh wali songo tetap diperbolehkan, hanya saja tata cara pelaksanaannya yang dilarang. Peringatan tersebut tetap boleh diadakan tetapi dengan cara yang Islami, wali songo mengajarkan cara melaksanakan tradisi tersebut dengan membaca tahlil.

              Sebenarnya, masih banyak lagi keterkaitan Islam dengan kebudayaan jawa, terutama pada masa wali songo. Metode ini dilakukan, agar masyarakat jawa mau untuk menerima Islam dan menggap positif agama Islam. Walau banyak pro dan kontra, tetapi metode ini terbukti berhasil.

            Masyarakat jawa, atau tepatnya suku bangsa jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun temurun, sedangkan pengertian Jawa yang dimaksud adalah pulau yang terbentang diantara kepulauan Nusantara, yang konon banyak menghasilkan jewawut (padi-padian), dari kata itulah kemudian dikenal dengan jawa.

            Dalam segala perkembangannya, kebudayaan jawa masih tetap pada dasar hakikinya yang menurut berbagai kitab-kitab jawa klasik dan peninggalan lain-lainnya, dapat sebagai berikut:
1.      Orang Jawa percaya dan berlindung kepada sang pencipta, Zat Maha Tinggi, penyebab segala kehidupan, penyebab adanya dunia dan alam semesta yang awal dan Yang akhir.
2.      Orang jawa yakin bahwa manusia adalah bagian dari kodrat alam. Manusia dan kodrat alam senantiasa saling pengaruh-mempengaruhi, namun manusia sekaligus harus sanggup melawan alam untuk mewujudkan kehendaknya, cita-citanya maupun fantasinya.
3.      Rukun damai berarti tertib pada lahirnya dan damai pada batinnya sekaligus membangkitkan sifat luhur dan perikemanusiaan. Orang jawa menjunjung tinggi amanat yang terangkum dalam sasanti atau semboyan : mamayu hayuning bawana (Memelihara kesejahteraan dunia)
4.      Sikap hidup seperti diatas berlandaskan pada pokok pemikirannya adanya keseimbangan  hidup lahir dan batin, antara iman dan amal, antara kemauan dan kesanggupan, antara kemampuan dan kesungguhan, antara amal ibadah dan partisipasi dalam tata hidup lahir batin sampai pada kesimbangan antara Khalik dan makhluk.
           
   Salah satu ciri masyarakat jawa adalah berketuhanan, suku bangsa jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan animisme, yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri, mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat untuk memuja nenek moyang, agar keluarga mereka terlindung dari roh yang jahat, mereka menyiapkan sesajen dan membakar kemenyan atau bau-bau lainnya yang digemari nenek moyang dan disempurnakan dengan bunyi-bunyian dan tarian.
Seperti halnya upacara-upacara yang lainnya yakni slametan surtanah, slametan telung dino, slametan mitung dino sampai slametan ngewis-ngewisi atau peringatan saat kematian seseorang untuk terakhir kalinya.
           
               Sedangkan dinamisme masyarakat jawa beranggapan bahwa semua yang bergerak itu hidup dan mempunyai kekuatan gaib/ memiliki watak baik atau buruk, dan agar terhindar dari itu mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara disertai dengan sesaji, disamping itu merka percaya bahwa apa telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi  pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penetuan dari kehidupan seluruhnya.
           
               Bukti-bukti tertua mengenai adanya negara-negara Hindu Jawa berupa prasasti-prasasti dari batu yang ditemukan dipantai utara jawa barat. Dari tulisannya dapat diketahui bahwa prasasti itu merupakan suatu deskripsi mengenai beberapa upacara yang dilakukan oleh raja untuk meresmikan  bangunan irigasi dan bangunan keagamaan abad ke-4[1], bukti yang lainnya bahwa banyak nama tempat dipulau Jawa  yang berasal dari bahasa sansekerta, yang membuktikan adanya kehendak  untuk menciptakan kembali geografi india yang dianggap keramat itu. Bukan hanya gunung-gunungnya, tetapi juga kerajaan-kerajaan yang namanya dipinjam dari Mahabarata.
           
Seperti halnya pada masa animisme dan dinamisme masyarakat Jawa maka pada masa hinduppun ada upacara-upacara, yakni wiwit yang diwujudkan pada pemujaan dewi sri, upacara kurban kerbau, pagelaran wayang kulit dan juga penjamasan dan perawatan pusaka serta grebeg, dan sebagainya.

               Masuknya Islam di Jawa sampai sekarang masih menimbulkan hasil telaah yang beragam. Bukti faktual barangkali adalah ditemukannya batu nisan kubur Fatimah binti Maemun di Leran Gresik, bukti yang lain adalah adanya masjid yang menunjukkan adanya komunitas muslim yang pernah ada, dan juga adanya kaligrafi serta letak tata kota.
           
   Sulit untuk mengetahui tokoh yang pertama kali memperkenalkan islam di Jawa dari fakta tradisional, akan tetapi hal itu dapat ditelusuri melalui alur hubungan negeri Cempa-Majapahit. Ditemukannya beberapa makam  disitus istana Majapahit, yang pada kesimpulan bahwa makam tersebut adalah makam orang-orang muslim dan menunjukkan tahun kejayaan majapahit.
           
