Thursday, November 8, 2018

Presidential Threshold Dalam Pemilu Serentak 2019


A.  Pendahuluan

Pemilihan umum yang disingkat (pemilu) adalah proses pemilihan orang - orang untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu. dalam pemilihan umum di Indonesia  mempunyai Lembaga Komisi Pemilihan Umum atau disebut (KPU) yang diberikan wewenang oleh Negara sebagai penyelenggara pemilihan umum sesuai isi amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disingkat menjadi UUD NKRI 1945, pemilihan umum bagi suatu negara demokratis sangatlah penting karena sebagai penyalur kehendak rakyat, oleh karena itu melalui pemilihan umum rakyat bisa memilih secara langsung.
Penyelenggaraan pemilu yang menjadi tanggung jawab pemerintah harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak boleh bertentangan dengan UUD NKRI 1945. Dalam jabatan politik yang melekat kepada seseorang tidak serta merta didapatkan secara turun temurun maupun penunjukan seperti halnya penunjukan seorang raja, dalam negara republik seperti yang ada di Indonesia. mekanisme pemilihan wakil rakyat dan/atau pemimpin rakyat sepenuhnya hak masyarakat yang akan dipimpin. Mekanisme tersebut adalah pemilu yang merupakan bagian dari pelaksanaan prinsip demokrasi yang disebutkan dalam UUD NKRI 1945 Pasal 22E ayat (1)“Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”.
Negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi Konstitusional, serta UUD NKRI 1945 mempunyai ciri yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak secara sewenang-wenang yang diharapkan akan memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara. [1]
Salah satu negara yang demokratis, maka penyelanggaraan pemilu adalah sebuah keniscayaan yang dilakukan oleh negara Indonesia, masyarakat mempergunakan haknya untuk memilih wakil rakyat maupun calon Presiden dan Wakil Presiden. Penyelenggaraan pemilu yang dilaksanakan akan bermanfaat menyalurkan aspirasi rakyat serta menjalankan roda pemerintahan dengan tujuan mensejahterakan rakyat .
Sebagaimana dikutip dalam banyak teori bahwa pemerintahan yang demokratis, transparan, kredibilitas, dan akuntabel pada yang hakikatnya bersumber dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia merupakan hal yang berlangsung secara 5 tahun sekali untuk menentukan calon Presiden dan Wakil Presiden. dalam penyelenggaraan pemilu yang terjadi apabila terdapat permasalahan dasar hukum pemilu peserta pemilu yang dirugikan atas keputusan normatif yang berisi dan bersifat mengatur (regeling) dapat mengajukan permohonan pada Pengadilan Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan kepastian hukumnya.


B.  Pembahasan

I.     Presidential Thresholod
Penyelenggaraan pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden telah diatur dengan Undang-Undang 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan delegasi untuk tata cara pelaksanaannya dari pasal 6A ayat (5) UUD NKRI 1945 berbunyi:
"Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang".

Indonesia mengenal asas ‘’Lex Superior Derogat Legi Inferiori’’ yakni peraturan undang-undang yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah. Untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden telah diatur dalam UUD NKRI 1945 dalam bab 3 tentang kekuasaan pemerintahan negara pasal 6A ayat (2) berbunyi:
‘’Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum’’.

Kedua norma tersebut mengandung pengertian bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan di usulkan sebelum pemilu. Pengertian tentang pemilu terdapat dalam pasal  22E ayat (2) UUD NRI 1945 berbunyi:
‘’Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah’’.

Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden berubah menjadi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden selanjutnya disebut Undang-Undang Pilpres maka dengan demikian undang-undang pilpres yang lama sudah tidak diberlaku. Dalam Undang-Undang pilpres yang baru telah mengatur bahwa ambang batas syarat untuk dapat mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden harus memenuhi  pasal 9 Undang-Undang pilpres yang berbunyi:
‘’Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden’’.

 Persentase ambang batas tersebut menjadi syarat yang harus dipenuhi dalam penentuan representasi perwakilan pada suatu penyelenggaraan pemilu di era reformasi. Faktanya yang terjadi dalam pemilu pada tahun-tahun belakangan ini pemilu dijadikan 2 (dua) bagian yakni pemilu yang diselenggarakan untuk anggota DPR lalu 3 (tiga) bulan kemudian diselenggarakan pemilu Presiden guna memilih Presiden dengan syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Pilpres dengan adanya pembagian pemilu tersebut maka pihak pemohon mengajukan judicial review pada Mahkamah Konstitusi guna mempertimbangkan penghematan biaya yang dikeluarkan oleh Negara.
Ambang batas syarat pencalonan Presiden atau presidential threshold adalah pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat), yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan presiden dari partai politik tersebut atau dengan gabungan partai politik jika tidak mencapai prosentase tertentu yang diatur dalam pasal 9 Undang-Undang Pilpres.
Ambang batas syarat pencalonan presiden atau presidential threshold mempunyai makna yang hampir serupa dengan Electoral Threshold. pelaksanaan pemilu dalam sistem multi partai ini dimaksudkan untuk menjamin semua partai politik dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan adanya mekanisme electoral threshold. [2]

