Wednesday, December 12, 2018

Prinsip Dasar Distribusi dalam Ekonomi Islam



A.    Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat melalui Keadilan Distribusi
Pembahasan tentang distribusi menjelaskan bagaimana pembagian kekayaan ataupun pendapatan yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi. Hal itu berkaitan erat dengan factor-faktor produksi seperti tanah, modal, tenaga kerja, dan manajemen.
Kaitan distribusi dengan tanah adalah bagaimana alokasi dana untuk menyewa tanah sebagai tempat berkembangnya suatu aktifitas produksi. Pembahasan tentang modal juga berkaitan erat dengan bagaimana alokasi dana untuk membayar hasil bagi modal yang diperoleh dari shahibul mal. Hal ini sangat berseberangan dengan sistem konvensional yang menyertakan perhitungan bunga bagi pinjaman modal. Tentunya hal ini sangatlah kontradiktif dengan sistem ekonomi Islam, yang melarang praktek riba. Ketika berbicara tentang tenaga kerja, yang berkaitan dengan distribusi pendapatan adalah bagaimana proses penggajian dan pengupahan tenaga kerja. Islam mengharuskan para pekerja untuk bersungguh-sungguh disetiap pekerjaan mereka. Karena pekerja yang bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya selain mendapatkan kompensasi gaji dan jaminan kesejahteraan, mereka juga mendapatkan pahala di sisi Allah. Kaitan distribusi pendapatan dengan manajemen, yaitu biaya yang harus dikeluarkan untuk sistem dan juga manajerial suatu perusahaan.[1]
Baik distribusi pendapatan maupun kekayaan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal ini seiring dengan tujuan dasar Islam, yaitu ingin mensejahterakan pemeluknya di dunia dan akhirat. Pembahasan ini sesuai dengan prinsip maqashid al-syari’ah, yaitu merealisasikan kemaslahatan diantaran masyarakat dengan cara menghilangkan segala hal yang membawa kepada kerusakan. Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok setiap keluarga, maka akan bisa meminimalisasi segala macam kejahatan. Oleh karena itu, Islam berusaha keras untuk menegakkan distribusi yang adil di antara masyarakat, karena Allah sangat mengecam peredaran harta yang hanya terkonsentrasi di segelintir orang saja.

Sebagaimana yang tertera dalam firman Allah :
Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang-orang yang berada di dalam perjalanan. Supaya harta itu jangan beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”(QS.Al-Hasyr:7)
Islam mewajibkan umatnya  untuk menjadi kaya, hal itu bisa diacak dalam suatu hadist, bahwa “Kemiskinan akan mendekatkan seseorang ke dalam kekafiran”. Dalam sebuah kitab yang berjudul al-Ihtisab fi Rizq al-Mustahab dijelaskan tentang siapakah yang akan masuk surga terlebih dahulu, apakah orang miskin yang sabar ataukah orang kaya yang bersyukur. Banyak ulama yang setuju bahwa orang kaya yang bersyukur (dengan berbagai standardisasi bentuk syukur yang memang sangat berat dalam mempraktikkannya), akan masuk surga terlebih dahulu. Dalam suatu hadist disebutkan, “seseorang akan terputus amalannya kecuali tiga hal sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya“. Bagaimana mungkin seseorang bisa beramal jariyah ketika tidak mempunyai harta benda, bagaimana pula seseorang bisa menuntut ilmu jika tidak mempunyai bekal harta, dan bagaimana pula seseorang bisa mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang saleh jika tidak mempunyai saran untuk mewujudkannya.
Islam juga sangat tidak setuju dengan perilaku seseorang yang menimbun harta kekayaan. Menjadi kaya adalah wajib, kemudian kekayaan yang diperolehnya haruslah didistribusikan dengan baik melalui zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan lain sebagainya.
Dalam firman Allah disebutkan:
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (QS.At-Taubah:34)

