Sunday, December 16, 2018

Epistemologi dan Metodologi Ekonomi Islam



  1. Epistimologi Ilmu Ekonomi Islam
"Epistemologi" atau "teori pengetahuan" (theory of knowledge), secara etimologis, berasal dari kata Yunani "episteme" yang berarti "pengetahuan" (knowledge), dan "logos" yang berarti "teori tentang" atau "studi tentang". Jadi secara terminologis, epistemologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan validitas (keabsahan) suatu pengetahuan. Dengan cara mengetahui unsur-unsur itulah kemudian suatu pengetahuan itu dapat diketahui validitasnya sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Lawan katanya adalah "doxa" yang berarti percaya, yakni percaya begitu saja tanpa menggunakan bukti.[1]
Beberapa persoalan pokok yang terkandung dalam epistemologi adalah :
1.      Hakekat (essensi), eksistensi dan ruang lingkup pengetahuan
2.      Sumber-sumber pengetahuan
3.      Metodologi ilmu tentang cara mengetahui suatu pengetahuan
4.      Sarana yang digunakan dalam rangka kerja metodologis tersebut
5.      Uji validitas pengetahuan.
Epistemologi sebagai sikap skeptis-kritis terhadap pengetahuan ini pertama kali dicetuskan oleh Plato (428-347 SM). Namun dalam sejarahnya epistemologi memiliki corak sendiri-sendiri karena perbedaan dalam menentukan standar validitas dan unsur-unsur di atas.[2]