   Diantara yang menyebarkan Islam di Jawa dikenal dengan Istilah walisanga, namun Istilah walisanga juga mengandung kontroversi. Disatu sisi adalah sebutan terhadap sembilan orang tokoh Islam di pulau Jawa yang menjadi penyebar islam yakni:
1. Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi  menyebarkan Islam di Jawa Timur.
2. Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
3. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4. Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5. Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
6. Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
7. Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
8. Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9. Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon),
           
   Namun di sisi lain juga dinyatakan sebagai lembaga kewalian yang memang jumlahnya sembilan orang. Prof. Tjan sebagaimana dikutip Widji Saksono (1999:21-22) menyatakan bahwa walisanga adalah para wali yang datang dari delapan penjuru angin dan ditambah satu yang menjadi titik pusatnya. Akan tetapi menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid yang mengutip Kanz al-Ulum karya Ibnu Batutah dan diteruskan Syeikh Maulana Maghribi bahwa kata itu bermakna lembaga dakwah walisanga, yang mengalami empat kali periode perubahan.
           
               Dan dikatakan pula kekuatan dagang dan hukum menunjukkan Kerala merupakan salah satu sumber Islamisasi Jawa, kesamaan arsitektur kian mengokohkan posisi ini. Di Kerala, Jawa dan Lombok, masjid-masjid lama lebih banyak terbuat dari kayu dari pada batu bata, mempunyai atap bersusun tiga sama dengan kuil-kuil Hindu Asia Selatan dan Jain.
           
   Islam yang berkembang di Indonesia mula-mula adalah sufi yang salah satu cirinya adalah sifatnya yang toleran dan akomodatif terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat, namun hal ini disatu sisi memang dianggap membawa dampak negatif, yaitu sinkretisme dan pencampur adukan antara islam dan budaya asli, namun aspek positifnya, ajaran yang disinkretasikan tersebut telah menjadi jembatan yang memudahkan Jawa dalam menerima Islam.
           
   Konsep masuknya unsur-unsur simbolisme dan ikonografi Hindu dan Budha kedalam Islam Jawa sama seperti Islam di timur tengah menyerap unsur-unsur tradisi Hellenistik dan Persia.
           
               Dalam menghadapi tradisi dan kepercayaan lama, para penyiar islam menyeleksi kepercayaan mana yang dapat diakomodasikan oleh sebab itu, mana yang harus ditolak dan dihilangkan, maka ketika melihat wayang purwa (kulit), yang merupakan gubahan dari epik Ramayana dan Mahabarata, Yang mana antara Wayang dan budaya Jawa ibarat sekeping uang logam yang tak terpisahkan, dan bagi masyarakat Jawa wayang tidak hanya sekedar hiburan, tetapi sebagai media dakwah dan pendidikan serta mengandung makna lebih jauh dan mendalam karena mengungkapkan gambaran hidup semesta (wewayangani urip), maka para Wali mengadakan perubahan secara halus sehingga tanpa terasa nilai-nilai islam dapat masuk dalam karya adi luhung yang dikagumi banyak orang ini.
           
               Upacara-upacara dalam agama Hindu tampak memiliki kekuatan magis, yang diwujudkan dalam bentuk sesaji, sesaji merupakan warisan budaya Hindu sedangkan doa merupakan inti ibadah dalam Islam, keduanya menjadi tradisi dikalangan banyak islam Jawa
              
               Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-upacara itu dengan sebutan kenduren atau selametan, didalam upacara ini yang pokok adalah pembacaan doa.
           
               Dari uraian diatas tentang hubungan antara budaya Jawa dan Islam dalam aspek kepercayaan ritual diatas menunjukkan secara jelas, baik tersirat maupun tersurat, secara langsung maupun tidak langsung bahkan memang telah terjadi dalam kehidupan keberagaman orang Jawa suatu upaya untuk mengakomodasikan antara nilai-nilai Islam dengan Budaya Jawa pra-Islam.




III.    PENUTUP

KESIMPULAN

              Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kebudayaan. Keberagaman kebudayaan tersebut tidak terlepas dari peran agama. Walaupun tidak semua kebudayaan di Indonesia berkarakter Islam, namun mayoritas kebudayaan di Indonesia berunsur Islam.

              Oleh karena itu, kita harus memiliki sikap terhadap kebudayaan itu sendiri. Sikap seorang muslim terhadap kebudayaan adalah:
1.     Memelihara unsur-unsur nilai dan norma kebudayaan yang sudah ada yang positif.
2.     Menghilangkan unsur-unsur nilai dan norma kebudayaan baru yang belum ada yang positif.
3.     Menumbuhkan unsur-unsur nilai dan norma yang baru yang belum ada yang positif.
4.     Bersikap selektif, dan asimilatif terhadap kebudayaan pada umumnya.
5.     Menyelenggarakan penyucian kebudayaan, agarkebudayaan tersebut sesuai, sejalan atau tidak bertentangan dengan norma-norma dan nilai-nilai Islam sendiri

Dengan demikian akan terwujud, hubungan yang ideal antara agama dan kebudayaan. Terbinanya kebudayaan yang dijiwai, diwarnai, dan ditopang oleh nilai-nilai dan norma-norma yang abadi dan universal yang terdapat pada al-Islam.
               



IV.    DAFTAR PUSTAKA

Anshari, 1972, Endang Saifuddin, Agama dan Kebudayaan, Bina Ilmu, Surabaya
Hasjmy, 1990, Sejarah Kebudayaan Islam di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta
Fang, Liaw Yock, 1991, Sejarah kesusastraan Melayu Klasik, Erlangga, Jakarta







No comments:

Post a Comment