Friday, November 16, 2018

Undang Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat








UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR  23  TAHUN  2011
TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang
:
a.  bahwa  negara  menjamin  kemerdekaan  tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing  dan  untuk  beribadat  menurut  agamanya dan kepercayaannya itu;

b.   bahwa  menunaikan  zakat  merupakan  kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam;

c.   bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan    untuk   meningkatkan   keadilan   dan kesejahteraan masyarakat;

d.   bahwa dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam;

e.   bahwa  Undang-Undang  Nomor  38  Tahun  1999 tentang   Pengelolaan  Zakat  sudah  tidak  sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat  sehingga perlu diganti;

f.    bahwa   berdasarkan   pertimbangan   sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat;

Mengingat

:

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang   Dasar   Negara   Republik   Indonesia
Tahun 1945;


Dengan . . .


- 2 -




Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA




MEMUTUSKAN:


Menetapkan   :    UNDANG-UNDANG    TENTANG        PENGELOLAAN ZAKAT.




BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.    Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan,                          dan     pengoordinasian     dalam pengumpulan,                                   pendistribusian,            dan pendayagunaan zakat.

2.    Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang                muslim   atau   badan   usaha   untuk diberikan                 kepada   yang   berhak   menerimanya sesuai dengan syariat Islam.

3.    Infak   adalah   harta   yang   dikeluarkan   oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.

4.    Sedekah   adalah   harta   atau   nonharta   yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.

5.    Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat.


6.  Mustahik . . .


- 3 -




6.    Mustahik  adalah  orang  yang  berhak  menerima zakat.

7.    Badan  Amil  Zakat  Nasional  yang  selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional.

8.    Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.

9.    Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disingkat UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat.

10. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.

11.  Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat            dimanfaatkan   untuk   biaya   operasional dalam pengelolaan zakat sesuai syariat Islam.

12.  Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.


Pasal 2


Pengelolaan zakat berasaskan:

a. syariat Islam;

b. amanah;

c.  kemanfaatan;

d. keadilan;

e.  kepastian hukum;

f.  terintegrasi; dan g. akuntabilitas.



Pasal 3  . . .


- 4 -




Pasal  3


Pengelolaan zakat bertujuan:

a. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan

b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan                         masyarakat  dan  penanggulangan kemiskinan.


Pasal 4


(1)  Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah.

(2)  Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b. uang dan surat berharga lainnya;
c.  perniagaan;

d. pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
e.  peternakan dan perikanan f.  pertambangan;
g. perindustrian;
h. pendapatan dan jasa; dan i.  rikaz.
(3)   Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan                     harta   yang   dimiliki   oleh   muzaki perseorangan atau badan usaha.

(4)   Syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam.

(5)   Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah sebagaimana dimaksud   pada   ayat   (4)   diatur dengan Peraturan Menteri.



BAB II . . .


- 5 -




BAB II
BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL


Bagian Kesatu
Umum


Pasal 5


(1)  Untuk      melaksanakan      pengelolaan      zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS.

(2)  BAZNAS  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)
berkedudukan di ibu kota negara.

(3)  BAZNAS  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) merupakan          lembaga  pemerintah  nonstruktural yang bersifat  mandiri  dan  bertanggung  jawab kepada Presiden melalui Menteri.


Pasal 6


BAZNAS    merupakan    lembaga    yang    berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.


Pasal 7


(1) Dalam    melaksanakan    tugas    sebagaimana dimaksud                       dalam       Pasal       6,       BAZNAS menyelenggarakan fungsi:
a. perencanaan  pengumpulan,  pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
b. pelaksanaan   pengumpulan,   pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
c. pengendalian  pengumpulan,  pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan




d. pelaporan . . .


- 6 -




d. pelaporan          dan          pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
(2)  Dalam   melaksanakan   tugas   dan   fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai  dengan        ketentuan        peraturan perundang-undangan.
(3)  BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia  paling  sedikit  1  (satu)  kali  dalam
1 (satu) tahun.




Bagian Kedua
Keanggotaan


Pasal 8


(1)  BAZNAS terdiri atas 11 (sebelas) orang anggota.

(2)  Keanggotaan   BAZNAS   sebagaimana   dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 8 (delapan) orang dari unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah.

(3)  Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat  (2)   terdiri   atas   unsur   ulama,   tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam.

(4)  Unsur pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditunjuk dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat.

(5)  BAZNAS dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.




Pasal 9 . . .


- 7 -




Pasal 9


Masa kerja anggota BAZNAS dijabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.


Pasal 10


(1)  Anggota BAZNAS diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri.

(2)  Anggota BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(3) Ketua dan wakil ketua BAZNAS dipilih oleh anggota.