B.     Distribusi Kekayaan dalam Rumah Tangga
Untuk mewujudkan distribusi kekayaan yang adil, jujur, dan merata islam menetapkan tindakan-tindakan yang positif dan prohibitif. Tindakan positif melalui zakat, hukum pewarisan, dan kontribusi lainnya, baik yang bersifat wajib maupun sukarela (sedekah). Tindakan prohibitif mencakup dilarangnya bunga, menimbun, minum-minuman keras, judi, dan perolehan harta dengan cara yang tidak baik. Perolehan harta yang tidak baik berpotensi terjadinya konsentrasi kekayaan ditangan sedikit orang saja. Alat-alat distribusi kekayaan rumah tangga yang dijadikan alat untuk mewujudkan distribusi kekayaan yang adil dan merata:[2]
1.      Nafaqah
Kewajiban seorang kepala rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, bail istri, anak, orangtua, ataupun mertua. Kewajiban tersebut juga yang menjadi suatu alasan, kenapa dalam hak waris laki-laki mendapatkan bagian harta yang lebih banyak dari perempuan. Karena laki-laki menanggung nafaqah dari seorang laki-laki kepada istri dan anak-anaknya adalah mengikuti standar kepatutan dalam suatu masyarakat. Tidak terlalu berlebihan yang bisa menjerumuskan keluarganya ke dalam perilaku konsumerisme dan juga tidak kikir.   
2.      Zakat
Zakat adalah salah satu ibadah wajib. Pada bahasan lain tentang zakat menurut mayoritas ulama ada suatu alasan mengapa Islam mengharuskan zakat bagi harta anak yatim dan orang gila, yang berada di bawah pengelolaan walinya. Yaitu agar harta tersebut bisa terus dikembangkan dan dikelola oleh sang wali sehingga menjadikan motivasi baginya untuk mendapatkan hasil yang berlimpah. Maka, ajaran zakat merupakan ajaran untuk bekerja, berusaha, sampai disuatu titik yaitu adanya suatu hasil yang dibuktikan dengan bertambahnya harta benda.
Dampak ekonomis dari adanya aplikasi dan implementasi zakat, yang mempunyai efek dominan dalam kehidupan masyarakat. Diantaranya : a) Produksi, b) Investasi, c) Lapangan Kerja, d) Pertumbuhan Ekonomi, e) Kesenjangan Sosial.

3.      Hukum Warisan
Hukum waris dalam Islam hanyalah satu-satunya di dunia yang memakai pola distribusi yang berbasis sangat luas. Hukum ini tidak saja menjadikan anak-anak almarhum, baik lelaki maupun perempuan menjadi pewaris yang sah, tetapi juga istri atau suami, orangtua ataupun kakek/nenek, saudara-saudara, dan lain sebagainya. Jika almarhum tidak memiliki orang tua ataupun anak, maka harta peninggalan bisa saja diberikan kepada saudara-saudara dan terkadang juga saudara jauhnya. Akan tetapi jika almarhum tidak memiliki siapapun, maka hartanya akan diambil oleh negara untuk kemudian dialokasikan untuk menyejahterakan masyarakat.
4.      Hukum Wasiat
Hukum wasiat mengilhami kaum Muslimin yang kaya untuk memberikan hartanya di jalan Allah, untuk tujuan yang baik, seperti pengentasan kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan.
Dalam hukum Islam, hal ini bisa saja diwujudkan dalam bentuk wakaf, dana perwalian, rumah sakit, lembaga pendidikan, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, hukum ini mendorong jihad melawan kemiskinan, kesengsaraan, penyakit, kebodohan, dan buta huruf. Akan tetapi wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta, agar hak-hak ahli waris bisa tetap terjaga.
5.      Hukum Wakaf
Wakaf berarti membaktikan harta kepada Allah, dengan demikian harta itu mengalir dari pemberi wakaf (waqif) kepada Allah. Akan tetapi hasil ataupun manfaatnya dibaktikan kepada masyarakat yang membutuhkan seperti fakir miskin, orang sakit, perantau, dan lain sebagainya. Dengan demikian, distribusi kekayaan bisa merata.
6.      Zakat Fitri
Muslim yang mampu diharuskan membayarnya tidak hanya untuk dirinya sendiri, akan tetapi juga untuk keluarganya, anak-anaknya, pembantunya, dan orang-orang yang berada di bawah asuhannya. Dibayarkannya pada bulan Ramadhan, karena berfungsi untuk membersihkan orang-orang yang berpuasa Ramadhan dan memberi makan kepada orang-orang miskin.

