A. Pendahuluan
Pemilihan umum yang disingkat (pemilu) adalah proses pemilihan orang - orang
untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu. dalam pemilihan umum di
Indonesia mempunyai Lembaga Komisi
Pemilihan Umum atau disebut (KPU) yang diberikan wewenang oleh Negara sebagai
penyelenggara pemilihan umum sesuai isi amanah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disingkat menjadi UUD NKRI 1945, pemilihan umum bagi suatu negara demokratis sangatlah penting karena
sebagai penyalur kehendak rakyat, oleh karena itu melalui pemilihan umum rakyat
bisa memilih secara langsung.
Penyelenggaraan pemilu yang menjadi tanggung jawab pemerintah harus mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan tidak boleh bertentangan dengan UUD NKRI 1945. Dalam jabatan politik yang melekat
kepada seseorang tidak serta merta didapatkan secara turun temurun maupun
penunjukan seperti halnya penunjukan
seorang raja, dalam negara republik seperti yang ada di Indonesia. mekanisme pemilihan wakil rakyat dan/atau pemimpin rakyat
sepenuhnya hak masyarakat yang akan dipimpin. Mekanisme
tersebut adalah pemilu yang merupakan bagian dari pelaksanaan prinsip demokrasi yang
disebutkan
dalam UUD NKRI 1945 Pasal 22E ayat
(1)“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil setiap lima tahun sekali”.
Negara yang mendasarkan dirinya
atas demokrasi Konstitusional, serta UUD NKRI 1945 mempunyai ciri yang khas
yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak secara sewenang-wenang yang diharapkan akan memberikan
perlindungan terhadap hak-hak warga negara. [1]
Salah satu negara yang
demokratis, maka penyelanggaraan pemilu adalah sebuah keniscayaan yang
dilakukan oleh negara Indonesia,
masyarakat mempergunakan haknya untuk memilih wakil rakyat maupun calon
Presiden dan Wakil Presiden. Penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan akan bermanfaat
menyalurkan aspirasi rakyat serta menjalankan roda pemerintahan dengan tujuan
mensejahterakan rakyat .
Sebagaimana dikutip dalam banyak
teori bahwa pemerintahan yang demokratis, transparan, kredibilitas, dan
akuntabel pada yang hakikatnya bersumber dari rakyat, oleh rakyat, untuk
rakyat. dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia merupakan hal yang berlangsung
secara 5 tahun sekali untuk menentukan calon Presiden dan Wakil Presiden. dalam
penyelenggaraan pemilu yang terjadi apabila terdapat permasalahan dasar hukum
pemilu peserta pemilu yang dirugikan atas keputusan normatif yang berisi dan
bersifat mengatur (regeling) dapat
mengajukan permohonan pada Pengadilan Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan
kepastian hukumnya.
B. Pembahasan
I. Presidential
Thresholod
Penyelenggaraan
pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden telah diatur dengan
Undang-Undang 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
yang merupakan delegasi untuk tata cara pelaksanaannya dari pasal 6A ayat (5)
UUD NKRI 1945 berbunyi:
"Tata cara pelaksanaan pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang".
Indonesia
mengenal asas ‘’Lex Superior Derogat Legi
Inferiori’’ yakni peraturan undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan
yang lebih rendah. Untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden telah diatur
dalam UUD NKRI 1945 dalam bab 3 tentang kekuasaan pemerintahan negara pasal 6A ayat
(2) berbunyi:
‘’Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum’’.
Kedua
norma tersebut mengandung pengertian bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden
harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan di usulkan
sebelum pemilu. Pengertian tentang pemilu terdapat dalam pasal 22E ayat (2) UUD NRI 1945 berbunyi:
‘’Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah’’.
Pemilu
untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari Undang-Undang Nomor 23 tahun
2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden berubah menjadi
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden selanjutnya disebut Undang-Undang Pilpres maka dengan demikian
undang-undang pilpres yang lama sudah tidak diberlaku. Dalam Undang-Undang
pilpres yang baru telah mengatur bahwa ambang batas syarat untuk dapat
mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden harus memenuhi pasal 9 Undang-Undang pilpres yang berbunyi:
‘’Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah
kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara
nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu Presiden dan
Wakil Presiden’’.
Persentase ambang batas tersebut menjadi
syarat yang harus dipenuhi dalam penentuan representasi perwakilan pada suatu
penyelenggaraan pemilu di era reformasi. Faktanya yang terjadi dalam pemilu
pada tahun-tahun belakangan ini pemilu dijadikan 2 (dua) bagian yakni pemilu
yang diselenggarakan untuk anggota DPR lalu 3 (tiga) bulan kemudian
diselenggarakan pemilu Presiden guna memilih Presiden dengan syarat yang telah
ditentukan oleh Undang-Undang Pilpres dengan adanya pembagian pemilu tersebut maka
pihak pemohon mengajukan judicial review
pada Mahkamah Konstitusi guna mempertimbangkan penghematan biaya yang
dikeluarkan oleh Negara.
