Monday, November 12, 2018

Ulumul Hadis


a.    Pengertian Ilmu Hadist
Ulumul hadist terdiri dari dua kata yakni ulum dan al-hadist. Kata ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jama’ dari ‘ilm yang berarti “ ilmu”, sedangkan hadist berarti :” segala sesuatu yang taqrir atau sifat”. Secara bahasa berarti ilmu-ilmu tentang hadist. Dengan demikian gabungan dari ulum dan al-hadist mengandung pengertian “ ilmu yang membahas atau berkaitan tentang hadist nabi Muhammad SAW.
Secara etimologis, menurut ungkapan as-suyuti, ulumul hadist adalah ilmu pengetahuan yang membicarakan cara-cara persambungan hadist samapai kepada rasul SAW. Dari segi hal ihwal para rawinya yang menyangkut kedhabitan dan keadilannya dari bersambung dan terputusnya sanad dan lain sebagainya.
Ada sebagian ulama yang mengatakan Ulum al-hadist adalah ilmu yang membahas sabda, perbuatan, pengakuan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniah rasulullah SAW. Beserta sanad dan ilmu pengetahuan untuk membedakan kesahihannya, kehasanannya, kedhoifannya dan kepalsuan hadist, baik sisi matan (teks hadist) maupun sisi sanadnya (mata rantai perawinya).
Sebagian ulama’ membuat istilah yang lain selain ulumul hadist yaitu ushul al hadist. Pengertian ilmu ushulul hadist adalah suatu ilmu pengetahuan yang menjadi sarana keshahihan, kehasanan, kedhoifan, dan kepalsuan hadist, baik sisi matan, maupun sanad hadist untuk membedakan dengan yang lain. Dengan demikian cakupan ilmu hadist cukup luas yakni segala pengetahuan tentang ihkwal perawi sampai dibedakan keshahihan dan tidaknya sebuah hadist.

b.   Ruang Lingkup dan Faedah Ilmu Hadist
Pada dasarnya kajian hadist mencakup tiga hal:
Pertama yang terkait dengan kajian sanad hadist, yang oleh ulama’ dikategorikan ilmu hadist dirayah. Kedua, ilmu yang terkait dengan kajian matan hadist, yang oleh ulama’ dikategorikan ilmu hadist riwayat. Ketiga, yang terkait dengan studi kritis yang disebut takhrij hadist.
Secara garis besar hadist di bagi menjadi dua, yaitu:
1.      Hadist Riwayat
Kata riwayah artinya periwayatan atau  cerita. Ilmu hadist riwayah secara bahasa, berarti ilmu hadist yang berupa periwayatan. Para ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadist riwayah, namun yang paling terkenal diantara definisi-definisi tersebut adalah definisi ibnu al Akhfani, yaitu:  ilmu hadist riwayah adalah ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan nabi SAW, periwayatannya, dan penelitian lafazh-lafazhnya. Ilmu hadist riwayah bertujuan memelihara hadist nabi SAW. Dri kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuannya. Dan ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa pengertian dari hadist riwayat adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pemdiwanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun lainnya. Maka dapat diartikan suatu ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk mengetahui segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, taqriri dan lain sebagainya disebut hadist riwayat.
Objek dari ilmu hadist riwayah adalah bagaiman tata cara menerima dan menyampaikan hadist kepada orang lain, dan bagaimana pula tata cara pemindahan pemindahan dan pembukuannya, akan tetapi tidak samapai ada permasalahan ada tidaknya kejanggalan dan kecacatan pada matannya. Oleh sebab itu, pembahsannya hanya terbatas pada masalah penyampaian dan pembukuan sesuai dengan apa adanya, baik yang berhubungan dengan matan maupun rangakaian merantai para perawinya. Dapat dikatakan segala ungkapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifatnya dari sisi transformasi dan penetapannya secara pasti dan detail.
Faedah mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disnadarkan kepada Nabi Muhammad bin Syihab Az-Zuhry.