7.      Infak dan Sedekah
Infaq dan sedekah adalah pemenuhan hak bagi orang miskin, akan tetapi hukumnya sunah. Infak adalah pengeluaran sukarela yang dilakukan oleh seseorang setiap kali ia memperoleh rezeki, sebanyak yang ia kehendaki. Sedangkan sedekah adalah bentuk kebajikan yang tiak terikat dengan jumlah dan waktu, seperti halnya zakat. Sedekah tidak hanya berupa material saja akan tetapi bisa juga berupa jasa yang bermanfaat bagi orang lain.
8.      Qard Hasan
Adalah pengeluaran yang dilakukan seseorang di jalan Allah, baik dalam bentuk sedekah, infaq, dan lain sebagainya.
9.      Memberi Makan Kaum Miskin
Banyak sekali yang memberi makan kaum miskin, dan ini juga bernilai ibadah yang sangat tinggi dalam islam dan berperan serta pendistribusian kekayaan. Dalam suatu hadist disebutkan “Abu Huroiroh melaporkan kepada Rasululoh bahwa ada seseorang yang mengeluh tentang kesusahan hatinya: Beliau bersabda: Usapkan tanganmu kepada anak yatim dan orang miskin.[3] Dalam hadist lainnya yaitu: ”Shedekah terbaik adalah mengenyangkan perut yang lapar.”  [4]
10.  Kurban (udlhiyah) dan Aqiqah
Kurban adalah binatang dikeluarkan pada hari Tasyrik di Hari Raya Idul Adha, berbentuk kambing, sapi, onta, dilaksanakan satu tahun sekali. Adapun aqiqah adalah memotong kambing (satu untuk perempuan dan dua untuk laki-laki) di hari ketujuh kelahiran sang anak. Dua hal ini merupakan salah satu cara pendistribusian kekayaan kepada masyarakat yang membutuhkan.
11.  Musa’adah, Huquq Jiran dan Huquq Dhuyuf
Musa’adah  adalah memberikan bantuan kepada orang lain, dengan catatan objek yang diberikan haruslah baik, layak dan pantas. Huquq jiran merupakan hak-hak tetangga yang harus ditegakkan seseorang. Sedangkan Huquq Dhuyuf  merupakan penyaluran distribusi kekayaan kepada tamu. Islam mengaitkan urusan keimanan dengan penghormatan kepada tetangga dan juga tamu. Seseorang tidak dianggap beriman sebelum ia menghormati tetangga dan tamunya.
C.    Distribusi Pendapatan Suatu Negara
Dari sekian banyak cara untuk membangkitkan kesejahteraan umat adalah menumbuhkan semangat pendistribusian harta seorang muslim kepada masyarakat. Wujud dari keadilan distribusi tersebut adalah dengan mengalirnya saluran-saluran distribusi harta umat islam melalui berbagai macam aktivitas kebaikan, yang kemudian lebih jauh lagi bisa berkembang ke dalam wilayah investasi berskala mikro.
Hal ini sesuai dengan beberapa tujuan kebijakan ekonomi seperti yang telah dinyatakan oleh Monzer Khaf, yaitu: (1) maksimalisasi tingkat pemanfaatn sumber-sumber; (2) minimalisasi kesenjangan distribusi, dan; (3) pelaksanaan aturan-aturan permainan oleh unit-unit ekonomik. Kaitannya dengan efisiensi alokasi, para ekonomi konvensional berbeda pendapat tentang distribusi yang adil, berbagai macam pendapat antara lain:
1.      Konsep egalitarian
2.      Konsep Rawlsian
3.      Konsep utilitarian
4.      Konsep market oriented
Suatu Negara walaupun pendapatan per kapitanya naik dua kali lipat, akan tetapi jika angka pengangguran tidak berkurang, angka kemiskinan tidak berkurang, dan distribusi pendapatan tidak merata, maka Negara tersebut belum bisa diyakini telah berhasil melakukan pembangunan dengan baik. Strategi pembangunan berbasis islam mengubah paradigma ini dengan menyajikan beberapa elemen penting, yaitu:[5]
