BAB II
PEMBAHASAN
a.
Pengertian Ilmu
Hadist
Ulumul hadist
terdiri dari dua kata yakni ulum dan al-hadist. Kata ulum dalam bahasa arab
adalah bentuk jama’ dari ‘ilm yang berarti “ ilmu”, sedangkan hadist berarti :”
segala sesuatu yang taqrir atau sifat”. Secara bahasa berarti ilmu-ilmu tentang
hadist. Dengan demikian gabungan dari ulum dan al-hadist mengandung pengertian
“ ilmu yang membahas atau berkaitan tentang hadist nabi Muhammad SAW.
Secara
etimologis, menurut ungkapan as-suyuti, ulumul hadist adalah ilmu pengetahuan
yang membicarakan cara-cara persambungan hadist samapai kepada rasul SAW. Dari
segi hal ihwal para rawinya yang menyangkut kedhabitan dan keadilannya dari
bersambung dan terputusnya sanad dan lain sebagainya.
Ada sebagian
ulama yang mengatakan Ulum al-hadist adalah ilmu yang membahas sabda,
perbuatan, pengakuan, gerak-gerik dan bentuk jasmaniah rasulullah SAW. Beserta
sanad dan ilmu pengetahuan untuk membedakan kesahihannya, kehasanannya,
kedhoifannya dan kepalsuan hadist, baik sisi matan (teks hadist) maupun sisi
sanadnya (mata rantai perawinya).
Sebagian ulama’
membuat istilah yang lain selain ulumul hadist yaitu ushul al hadist. Pengertian
ilmu ushulul hadist adalah suatu ilmu pengetahuan yang menjadi sarana
keshahihan, kehasanan, kedhoifan, dan kepalsuan hadist, baik sisi matan, maupun
sanad hadist untuk membedakan dengan yang lain. Dengan demikian cakupan ilmu
hadist cukup luas yakni segala pengetahuan tentang ihkwal perawi sampai
dibedakan keshahihan dan tidaknya sebuah hadist.[1]
b.
Ruang Lingkup
dan Faedah Ilmu Hadist
Pada dasarnya
kajian hadist mencakup tiga hal:
Pertama yang
terkait dengan kajian sanad hadist, yang oleh ulama’ dikategorikan ilmu hadist
dirayah. Kedua, ilmu yang terkait dengan kajian matan hadist, yang oleh ulama’
dikategorikan ilmu hadist riwayat. Ketiga, yang terkait dengan studi kritis
yang disebut takhrij hadist.
Secara garis
besar hadist di bagi menjadi dua, yaitu:
1.
Hadist Riwayat
Kata riwayah
artinya periwayatan atau cerita. Ilmu
hadist riwayah secara bahasa, berarti ilmu hadist yang berupa periwayatan. Para
ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikan ilmu hadist riwayah, namun yang paling
terkenal diantara definisi-definisi tersebut adalah definisi ibnu al Akhfani,
yaitu: ilmu hadist riwayah adalah
ilmu yang membahas ucapan-ucapan dan perbuatan nabi SAW, periwayatannya, dan
penelitian lafazh-lafazhnya. Ilmu hadist riwayah bertujuan memelihara hadist
nabi SAW. Dri kesalahan dalam proses periwayatan atau dalam penulisan dan pembukuannya.
Dan ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa pengertian dari hadist riwayat
adalah ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan
pemdiwanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir maupun lainnya. Maka dapat diartikan suatu ilmu
pengetahuan yang berfungsi untuk mengetahui segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, taqriri dan lain sebagainya disebut
hadist riwayat.
Objek dari ilmu
hadist riwayah adalah bagaiman tata cara menerima dan menyampaikan hadist
kepada orang lain, dan bagaimana pula tata cara pemindahan pemindahan dan
pembukuannya, akan tetapi tidak samapai ada permasalahan ada tidaknya
kejanggalan dan kecacatan pada matannya. Oleh sebab itu, pembahsannya hanya
terbatas pada masalah penyampaian dan pembukuan sesuai dengan apa adanya, baik
yang berhubungan dengan matan maupun rangakaian merantai para perawinya. Dapat
dikatakan segala ungkapan, perbuatan, ketetapan, dan sifat-sifatnya dari sisi
transformasi dan penetapannya secara pasti dan detail.
Faedah
mempelajari ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip
terhadap apa yang disnadarkan kepada Nabi Muhammad bin Syihab Az-Zuhry.
