A.
Mewujudkan Kesejahteraan
Masyarakat melalui Keadilan Distribusi
Pembahasan tentang distribusi menjelaskan bagaimana
pembagian kekayaan ataupun pendapatan yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi.
Hal itu berkaitan erat dengan factor-faktor produksi seperti tanah, modal,
tenaga kerja, dan manajemen.
Kaitan distribusi dengan tanah adalah bagaimana
alokasi dana untuk menyewa tanah sebagai tempat berkembangnya suatu aktifitas
produksi. Pembahasan tentang modal juga berkaitan erat dengan bagaimana alokasi
dana untuk membayar hasil bagi modal yang diperoleh dari shahibul mal. Hal ini sangat
berseberangan dengan sistem konvensional yang menyertakan perhitungan bunga
bagi pinjaman modal. Tentunya hal ini sangatlah kontradiktif dengan sistem
ekonomi Islam, yang melarang praktek riba. Ketika berbicara tentang tenaga kerja, yang berkaitan dengan
distribusi pendapatan adalah bagaimana proses penggajian dan pengupahan tenaga
kerja. Islam mengharuskan para pekerja untuk bersungguh-sungguh disetiap
pekerjaan mereka. Karena pekerja yang bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya
selain mendapatkan kompensasi gaji dan jaminan kesejahteraan, mereka juga
mendapatkan pahala di sisi Allah. Kaitan distribusi pendapatan dengan
manajemen, yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk sistem dan juga manajerial
suatu perusahaan.[1]
Baik distribusi pendapatan
maupun kekayaan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini
seiring dengan tujuan dasar Islam, yaitu ingin mensejahterakan pemeluknya di
dunia dan akhirat. Pembahasan ini sesuai dengan prinsip maqashid al-syari’ah, yaitu merealisasikan kemaslahatan diantaran
masyarakat dengan cara menghilangkan segala hal yang membawa kepada kerusakan.
Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok setiap keluarga, maka akan bisa
meminimalisasi segala macam kejahatan. Oleh
karena itu, Islam berusaha keras untuk menegakkan distribusi yang adil di
antara masyarakat, karena Allah sangat mengecam peredaran harta yang hanya
terkonsentrasi di segelintir orang saja.
Sebagaimana yang
tertera dalam firman Allah :
“Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah
kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, dan orang-orang yang berada di dalam perjalanan. Supaya harta itu jangan
beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan
Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya.”(QS.Al-Hasyr:7)
Islam mewajibkan umatnya untuk menjadi kaya, hal itu bisa diacak dalam
suatu hadist, bahwa “Kemiskinan akan mendekatkan seseorang ke dalam kekafiran”.
Dalam sebuah kitab yang berjudul al-Ihtisab
fi Rizq al-Mustahab dijelaskan tentang siapakah yang akan masuk surga terlebih
dahulu, apakah orang miskin yang sabar ataukah orang kaya yang bersyukur. Banyak
ulama yang setuju bahwa orang kaya yang bersyukur (dengan berbagai standardisasi
bentuk syukur yang memang sangat berat dalam mempraktikkannya), akan masuk surga terlebih dahulu. Dalam
suatu hadist disebutkan, “seseorang akan terputus amalannya kecuali tiga hal
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kedua
orang tuanya“. Bagaimana mungkin seseorang bisa beramal
jariyah ketika tidak mempunyai harta benda, bagaimana pula seseorang bisa
menuntut ilmu jika tidak mempunyai bekal harta, dan bagaimana pula seseorang
bisa mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang saleh jika tidak mempunyai
saran untuk mewujudkannya.
Islam juga sangat tidak setuju dengan perilaku
seseorang yang menimbun harta kekayaan. Menjadi kaya adalah wajib, kemudian
kekayaan yang diperolehnya haruslah didistribusikan dengan baik melalui zakat,
infaq, sedekah, wakaf, dan lain sebagainya.
Dalam firman Allah disebutkan:
“Dan orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah,
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (QS.At-Taubah:34)
B.
