BAB II
PEMBAHASAN
A. Agama Sebagai Doktrin
Kata doktrin berasal dari bahasa inggris doctrine yang
berarti ajaran.[1] Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktina;,
yang berarti yang berkenaan dengan ajaran atau bersifat ajaran.
Selain kata doctrine sebgaimana disebut diatas,
terdapat kata doctrinaire yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak
praktis. Contoh dalam hal ini misalnya doctrainare ideas ini berrati
gagasan yang tidak praktis.[2]
Studi doktinal ini berarti studi yang berkenaan dengan
ajaran atau studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak
praktis. Mengapa tidak praktis? Jawabannya adalah karena ajaran itu belum
menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau
mengerjakan sesuatu.
Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek
studi doctrinal tersebut. Ini berarti dalam studi doctrinal kali yang di maksud
adalah studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang
dikemukakan oleh Islam.
Islam di definisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut: "al-Islamu
wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam
lisa`adati al-dunya wa al-akhirah" (Islam adalah wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat).[3]
Berdasarkan pada definisi Islam sebagaimana di kemukakan di
atas, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas
adalah al-Qur`an dan al-Sunnah. Al-Qur`an yang kita sekarang dalam bentuk
mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan berakhir
dengan surah al-Nas, yang jumlahnya 114 surah.
Sedangkan al-Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga
ratus hijrah. Sekarang ini kalau kita ingin lihat al-Sunnah atau al-Hadist,
kita dapat lihat di berbagai kitab hadist. Misalnya kitab hadist Muslim yang
disusun oleh Imam Muslim, kitab hadist Shaleh Bukhari yang ditulis Imam
al-Bukhari, dan lain-lain.
Dari kedua sumber itulah, al-Qur`an dan al-Sunnah, ajaran
Islam diambil. Namun meski kita mempunyai dua sumber, sebagaimana disebut
diatas, ternyata dalam realitasnya, ajaran Islam yang digali dari dua sumber
tersebut memerlukan keterlibatan tersebut dalam bentuk ijtihad.
Dengan ijtihad ini, maka ajaran berkembang. Karena ajaran
Islam yang ada di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak
yang diajarkan secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang berkembang
kemudian yang tidak secara terang disebut di dalam dua sumber itu di dapatkan
dengan cara ijtihad.
Dengan demikian, maka ajaran Islam selain termaktub pula di
dalam penjelasan atau tafsiran-tafsiran para ulama melalui ijtihad itu.
Hasil ijtihad selama tersebar dalam semua bidang, bidang
yang lain. Semua itu dalam bentuk buku-buku atau kitab-kitab, ada kitab fiqih,
itab ilmu kalam, kitab akhlaq, dan lain-lain.
Sampai disini jelaslah, bahwa ternyata ajaran Islam itu
selain langsung diambil dari al-Qur`an dan al-Sunnah, ada yang diambil melalui
ijtihad. Bahkan kalau persoalan hidup ini berkembang dan ijtihad terus dilakukan
untuk mencari jawaban agama Islam terhadap persoalan hidup yang belum jelas
jawabannya di dalam suatu sumber yang pertama itu. Maka ajaran yang diambil
dari ijtihad ini semakin banyak.
Studi Islam dari sisi doctrinal itu kemudian menjadi sangat
luas, yaitu studi tentang ajaran Islam baik yang ada di dalam al-Qur`an maupun
yang ada di dalam al-Sunnah serta ada yang menjadi penjelasan kedua sember
tersebut dengan melalui ijtihad.
Jadi sasaran studi Islam doctrinal ini sangat luas.
Persoalannya adalah apa yang kemudian di pelajari dari sumber ajaran Islam itu.
B. Islam Sebagai Produk Budaya
Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati. Sebagai
kenyataan, berbagai aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada
aspek yang dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang
yang melakukan studi.
Cara-cara pendekatan dalam mempelajari agama dapat dibagi ke
dalam dua golongan besar, yaitu model studi ilmu-ilmu social dan model studi
budaya. Untuk yang pertama telah dibahas didalam sub bab yang lalu, sedagkan
yang kedua akan menjadi pembahasan saat ini.