Menurut Suharto, Epistemologi Islam mengajarkan bahwa akal manusia terikat dan terbatas oleh tiga hukum akal, yaitu :
1.      Apa yang wajib bagi akal, artinya bahwa akal harus mengakui suatu proposisi tertentu tanpa harus mencari dalil atau bukti-bukti kebenarannya.
2.      Apa yang mustahil bagi akal, artinya bahwa akal pasti akan menolak proposisi tertentu dan sama sekali tidak dapat menerimanya.
3.      Apa yang mungkin bagi akal, artinya apa yang mungkin bagi akal untuk menerima maupun menolaknya. Dalam hal ini rasionalisme akal tidak banyak membantu untuk mencapai hakikat atau kepastian dalam hal-hal tertentu. Akal hanya bisa menerima kemungkinan kebenarannya berdasarkan fakta-fakta empiris.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas secara mendalam segenap proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Jika ontologi itu merupakan pengkajian mengenai teori yang sudah ada, epistemologi merupakan upaya untuk menyusun teori yang baru, dan jika seseorang masih ingin mengislamkan ilmu pengetahuan, proses ontologilah yang membantunya atau kita memperbaiki ilmu yang sudah ada dari awal.
Akan tetapi jika kita ingin mengislamkan ilmu pengetahuan, terhadap ilmu yang sudah ada kita cukup menerapkan ijtihad dan amar ma’ruf nahyi’anil mungkar. Jika kita perlu menyusun teori baru, teori baru ini mau tidak mau harus beranjak dari rukhul Islam dan postulat Alqur’an maupun hadis, melalui proses keilmuan.[3]
Untuk itu diperlukannya sikap ilmiah seperti kutipan dibawah ini :
 Islam di dalam ajaran-ajaran memang mengajarkan bahkan memerintahkan agar manusia dapat bersikap dan bertindak secara ilmiah karena menurut Islam : orang yang berilmu akan dapat mempertebal imannya. Kalau ajaran-ajarannya sudah positif, hanya tergantung kepada manusia-manusianya untuk mengamalkan apa yang tersirat dalam ayat-ayat Al-qur’an. Maka dari itu memang perlu adanya penelitian-penelitian, studi-studi yang lebih mendalam mengenai tafsir ayat-ayat Al-qur’an yang disesuaikan dengan penemuan-penemuan ilmiah yang baru.”[4]
Menurut Faruqi, Epistemologi di dalam Islam sangat berkaitan dengan struktur metafisika yang telah terformulasikan di dalam wahyu, hadits, akal, pengalaman empiris dan intuisi. Ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Islam, ilmu merupakan produk dari fiqh atau pemahaman.
Epistimologi adalah teori tentang pengetahuan. Dalam bahasa inggris dikenal dengan “Theory of knowladge”. Secara terminologi epistimologi adalah cabang ilmu filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, metode struktur, dan validitas pengetahuan. Secara garis besar epistimologi dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang bersangkutan dengan pengetahuan dan dipelajari secara substantive,[5]oleh karena itu epistimologi berkaitan dengan :
a.       Filsafat yaitu sebagai cabang yang mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
b.      Metode, memiliki tujuan mengantarkan manusia mencapai tujuan.
c.       Sistem, bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Dengan adanya epistimologi akal manusia bisa mengalami kemajuan dari bentuk akal hayulani (materi) atau potensi menjadi akal bi alkamah (intelectus in habitu). Dan bila dikembangkan lagi bisa menjadi akal mustafad (acquired intelect) sehingga dapat menggambarkan apa yang ada di depannya.[6]
Dalam satu sisi ilmu ekonomi Islam menunjuk pada pengertian yang sempit, yakni hanya mengenai orang-orang yang beriman kepada ke-Esaan Allah dan ajaran moral-Nya, sebagaimana tercemin dalam al-Qur'an dan Sunnah, tetapi di sisi lain juga mencakup dimensi yang luas karena ilmu ekonomi ini mengambil pengetahuan dari faktor-faktor non-ekonomi, seperti faktor politik, sosial, etika dan moral yang semuanya merupakan sekumpulan unsur integratif yang fungsionalisasinya diorientasikan kepada kesejahteraan umat secara umum.
Tetapi pada kenyataanya teori ekonomi Islam di bangun dari masalah faktual, sehingga terjadi kedekatan antara teori dengan teori lain dalam satu bidang dengan bidang lain, ataupun kedekatan teori dengan praktek satu bidang dengan bidang lain, saling berkaitan dalam ekonomi Islam. Ekonomi Islam konsisten terhadap sistem ekonomi yang ada di suatu masyarakat dan mampu mempengaruhi pemahaman ekonomi yang berjalan. Epistemologi ekonomi Islam dibangun bukan berdasarkan pandangan manusia sebagai mahluk ekonomi tetapi berdasarkan pandangan manusia yang diciptakan Tuhan dengan berbekalkan fitrah dan didasarkan atas empat aksioma yaitu ; equilbrium, free-will, unity, dan responbility[7].
Metodologi ekonomi Islam mengungkapkan permasalahan manusia yang bisa dilihat dari sisi manapun ia berada, maka hal ini digunakan untuk menjaga obyektivitas dalam mengungkapkan kebenaran dalam suatu fenomena. Unsur kemanusiaan akan secara alami menguji bahwa segala fenomena berujung pada keselarasan yang tidak berakhir.
Sikap ini melahirkan sikap dinamis dan progresif untuk menemukan ujung dari kebenaran yang memang disadari kebenaran dunia yang tidak berujung. Jika berujung, kebenaran itu pada akhirnya menjadikan manusia tidak bisa bersikap progresif dalam menemukan kebenaran. Mereka akan kehilangan dirinya sebagai makhluk mencari kebenaran. Pada dasarnya Akhir kebenaran itu sampai pada kebenaran Allah, tempat dimana semua kebenaran yang ada berujung pada-Nya.[8]
Epistimologi ilmu ekonomi islam ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :
1.      Observasi
Observasi ini merupakan upaya awal memasuki dunia nyata untuk melihat, mengamati, mengevaluasi kenyataan yang ada dan mendapatkan data yang diperlukan dengan cara menanyai secara intensif sumber data. Observasi ini diikuti pengumpulan data, pengelompokkan, perumusan masalah, tata susunan. Kemudian menetapkan asumsi, klasifikasi, abstraksi, hakikat, tipe ideal, dengan menunjukkan generalisasi. Generalisasi ini kemudian dipakai sebagai dasar ramalan.[9]
Observasi merupakan proses yang harus dilakukan guna mendapatkan informasi selengkap mungkin mengenai suatu obyek. Dimana fungsi observasi diperlukan sebagai bukti akan keberadaan suatu fenomena yang berhubungan erat dengan aktivitas manusia dan memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi.
2.      Deduksi