Distribusi Kekayaan dalam
Rumah Tangga
Untuk mewujudkan distribusi kekayaan yang adil, jujur,
dan merata islam menetapkan tindakan-tindakan yang positif dan prohibitif.
Tindakan positif melalui zakat, hukum pewarisan, dan kontribusi lainnya, baik
yang bersifat wajib maupun sukarela (sedekah). Tindakan prohibitif mencakup
dilarangnya bunga, menimbun, minum-minuman keras, judi, dan perolehan harta
dengan cara yang tidak baik. Perolehan harta yang tidak baik berpotensi
terjadinya konsentrasi kekayaan ditangan sedikit orang saja. Alat-alat
distribusi kekayaan rumah tangga yang dijadikan alat untuk mewujudkan
distribusi kekayaan yang adil dan merata:[2]
1.
Nafaqah
Kewajiban seorang kepala rumah tangga untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya, bail istri, anak, orangtua, ataupun mertua. Kewajiban
tersebut juga yang menjadi suatu alasan, kenapa dalam hak waris laki-laki
mendapatkan bagian harta yang lebih banyak dari perempuan. Karena laki-laki
menanggung nafaqah dari seorang laki-laki kepada istri dan anak-anaknya
adalah mengikuti standar kepatutan dalam suatu masyarakat. Tidak terlalu
berlebihan yang bisa menjerumuskan keluarganya ke dalam perilaku konsumerisme
dan juga tidak kikir.
2.
Zakat
Zakat adalah salah satu ibadah wajib. Pada bahasan lain
tentang zakat menurut mayoritas ulama ada suatu alasan mengapa Islam
mengharuskan zakat bagi harta anak yatim dan orang gila, yang berada di bawah
pengelolaan walinya. Yaitu agar harta tersebut bisa terus dikembangkan dan
dikelola oleh sang wali sehingga menjadikan motivasi baginya untuk mendapatkan
hasil yang berlimpah. Maka, ajaran zakat merupakan ajaran untuk bekerja,
berusaha, sampai disuatu titik yaitu adanya suatu hasil yang dibuktikan dengan
bertambahnya harta benda.
Dampak ekonomis dari adanya aplikasi dan implementasi
zakat, yang mempunyai efek dominan dalam kehidupan masyarakat. Diantaranya : a)
Produksi, b) Investasi, c) Lapangan Kerja, d) Pertumbuhan Ekonomi, e)
Kesenjangan Sosial.
3.
Hukum Warisan
Hukum waris dalam Islam hanyalah satu-satunya di dunia
yang memakai pola distribusi yang berbasis sangat luas. Hukum ini tidak saja
menjadikan anak-anak almarhum, baik lelaki maupun perempuan menjadi pewaris
yang sah, tetapi juga istri atau suami, orangtua ataupun kakek/nenek,
saudara-saudara, dan lain sebagainya. Jika almarhum tidak memiliki orang tua
ataupun anak, maka harta peninggalan bisa saja diberikan kepada saudara-saudara
dan terkadang juga saudara jauhnya. Akan tetapi jika almarhum tidak memiliki siapapun,
maka hartanya akan diambil oleh negara untuk kemudian dialokasikan untuk
menyejahterakan masyarakat.
4.
Hukum Wasiat
Hukum wasiat mengilhami kaum Muslimin yang kaya untuk
memberikan hartanya di jalan Allah, untuk tujuan yang baik, seperti pengentasan
kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.
Dalam hukum Islam, hal ini bisa saja diwujudkan dalam
bentuk wakaf, dana perwalian, rumah sakit, lembaga pendidikan, dan lain
sebagainya. Dengan kata lain, hukum ini mendorong jihad melawan kemiskinan,
kesengsaraan, penyakit, kebodohan, dan buta huruf. Akan tetapi wasiat tidak
boleh lebih dari sepertiga harta, agar hak-hak ahli waris bisa tetap terjaga.
5.
Hukum Wakaf
Wakaf berarti membaktikan harta kepada Allah, dengan
demikian harta itu mengalir dari pemberi wakaf (waqif) kepada Allah. Akan
tetapi hasil ataupun manfaatnya dibaktikan kepada masyarakat yang membutuhkan
seperti fakir miskin, orang sakit, perantau, dan lain sebagainya. Dengan
demikian, distribusi kekayaan bisa merata.