II.  Kelemahan
Hari Kamis tanggal 23 Januari 2013, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan judicial review yang diajukan oleh Effendy Gazali, Ph.D., M.P.S.I.D, M.Si atas nama aliansi masyarakat sipil yang meminta agar pemilihan legislatif  mulai dari DPRD, DPD, DPR, dan Pilpres harus dilakukan secara serentak. Sehingga pemilu yang selama ini dilakukan 2 kali pencoblosan disatukan menjadi 1 kali pencoblosan.
Hal ini didasarkan oleh beberapa alasan yang telah dibuktikan oleh pemohon. Sisi efisiensi penyelenggaraan pemilihan umum, berdasarkan riset pendahuluan pemohon, perhitungan pemborosan penyelenggaraan pemilu tidak serentak (berasal dari APBN & APBD, dan juga pajak warga negara) bisa berkisar
antara 20 hingga 26 triliun rupiah dalam hal Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dibuat terpisah dengan Pemilu Anggota DPR/D dan DPD .[3]
Tanggal 23 januari 2014 Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan bahwa pasal 3 ayat (5), pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), pasal 14 ayat (2) dan pasal 12 Undang-Undang 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden telah dinyatakan tidak mempunyai ketetapan hukum secara mengikat  serta menolak pasal 9 Undang-Undang pilpres.

C.  Penutup
Konsep pemilu serentak sebagaimana yang telah dijelaskan diatas diterapkan untuk menekan potensi terjadinya pelemahan terhadap sistem presidensial di Indonesia, khususnya pada kekuasaan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Melalui banyak argumen diatas, dapat diambil hipotesis bahwa terpolarisasinya peta politik pasca pelaksanaan pemilu anggota legislatif menjadi salah satu penyebabnya, tepatnya pada penerapan mekanisme presidential threshold sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008. Prosentase ambang batas minimal yang didesain untuk menekan jumlah partai politik efektif yang berpeluang untuk mencalonkan Presiden dan atau Wakil Presiden justru menjadi prasyarat yang mengharuskan partai politik untuk berkoalisi.
Implikasi dari keharusan untuk membentuk koalisi guna mendukung pemenangan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah tersanderanya Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh partai politik pendukungnya sendiri, salah satunya melalui desakan partai politik untuk memasukkan nama-nama bakal calon menteri atau anggota kabinet kepada Presiden, akibatnya kinerja pemerintahan kerap mengalami pergolakan politik serta menjadi tidak efektif.
Selain itu, kebuntuan hubungan (deadlock) antara Presiden dengan DPR dapat ditekan seiring dengan keberadaan koalisi yang solid dan terbentuk jauh sebelum pelaksanaan pemilu. Salah satu alasannya, Presiden dan DPR dalam sistem presidensial merupakan dua lembaga yang sama-sama memperoleh legitimasi dari rakyat serta terdapat pemisahan kekuasaan yang menyebabkan satu dengan yang lainnya tidak dapat saling membubarkan. Sehingga, kewenangan konstitusional presiden tidak dapat dipengaruhi oleh kekuatan politik yang ada di DPR, begitu pula sebaliknya. Desain pemilu serentak yang membuat mekanisme presidential threshold menjadi tidak relevan untuk diaplikasikan membuat DPR menjadi lebih obyektif dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintah sehingga checks and balances akan lebih optimal, karena rakyat yang akan menentukan calon mana yang pantas untuk dipilih atau tidak dipilih kembali pada pemilu selanjutnya.
Jadi, berdasarkan uraian sebagaimana telah dijabarkan diatas penulis berkesimpulan bahwa pemilu serentak dapat memperkuat sistem presidensial di Indonesia melalui keberadaan koalisi yang solid dan berdasarkan common platform partai politik serta tidak dibangun semata-mata untuk memenuhi persyaratan ambang batas yang pragmatis.




[1]Astim Riyanto,Teori Konstitusi, (Bandung: YAPEMDO,2000),336.
[2] Erfandi,Parliamentary Threshould dan Ham dalam Hukum Tata Negara Indonesia, (Setara Press, 2014),132.
[3] Putusan Mahkamah Konstitusi nomer 14/PUU-XI/2013.

No comments:

Post a Comment