Tujuan mempelajari agama Islam juga dapat dikategorikan ke
dalam dua macam, yang pertama, untuk mengetahui, memahami, menghayati dan
mengamalkan. Kedua, untuk obyek penelitian. Artinya, kalau yang pertama berlaku
khusus bagi umat Islam saja, baik yang masih awam, atau yang sudah sarjana.
Akan tetapi yang kedua berlaku umum bagi siapa saja, termasuk sarjana-sarjana
bukan Isalam, yaitu memahami. Akan tetapi realitasnya ada yang sekedar sebagai
obyek penelitian saja.
Untuk memahami suatu agama, khususnya Islam memang harus
melalui dua model, yaitu tekstual dan konstektual. Tekstua, artinya memahami
Islam melalui wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan kontekstual berarti
memahami Islam lewat realitas social, yang berupa perilaku masyarakat yang
memeluk agama bersangkutan.
Studi budaya di selenggarakan dengan penggunaan cara-cara
penelitian yang diatur oleh aturan-aturan kebudayaan yang bersangkutan.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan yang dipunyai oleh
manusia sebagai mahkluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat
model-model pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan
menginterprestasi lingkungan yang di hadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan
tindakan-tindakan yang diperlukan.[4]
Islam merupakan agama yang diwahyukan Allah SWT. Kepada Nabi
Muhammad SAW.sebagai jalan hidup untuk meraih kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Agama islam disebut juga agama samawi . selain agama Islam,
Yahudi dan Nasrani juga termasuk ke dalam kategori agama samawi. Sebab
keduanya merupakan agama wahyu yang diterima Nabi Musa dab Nabi Isa sebagai
utusan Allah yang menerima pewahyuan agama Yahudi dan Nasrani.
Agama wahyu bukan merupakan bagian dari kebudayaan. Demikian
pendapat Endang Saifuddin Anshari yang mengatakan dalam suatu tulisannya bahwa:
"agama
samawi dan kebudayaan tidak saling mencakup; pada prinsipnya yang satu tidak
merupakan bagian dari yang lainnya; masing-masing berdiri sendiri. Antara
keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat seperti kita saksikan
dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari. Sebagaimana pula terlihat
dalam hubungan erat antara suami dan istri, yang dapat melahirkan putra, namun
suami bukan merupakan bagian dari si istri, demikian pula sebaliknya."[5]
Atas dasar pandangan di atas, maka agama Islam sebagai agama
samawi bukan merupakan bagian dari kebudayaan (Islam), demikian pula sebaliknya
kebudayaan Islam bukan merupakan bagian dari agama Islam. Masing-masing berdiri
sendiri, namun terdapat kaitan erat antara keduanya. Menurut Faisal Ismail,
hubungan erat itu adalah bahwa Islam merupakan dasar, asas pengendali, pemberi
arah, dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan
perkembangan cultural. Agama (Islam)lah yang menjadi pengawal, pembimbing, dan
pelestari seluruh rangsangan dan gerak budaya, sehingga ia menjadi kebudayaan
yang bercorak dan beridentitas Islam.[6]
Lebih jauh Faisal menjelaskan bahwa walaupun memiliki
keterkaitan, Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda, sehingga
keduanya bisa dilihat dengan jelas dan tegas. Shalat misalnya adalah unsure
(ajaran) agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan
Tuhan, juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia juga menjadi
pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat sholat orang
membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, membuat sajadah
alas untuk bersujud dengan berbagai disain, membuat tutup kepala, pakaian, dan
lain-lain. Itulah yang termasuk aspek kebudayaan.[7]
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua
kemungkinan. Pertama adalah Islam mewarnai, mengubah, mengolah, an
memperbaharui budaya. Kedua, justru Islam yang diwarnai oleh kebudayaan.