6.
Zakat Fitri
Muslim yang mampu diharuskan membayarnya tidak hanya
untuk dirinya sendiri, akan tetapi juga untuk keluarganya, anak-anaknya,
pembantunya, dan orang-orang yang berada di bawah asuhannya. Dibayarkannya pada
bulan Ramadhan, karena berfungsi untuk membersihkan orang-orang yang berpuasa
Ramadhan dan memberi makan kepada orang-orang miskin.
7.
Infak dan Sedekah
Infaq dan sedekah adalah pemenuhan hak bagi orang miskin,
akan tetapi hukumnya sunah. Infak adalah pengeluaran sukarela yang dilakukan
oleh seseorang setiap kali ia memperoleh rezeki, sebanyak yang ia kehendaki.
Sedangkan sedekah adalah bentuk kebajikan yang tiak terikat dengan jumlah dan
waktu, seperti halnya zakat. Sedekah tidak hanya berupa material saja akan
tetapi bisa juga berupa jasa yang bermanfaat bagi orang lain.
8.
Qard Hasan
Adalah pengeluaran yang dilakukan seseorang di jalan
Allah, baik dalam bentuk sedekah, infaq, dan lain sebagainya.
9.
Memberi Makan Kaum Miskin
Banyak sekali yang memberi makan kaum miskin, dan ini juga
bernilai ibadah yang sangat tinggi dalam islam dan berperan serta
pendistribusian kekayaan. Dalam suatu hadist disebutkan “Abu Huroiroh
melaporkan kepada Rasululoh bahwa ada seseorang yang mengeluh tentang kesusahan
hatinya: Beliau bersabda: Usapkan tanganmu kepada anak yatim dan orang miskin.[3]
Dalam hadist lainnya yaitu: ”Shedekah terbaik adalah mengenyangkan perut yang
lapar.” [4]
10. Kurban
(udlhiyah) dan Aqiqah
Kurban adalah binatang dikeluarkan pada hari Tasyrik di
Hari Raya Idul Adha, berbentuk kambing, sapi, onta, dilaksanakan satu tahun
sekali. Adapun aqiqah adalah memotong kambing (satu untuk perempuan dan dua
untuk laki-laki) di hari ketujuh kelahiran sang anak. Dua hal ini merupakan
salah satu cara pendistribusian kekayaan kepada masyarakat yang membutuhkan.
11. Musa’adah,
Huquq Jiran dan Huquq Dhuyuf
Musa’adah adalah memberikan bantuan kepada orang lain,
dengan catatan objek yang diberikan haruslah baik, layak dan pantas. Huquq
jiran merupakan hak-hak tetangga yang harus ditegakkan seseorang. Sedangkan
Huquq Dhuyuf merupakan penyaluran
distribusi kekayaan kepada tamu. Islam mengaitkan urusan keimanan dengan
penghormatan kepada tetangga dan juga tamu. Seseorang tidak dianggap beriman
sebelum ia menghormati tetangga dan tamunya.
C.
Distribusi Pendapatan
Suatu Negara
Dari sekian banyak cara untuk membangkitkan
kesejahteraan umat adalah menumbuhkan semangat pendistribusian harta seorang
muslim kepada masyarakat. Wujud dari keadilan distribusi tersebut adalah dengan
mengalirnya saluran-saluran distribusi harta umat islam melalui berbagai macam
aktivitas kebaikan, yang kemudian lebih jauh lagi bisa berkembang ke dalam wilayah investasi berskala
mikro.
Hal ini sesuai dengan beberapa tujuan kebijakan ekonomi
seperti yang telah dinyatakan oleh Monzer Khaf, yaitu: (1) maksimalisasi
tingkat pemanfaatn sumber-sumber; (2) minimalisasi kesenjangan distribusi, dan;
(3) pelaksanaan aturan-aturan permainan oleh unit-unit ekonomik. Kaitannya
dengan efisiensi alokasi, para ekonomi konvensional berbeda pendapat tentang
distribusi yang adil, berbagai macam pendapat antara lain:
1.
