BAB
II
PEMBAHASAN
الحدود تسقط بالشبهات
“ Hukuman-hukuman (had) itu bisa gugur karena syubhat
(ketidak jelasan)”.
Pengertian Hudud
Hudud Secara bahasa adalah jama’ dari had yang artinya
mencegah, sedangkan menurut istilah ialah hukuman-hukuman yang telah
ditentukan batas kadarnya, maksudnya
tuntutan hukum yang ada ketentuanya dalam nash Al- Qur’an atau Hadits.[1]
Seperti pencuri, maka hukumannya adalah potong tangan,
dengan dasar Q.S.Al Maidah :38.
ä-Í$¡¡9$#ur èps%Í$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtÏ÷r& Lä!#ty_ $yJÎ/ $t7|¡x. Wx»s3tR z`ÏiB «!$# 3 ª!$#ur îÍtã ÒOÅ3ym ÇÌÑÈ
38. laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Hudud
berbeda dengan ta’zir, yang mempunyai pengertian tuntutan hukum yang tidak ada
ketentuannya didalam nash. Seperti memasuki rumah orang lain tanpa izin, memaki
orang lain dan sebagainya. Hudud dapat gugur karena syubhat sedangkan ta’zir tidak
dapat gugur karena syubhat, tetapi dapat menggugurkan kafaratnya.
Pengertian Syubhat
Syubhat adalah suatu perbuatan yang menurut formilnya
terjadi tetapi sebenarnya tidak terjadi. Pendek kata ialah “tidak terang /
tidak jelas”. Jadi mungkin benar dan mungkin salah. Islam mengingatkan umatnya
agar menghindari atau menjauhi perkara syubhat.
Sebagaimana sabda Nabi: ”Sesungguhnya sesuatu yang halal itu
sudah jelas, dan yang haram pun jelas. Diantara keduanya ada yang samar(mutasyabihat),
yang kebanyakan manusia tidak dapat mengetahuinya. Barang siapa yang takut atau
memelihara dirinya dari yang samar-samar itu berarti telah membersihkan
kehormatan diri dan agamanya. Dan barang siapa yang jatuh ke dalam yang
samar-samar berarti ia telah jatuh ke hal atau perkara yang haram”(HR Bukhori
dan Muslim).
Macam-macam syubhat :
- Syubhat
fi al mahall / obyektif (شبهة المحل)
Syubhat
yang berhubungan dengan tempat
Ialah syubhat yang terdapat pada
obyek itu sendiri, disebabkan ada satu nash yang melarangnya dan ada nash lain
yang memberi pengertian membolehkannya. Misalnya orang yang mencuri harta milik
anaknya sendiri. Secara umum oleh nash Al-Qur’an dilarang, tetapi menurutal Hadits bahwa anak beserta
harta miliknya adalah milik ayahnya.
- Syubhat al fail (شبهة الفاعل) Syubhat yang berhubungan dengan pelaku
Ialah suatu syubhat yang
berpangkal pada dugaan si pembuat. Perbuatan yang dilanggarnya itu diduga
sebagai perbuatan yang diperbolehkan, sehingga dalam melaksanakannya tidak ada
keraguan sedikitpun. Misalnya orang yang mengambil sepeda motor yang
dititipkannya, tetapi sepeda motor yang diambil tersebut bukan miliknya,
disebabkan karena motor yang diambil warna dan suaranya mirip miliknya. Maka ke
syubhatan itu berpangkal dari dugaan si pemilik sepeda motor.
- Sybhat
fi al Thoriq (شبهة الطريق) Syubhat
yang berhubungan dengan tata cara
Ialah syubhat yang timbul
disebabkan adanya perbedaan pendapat para ulama’ dalam menetapkan hukum pada
suatu perbuatan, misalnya orang yang meminum minuman keras dengan maksud
berobat, maka tidak dapat dijatuhi hukuman had, karena terdapat perselisihan
diantara para ulama’ tentang boleh atau tidak berobat dengan minuman keras.[2]
Dari ketiga macam jenis syubhat
itu, kesemuanya bisa menggugurkan had atau pidana.
Catatan dalam penerapan :
- Syubhat
tidak bisa menggugurkan kewajiban membayar fidyah, karena fidyah lebih
bersifat sebagai ganti rugi, lain halnya dengan kaffarat yang sifatnya
sebagai hukuman, sehingga layak dikategorikan dalam permasalah hukum had.