Kedudukan termasuk ilmu ini adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidah bin Abdullah bin Syihab al- Zuhri. Nama kuniahnya adalah Abu Bakar al-Faqih al-Hafidz yang merupakan orang yang disepakati kewibawaan dan ketelitiannya. Beliau terkenal dengan sebutan Ibnu syihab al-Zuhri dan meninggal tahun 124/125 H. Kodifikasi secara resmi atas perintah Amir al-mukmin Umar bin Abdul Aziz.
Tujuan ilmu ini yaitu selamat serta bahagia di dunia dan akhirat yang mana hal ini menjadi nyata dengan cara mengetahui dan mengamalkan segala apa yang telah dibawa oleh Nabi SAW.
Hukum mengkaji ilmu hadist riwyat adalah wajib kifa’i, artinya bila sebagian oarng telah mempelajari ilmu tersebut dan cukup untuk menutup kebutuhan, maka gugurlah kewajiban bagi orang-orang lain. Adapun bila orang yang belajar ilmu ini untuk memenuhi kebutuhan tidak ada yang lain kecuali dirinya, maka mempelajari ilmu ini bagi orang tersebut adalah wajib ‘aini.
2.      Hadist Dirayat
Ilmu hadist dirayat adalah ilmu dengan segala kaidah-kaidahnya untuk mengetahui keadaan sanad, matan, dari segi diterima maupun ditolaknya sebuah hadist. Imam ibnu hajar mendefinisikan Ilmu ini dengan kaidah-kaidah yang bisa mengetahui keadaan rawi dan marwi  (periwayat dan yang diriwayatkan). Dan ada juga pengertian lain yang mengatakan bahwa hadist dirayat adalah teori-teori (kaidah-kaidah) untuk mengetahui ikhwal perawi, sanad (mata rantai perawi), cara-cara menerima dan menyampaikan hadist, sifat-sifat perawi dan lain sebagainya.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ilmu hadist dirayat yaitu ibarat dari sekumpulan kaidah-kaidah yang bisa mengetahui keadaan periwayat daroi segi jahr wa ta’dil, keadaan yang diriwayatkan baik hadist maupun atsar dari segi samapi terputusnya sanad, mengetahui kelemahan-kelemahan hadist dan segala apa yang ada kaitannya dengan ditolak maupun diterimanya sebuah hadist.
Obyek ilmu ini yaitu sanad dan matan dari segi ini dietrima maupun ditolak. Faedahnya adalah membedakan sahih dan dhai’if dari sebuah hadist.
Kedudukannya merupakan ilmu yang paling mulia dimana ilmu ini bisa digunakan untuk membedakan antara hadist yang diterima dan ditolak. Orang pertama yang mengkodifikasi ilmu ini adalah al-Qodli al-Hasan bin Abdur Rahman bin Khallad al-Ramaharmuzi dengan mengarang kitab al-Muhaddist al-fashil baina al-wai. Hukum mengkaji ilmu hadist dirayat adalah wajib kifa’i.
Dari definisi tentang ilmu hadist ilmu hadist riwayat dan dirayat diatas, dapat dipahami tentang obyek, faedah dan perintis ilmu masing-masing ilmu. Untuk ilmu hadist riwayat, obyek, faedah dan perintis masing-masing ilmu. Untuk ilmu hadist riwayat, obyeknya adalah matan hadist. Bagaimana pemaknaan terhadap hadist itu, bagaimana sekiranya terjadi kontradiksi baik dengan sesama hadist maupaun dengan al-qur’an, termasuk ma’mul dan tidak ma’mul-nya sebuah hadist dan lainnya.
Faedah atau signifikasi ilmu hadist riwayat adalah untuk mengetahui aspek validitas sebuah hadist serta ma’mul dan tidak ma’mul-nya sebuah hadist. sedangkan obyek ilmu hadist dirayat adalah meneliti keadaan masing-masing perawi hadist kebersambungan dan tidaknya sanad (mata rantai perawi) dan lainnya. Faedah atau signifikansi ilmu hadist dirayat adalah untuk menetapkan status hadist, shahih, hasan, dhaif dan kepalsuannya.