Konsep egalitarian
2.
Konsep Rawlsian
3.
Konsep utilitarian
4.
Konsep market oriented
Suatu Negara walaupun pendapatan per kapitanya naik dua
kali lipat, akan tetapi jika angka pengangguran tidak berkurang, angka
kemiskinan tidak berkurang, dan distribusi pendapatan tidak merata, maka Negara
tersebut belum bisa diyakini telah berhasil melakukan pembangunan dengan baik. Strategi
pembangunan berbasis islam mengubah paradigma ini dengan menyajikan beberapa
elemen penting, yaitu:[5]
Pertama,
seluruh keinginan agen ekonomi tidak dapat diloloskan kecuali harus melewati
saringan dari dua filter, yaitu: (1) mashlahah
syar’iyyah; dan (2) mekanisme harga di pasar.
Kedua,
agen ekonomi perlu dimtivasi untuk melakukan pemuasan kebutuhan dengan cara
tidak membahayakan lingkungan.
Ketiga,
perlu diadakan restrukturisasi dalam bidang sosioekonomi
dengan tujuan untuk mengurangi konsentrasi kekayaan yang beredar dikalangan
tertentu, mengapuskan pol konsumsi pamer, hura-hura dan mereformasi sistem
keuangan untuk mewujudkan dua tujuan di atas.
D.
Keadilan dalam Distribusi
Ketika Allah mengisyaratkan bahwa nikmat yang diberikan
kepada hamba-hamba Nya sangat beragam dan manusia tidak bisa menghitungnya
dengan pasti, maka secara tidak langsung manusia akan menemukan sumber ekonomi
dan rezeki yang baru saat ada kebutuhan muncul dalam kehidupan manusia.[6]
Keadilan bukan berarti harus ada pemerataan. Karena
persamaan antara dua bentuk yang berbeda tidak lebih dari pada dikotomi antara
dua hal yang sama, dan hal ini bukanlah keadilan dan bertentangan dengan kodrat
manusia. Keadilan adalah keseimbangan antara-individu dengan unsur materi dan
spiritual yang dimilikinya. Mereka tidak bisa mendefinisikan persamaan hak,
karena persamaan hak di dalam kewajiban yang berbeda adalah kezaliman yang
lebih nasta lagi. Bahaya yang ditolak akan dan musibah yang mencekam kemaslahatan
banyak orang, sebagaimana ia juga musibah yang menimpa individu yang memiliki
hak dan kewajiban itu.
Suatu hal yang perlu dilandaskan adalah landasan perbedaan antara
manusia, yaitu terletak pada keahlian dan ketekunannya dalam bekerja. Memang manusia
tidak bisa memilih, ia dilahirkan dari rahim si kaya ataupun miskin. Akan
tetapi, kehidupan masa depannya terletak dalam usahanya (kasb) dalam membenahi kehidupannya, demi mendapatkan masa depan
yang lebih baik lagi.
Bukanlah suatu hal yang adil, jikalau sebagian manusia
dengan kecerdasannya yang terbatas bisa belajar sampai perguruan tinggi,
sedangkan yang lainnya dengan kecerdasannya yang cemerlang justru tidak bisa
mengenyam bangku sekolah karena keterbatasan biaya dan juga menanggung beban
hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia Euis, 2009, keadilan Distribusi dalam ekonomi Islam, Jakarta:
PT RajaGrafindo persada
Edwin Nasution, Mustafa,
2006, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta:Prenada
HR.Ahmad
HR. Baihaqi dari Anas
Yunia Fauzia, Ika, dkk, 2014, prinsip
dasar ekonomi Islam:prespektif maqashid al-syariah, Jakarta: Kencana
[1] Ika Yunia Fauzia dkk, prinsip
dasar ekonomi Islam:prespektif maqashid al-syariah, (Jakarta: Kencana,
2014) hlm.140.
[6] Euis Amalia, keadilan
Distribusi dalam ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2009)
hlm.117.
No comments:
Post a Comment