Deduksi merupakan langkah kedua dari epistimologi, deduksi dapat dikatakan berpikir dengan metode rasional untuk mendapatkan kebenaran, atau  pengertian lain dari deduksi adalah suatu proses guna menarik kesimpulan yang bersifat individual dari peryataan yang bersifat umum. Sebenarnya gagasan tentang kebenaran sudah ada tanpa lewat pengalaman dan telah dipergunakan sebagai dasar untuk pembahasan sesuatu. Kebenaran ini merupakan produk berpikir rasional. Terlepas dari sifat skeptis ilmuwan, kebenaran ini cenderung dapat begitu saja diterima dan dipercaya orang-orang, apalagi kalau yang menyampaikannya orang yang disegani, misalnya para filosof. Akan tetapi ada suatu peringatan dari Al-Hadis agar kita mencermati apa yang dikatakan dan jangan memeriksa siapa yang berkata, meskipun ia profesor. Kebenaran demikian bersifat subjektif karena belum diuji. Dengan kata lain, benar itu hanya menurut anggapan masing-masing orang. (hal ini disebut solipsisme, paham yang mengatakan bahwa diri sendiri itu hanya mengetahui pengalamannya sendiri dan keadaannya sendiri).[10]
Untuk itu berpikir deduktif dapat dirumuskan, “ Jika A benar dan B benar maka akan terjadi C”. Jika semua mahasiswa belajar di Perguruan Tinggi A dan Ali mahasiswa, maka pasti Ali belajar di Perguruan Tinggi A. Deduktif merupakan proses berpikir dengan rasional (meliputi khazanah islam, perumusan masalah, penyusunan hipotesis, deduksi dari hipotesis, logika dan matematika, ramalan dan sikap skeptis) untuk mendapatkan kebenaran atau suatu proses untuk menarik kesimpulan yang bersifat individual dari yang bersifat umum.
3.      Induksi
Dunia empirik adalah ruang lingkup kemampuan panca indera dan peralatan pembantunya untuk mengetahui dan mengenali fakta yakni sesuatu yang ada. Dunia empirik ini juga merupakan kerangka untuk menguji kebenaran hipotesis dengan kenyataan guna memastikan kebenaran.
Dunia empirik sebagai proses terdiri dari pengujian dengan metode penelitian keilmuan yang menggeluti fakta dan metode induksi dengan bantuan statistika. Didahului dengan pemikiran sampai di mana kekuasaan Tuhan, Allah bertanya sambil menyindir apakah kita melihat bagaimana Allah menitahkan seekor unta. Ini  adalah sebuah dunia empirik atau berpikir induktif, pengelihatan kita pada fakta kemudian diolah oleh pikiran kita. Induksi ini merupakan suatu proses guna menarik kesimpulan yang bersifat umum dari pernyataan-peryataan yang bersifat khusus.[11]
Dunia nyata ini menjadi tempat menguji hasil pemikiran deduksi sampai seberapa jauh kebenaran yang dicapai sesuai kenyataan. Untuk itu kita bisa memulainya dengan pertama pengujian melalui penelitian, penelitian ini mungkin saja merupakan penelitian murni (dilakukan untuk mempelajari masalah yang belum pernah diselidiki sebelumnya dan dalam ijtihad sama sekali tidak ada nasnya, misalnya pembayaran ganda : pajak penghasilan dan zakat profesi) atau penelitian terapan (dipergunakan untuk mempelajari akibat praktis dari pengetahuan yang pernah dimiliki, misalnya sistem pendayagunaan zakat yang efisien untuk mengentaskan para fakir miskin).
Kedua, kita lakukan induksi dan statistika yaitu setelah data terkumpul dan dianalisis perlu digambar hubungan antara faktor-faktor yang terdapat dalam fakta agar kita dapat menarik kesimpulan dari kasus-kasus individual dari fakta yang banyak itu sebagai kesimpulan umum. Pentingnya statistik diperlukan karena kejadian yang satu dengan yang lainnya terikat oleh suatu pola yang teratur dan tidak bersifat kebetulan. Statistika membantu kita menarik kesimpulan umum yang dapat diandalkan.[12]
Namun, dalam rangka infiltrasi nilai-nilai etika Islam tersebut diperlukan metodologi khusus untuk menghasilkan kemasan yang tentunya juga berbeda dengan ketika mempropagandakan sistem tersebut di kalangan umat Islam sendiri yang sama-sama se ideologi. Di sinilah kajian ekonomi Islam dengan pendekatan holistik, Nili-nilai moral-ethics inilah yang kemudian akan menjadi unsur pembeda dengan sistem ekonomi yang lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, meskipun pada dasarnya dalam kerangka operasionalnya semua sistem ekonomi itu menerapkan ilmu-ilmu bantu (dasar) ekonomi yang sama, sebagaimana disebutkan di atas. Kemudian dalam wujud konkretnya, sistem nilai etika ini dijadikan ruh bagi semua instrumennya yang pada akhirnya akan membentuk karakter tipikal yang membedakan dengan sistem-sistem ekonomi lainnya. Meskipun kajian etika ekonomi ini masuk dalam wilayah aksiologis namun penting diikutsertakan dalam kajian epistemologi sebagai faktor pendukung dalam pencarian keabsahan eksistensi disiplin ilmu ekonomi Islam.
            Ilmu pengetahuan secara epistimologi hanya mengenal benar atau tidak benar. Yang mempunyai keputusan baik atau buruk bagi kehidupan ini adalah manusia dengan sistem nilai dan akhlaknya. Jika ilmu dimiliki sebagai kekuasaan maka pembangunan atau malah penghancuran yang ia dapat sebab hal itu tergantung sampai dimana keimanan dan ketakwaan seseorang terhadap sang khaliknya yaitu Allah SWT. Untuk itu perlunya para muslim untuk waspada dalam menentukan hal yang baik dan buruk, serta peristiwa yang melawan hukum islam.
  1. Metodologi ilmu Ekonomi Islam
Sebelum beranjak kepada pemaparan tentang metodologi ilmu ekonomi Islam, perlu ditegaskan bahwa semua ilmu tidak lahir dalam kondisi vakum, yakni tidak lahir secara tiba-tiba. Sebagaimana telah disinggung di atas, pondasi bagi lahirnya suatu disiplin ilmu adalah worldview yang terkait dengan keilmuan itu. Bersama-sama dengan realitas, worldview ini kemudian menghasilkan tradisi ilmiah dalam masyarakat yang kemudian melahirkan disiplin ilmu. [13]
Lahirnya disiplin ilmu ini, menurut Alparslan membutuhkan tiga tahapan :
1.      Problematic stage, yaitu tahap pendalaman berbagai persoalan (subyek kajian) secara acak, tanpa sekat-sekat bidang kajian tertentu.
2.      Disciplinary stage, yaitu terbentuknya disiplin-disiplin keilmuan yang masing-masing memiliki metode pembahasan tersendiri.
3.      Naming stage, yaitu tahap pengkhususan dengan penamaan bidang-bidang keilmuan.
Dengan demikian, dapat dipahami bila worldview[14]memiliki peran yang sangat vital dalam menentukan arah sistem keilmuan dan sistem sosial.
Perkembangan metodologi penelitian Islam telah tumbuh sejak lama. Sejak awal perkembangan pengetahuan Islam, keberadaan metodologi penelitian  membantu ilmuwan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi sehingga metodologi penelitian dalam ekonomi mempunyai sejarah panjang dalam perkembangan pengetahuan Islam. Tokoh-tokoh dalam metodologi penelitian antara lain sebagai berikut :