- Syubhat
subyek dan tempat bisa menggugurkan dosa dan hukum haram dari perbuatan
yang dilakukan.
- Imam At-Tajjuddin
as-Subky menyatakan bahwa syubhat yang bisad
menggugurkan had atau kaffarat itu disyaratkan harus kuat/benar-benar
nyata. Jika syubhat bersifat lemah, maka tidak mempunyai dampak apapun
terhadap hukum had. Yang dimaksud dengan syubhat yang kuat (nyata) adalah
syubhat yang diyakini keberadaannya oleh hati nurani dan orang-orang yang
cermat bisa menunjukkan adanya syubhat tersebut berdasarkan bukti-bukti
argumentatif yang diterima oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, orang
yang bermain ranjang dengan sahaya wanita milik orang lain tetap diberi
hukuman had, meskipun si pemilik mengizinkannya. Karena pendapat ulama
yang memperbolehkannya sangat lemah.[3]
Dasar pengambilan kaidah
Dasar-dasar pengambilan kaidah “tuntutan hukuman (had) itu
bisa gugur karena syubhat. Adalah sabda Rosulullah SAW:
"ادرؤوا الحدود بالشبهات "
(أخرجه ابن عدي في جزء له من حديث ابن عمر)
Artinya : “tinggalkan had-had,
karena syubhat (samar-samar)” (HR. Ibnu ‘Ady).
Selain itu imam At Turmudzi dan
Hakim dari Aisyah meriwayatkan dengan lengkap :
"ادرؤوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم، فإن وجدتم للمسلم
مخرجاً فخلوا سبيله، فإن الإمام لأن يخطئ في العفو، خير من أن يخطئ في العقوبة،. (الترمذي والحاكم والبيهقي وغيرهم من
حديث عائشة).
Artinya : hindarilah hukuman had bagi orang-orang muslim
sedapat-dapatnya, karena aapabila kamu memperoleh jalan keluar bagi orang
muslim (untuk tidak diberi had) maka berikan jalannya, sebab sesungguhnya
penguasa (imam) itu sekiranya salah dalam rangka memberikan maaf, adalah lebih
baik dari pada salah dalam rangka memberikan hukuman. (HR. Turmudzi dan Hakim
dari Aisyah).[4]
Hadits di atas jelas-jelas memerintahkan kepada kita
agar berhati-hati dalam memvonis hukum had
terhadap seorang muslim. Hal itu terindikasi dari kata amar (perintah) yang
digunakan oleh Rosulullah dalam meredaksiakan hadits di atas. Sesuai dengan
kaidah ushul fiqh, berarti hal itu menunjukkan kewajiban. Namun perintah di
atas tidak serta merta menjadi mutlak, karena dalam lanjutan hadits di atas ada
catatannya yaitu kalimat ماستطعتم (semampunya) dalam
artian ketika hal itu dimungkinkan atau ada celahnya. Kalau hadits tersebut
digabungkan maka celah tersebut adalah adanya ketidakjelasan (Syubhat).
BAB III
ANALISIS KASUS
A. Contoh Kasus:
1.
Dasar kaidah
kaidah ini bersumber
dari sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu‘Adiy dari sanad Ibnu
‘Abbas RA;
إدرؤا
الحـدود بالشبهـات
”Hindarkanlah hukuman-hukuman pidana, karena adanya syubhat (ketidak jelasan)”.
Hadits yang lebih lengkap bisa dilihat pada riwayat At-Tirmidzi, Al-Hakim dan
Ibnu Hibban yang berasal dari sanad ‘Aisyah RA berikut ini;
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ أَبُو عَمْرٍو الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ رَبِيعَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زِيَادٍ الدِّمَشْقِيُّ عَنْ
الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنْ الْمُسْلِمِينَ مَا
اسْتَطَعْتُمْ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَخْرَجٌ فَخَلُّوا سَبِيلَهُ فَإِنَّ الْإِمَامَ
أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ
“Hindarkanlah hukuman-hukuman pidana dari kaum muslimin semampu kalian, jika kalian
mendapatkan jalan keluar bagi seorang muslim, maka pilihlah jalan itu. Karena
sesungguhnya seorang pemimpin yang salah dalam memberi maaf itu lebih baik dari
pada pemimpin yang salah dalam menghukum”
2.