Pasal 11


Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai anggota BAZNAS  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  10 paling sedikit harus:
a. warga negara Indonesia;

b. beragama Islam;

c.  bertakwa kepada Allah SWT;

d. berakhlak mulia;

e.  berusia minimal 40 (empat puluh) tahun;

f.  sehat jasmani dan rohani;

g. tidak menjadi anggota partai politik;

h. memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat;
dan

i.   tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.


Pasal 12 . . .


- 8 -




Pasal 12


Anggota BAZNAS diberhentikan apabila:

a. meninggal dunia;

b. habis masa jabatan;

c.  mengundurkan diri;

d. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga)
bulan secara terus menerus; atau

e.  tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota.


Pasal 13


Ketentuan lebih lanjut mengenai, tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota BAZNAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Pasal 14


(1)  Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibantu oleh sekretariat.

(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata  kerja   sekretariat   BAZNAS   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.



Bagian Ketiga
BAZNAS Provinsi
dan BAZNAS Kabupaten/Kota


Pasal 15

(1)  Dalam  rangka  pelaksanaan  pengelolaan  zakat pada tingkat    provinsi    dan    kabupaten/kota dibentuk         BAZNAS    provinsi    dan    BAZNAS kabupaten/kota.

(2)   BAZNAS . . .


- 9 -




(2)  BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.

(3)  BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.

(4)  Dalam hal gubernur atau bupati/walikota tidak mengusulkan          pembentukan   BAZNAS   provinsi atau    BAZNAS   kabupaten/kota,   Menteri   atau pejabat yang ditunjuk dapat membentuk BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.

(5) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota melaksanakan                          tugas   dan   fungsi   BAZNAS   di provinsi atau kabupaten/kota masing-masing.


Pasal 16


(1)   Dalam   melaksanakan   tugas   dan   fungsinya, BAZNAS,           BAZNAS    provinsi,    dan    BAZNAS kabupaten/kota           dapat  membentuk  UPZ  pada instansi pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri serta dapat   membentuk   UPZ   pada   tingkat kecamatan, kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja   BAZNAS   provinsi   dan   BAZNAS kabupaten/kota   diatur      dalam      Peraturan Pemerintah.



Bagian Keempat . . .


- 10 -




Bagian Keempat
Lembaga Amil Zakat




Pasal 17


Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.


Pasal 18


(1)  Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.

(2)  Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:

a. terdaftar  sebagai  organisasi  kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;

b. berbentuk lembaga berbadan hukum; c.  mendapat rekomendasi dari BAZNAS; d. memiliki pengawas syariat;
e.  memiliki   kemampuan   teknis,   administratif, dan             keuangan      untuk      melaksanakan kegiatannya;

f.  bersifat nirlaba;

g.  memiliki   program   untuk   mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan

h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.




Pasal 19 . . .


- 11 -




Pasal 19


LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.


Pasal 20


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan organisasi, mekanisme perizinan, pembentukan perwakilan,  pelaporan, dan pertanggungjawaban LAZ diatur dalam Peraturan Pemerintah.




BAB III PENGUMPULAN, PENDISTRIBUSIAN, PENDAYAGUNAAN, DAN PELAPORAN


Bagian Kesatu
Pengumpulan


Pasal 21


(1) Dalam  rangka  pengumpulan  zakat,  muzaki melakukan penghitungan sendiri atas kewajiban zakatnya.

(2) Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri kewajiban                   zakatnya,   muzaki   dapat   meminta bantuan BAZNAS.


Pasal 22


Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS
atau LAZ dikurangkan dari  penghasilan kena pajak.




Pasal 23 . . .


- 12 -




Pasal 23


(1)  BAZNAS   atau   LAZ   wajib   memberikan   bukti setoran zakat kepada setiap muzaki.
(2)  Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)     digunakan     sebagai     pengurang penghasilan kena pajak.


Pasal 24

Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.


Bagian Kedua
Pendistribusian


Pasal 25

Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam.


Pasal 26

Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.


Bagian Ketiga
Pendayagunaan


Pasal 27

(1) Zakat   dapat   didayagunakan   untuk   usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.


(2)  Pendayagunaan . . .


- 13 -




(2) Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan    dasar    mustahik    telah terpenuhi.
(3)  Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat            untuk    usaha    produktif    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Keempat
Pengelolaan Infak, Sedekah,
dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya


Pasal 28

(1)  Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya.
(2) Pendistribusian   dan   pendayagunaan   infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan    peruntukkan    yang    diikrarkan    oleh pemberi.
(3) Pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan                       lainnya    harus    dicatat    dalam pembukuan tersendiri.


Bagian Kelima
Pelaporan


Pasal 29

(1) BAZNAS kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS provinsi dan pemerintah daerah secara berkala.

(2)   BAZNAS . . .


- 14 -




(2) BAZNAS provinsi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan      dana   sosial   keagamaan   lainnya   kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala.