1.      Ibnu hayyam (721 – 776 H)
2.      Al – Farabi (950 H)
3.      Ibnu Zuhr (1091 – 1162 H)
4.      Ibnu Khaldun (732 – 807 H / 1332- 1406 M)
5.      Ibnu Sina (980 – 1037 H )
6.      Ibnu Rusyd (520 – 595 H/ 1126 – 1198 M
7.      Ar – Razi (554-606 H/1150 – 1210 M)
8.      Al – Khuwarizmi (w. 775 H/1373 M)[15]
Maka untuk menjadikan ekonomi Islam sebagai ilmu, ekonomi Islam harus memenuhi syarat-syarat yang diterima sebagai ilmu. Dengan susunan yang harus ditempuh melalui metodologi ilmu ekonomi islam. Dimana para ahli ekonomi islam  juga bertugas dan bertanggung jawab untuk merumuskan asas-asas ekonomi guna menyusun kebijakan yang memang dirancang untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi yang biasanya sangat komplek dan menyangkut dari segi agama.
Sesuatu yang bermula dari fenomena kemasyarakatan yang disimpulkan dalam suatu narasi yang mudah dipahami yaitu metodologi penelitian. Maka didapat pengertian Metodologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari metode yang digunakan dalam suatu kegiatan ilmiah tertentu guna mencapai sesuatu asas dan kebijakan. Cara untuk melakukan penelitian dengan Metodologi yang terdiri dari usaha mengumpulkan data, mengklasifikasikannya, mengolah dan menganalisa data dari suatu masalah untuk mendapatkan hakikat suatu masalah, serta cara-cara penyelesaiannya yang tepat.
Menurut Ali abdul Halim Mahmud mengatakan bahwa metodologi penelitian Islam adalah “Suatu metodologi yang Islami untuk meneliti gejala-gejala dan masalah serta mengetahui faktor-faktor penyebab menganalisis secara teliti dan membuat satu atau lebih pemecahannya.”
Sekilas tujuan dari metodologi penelitian itu sendiri adalah pertama, untuk mengetahui gambaran mengenai keadaan (description of existing reality). Hubungan antara satu hal dengan yang lain, khususnya hubungan sebab akibat (causality). Penilaian mengenai hubungan antara beberapa hal (relation of variabel) yang akan menghasilkan kesimpulan umum (generalitation) atau kecenderungan umum (general tendency) dan apabila mendekati kepastian akan menimbulkan ketetapan suatu hukum. Kedua, metodologi penelitian diperlukan untuk menemukan bukti dari suatu kejadian. Metodologi penelitian berlaku secara umum untuk mendapatkan pengakuan sebagai sebuah ilmu. Oleh karena itu metodologi penelitian ekonomi Islam mempunyai peran penting dalam membuktikan kebenaran teori ekonomi Islam. Islam menganjurkan manusia untuk menghindari prasangka yang belum pasti kebenarannya.[16]
Sebagaimana dalam firman Allah di dalam surat An-Najm ayat ke 28. Yang artinya :
 “Dan mereka tidak mempunyai suatu pengetahuan pun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran”.
Metodologi ilmu yaitu cara bagaimana suatu ilmu itu disusun, sesuatu yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan, sebab hal inilah yang membedakan pengetahuan yang disebut ilmu. Perbedaan metodologi akan menghasilkan perbedaan ilmu pengetahuan itu sendiri. Tujuan seluruh ilmu pengetahuan adalah mencari sebuah kebenaran, meskipun kebenaran itu sendiri sifatnya relatif. Kebenaran absolut hanyalah milik sang pencipta alam semesta ini, yaitu Allah SWT. Oleh karenanya, keberadaan manusia harus bersumber pada informasi dari Allah seandainya manusia mengiginkan suatu kebenaran yang sesengguhnya.
. Sedangkan kebenaran ilmiah dapat diuji dan ditemukan melalui :
1.      Koheren merupakan suatu pernyataan yang dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan yang sebelumnya yang dianggap benar. Teori koheren menggunakan logika deduktif.
2.      Koresponden yaitu, pernyataan yang dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori ini menggunakan logika induktif.
3.      Pragmatis, suatu yang dianggap benar apabila memiliki kegunaan atau manfaat yang bersifat fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Berbeda dengan konvensional, ilmu ekonomi Islam telah lebih dahulu berusaha membangun metodologinya sebelum ilmu tersebut mencapai kemapanan. Ilmu pengetahuan (‘ilm atau fiqh) pertama kali digunakan umat Islam dalam kaitannya dengan pengetahuan tentang wahyu, data, tradisi dan maknanya. Dengan cara ini ‘ilm mulai memperoleh makna teknis ketika akan diterapkan ke dalam pengetahuan tentang hukum Tuhan. Dalam hal ini ‘ilm diartikan sebagai pengetahuan yang diperoleh melalui istidlal (memerlukan bukti). Istidlal menyiratkan pengamatan data melalui eksperimentasi, pengukuran, dan pengamatan lebih lanjut. Dalam perkembangannya terjadi pembedaan antara istiqra (investigasi terhadap data mentah) dengan istinbath (menyimpulkan isi data). Yang pertama identik dengan metode empiris induktif, sedangkan yang kedua identik dengan metode analisis.
Hal inilah yang membedakan metodologi penelitian ekonomi Islam dan konvesional, dimana aspek kualitatif dan kuantitatif dalam eknomi islam dipertimbangkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses mencari kebenaran. Oleh karena itu, metodologi ekonomi islam lebih merupakan representasi dari kehidupan manusia yang mana kita sebagai umat islam wajib merujuknya kembali ke asasnya yakni Al-Qur’an dan Hadis. Sebab Al-Qur’an dan Hadis merupakan sumber kebenaran dalam melakukan proses penelitian. Penelitian ekonomi islam tidak mengenal akhir dalam suatu  penelitian dan tidak akan mengenal akhir dalam mencari kebenaran, karena  manusia akan sadar atas ketidaktahuan dirinya sebagai manusia. Dari rasa tidak tahu ini akan menimbulkan motivasi untuk terbuka terhadap berbagai gejala-gejala ekonomi yang ada di sekitarnya. Sehingga kita dapat mengambil hikmah dari berbagai gejala-gejala tadi dengan menyakini sepenuh kesungguhan bahwa segala sesuatu yang ada dalam kehidupan telah ditentukan oleh Allah.  
Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut  Umer Chapra adalah sebagai berikut:
1.      Prinsip Tauhid
Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
2.      Prinsip khilafah
Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah :
a.       Persaudaraan universal
b.      Sumber daya adalah amanah
c.       Gaya hidup sederhana
d.      Kebebasan manusia.
3.      Prinsip keadilan
Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah :
a.       Pemenuhan kebutuhan pokok manusia,
b.      Sumber-sumber pendapatan yang halal,
c.       Distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata,
d.      Pertumbuhan dan stabilitas.[17]