Kedudukan
termasuk ilmu ini adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidah bin Abdullah bin
Syihab al- Zuhri. Nama kuniahnya adalah Abu Bakar al-Faqih al-Hafidz yang
merupakan orang yang disepakati kewibawaan dan ketelitiannya. Beliau terkenal
dengan sebutan Ibnu syihab al-Zuhri dan meninggal tahun 124/125 H. Kodifikasi
secara resmi atas perintah Amir al-mukmin Umar bin Abdul Aziz.
Tujuan ilmu ini
yaitu selamat serta bahagia di dunia dan akhirat yang mana hal ini menjadi
nyata dengan cara mengetahui dan mengamalkan segala apa yang telah dibawa oleh
Nabi SAW.
Hukum mengkaji
ilmu hadist riwyat adalah wajib kifa’i, artinya bila sebagian oarng telah
mempelajari ilmu tersebut dan cukup untuk menutup kebutuhan, maka gugurlah
kewajiban bagi orang-orang lain. Adapun bila orang yang belajar ilmu ini untuk
memenuhi kebutuhan tidak ada yang lain kecuali dirinya, maka mempelajari ilmu
ini bagi orang tersebut adalah wajib ‘aini.
2.
Hadist Dirayat
Ilmu hadist
dirayat adalah ilmu dengan segala kaidah-kaidahnya untuk mengetahui keadaan
sanad, matan, dari segi diterima maupun ditolaknya sebuah hadist. Imam ibnu
hajar mendefinisikan Ilmu ini dengan kaidah-kaidah yang bisa mengetahui keadaan
rawi dan marwi (periwayat dan yang
diriwayatkan). Dan ada juga pengertian lain yang mengatakan bahwa hadist
dirayat adalah teori-teori (kaidah-kaidah) untuk mengetahui ikhwal perawi,
sanad (mata rantai perawi), cara-cara menerima dan menyampaikan hadist,
sifat-sifat perawi dan lain sebagainya.
Dengan demikian
bisa dikatakan bahwa ilmu hadist dirayat yaitu ibarat dari sekumpulan
kaidah-kaidah yang bisa mengetahui keadaan periwayat daroi segi jahr wa ta’dil,
keadaan yang diriwayatkan baik hadist maupun atsar dari segi samapi terputusnya
sanad, mengetahui kelemahan-kelemahan hadist dan segala apa yang ada kaitannya
dengan ditolak maupun diterimanya sebuah hadist.
Obyek ilmu ini yaitu
sanad dan matan dari segi ini dietrima maupun ditolak. Faedahnya adalah
membedakan sahih dan dhai’if dari sebuah hadist.
Kedudukannya
merupakan ilmu yang paling mulia dimana ilmu ini bisa digunakan untuk
membedakan antara hadist yang diterima dan ditolak. Orang pertama yang
mengkodifikasi ilmu ini adalah al-Qodli al-Hasan bin Abdur Rahman bin Khallad
al-Ramaharmuzi dengan mengarang kitab al-Muhaddist al-fashil baina al-wai.
Hukum mengkaji ilmu hadist dirayat adalah wajib kifa’i.
Dari definisi
tentang ilmu hadist ilmu hadist riwayat dan dirayat diatas, dapat dipahami
tentang obyek, faedah dan perintis ilmu masing-masing ilmu. Untuk ilmu hadist
riwayat, obyek, faedah dan perintis masing-masing ilmu. Untuk ilmu hadist
riwayat, obyeknya adalah matan hadist. Bagaimana pemaknaan terhadap hadist itu,
bagaimana sekiranya terjadi kontradiksi baik dengan sesama hadist maupaun
dengan al-qur’an, termasuk ma’mul dan tidak ma’mul-nya sebuah hadist dan
lainnya.
Faedah atau
signifikasi ilmu hadist riwayat adalah untuk mengetahui aspek validitas sebuah
hadist serta ma’mul dan tidak ma’mul-nya sebuah hadist. sedangkan obyek ilmu
hadist dirayat adalah meneliti keadaan masing-masing perawi hadist
kebersambungan dan tidaknya sanad (mata rantai perawi) dan lainnya. Faedah atau
signifikansi ilmu hadist dirayat adalah untuk menetapkan status hadist, shahih,
hasan, dhaif dan kepalsuannya.
Adapun ilmu
takhrij hadist adalah seperangkat ilmu yang fokusnya menunjukkan keberadaan
suatu hadist pada referensi utamanya dan menjelaskan derajat hadist tersebut.
Ilmu ini akhirnya berkembang dengan fokus kolaborasi kajian hadist baik sisi sanad
maupun matan hadist untuk mengetahui otentisitas sebauah hadis dan
validitasnya.
c.