Ambang
batas syarat pencalonan Presiden atau presidential threshold adalah
pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah
perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat), yang
harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan presiden
dari partai politik tersebut atau dengan gabungan partai politik jika tidak mencapai
prosentase tertentu yang diatur dalam pasal 9 Undang-Undang Pilpres.
Ambang
batas syarat pencalonan presiden atau presidential
threshold mempunyai makna yang hampir serupa dengan Electoral Threshold. pelaksanaan pemilu dalam sistem multi partai
ini dimaksudkan untuk menjamin semua partai politik dapat mengikuti pemilu
berikutnya dengan adanya mekanisme electoral
threshold. [2]
II. Kelemahan
Hari Kamis tanggal 23 Januari 2013, Mahkamah
Konstitusi menerima permohonan judicial
review yang diajukan oleh Effendy Gazali, Ph.D.,
M.P.S.I.D, M.Si atas nama aliansi
masyarakat sipil yang meminta agar pemilihan legislatif mulai dari DPRD, DPD, DPR, dan Pilpres harus
dilakukan secara serentak. Sehingga pemilu yang selama ini dilakukan 2 kali
pencoblosan disatukan menjadi 1 kali pencoblosan.
Hal
ini didasarkan oleh beberapa alasan yang telah dibuktikan oleh pemohon. Sisi
efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, berdasarkan riset pendahuluan
pemohon, perhitungan pemborosan penyelenggaraan pemilu tidak serentak (berasal
dari APBN & APBD, dan juga pajak warga negara) bisa berkisar
antara 20 hingga 26 triliun rupiah
dalam hal Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dibuat terpisah dengan Pemilu
Anggota DPR/D dan DPD .[3]
Tanggal 23 januari 2014 Mahkamah
Konstitusi telah mengabulkan bahwa pasal 3 ayat (5), pasal 12 ayat (1) dan ayat
(2), pasal 14 ayat (2) dan pasal 12 Undang-Undang 42 tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden telah dinyatakan tidak mempunyai
ketetapan hukum secara mengikat serta
menolak pasal 9 Undang-Undang pilpres.
C. Penutup
Konsep pemilu serentak sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas diterapkan untuk menekan potensi terjadinya
pelemahan terhadap sistem presidensial di Indonesia, khususnya pada kekuasaan
presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Melalui banyak argumen
diatas, dapat diambil hipotesis bahwa terpolarisasinya peta politik pasca
pelaksanaan pemilu anggota legislatif menjadi salah satu penyebabnya, tepatnya
pada penerapan mekanisme presidential threshold sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008. Prosentase ambang batas
minimal yang didesain untuk menekan jumlah partai politik efektif yang
berpeluang untuk mencalonkan Presiden dan atau Wakil Presiden justru menjadi
prasyarat yang mengharuskan partai politik untuk berkoalisi.
Implikasi dari keharusan untuk
membentuk koalisi guna mendukung pemenangan calon Presiden dan Wakil Presiden
adalah tersanderanya Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh partai politik
pendukungnya sendiri, salah satunya melalui desakan partai politik untuk
memasukkan nama-nama bakal calon menteri atau anggota kabinet kepada Presiden,
akibatnya kinerja pemerintahan kerap mengalami pergolakan politik serta menjadi
tidak efektif.
Selain itu, kebuntuan hubungan (deadlock)
antara Presiden dengan DPR dapat ditekan seiring dengan keberadaan koalisi yang
solid dan terbentuk jauh sebelum pelaksanaan pemilu. Salah satu alasannya,
Presiden dan DPR dalam sistem presidensial merupakan dua lembaga yang sama-sama
memperoleh legitimasi dari rakyat serta terdapat pemisahan kekuasaan yang
menyebabkan satu dengan yang lainnya tidak dapat saling membubarkan. Sehingga,
kewenangan konstitusional presiden tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan
politik yang ada di DPR, begitu pula sebaliknya. Desain pemilu serentak yang
membuat mekanisme presidential threshold menjadi tidak relevan untuk
diaplikasikan membuat DPR menjadi lebih obyektif dalam melakukan fungsi
pengawasan terhadap pemerintah sehingga checks and balances akan lebih
optimal, karena rakyat yang akan menentukan calon mana yang pantas untuk
dipilih atau tidak dipilih kembali pada pemilu selanjutnya.
Jadi, berdasarkan uraian
sebagaimana telah dijabarkan diatas penulis berkesimpulan bahwa pemilu serentak
dapat memperkuat sistem presidensial di Indonesia melalui keberadaan koalisi
yang solid dan berdasarkan common platform partai politik serta tidak
dibangun semata-mata untuk memenuhi persyaratan ambang batas yang pragmatis.
[1]Astim Riyanto,Teori Konstitusi, (Bandung: YAPEMDO,2000),336.
[2] Erfandi,Parliamentary Threshould dan Ham dalam Hukum Tata Negara
Indonesia, (Setara Press, 2014),132.
[3] Putusan Mahkamah Konstitusi nomer 14/PUU-XI/2013.
No comments:
Post a Comment