Ide ini bersumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas (kegunaan) dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam mudah untuk dibangun.

Urgensi Metodologi Penelitian Ekonomi Islami
  1. Masalah Implementasi
Untuk meningkatkan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat maka ekonomi Islam mengemukakan metodologi penelitian yang dapat diterima masyarakat, dan mampu secara rill mengungkap segala masalah yang terjadi, serta memperkirakan segala ketidakpastian di masa depan. Keberadaan metodologi penelitian di tengah perkembangan masyarakat tidak dapat dipisahkan, bahkan perkembangan metodologi penelitian menjadi indikator perkembangan keberadaan masyarakat. Tetapi, keberadaan metodologi penelitian berhubungan dengan teori yang mendominasi keberadaan metodologi tersebut, sehingga metodologi penelitian ekonomi Islam kurang dikenal masyarakat sebagaimana masyarakat kurang mengenal konsep ekomoni Islam. sejumlah masalah yang berhubungan dengan keberadaan metodologi penelitian ekonomi Islam yang berkembang akhir-akhir ini antara lain :[18]
1)      Apakah ilmu ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang normatif, positif atau bersifat kedua-duanya ?
Ilmu ekonomi Islam berakar dari tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits dimana kedua sumber ini merupakan hukum integratif yang berisi seluruh aspek hidup manusia baik normatif maupun positif. Mustahil bila Al-Qur’an, wahyu Allah pencipta seluruh alam raya, memberikan tuntunan yangg tidak mengakomodasi kepentingan manusia, demikian juga dengan al-Hadits. Al-Hadits merupakan perilaku dan ucapan Rasulullah SAW sebagai representasi manusia biasa yang mempunyai potensi multidimensional yang bersentuhan dengan seluruh aspek kehidupan.
Keberadaan ilmu ekonomi Islam yang normatif dan positif menunjukkan perwujudan kebebasan untuk tidak terkekang oleh salah satu unsur yang ada. Pemihakan terhadap salah satu unsur tidak akan menimbulkan proses keilmuwan yang integratif, karena sadar atau tidak sadar lingkungan yang menbentuk kehidupan manusia-budaya, adat istiadat, perilaku ini melibatkan kedua unsur diatas.
2)      Apakah teori ekonomi Islam diperlukan mengingat tidak ada suatu ekonomi Islam aktual ?
Sebagai konsep yang integratif, ekonomi Islam mampu menangkap gejala-gejala sosial kemasyarakatan ekonomi Islam juga mampu mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan guna menyelesaikan masalah yang ada. Hal ini tidak akan terjadi bila ekonomi Islam tidak mempunyai konsep yang mampu mengambil hikmah dari masalah masyarakat tersebut.
Berdiri sejumlah Bank Syariah yang terdiri dari Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPRS). Selain itu ada lembaga non bank, semacam Baitul Mal wa Tanwil (BMT), asuransi syariah, pasar modal syariah termasuk reksadana syariah, juga beberapa praktek bisnis yang menggunakan prinsip syariah, misalnya multi level marketing syariah (MLMS) dan sebagainya. Keberadaan bank, lembaga keuangan dan bisnis syariah menunjukkan ekonomi Islam mampu menangkap peluang ekonomi dan akomodatif terhadap permasalahan kemasyarakatan. Keadaan ini menunjukkan bahwa ekonomi Islam adalah ekonomi aktual.
3)      Apakah ekonomi Islam itu suatu sistem atau ilmu pengetahuan ?
Bila masing- masing individu sadar akan kebenaran konsep ekonomi Islam maka akan menimbulkan suatu rangkaian dimana yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dengan tingkat intensitas tertentu. Hal ini akan membentuk sistem ekonomi Islami, yang menumbuhkan daya kreatif masyarakat untuk bekerja memenuhi kebutuhan lahir dan batin.
Sistem yang baik membutuhkan ilmu pengetahuan untuk melihat keefektifan dari sistem yang sedang berjalan. Apakah sistem yang berlaku sudah efektif dalam mengingkatkan kesejahteraan masyarakat atau belum, meningkatkan gairah kerja masyarakat atau belum dan sebagainya. Hal ini tidak dapat diketahui tanpa ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan pula yang meberikan solusi alternatif dari masalah yang berkembang.
Ketiga masalah ekonomi Islam di atas, mengarah pada beberapa pertanyaan :
1.      Apakah ekonomi Islam memiliki metodologi penelitian khusus yang berbeda dengan ekonomi konvensional.
2.      Bila metodologi penelitian ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional berbeda pasti ada bukti yang menunjukkan hasil dari proses metodologi penelitian Islam tersebut.
3.      Apakah dengan menggunakan metodologi penelitian konvensional akan menimbulkan ketidak sejahteraan bagi masyarakat.
Dari ketiga pertayaan di atas tadi dapat kita tanggapi bahwasannya jelas bahwa metodologi ekonomi islam itu berbeda dengan ekonomi konvensional. Hal ini dapat kita lihat dari konsep yang diterapkan ekonomi islam dalam membentuk suatu produk maupun sistem, mereka pasti mengarah pada tuntunan yang mereka yakini yaitu Al-Qur’an dan Hadist yang telah diteliti sebagai pedoman yang paling benar. Menjadikan kesejahteraan di masyarakat dan kesejahteraan di akhirat kelak. Namun, banyak orang yang masih menyepelekannya, mereka beranggapan bahwa dengan ekonomi islam keuntungan maupun bonus yang mereka dapatkan hanya sedikit, itulah yang merupakan PR bagi kita semua umat muslim. Kita harus merubah mind set mereka, karena sebenarnya keberadaan ilmu ekonomi Islam yang normatif dan positif menunjukkan perwujudan kebebasan untuk tidak terkekang oleh salah satu unsur yang ada. Keberadaan bank, lembaga keuangan dan bisnis syariah menunjukkan ekonomi Islam mampu menangkap peluang ekonomi dan akomodatif terhadap permasalahan kemasyarakatan. Bila masing- masing individu sadar akan kebenaran konsep ekonomi Islam maka akan menimbulkan suatu rangkaian dimana yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dengan tingkat intensitas tertentu. Dimana sistem ekonomi Islami akan menumbuhkan daya kreatif masyarakat untuk bekerja memenuhi kebutuhan lahir dan batin dan hal ini juga tidak terlepas tanpa ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan pula yang memberikan solusi alternatif dari masalah yang berkembang.