Sejarah
Perkembangan Ilmu Hadist
Ilmu hadist riwayat
merupakan ilmu yang lebih dahulu lahir dibandingkan dengan ilmu hadist dirayat.
Hal ini disebabkan pada awalnya umat tidak mengalami kesulitan pada aspek sanad
(mata rantai perawi) hadist. problem yang mereka hadapi biasanya pada aspek
pemahaman terhadap teks hadist itu sendiri.
Para sahabat
diantaranya ada yang salaing menegur temannya ketika terjadi keslahpahaman
terhadap suatu teks. Seperti yang dilakukan aisyah terhadap kesalahan Anas Ibn
Malik dalam hal mayat disiksa lantaran ditangisi oleh keluarganya. Demikian
pula teguran Abu Bakar kepada Umar Ibn Khattab yang teks tulisan hadistnya
masih belum tuntas dan perlu dilengkapi sehingga melahirkan perbedaan dalam
mempersepsikan hadist.
Setelah terjadi
kasus pemalsuan terhadap hadist-hadist Nabi, barulah ada gerakan yang
signifikan dalam proses penerimaan dan periwayatan hadist. sejak itulah
perhatian ulama’ tertuju kepada kredibilitas perawi dan peletakan
kaedah-kaeadah yang dapat di jadikan acuan dalam penerimaan hadist dan
penolakannya.
Pada awalnya
teori-teori proses penerimaan dan periwayatan hadist serta kredibilitas perawi
masih tersisip dalam buku-buku yang belum spesifik, melainkan berbaur dengan
berbagai makalah seperti yang dilakukan Imam al-Syafi’i dan lainnya dalam karya
–karya mereka.
Tidak ditemukan
kepastian tahun beberapa ilmu hadist lahir, tetapi yang jelas bahwa ilmu ini
lahir ketika hadist sudah terkodifikasi, yaitu pada abad kedua hijriah. Dengan
demikian, lahirnya ilmu hadist adalah sesudah abad kedua hijriah.
Memang seperti
ilmu kredibilitas perawi sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW., tetapi keilmuan
itu belum terkodifikasikan secara teratur. Demikian pula ilmu nasikh dan
mansukh hadist misalnya , baru pada abad ke 4H berhasil dibukukan dan menjadi
disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya.
Dapat
dikatakan, bahwa para ulama’ merintis lahirnya ilmu hadist setelah periwayatan
sudah berkembang dengan pesat. Begitu pesatnya periwayatan hadist sehingga
tidak dipilah mana yang shahih, hasan, atau yang dhoif. Setelah perangkat
ilmunya lahir, barulah kemudian disusun kaidah-kaidah keshahihan suatu hadist.
Dalam sejarah
perkembangan ilmu hadist ini terbagi menjadi bebrapa periode, yaitu :
1.
Periode Risalah
Periode ini
dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi SAW yakni sekitar
tahun 11 H sampai 632 M. Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya
berada di tangan Nabi Muhammad SAW. Sumber hukum pada saat ittu adalah
al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW.
2.
Periode Khulafaur Rasyidin
Dimulai sejak
wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai Muawiyyah bin Abu Sofyan memegang tombak
pemerintahan islam pada tahun 41 H/ 661 M. Sumber hukum pada masa ini disamping
al-Qu’an dan sunnah nabi juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para
sahabat.
3.
Periode Awal Pertumbuhan Fiqh
Masa ini
dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai pada awal abad ke-2 H. Periode ke-3 ini
merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu ilmu disiplin islam.
4.
Periode Keemasan
Dimulai pada
awal ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H. Ciri khas yang menonjol dari periode
ini semangat ijtihad sangat menonjol dikalangan ulama’, sehingga berbagai
pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang.
5.
Periode Tahrir, Takhrij, dan Tarjih
dalam Madzhab Fiqh
Dimulai dari
pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H yang dimaksudkan dengan
tahrir, tahrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama’ masing-masing
madzhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka.
6.
Periode kemunduran Fiqh
Dimulai pada
abad pertengahan abad ke-7 H. Perkembangan fiqh pada masa ini merupakan
lanjutan dari periode fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya.
d.
Cabang-Cabang
Ilmu Hadist
1.
IImu Rijalil Hadist
Ilmu yang
membahas tentang para perawi hadits, baik dari sahabat, tabi’in, maupun dari
angkatan sesudahnya. Dengan ilmu ini dapatlah kita mengetahui keadaan para
perawi penerima hadits dari Rasulullah dan keadaan para perawi yang menerima
hadits dari sahabat dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh
ringkas dari riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi
dan keadaan-keadaan para perawi itu dalam menerima hadist.