Masalahnya adalah tergantung dari kekuatan dari dua entitas kebudayaan
atau entitas keislaman. Jika entitas kebudayaan yang kuat maka akan muncul
muatan-muatan local dalam agama, seperti Islam Jawa. Sebaliknya, jika entitas
Islam yang kuat mempengaruhi budaya maka akan muncul kebudayaan Islam.[8]
Agama sebagai budaya, juga dapat diihat sebagai mekanisme
control, karena agama adalah pranata social dan gejala social, yang berfungsi
sebagai kontro, terhadap institus-institus yang ada.
Dalam kebudayaan dan peradaban dikenal umat Islam berpegang
pada kaidah: Al-Muhafadhatu ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al jaded
al-ashlah, artinya: memelihara pada produk budaya lama yang baik dan
mengambil produk budaya baru yang lebih baik.[9]
Oleh karena itu, dapat di simpulkan bahwa hasil pemikiran
manusia yang berupa interprestasi terhadap teks suci itu disebut kebudayaan,
maka sisitem pertahanan Islam, system keuangan Islam, dan sebagainya yang
timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula. Kalaupun ada
perbedaannya dengan kebudayaan biasa, maka perbedaan itu terletak pada keadaan
institusi-institusi kemasyarakatan dalam Islam, yang disusun atas dasar
prinsip-prinsip yang tersebut dalam al-Qur`an.
C. Islam Sebagai Produk Interaksi Sosial
Islam sebagai sasaran studi social ini dimaksudkan sebagai studi tentang Islam
sebagai gejala social. Hal ini menyangkut keadaan masyarakat penganut agama
lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala social lainnya yang
saling berkaitan.
Dengan demikian yang menjadi obyek dalam kaitan dengan Islam
sebagai sasaran studi social adalah Islam yang telah menggejala atau yang sudah
menjadi fenomena Islam. Yang menjadi fenomena adalah Islam yang sudah menjadi
dasar dari sebuah perilaku dari para pemeluknya.
M. Atho Mudzhar, menulis dalam bukunya, pendekatan Studi
Islam dalam Teori dan Praktek, bahwa ada lima bentuk gejala agam yang perlu
diperhatikan dalam mempelajari atau menstudi suatu agama. Pertama, scripture
atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan symbol-simbol agama. Kedua, para
penganut atau pemimpin atau pemuka agama, yaitu yang berkenaan dengan perilaku
dan penghayatan para penganutnya. Ketiga, ritus-ritus, lembaga-lembaga
dan ibadat-ibadat, seperti shalat, haji, puasa, perkawinan dan waris. Keempat,
alat-alat, organisasi-organisasi keagamaan tempat penganut agama berkumpul,
seperti NU dan lain-lain.[10]
Masih menurut M. Atho Mudzhar, agama sebagai gejala social,
pada dasarnya bertumpu pada konsep sosiologi agama. Sosiologi agama mempelajari
hubungantimbal balik antara agama dan masyarakat. Masyarakat mempengaruhi agam,
dan agama mempengaruhi masyarakat. Tetapi menurutnya, sosiologi sekarang ini
mempelajari bukan masalah timbale balik itu, melainkan lebih kepada pengaruh
agama terhadap tingkah laku masyarakat. Bagaimana agama sebagai system nlai
mempengaruhi masyarakat.[11]
Meskipun kecenderungan sosiologi agama. Beliau member contoh
teologi yang dibangun oleh orang-orang syi`ah, orang-orang khawarij,
orang-orang ahli al-Sunnah wa al-jannah dan lain-lain. Teologi-teologi yang
dibangun oleh para penganut masing-masing itu tidak lepas dari pengaruh
pergeseran perkembangan masyarakat terhadap agama.
Persoalan berikutnya adalah bagaimana lita melihat masalah
Islam sebagai sasaran studi social. Dalam menjawab persoalan ini tentu kita
berangkat dari penggunaan ilmu yang dekat dengan ilmu kealaman, karena
sesungguhnya peristiwa-peristiwa yang terjadi mengalami keterulangan yang
hampir sama atau dekat dengan ilmu kealaman, oleh karena itu dapat diuji.
Jadi dengan demikian menstudi Islam dengan mengadakan
penelitian social. Penelitian social berada diantara ilmu budaya mencoba
memahami gejala-gejala yang tidak berulang tetapi dengan cara memahami
keterulangan.