Analisis Wajhu al-Dilalah
Hadits di atas jelas-jelas memerintahkan kepada kita agar berhati-hati dalam
memvonis hukum had
terhadap seorang muslim. Hal itu terindikasi dari kata amar (perintah) yang
digunakan oleh Rasulullah
dalam meredaksikan hadits di atas. Sesuai dengan kaidah ushul fiqh, berarti hal
itu menunjukkan kewajiban. Namun perintah di atas tidak serta merta menjadi
mutlak, karena dalam lanjutan hadits di atas ada catatannya yaitu kalimat ماستطعتم
(semampunya) dalam artian ketika hal itu dimungkinkan atau ada celahnya. Kalau
hadits tersebut digabungkan maka celah tersebut adalah adanya ketidakjelasan
(Syubhat). Semakin jelas lagi, ketika kita membaca lanjutan hadits tersebut
dengan lengkap
3. Contoh-contoh
Pencuri tidak boleh dihukum potong tangan, ketika dia mencuri harta milik orang
tua, anak maupun tuannya, begitu juga dengan harta milik orang tua ataupun
putra-putri tuannya. Yang demikian itu disebabkan adanya kemungkinan si pencuri
tadi mempunyai hak memperoleh nafkah dari harta bendamereka.
Pencuri juga tidak boleh dihukum potong tangan, ketika dia mencuri harta benda
yang dia kira sebagai milik pribadinya, milik orang tua maupun anaknya,
meskipun korban pencurian mengaku bahwa harta benda tersebut jelas-jelas
miliknya sendiri. Yang perlu digaris bawahi adalah si pencuri tetap memperolehhukumanta’zir.
Syubhat dapat menggugurkan kafarat, misalnya: Bila seseorang yang sedang
berpuasa atau menunaikan ibadah haji melakukan hubungan suami-istri karena
lupa, maka ia tidak wajib membayar kafarat. Begitu juga jika dia berhubungan
intim karena menyangka matahari sudah terbenam (waktu berbuka) atau saat itu
masih malam (belum imsak), padahal kenyataannya berseberangan dengan dugaannya.
Maka puasanya menjadi batal, akan tetapi tidak perlu membayar kafarat.InilahpendapatImamQaffal.
4. Catatan
Syubhat tidak bisa menggugurkan kewajiban membayar fidyah, karena fidyah lebih
bersifat sebagai ganti rugi, lain halnya dengan kafarat yang sifatnya sebagai
hukuman, sehingga layak dikategorikan dalam permasalahan hukum had.
Syubhat subyek dan tempat bisa menggugurkan dosa dan hukum haram dari
perbuatanyangdilakukan.
Imam At-Tajjuddin as-Subky menyatakan bahwa syubhat yang bisa menggugurkan had
atau kafarat itu disyaratkan harus kuat/benar-benar nyata. Jika syubhat
bersifat lemah, maka tidak mempunyai dampak apapun terhadap hukum had. Yang
dimaksud dengan syubhat yang kuat (nyata) adalah syubhat yang diyakini
keberadaannya oleh hati nurani dan orang-orang yang cermat bisa menunjukkan
adanya syubhat tersebut berdasarkan bukti-bukti argumentatif yang diterima oleh
berbagai pihak. Oleh karena itu, orang yang bermain ranjang dengan sahaya
wanita milik orang lain tetap diberi hukuman had, meskipun si pemilik
mengizinkannya. Karena pendapat ulama yang memperbolehkannya sangat lemah.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
الحدود
تسقط بالشبهات
“ Hukuman-hukuman (had) itu bisa gugur karena syubhat
(ketidak jelasan)”.
Hudud Secara bahasa adalah jama’ dari had yang artinya
mencegah, sedangkan menurut istilah ialah hukuman-hukuman yang telah
ditentukan batas kadarnya, maksudnya
tuntutan hukum yang ada ketentuanya dalam nash Al- Qur’an atau Hadits.