Sungguh
penting sekali ilmu ini dipelajari dengan seksama, karena hadist itu terdiri
dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad
merupakan separuh dari pengetahuan. Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini
banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para
sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada
yang menerangkan perawi-perawi yang dipercayai saja, Ada yang menerangkan
riwayat-riwayat para perawi yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para
pemuat hadis maudu’. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap cacat dan
sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut kata -kata yang dipakai untuk itu
serta martabat perkataan.Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa tulisan
berlainan sebutan yang di dalam ilmu hadits disebut Mu’talif dan Mukhtalif. Dan
ada yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya,
Umpamanya Khalil ibnu Ahmad. Nama ini banyak orangnya. Ini dinamai Muttafiq dan
Muftariq. Dan ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi
berlainan keturunan dalam sebutan, sedang dalam tulisan serupa. Seumpama
Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad ibnu Uqail. Ini dinamai Musytabah. Dan ada juga
yang hanya menyebut tanggal wafat.
2.
Ilmul
Jarhi Wat Takdil
Ilmu Jarhi
Wat Takdil, pada hakekatnya merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil hadist.
Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting maka ilmu ini
dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan ilmul jarhi
wat takdil ialah: “Ilmu yang menerangkan tentang catatan-catatan yang
dihadapkan pada para perawi dan tentang penakdilannya (memandang adil para
perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan tentang martabat-martabat
kata-kata itu. ” Ilmu Jarhi wat Ta’dil dibutuhkan oleh para ulama hadits
karena dengan ilmu ini akan dapat dipisahkan, mana informasi yang benar yang
datang dari Nabi Muhammad SAW dan mana yang bukan dari Nabi SAW.
Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat. Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat.
Mencacat para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak terpedaya dengan riwayat-riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat. Menurut keterangan Ibnu Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat.
Di antara
para sahabat yang menyebutkan keadaan perawi-perawi hadits ialah Ibnu Abbas (68
H), Ubadah ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H).Di antara tabi’in
ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin (110H), Said Ibnu AI-Musaiyab (94 H). Dalam
masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua
Hijrah baru ditemukan banyak orang-orang yang lemah. Kelemahan itu adakalanya
karena meng-irsal-kan hadits, adakalanya karena me- rafa-kan hadits yang
sebenarnya mauquf dan adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak
disengaja, seperti Abu Harun AI-Abdari (143 H).
3.
IImu
Illail Hadist
Ilmu yang
menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan
hadist. Yakni menyambung yang munqati’, merafakan yang mauqu’ memasukkan satu
hadits ke dalam hadits yang lain dan yang serupa itu Semuanya ini, bila
diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadist.
Ilmu ini
merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadist, dan
sehalus-halusnya. Tak dapat diketahui penyakit-penyakit hadits melainkan oleh
ulama yang mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi
dan mempunyai malakah yang kuat terhadap sanad dan matan-matan hadits.
Menurut
Syaikh Manna’ Al-Qaththan bahwa cara mengetahui ‘illah hadits adalah dengan
mengumpulkan beberapa jalan hadits dan mencermati perbedaan perawinya dan
kedhabithan mereka, yang dilakukan oleh orang orang yang ahli dalam ilmu ini.
Dengan cara ini akan dapat diketahui apakah hadits itu mu’tal (ada ‘illatnya)
atau tidak. Jika menurut dugaan penelitinya ada ‘illat pada hadits tersebut
maka dihukuminya sebagai hadits tidak shahih .
Di antara
para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim
(327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu,
ulama yang menulis kitab ini adalah AI-lmam Muslim (261 H), Ad-Daruqutni (357
H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim.
4.
Ilmun
nasikh wal mansukh
Ilmu yang
menerangkan hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasikhkannya. Apabila
didapati suatu hadits yang maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka
hadits tersebut dinamai Muhkam. Namun jika dilawan oleh hadits yang
sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka hadits itu dinamai
Mukhatakiful Hadits. Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang
terkemudian, maka yang terkemudian itu, dinamai Nasih dan yang terdahulu
dinamai Mansuh.Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan mam’uh ini,
diantaranya Ahmad ibnu Ishaq Ad-Dillary (318 H), Muhammad ibnu Bahar
AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu
terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa
Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al-lktibar. Kitab AI-Iktibar
itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H).
5.