Sistematika Metodologi Penelitian
Pada umumnya metodologi pengetahuan mengandung unsur-unsur yang berhubungan secara berkesinambungan, yang membentuk suatu sistematika ilmu, sehingga menyebabkan ilmu pengetahuan bisa diterima di dalam kehidupan. Ada tiga masalah yang membedakan satu pengetahuan dengan lainnya, seperti perbedaan antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan agama, yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi.[19]
a.      Ontologi
Ontologi adalahbagian dari filsafat ilmu yang membahas pandangan terhadap hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Sesuatu hal yang termasuk dalam pandangan terhadap hakikat ilmu itu sendiri. Ontologi merupakan teori tentang ada dan realitas, yang merupakan apa atau sesuatu hal yang ingin kita ketahui dan sampai berapa jauh untuk mendapatkan kebenaran. Pembahasan ontologi dalam metodologi penelitian islam dibagi tiga :
1.      Motivasi melakukan aktivitas ilmiah
2.      Pandangan tentang penjelasan ilmiah
3.      Gejala ekonomi
b.      Epistimologi
Epistimologi adalah cabang filsafat yang membahas secara mendalam segenap proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Epistimologi menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan.
c.       Aksiologi
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai. Sebuah ilmu atau teori yang value free itu akan diberlakukan dalam masyarakat yang sudah tentu tidak bebas nilai. Jika manusia itu bebas nilai tak ubahnya ia seperti kera atau robot. Oleh karena kenyataannya tidak demikian, nilai diperlukan untuk menunjukkan teori pada kenyataan yang berlaku dan untuk membina masyarakat agar sampai pada tujuan yang diinginkan terutama sesuai dengan ajaran agama islam.
Adapun jawaban tentang hakikat nilai yang dibedakan dengan tiga macam cara, orang dapat mengatakan bahwa :
1.      Nilai sepenuhnya berhakikat subyektif. Nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan manusia sebagi pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman mereka.
2.      Nilai-nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut nilai logis dan dapat diketahuii melalui akal.
3.      Nilai-nilai merupakan unsu-unsur obyektif yang menyusun kenyataan.[20]
Dengan aksiologi yang merupakan teori mengenai ilmu, apa gunanya ilmu itu bagi kita, lalu manfaat seperti apakah ilmu itu dikehidupan kita, dan lain sebagainya. Maka perbaikan kehidupan di dunia yang fana ini adalah berkat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan justru karena itu kita wajib menempatkan ilmu pada proporsinya yang terhormat.
Tujuan Metodologi Penelitian Ekonomi Islam
Metodologi ekonomi Islam sebagai alat untuk mencari kebenaran dari konsep ekonomi yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Hadid. Untuk itu usaha menentukan metodologi ekonomi islam yang mampu mempresentasikan kenyataan terus dilakukan. Usaha ini dilakukan dalam rangka menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan  masyarakat. Oleh karena itu, metodologi ekonomi islam akan menghasilkan beberapa hal, yaitu[21] :
1.      Kesejahteraan masyarakat
Selama ini metodologi konvensional telah mempengaruhi masyarakat disegala aspek kehidupan. Maka dari itu perilaku ekonomi yang berorientasikan motif mencari keuntungan merupakan fenomen yang cukup familier dikalangan masyarakat. Dimana kekayaan dan kemiskinan dianggap fenomena biasa yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan.
Dalam metodologi islam, kesejahteraan akan terjadi apabila seluruh unsur di dalam masyarakat bisa menikmati hasil ekonomi secara adil. Dengan berpedoman pada al-Qur’an dan Hadist.