Syubhat adalah suatu perbuatan yang menurut formilnya
terjadi tetapi sebenarnya tidak terjadi. Pendek kata ialah “tidak terang /
tidak jelas”. Jadi mungkin benar dan mungkin salah. Islam mengingatkan umatnya
agar menghindari atau menjauhi perkara syubhat.
Dasar-dasar pengambilan kaidah “tuntutan hukuman (had) itu
bisa gugur karena syubhat. Adalah sabda Rosulullah SAW:
"ادرؤوا الحدود بالشبهات "
(أخرجه ابن عدي في جزء له من حديث ابن عمر)
Artinya : “tinggalkan had-had,
karena syubhat (samar-samar)” (HR. Ibnu ‘Ady).
Selain itu imam At Turmudzi dan
Hakim dari Aisyah meriwayatkan dengan lengkap :
"ادرؤوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم، فإن وجدتم للمسلم
مخرجاً فخلوا سبيله، فإن الإمام لأن يخطئ في العفو، خير من أن يخطئ في العقوبة،. (الترمذي والحاكم والبيهقي وغيرهم من
حديث عائشة).
Artinya : hindarilah hukuman had bagi orang-orang muslim
sedapat-dapatnya, karena aapabila kamu memperoleh jalan keluar bagi orang
muslim (untuk tidak diberi had) maka berikan jalannya, sebab sesungguhnya
penguasa (imam) itu sekiranya salah dalam rangka memberikan maaf, adalah lebih
baik dari pada salah dalam rangka memberikan hukuman. (HR. Turmudzi dan Hakim
dari Aisyah).
Hadits di atas jelas-jelas memerintahkan kepada kita
agar berhati-hati dalam memvonis hukum had
terhadap seorang muslim. Hal itu terindikasi dari kata amar (perintah) yang
digunakan oleh Rosulullah dalam meredaksikan hadits di atas. Sesuai dengan
kaidah ushul fiqh, berarti hal itu menunjukkan kewajiban. Namun perintah di
atas tidak serta merta menjadi mutlak, karena dalam lanjutan hadits di atas ada
catatannya yaitu kalimat ماستطعتم (semampunya) dalam
artian ketika hal itu dimungkinkan atau ada celahnya. Kalau hadits tersebut
digabungkan maka celah tersebut adalah adanya ketidakjelasan (Syubhat).
B. Saran
Dalam proses penyelesaian makalah ini penulis berusaha
untuk menggali dan menemukan informasi dari berbagai sumber referensi sebagai
langkah menuju kelengkapan isi dari makalah ini.Penulis berharap agar makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis khususnya. Penulis
menyadari bahwa isi dari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan untuk itu
penulis mengharap kesediaan pembaca untuk memberikan kritik dan saran sebagai
langkah awal untuk menuju kebaikan isi.
DAFTAR PUSTAKA
Sujuthi,Mahmud
dkk. 1989. Fiqh. Surabaya: Sinar Wijaya.
Zuhayli,
Mohammed Mustafa. 2006. القواعد الفقهية وتطبيقاتها
في المذاهب الأربعة . Damaskus : Dar al-Fikr.
Musbikin,
Imam. 2001. Qowaid Al Fiqhiyah. Jakarta : Raja Grafindo.
Usman,
Mukhlis.1997.Kaidah-kaidah istinbath hukum islam:kaidah –kaidah ushuliyah dan
fiqhiyah.Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada
http://islami69.blogspot.com/2010/06/al-hududtasqutu.html?zx=38693dc81b6db1 (diakses pada pukul 13.30 hari senin tgl 8 April 2013)
[1]
Drs. H. Mahmud Sujuthi, dkk, Fiqh, Sinar Wijaya, cet 1, jilid III,
Surabaya, 1989, hlm 2-4.
[2]
Mohammed Mustafa Zuhayli, القواعد
الفقهية وتطبيقاتها في المذاهب الأربعة , Dar al-Fikr, Edisi: Pertama,
Damaskus, 1427 H – 2006 M, hlm.707 (Maktabah Syamilah).
[4]
Imam Musbikin, Qowaid Al Fiqhiyah, Raja Grafindo, cet pertama, Jakarta,
2001, hlm 128.
[5]
http://islami69.blogspot.com/2010/06/al-hududtasqutu.html?zx=38693dc81b6db1
(diakses pada pukul 13.30 hari senin tgl
8 April 2013)