Adapun ilmu takhrij hadist adalah seperangkat ilmu yang fokusnya menunjukkan keberadaan suatu hadist pada referensi utamanya dan menjelaskan derajat hadist tersebut. Ilmu ini akhirnya berkembang dengan fokus kolaborasi kajian hadist baik sisi sanad maupun matan hadist untuk mengetahui otentisitas sebauah hadis dan validitasnya.
c.    Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist
Ilmu hadist riwayat merupakan ilmu yang lebih dahulu lahir dibandingkan dengan ilmu hadist dirayat. Hal ini disebabkan pada awalnya umat tidak mengalami kesulitan pada aspek sanad (mata rantai perawi) hadist. problem yang mereka hadapi biasanya pada aspek pemahaman terhadap teks hadist itu sendiri.
Para sahabat diantaranya ada yang salaing menegur temannya ketika terjadi keslahpahaman terhadap suatu teks. Seperti yang dilakukan aisyah terhadap kesalahan Anas Ibn Malik dalam hal mayat disiksa lantaran ditangisi oleh keluarganya. Demikian pula teguran Abu Bakar kepada Umar Ibn Khattab yang teks tulisan hadistnya masih belum tuntas dan perlu dilengkapi sehingga melahirkan perbedaan dalam mempersepsikan hadist.
Setelah terjadi kasus pemalsuan terhadap hadist-hadist Nabi, barulah ada gerakan yang signifikan dalam proses penerimaan dan periwayatan hadist. sejak itulah perhatian ulama’ tertuju kepada kredibilitas perawi dan peletakan kaedah-kaeadah yang dapat di jadikan acuan dalam penerimaan hadist dan penolakannya.
Pada awalnya teori-teori proses penerimaan dan periwayatan hadist serta kredibilitas perawi masih tersisip dalam buku-buku yang belum spesifik, melainkan berbaur dengan berbagai makalah seperti yang dilakukan Imam al-Syafi’i dan lainnya dalam karya –karya mereka.
Tidak ditemukan kepastian tahun beberapa ilmu hadist lahir, tetapi yang jelas bahwa ilmu ini lahir ketika hadist sudah terkodifikasi, yaitu pada abad kedua hijriah. Dengan demikian, lahirnya ilmu hadist adalah sesudah abad kedua hijriah.
Memang seperti ilmu kredibilitas perawi sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW., tetapi keilmuan itu belum terkodifikasikan secara teratur. Demikian pula ilmu nasikh dan mansukh hadist misalnya , baru pada abad ke 4H berhasil dibukukan dan menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya.
Dapat dikatakan, bahwa para ulama’ merintis lahirnya ilmu hadist setelah periwayatan sudah berkembang dengan pesat. Begitu pesatnya periwayatan hadist sehingga tidak dipilah mana yang shahih, hasan, atau yang dhoif. Setelah perangkat ilmunya lahir, barulah kemudian disusun kaidah-kaidah keshahihan suatu hadist.
Dalam sejarah perkembangan ilmu hadist ini terbagi menjadi bebrapa periode, yaitu :
1.      Periode Risalah
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW yakni sekitar tahun 11 H sampai 632 M. Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Nabi Muhammad SAW. Sumber hukum pada saat ittu adalah al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
2.      Periode  Khulafaur Rasyidin
Dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Muawiyyah bin Abu Sofyan memegang tombak pemerintahan islam pada tahun 41 H/ 661 M. Sumber hukum pada masa ini disamping al-Qu’an dan sunnah nabi juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat.
3.      Periode Awal Pertumbuhan Fiqh
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai  pada awal abad ke-2 H. Periode ke-3 ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu ilmu disiplin islam.
4.      Periode Keemasan
Dimulai pada awal ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Ciri khas yang menonjol dari periode ini semangat ijtihad sangat menonjol dikalangan ulama’, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang.
5.      Periode Tahrir, Takhrij, dan Tarjih dalam Madzhab Fiqh
Dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H yang dimaksudkan dengan tahrir, tahrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama’ masing-masing madzhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka.
6.      Periode kemunduran Fiqh
Dimulai pada abad pertengahan abad ke-7 H. Perkembangan fiqh pada masa ini merupakan lanjutan dari periode fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya.
d.      Cabang-Cabang Ilmu Hadist
1.       IImu Rijalil Hadist
Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari angkatan sesudahnya. Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi penerima hadits dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadist.
Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadist itu terdiri dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh dari pengetahuan. Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadis maudu’. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata -kata yang dipakai untuk itu serta martabat perkataan.Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadits disebut Mu’talif dan Mukhtalif. Dan ada yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya, Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. Ini dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Musytabah. Dan ada juga yang hanya menyebut tanggal wafat.
2.      Ilmul Jarhi Wat Takdil
Ilmu Jarhi Wat Takdil, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadist. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi wat takdil ialah:  “Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. ” Ilmu Jarhi wat Ta’dil dibutuhkan oleh para ulama hadits karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan mana yang bukan dari Nabi SAW.
Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat. Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat.
Di antara para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadits ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H).Di antara tabi’in ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan hadits, adakalanya karena me- rafa-kan hadits yang sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).
3.      IImu Illail Hadist
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadist. Yakni menyambung yang munqati’, merafakan yang mauqu’ memasukkan satu hadits ke dalam hadits yang lain dan yang serupa itu Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadist.
Ilmu ini merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadist, dan sehalus-halusnya. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits melainkan oleh ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Menurut Syaikh Manna’ Al-Qaththan bahwa cara mengetahui ‘illah hadits adalah dengan mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini. Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal (ada ‘illatnya) atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada ‘illat pada hadits tersebut maka dihukuminya sebagai hadits tidak shahih .
Di antara para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim.
4.      Ilmun nasikh wal mansukh
Ilmu yang menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasikhkannya. Apabila didapati suatu hadits yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadits tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadits yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadits itu dinamai Mukhatakiful Hadits. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu dinamai Mansuh.Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mam’uh ini, diantaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H).
5.       Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menurunkan itu. Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits adalah ilmu yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik ketika hendak diamalkan.
Penting diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadits, sebagaimana ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran. Disamping itu, ilmu ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif. Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih dahulu di antara dua hadits yang “Pertentangan”. Karenanya tidak mustahil kalau ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini. Misalnya, Abu Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.UIama yang mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada tahun 1329 H.
6.      Ilmu Talfiqil Hadis
Ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits-hadits yang isinya berlawanan.Cara mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang ‘amm, atau menaqyidkan yang mutlak, atau dengan memandang banyaknya yang terjadi. Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
7.      Ilmu Fannil Mubhammat
Ilmu untuk mengetahui nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam sanad. Di antara yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu diringkas dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail Mubhamat.
Perawi-perawi yang tidak tersebut namanya dalam shahih bukhari diterangkan dengan selengkapnya oleh Ibnu Hajar Al-Asqallanni dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
8.      Ilmu Ghoriebil Hadits
Yang dimaksudkan dalam ilmu hadist ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadits yang dalam matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang sudah dipahami karena jarang dipakai, sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut. Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Al-Faiqu fi Gharibi’l Hadits” karya Imam Zamakhsyary.

9.      Ilmu Tashif wat Tahrif
Yaitu ilmu yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
10.  Ilmu Tawarikhir Ruwah
Ilmu tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggap kapan mendengar dari gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya, perantauannya, keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan perhaditsan.
11.  Ilmu Thabaqotur Ruwah
Ilmu yang pembahasannya diarahkan kepada kelompok orang-orang (rawi) yang berserikat dalam suatu alat pengikat yang sama.
Kitab bidang  ilmu ini yang terkenal diantaranya “Thabaqatur Ruwah” karya Al Hafidz Abu ‘Amr Khalifah Bin Khayyath Asy Syaibany.
12.  Ilmu Tawarikhu’l Mutun
Ilmu yang menitik beratkan kapan dan dimana atau di waktu apa hadits itu diucapkan atau perbuatan itu dilakukan Rasulullah saw. Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Mahasinu’l Ishthilah” karya Imam Sirajuddin Abu Hafsh ‘Amar Bin Salar Al-Bulqiny.
13.  Ilmu Mukhtaliful Hadits
Ilmu yang membahas hadits hadits yang menurut lahirnya saling bertentangan, untuk dikompromikan, sebagaimana halnya membahas hadits hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikat-hakikatnya.


No comments:

Post a Comment