Pertama, seluruh keinginan agen ekonomi tidak dapat diloloskan kecuali harus melewati saringan dari dua filter, yaitu: (1) mashlahah syar’iyyah; dan (2) mekanisme harga di pasar.
Kedua, agen ekonomi perlu dimtivasi untuk melakukan pemuasan kebutuhan dengan cara tidak membahayakan lingkungan.
Ketiga, perlu diadakan restrukturisasi dalam bidang sosioekonomi dengan tujuan untuk mengurangi konsentrasi kekayaan yang beredar dikalangan tertentu, mengapuskan pol konsumsi pamer, hura-hura dan mereformasi sistem keuangan untuk mewujudkan dua tujuan di atas.
D.    Keadilan dalam Distribusi
Ketika Allah mengisyaratkan bahwa nikmat yang diberikan kepada hamba-hamba Nya sangat beragam dan manusia tidak bisa menghitungnya dengan pasti, maka secara tidak langsung manusia akan menemukan sumber ekonomi dan rezeki yang baru saat ada kebutuhan muncul dalam kehidupan manusia.[6]
Keadilan bukan berarti harus ada pemerataan. Karena persamaan antara dua bentuk yang berbeda tidak lebih dari pada dikotomi antara dua hal yang sama, dan hal ini bukanlah keadilan dan bertentangan dengan kodrat manusia. Keadilan adalah keseimbangan antara-individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya. Mereka tidak bisa mendefinisikan persamaan hak, karena persamaan hak di dalam kewajiban yang berbeda adalah kezaliman yang lebih nasta lagi. Bahaya yang ditolak akan dan musibah yang mencekam kemaslahatan banyak orang, sebagaimana ia juga musibah yang menimpa individu yang memiliki hak dan kewajiban itu.
Suatu hal yang perlu dilandaskan adalah landasan perbedaan antara manusia, yaitu terletak pada keahlian dan ketekunannya dalam bekerja. Memang manusia tidak bisa memilih, ia dilahirkan dari rahim si kaya ataupun miskin. Akan tetapi, kehidupan masa depannya terletak dalam usahanya (kasb) dalam membenahi kehidupannya, demi mendapatkan masa depan yang lebih baik lagi.
Bukanlah suatu hal yang adil, jikalau sebagian manusia dengan kecerdasannya yang terbatas bisa belajar sampai perguruan tinggi, sedangkan yang lainnya dengan kecerdasannya yang cemerlang justru tidak bisa mengenyam bangku sekolah karena keterbatasan biaya dan juga menanggung beban hidup.

     
DAFTAR PUSTAKA
Amalia Euis, 2009, keadilan Distribusi dalam ekonomi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo persada
Edwin Nasution, Mustafa, 2006, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta:Prenada

HR.Ahmad

HR. Baihaqi dari Anas

Yunia Fauzia, Ika, dkk, 2014,  prinsip dasar ekonomi Islam:prespektif maqashid al-syariah, Jakarta: Kencana



[1] Ika Yunia Fauzia dkk, prinsip dasar ekonomi Islam:prespektif maqashid al-syariah, (Jakarta: Kencana, 2014) hlm.140.
[2] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta:Prenada,2006), hlm. 139
[3] HR.Ahmad
[4] HR. Baihaqi dari Anas
[5] Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam, (Jakarta:Prenada,2006), hlm. 147.
[6] Euis Amalia, keadilan Distribusi dalam ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada, 2009) hlm.117.

No comments:

Post a Comment