Sedangkan ilmu kealaman itu sendiri paradigmanya positivism.
Paragdima positivism dalam ilmu ini adalah sesuatu itu baru dianggap sebagai
ilmu kalau dapat dimati (observable), dapat diukur (measurable),
dan dapat dibuktikan (verifiable). Sedangkan ilmu budaya hanya dapat
diamati. Kadang-kadang tidak dapat diukur atau diverifikasi. Sedangkan ilmu
social yang diangap dekat dengan ilmu kealaman berarti juga dapat diamati,
diukur, dan diverifikasi.
Melihat uraian di atas, maka jika Islam dijadikan sebagai
sasaran studi social, maka harus mengikuti paragdima positivism itu, yaitu
dapat diamati gejalanya, dapat diukur, dan dapat diverifikasi.
Hanya saja sekarang ini juga berkembang penelitian
kualitatif yang tidak menggunakan paragdima positivisme. Ini berarti ilmu
social itu dianggap tidak dekat kepada ilmu kealaman. Jika halnya demikian,
maka berarti dekat kepada ilmu budaya ini berarti sifatnya unik.
Lima hal sebagai gejala agama yang telah disebut di atas
kemudian dapat dijadikan obyek dari kajian Islam dengan menggunakan pendekatan
ilmu social sebagaimana juga telah dungkap diatas.
Masalahnya tokoh agama Islam, penganut agama Islam,
interaksi antar umat beragama, dan lain-lain dapat diangkat menjadi sasaran
studi Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Islam sebagai doktrin, di definisikan oleh sebagian
ulama sebagai berikut: "al-Islamu wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi
Muhammadin Sallahu`alaihi wasallam lisa`adati al-dunya wa al-akhirah" (Islam
adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat).
Agama samawi dan kebudayaan tidak saling mencakup; pada
prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian dari yang lainnya; masing-masing
berdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja dapat saling hubungan dengan erat
seperti kita saksikan dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari.
Sebagaimana pula terlihat dalam hubungan erat antara suami dan istri, yang
dapat melahirkan putra, namun suami bukan merupakan bagian dari si istri,
demikian pula sebaliknya
Islam sebagai sasaran studi social ini dimaksudkan sebagai
studi tentang Islam sebagai gejala social. Hal ini menyangkut keadaan
masyarakat penganut agama lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai
gejala social lainnya yang saling berkaitan.
DAFTAR PUSTAKA
Tim
Penyusun: Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pengantar Studi Islam. 2005.Surabaya:
IAIN AMPEL PRESS SURABAYA
Endang
Saifuddin Anshari. Pokok-pokok Pikiran Tentang Islam.cet. 1 9Bnadung:
C.V. Pelajar. 1996)
Masyhur
Amin, Ismail S. Ahmad (ed), Dialog Pemikiran Islam dan Empirik, LAKPESDAM.
Yogyakarta, cet. I, 1993,
Faisal
Ismail, Paragdima Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, 1998),
M.
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam;dalam Teori dan Praktek. 1998
(Pustaka Pelajar, Yogyakarta)
[1] Baca: John M. Echols dan Hasan Shadily,
kamus Inggris Indonesia, 1990, Gramedia, Jakarta, hal. 192
[3] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam;dalam
Teori dan Praktek. 1998 (Pustaka Pelajar, Yogyakarta) hal.19.
[4] Persudi Suparlan. "Kebudayaan dan
Pembengunan" dalam kapan Agama dan Masyarakat, Balitbang Agama.
Departemen Agama. Jakarta. 1991-1992. Hal.85
[5] Endang Saifuddin Anshari. Pokok-pokok
Pikiran Tentang Islam.cet. 1 9Bnadung: C.V. Pelajar. 1996), hlm.46
[6] Faisal Ismail, Paragdima Kebudayaan
Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis (Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1998), hlm. 43-44.
[9] Masyhur Amin, Ismail S. Ahmad (ed), Dialog
Pemikiran Islam dan Empirik, LAKPESDAM. Yogyakarta, cet. I, 1993, hal. VI.
No comments:
Post a Comment