Ilmu Asbabi Wuruddil Hadis
Ilmu yang
menerangkan sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi
menurunkan itu. Menurut Prof Dr. Zuhri ilmu Asbabi Wurudil Hadits adalah ilmu
yang menyingkap sebab-sebab timbulnya hadits. Terkadang, ada hadits yang
apabila tidak diketahui sebab turunnya, akan menimbulkan dampak yang tidak baik
ketika hendak diamalkan.
Penting
diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadits, sebagaimana
ilmu Ashabin Nuzul menolong kita dalam memahami Al-Quran. Disamping itu, ilmu
ini mempunyai fungsi lain untuk memahami ajaran islam secara komprehensif.
Asbabul Wurud dapat juga membantu kita mengetahui mana yang datang terlebih
dahulu di antara dua hadits yang “Pertentangan”. Karenanya tidak mustahil kalau
ada beberapa ulama yang tertarik untuk menulis tema semacam ini. Misalnya, Abu
Hafs Al- Akbari (380-456H), Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Kamaluddin, yang lebih
dikenal dengan Ibn hamzah Al-Husainy Al-Dimasyqy (1054-1120H) denagn karyanya
Al-Bayan Wa Al Ta’rif Fi Asbab Wurud Al- hadits Al-Syarif.UIama yang mula-mula
menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar
Muhammad ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan
pula oleh Ibrahim ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah Al
Husaini (1120 H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak pada
tahun 1329 H.
6.
Ilmu
Talfiqil Hadis
Ilmu yang
membahas tentang cara mengumpulkan hadits-hadits yang isinya berlawanan.Cara
mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan yang ‘amm, atau menaqyidkan yang
mutlak, atau dengan memandang banyaknya yang terjadi. Ilmu ini dinamai juga
dengan ilmu Mukhtaliful Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha
menyusun, ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu Qurtaibah (276 H),
At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597 H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini
sudah disyarahkan oleh Al-Ustaz Ahmad Muhammad Syakir dan baik sekali nilainya.
7.
Ilmu
Fannil Mubhammat
Ilmu untuk mengetahui
nama orang-orang yang tidak disebut dalam matan, atau di dalam sanad. Di antara
yang menyusun kitab ini, Al-Khatib Al Baghdady. Kitab Al Khatib itu diringkas
dan dibersihkan oleh An-Nawawy dalam kitab Al-Isyarat Ila Bayani Asmail
Mubhamat.
Perawi-perawi yang tidak tersebut
namanya dalam shahih bukhari diterangkan dengan selengkapnya oleh Ibnu Hajar
Al-Asqallanni dalam Hidayatus Sari Muqaddamah Fathul Bari.
8.
Ilmu
Ghoriebil Hadits
Yang
dimaksudkan dalam ilmu hadist ini adalah bertujuan menjelaskan suatu hadits
yang dalam matannya terdapat lafadz yang pelik, dan yang sudah dipahami karena
jarang dipakai, sehingga ilmu ini akan membantu dalam memahami hadits tersebut.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya “Al-Faiqu fi Gharibi’l Hadits”
karya Imam Zamakhsyary.
9.
Ilmu
Tashif wat Tahrif
Yaitu ilmu
yang menerangkan tentang hadits-hadits yang sudah diubah titiknya (dinamai
mushohaf), dan bentuknya (dinamai muharraf).
10. Ilmu Tawarikhir Ruwah
Ilmu tentang
hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggap kapan
mendengar dari gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya,
perantauannya, keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan perhaditsan.
11. Ilmu Thabaqotur Ruwah
Ilmu yang
pembahasannya diarahkan kepada kelompok orang-orang (rawi) yang berserikat
dalam suatu alat pengikat yang sama.
Kitab
bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya “Thabaqatur Ruwah” karya Al
Hafidz Abu ‘Amr Khalifah Bin Khayyath Asy Syaibany.
12. Ilmu Tawarikhu’l Mutun
Ilmu yang
menitik beratkan kapan dan dimana atau di waktu apa hadits itu diucapkan atau
perbuatan itu dilakukan Rasulullah saw. Kitab yang terkenal dalam ilmu ini
diantaranya “Mahasinu’l Ishthilah” karya Imam Sirajuddin Abu Hafsh ‘Amar Bin
Salar Al-Bulqiny.
13. Ilmu Mukhtaliful Hadits
Ilmu yang membahas hadits hadits yang menurut lahirnya
saling bertentangan, untuk dikompromikan, sebagaimana halnya membahas hadits
hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan
kesukarannya dan menjelaskan hakikat-hakikatnya.
No comments:
Post a Comment