2.      Mengungkapkan masalah dengan obyektif
Dengan menggunakan metodologi ekonomi islam, umat islam akan mampu membuktikan bagaimana konsep ekonomi islam. Obyektivitas lebih diyakini sebagai representasi realitas, realitas diyakini sebagai representasi kebenaran. Obyektifitas ini yang menjadikan landasan bagi ekonomi islam untuk diterima masyarakat sebagai sebuah konsep yang memberikan jaminan untuk selamat didunia dan akhirat. Dengan penjelasan bahwaa metodologi ekonomi islam mendorong manusia untu sejahterah didunia yaitu zakat, infaq dan shodaqah akan menjadikan keadilan ekonomi bisa dirasakan bersama.

3.      Meningkatkan motivasi untuk menggalin ilmu
Penemuan baru akan mendorong masyarakat untuk lebih jauh menyibak kebenaran konsep ekonomi islam. Masalah perkembangan ekonomi islam selama ini lebih banyak dipengaruhi oleh kurang adanya bukti rill dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebenaran ekonomi islam yang didasarkan atas pembuktian secara ilmiah akan memupus keyakinan dan keraguan masyarakatterhadap teori ekonomi islam. Oleh karenanya dengan adanya bukti ilmiah bahwa meminum khamar dan berjudi akan membuat masyarakat tidak beruntung atau sengsara. Dan telah dijelaskan dalam surat aal-maidah (5) ayat 9, yang berbunyi :
“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, menyembah berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah (perbuatan) kej termasuk perbutan setan. Maka jahuilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”[22]