(3) LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan                      zakat,  infak,  sedekah,  dan  dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala.

(4) BAZNAS     wajib     menyampaikan     laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan      dana   sosial   keagamaan   lainnya   kepada Menteri secara berkala.

(5) Laporan neraca tahunan BAZNAS diumumkan melalui media cetak atau media elektronik.

(6)  Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   pelaporan BAZNAS kabupaten/kota, BAZNAS provinsi, LAZ, dan BAZNAS diatur dalam Peraturan Pemerintah.




BAB IV PEMBIAYAAN


Pasal 30


Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan  Anggaran  Pendapatan  dan  Belanja  Negara dan Hak Amil.


Pasal 31


(1)  Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS provinsi dan BAZNAS    kabupaten/kota    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil.

(2)   Selain . . .


- 15 -






(2)  Selain pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)    BAZNAS    provinsi    dan    BAZNAS kabupaten/kota dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.


Pasal 32
LAZ dapat menggunakan Hak Amil untuk membiayai kegiatan operasional.


Pasal 33


(1)  Pembiayaan BAZNAS dan penggunaan Hak Amil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

(2)  Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 dilaksanakan sesuai dengan   ketentuan    peraturan    perundang- undangan.




BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal  34
(1)  Menteri      melaksanakan      pembinaan      dan
pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ.

(2) Gubernur  dan  bupati/walikota  melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS provinsi,    BAZNAS   kabupaten/kota,   dan   LAZ sesuai dengan kewenangannya.


(3)  Pembinaan  . . .


- 16 -




(3)  Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi.






BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 35
(1) Masyarakat   dapat   berperan   serta   dalam pembinaan  dan  pengawasan  terhadap  BAZNAS dan LAZ.

(2)  Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam rangka:

a. meningkatkan  kesadaran  masyarakat  untuk menunaikan zakat melalui BAZNAS dan LAZ; dan

b. memberikan saran untuk peningkatan kinerja
BAZNAS dan LAZ.

(3)  Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam bentuk:

a. akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ; dan

b. penyampaian     informasi     apabila     terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.






BAB VII . . .


- 17 -




BAB VII
SANKSI  ADMINISTRATIF Pasal 36
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal  19,  Pasal  23  ayat  (1), Pasal  28  ayat  (2)  dan  ayat  (3),  serta  Pasal  29 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian     sementara     dari     kegiatan;
dan/atau

c.  pencabutan izin.

(2) Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   sanksi administratif                         sebagaimana     dimaksud     pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.





BAB VIII LARANGAN

Pasal  37


Setiap orang dilarang melakukan tindakan memiliki, menjaminkan, menghibahkan, menjual, dan/atau mengalihkan  zakat,  infak,  sedekah,  dan/atau dana sosial keagamaan lainnya yang ada dalam pengelolaannya.


Pasal 38


Setiap   orang   dilarang   dengan   sengaja   bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian,  atau  pendayagunaan  zakat  tanpa izin pejabat yang berwenang.



BAB IX . . .


- 18 -




BAB IX KETENTUAN PIDANA


Pasal 39


Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


Pasal 40


Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal  37  dipidana  dengan  pidana  penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).


Pasal 41


Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam  Pasal  38  dipidana  dengan  pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).


Pasal 42


(1)  Tindak    pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 39 dan Pasal 40 merupakan kejahatan.





(2)   Tindak . . .


- 19 -




(2)  Tindak    pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam
Pasal 41 merupakan pelanggaran.




BAB X KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 43



(1)    Badan Amil Zakat Nasional yang telah ada sebelum Undang-Undang   ini   berlaku   tetap   menjalankan tugas  dan  fungsi  sebagai  BAZNAS  berdasarkan Undang-Undang ini sampai terbentuknya BAZNAS yang baru sesuai dengan Undang-Undang ini.

(2)    Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dan Badan Amil Zakat            Daerah   kabupaten/kota   yang   telah   ada sebelum     Undang-Undang    ini    berlaku    tetap menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS provinsi dan   BAZNAS   kabupaten/kota   sampai terbentuknya        kepengurusan   baru   berdasarkan Undang-Undang ini.

(3)    LAZ yang telah dikukuhkan oleh Menteri sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan sebagai LAZ berdasarkan Undang-Undang ini.

(4)    LAZ  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  wajib menyesuaikan diri paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.







BAB XI . . .


- 20 -




BAB XI KETENTUAN PENUTUP


Pasal 44


Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1999
Nomor  164;  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik
Indonesia Nomor 3885) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.


Pasal 45


Pada   saat   Undang-Undang   ini   mulai   berlaku, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 46


Peraturan   pelaksanaan   dari   Undang-Undang   ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.


Pasal 47


Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar . . .


- 21 -




Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2011

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2011

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,


ttd.