Kesimpulan
Dasar ilmu pengetahuan Islam adalah pandangan hidup Islam itu sendiri. Ilmu tidak muncul dari “hampa budaya” atau dari budaya yang tidak memiliki latar belakang epistemologi dan atau tanpa worldview (Pandangan Hidup). Oleh karena itu, kita memang tidak bisa dengan serta merta menggunakan ekonomi konvensional, karena kita telah memiliki identitas kita sendiri, yaitu pandangan hidup Islam. Di sisi lain, kita juga tidak bisa bersembunyi dan menolak mentah-mentah begitu saja ekonomi konvensional, karena kita tidak bisa lepas dari sistem yang telah hidup dan berkembang di tengah-tengah kita.
Semua peradaban dan bahkan semua agama mengalami proses meminjam dan memberi dalam persinggungan mereka sepanjang sejarah. Oleh karena itu, hampir tidak mungkin kita bersikap eksklusif. Agar persinggungan dengan budaya asing itu tidak merusak dan menghilangkan identitas budaya kita, atau lebih tepatnya tidak membelokkan kita dari pandangan hidup kita sendiri, maka diperlukan proses epistemologis untuk menyesuaikannya dengan Islam.
Sedangkan Metodologi ilmu ini sebagai cara bagaimana suatu ilmu itu disusun, sesuatu yang sangat penting bagi ilmu pengetahuan, sebab hal inilah yang membedakan pengetahuan yang disebut ilmu. Perbedaan metodologi akan menghasilkan perbedaan ilmu pengetahuan itu sendiri. Tujuan seluruh ilmu pengetahuan adalah mencari sebuah kebenaran, meskipun kebenaran itu sendiri sifatnya relatif. Kebenaran absolut hanyalah milik sang pencipta alam semesta ini, yaitu Allah SWT. Oleh karenanya, keberadaan manusia harus bersumber pada informasi dari Allah, seandaiya manusia menginginkan suatu kebenaran yang sesengguhnya.




DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Ahmad Zainal. 1979. Dasar-dasar Ekonomi Islam. Jakarta : Bulan Bintang
Anshari, Endang S. 1982. ilmu filsafat dan Agama . Surabaya : Bina ilmu
Chapra, Umer. 1995. Islam dan Tantangan Ekonomi (terj). Yogyakarta : UII Press
Manan, Muhammad Abdul. 1993. Teori Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf
Moehammad, Goenawan. 2000.Metodologi Ilmu Ekonomi Islam.Yogyakarta : UII Press
Karin, Ahmad Abdul. 1999. Sistem Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Bandung : Pustaka Setia
Kuntowijoyo. 2006. Islam sebagai Ilmu Epistimologi, Metodologi dan Etika. Yogyakarta : Piara Wacana
Sudarsono, Heri. 2004. Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta : Ekonisia
Suprayitno, Eko. 2005. Ekonomi Islam. Yogyakarta : Graha Ilmu
Suriasumantri, Jujun S. 1982. Ilmu dalam Prespektif : Jakarta : Gramedia
Watloly, Aholiab. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan, Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural. Yogyakarta : Penerbit Kanisius







[1]Muhammad Abdul Manan, Teori Praktek Ekonomi Islam (terj), Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1993. hlm 12
[2] Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan, Mempertimbangkan Epistemologi secara Kultural, Yogyakarta : Penerbit Kanisius, 2001, hlm. 114
[3] Goenawan Moehammad, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam. Yogyakarta : UII Press, 2000, hlm. 24
[4]Endang Saifuddin Anshari. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya : Bina Ilmu, 1982, hlm 56
[5] Substantive merupakan pokok,  penting.
[6]Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu Epistimologi, Metodelogi dan Etika, Yogyakarta : Piara Wacana, 2006, hlm. 54

[7]Equilbrium artinya keseimbangan, free-will artinya kebebasan, unity artinya kesatuan dan responbility artinya tanggap.
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Prespektif. Jakarta : Gramedia, 1982, hlm. 32
[8]Heri sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm. 69
[9]Goenawan Moehammad, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam.Yogyakarta : UII Press, 2000, hlm. 25
[10]Goenawan Moehammad, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam.Yogyakarta : UII Press, 2000, hlm.45
[11]Ahmad Zainal Abidin. Dasar-dasar Ekonomi Islam. Jakarta : Bulan Bintang,1979, hlm 83
[12]Jujun S. Suriasumantri. Ilmu dalam Prespektif.Jakarta : Gramedia, 1982, hlm. 20
[13] Eko Suprayitno, 2005, Ekonomi Islam, Yogyakarta : Graha Ilmu, hlm. 7
[14]Worldview artinya pandagan hidup atau prinsip hidup, yang terbentuk dari adanya akumulasi pengetahuan dalam pikiran seseorang baik itu berupa konsep maupun sikap mental yang ada pada dirinya.
[15]Heri sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm. 54
[16]Ahmad Abdul karin.Sistem Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Bandung : Pustaka Setia.1999. hlm. 76

[17]Umer,Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi (terj). Yogyakarta : UII Press, 1995. Hlm. 37
[18]Heri sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm. 61
[19]Endang, Anshari, ilmu filsafat dan Agama . Surabaya : Bina ilmu, 1982. Hlm. 59

[20]Heri sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm. 69
[21]Ahmad Abdul karin.Sistem Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam. Bandung : Pustaka Setia.1999. hlm. 73

[22]Heri sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, yogyakarta : EKONISIA, 2004, hlm. 75


No comments:

Post a Comment