AMIR SYAMSUDIN


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 115


Salinan sesuai dengan aslinya KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI Asisten Deputi Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,






Wisnu Setiawan





PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR  23  TAHUN  2011

TENTANG

PENGELOLAAN ZAKAT



I.   UMUM


Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat, dan penanggulangan kemiskinan.

Dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan,  keadilan,  kepastian  hukum, terintegrasi, dan  akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.

Selama ini pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38
Tahun  1999  tentang  Pengelolaan  Zakat  dinilai  sudah  tidak  sesuai  lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Pengelolaan zakat yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan.

Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota negara, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.




Untuk . . .


- 2 -


Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit syariat dan keuangan.

Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam. Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.

Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri.

Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil, serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

II.  PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Cukup jelas.


Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Yang dimaksud dengan asas amanah”  adalah pengelola zakat
harus dapat dipercaya.


Huruf c . . .


- 3 -


Huruf c
Yang dimaksud dengan asas “kemanfaatan” adalah pengelolaan zakat  dilakukan  untuk  memberikan  manfaat   yang  sebesar- besarnya bagi mustahik.
Huruf d
Yang dimaksud dengan asas “keadilan adalah   pengelolaan zakat dalam pendistribusiannya dilakukan secara adil.
Huruf e
Yang dimaksud dengan asas “kepastian hukum adalah dalam pengelolaan  zakat  terdapat  jaminan   kepastian  hukum  bagi mustahik dan muzaki.
Huruf f
Yang dimaksud dengan asas “terintegrasi”  adalah pengelolaan zakat dilaksanakan secara hierarkis dalam upaya meningkatkan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
Huruf g
Yang dimaksud dengan  asas “akuntabilitas” adalah pengelolaan zakat    dapat     dipertanggungjawabkan    dan    diakses    oleh masyarakat.


Pasal 3
Cukup jelas.


Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas.



Huruf e . . .


- 4 -


Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas.

Huruf i
Yang dimaksud dengan “rikaz” adalah harta temuan.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “badan  usaha”  adalah  badan  usaha yang dimiliki umat Islam yang meliputi badan usaha yang tidak berbadan  hukum  seperti  firma  dan  yang  berbadan  hukum seperti perseroan terbatas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.


Pasal 5
Cukup jelas.


Pasal 6
Cukup jelas.


Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pihak terkait” antara lain kementerian,
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau lembaga luar negeri.

Ayat (3)
Cukup jelas.



Pasal 8 . . .


- 5 -

Pasal 8
Cukup jelas.


Pasal 9
Cukup jelas.


Pasal 10
Cukup jelas.


Pasal 11
Cukup jelas. Pasal 12
Cukup jelas.


Pasal 13
Cukup jelas.


Pasal 14
Cukup jelas.


Pasal 15
Ayat (1)
Di Provinsi Aceh, penyebutan BAZNAS provinsi atau BAZNAS
kabupaten/kota dapat menggunakan istilah baitul mal.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.





Pasal 16 . . .


- 6 -


Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud “tempat lainnya” antara lain masjid dan majelis taklim.

Ayat (2)
Cukup jelas.


Pasal 17
Cukup jelas.


Pasal 18
Cukup jelas.


Pasal 19
Cukup jelas.


Pasal 20
Cukup jelas.


Pasal 21
Cukup jelas.


Pasal 22
Cukup jelas.


Pasal 23
Cukup jelas.


Pasal 24
Cukup jelas.


Pasal 25
Cukup jelas.


Pasal 26
Cukup jelas.




Pasal 27 . . .


- 7 -


Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “usaha  produktif” adalah usaha yang mampu     meningkatkan    pendapatan,    taraf    hidup,    dan kesejahteraan masyarakat.

Yang  dimaksud  dengan  “peningkatan  kualitas  umat”  adalah peningkatan sumber daya manusia.

Ayat (2)
Kebutuhan dasar mustahik meliputi kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.

Ayat (3)
Cukup jelas.


Pasal 28
Cukup jelas.


Pasal 29
Cukup jelas.


Pasal 30
Cukup jelas.


Pasal 31
Cukup jelas.


Pasal 32
Cukup jelas.


Pasal 33
Cukup jelas.


Pasal 34
Cukup jelas.


Pasal 35
Cukup jelas.


Pasal 36 . . .


- 8 -

Pasal 36
Cukup jelas.


Pasal 37
Cukup jelas.


Pasal 38
Cukup jelas.


Pasal 39
Cukup jelas.


Pasal 40
Cukup jelas.


Pasal 41
Cukup jelas.


Pasal 42
Cukup jelas.


Pasal 43
Cukup jelas.


Pasal 44
Cukup jelas.


Pasal 45
Cukup jelas.


Pasal 46
Cukup jelas.


Pasal 47
Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5255

No comments:

Post a Comment