Wednesday, December 5, 2018

Analisis Kasus Pidana Siswa SMK Mencuri Sandal Jepit Milik Oknum Polisi di Palu, Sulawesi Tengah


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Hukum pidana hakikatnya adalah keseluruhan dari peraturan peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Hukum Pidana sama dengan hukum publik yang mengatur hubungan hukum antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana bersifat memaksa, monopoli, dan mencakup semua.
Hukum pidana dapat dilakukan tanpa menunggu gugatan dari penggugat. Jadi jika ada kasus pidana, maka hukum akan segera menindak, tak memandang sudah diajukan atau belum oleh si penggugat atau yang dirugikan. Hal ini sungguh berbeda dengan hukum perdata yang mengatur hubungan hukum antara perseorangan dengan orang lain.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum pidana memiliki sifat yang tegas dan bijak. Hukum pidana itu memiliki beberapa macam pelanggaran, berikut beberapa pelanggaran yang termasuk hukum pidana, seperti pembunuhan, pencurian , perampokan, korupsi, penipuan, pemerkosaan, dll. Dibanding hukum perdata hukum pidana memiliki cakupan yang lebih luas dan lengkap
Kasus pidana memang memiliki banyak ragam dan jenisnya salah satunya adalah pencurian. Pencurian diatur dalam pasal 362 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Semua yang telah diatur dalam KUHP hendaknya dipatuhi oleh semua warga negara Indonesia tanpa terkecuali, tak peduli profesi apa yang sedang mereka jalani. Hukum harus tetap ditegakkan bukan malah menjadi aturan yang tumpul diatas dan tajam ke bawah, maksudnya supremasi hukum di negeri ini seakan-akan hanya ilusi. Seringkali kta menemukan para birokrat yang melakukan pelanggaran berat hanya dihukum ringan sementara rakyat kecil yang melakukan pelanggaran ringan cenderung mendapatkan hukuman berat. Inilah hukum buatan manusia, yang senantiasa jauh dari rasa keadilan. Semuanya dengan mudah dibeli dengan uang. Bahkan saat ini virus semacam ini telah menjalar ke ranah yudikatif tak hanya di ranah eksektif dan legislatif saja.
Kita takkan pernah tahu sampai kapan ketidakadilan hukum ini terjadi di Indonesia. Selama aparat penegak hukum bersikap tidak adil, ketidakpastian hukum akan senantiasa menyelimuti tanah air. Maka sebagai generasi penerus bangasa sudah sepatutnya kita mulai melakukan pembenahan. Meskipun hanya dalam ruang lingkup kecil setidaknya telah mampu meminimalisir kecurangan dalam hukum.
B.  Rumusn Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah, diantaranya:
1.      Apa yang menjadi dasar hukum pencurian dalam KUHP?
2.      Analisis kasus pencurian yang dilakukan anak berdasarkan dasar hukum dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai?
C.  Tujuan
Dengan memperhatikan beberapa rumusan masalah diatas pastinya, akan menciptakan sebuah tujuan yang hendak dicapai, diantaranya:
1.      Mengetahui dasar hukum pencurian dalam KUHP
2.      Memahami analisa kasus pencurian yang dilakukan anak menggunakan dasar hukum dalam peraturan perundang-undangan  yang sesuai.








BAB II
PENYAJIAN DATA

Berita I
Kejamnya Keadilan "Sandal Jepit"....[1]
Penulis: Ary Wibowo                 Kompas.com  Jumat, 6 Januari 2012 | 09:44 WIB

KOMPAS.com - Jauh sebelum kasus "sandal jepit" merebak, penyanyi kondang Iwan Fals sudah teriak-teriak soal sandal jepit dalam syair lagunya "Besar dan Kecil". Iwan menganalogikan rakyat kecil seperti sandal jepit yang selalu terjepit, diremehkan, lemah, selalu kalah. Seperti sandal jepit, begitulah kenyataan masyarakat kecil jika harus berurusan dengan hukum.Tidak perlu menutup mata karena kenyataan itu ada di depan mata kita. Aparat negeri ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang sudah biasa menjerit karena ketidakadilan di negeri ini. Mereka terkesan lebih senang membela pejabat dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat kecil yang biasa hidup melarat.

http://assets.kompas.com/data/2013/news3/images/artikel/quote_1.gifAku seperti bemo atau sendal jepit. Tubuhku kecil mungil biasa terjepit. Pada siapa ku mengadu? Pada siapa ku bertanya? http://assets.kompas.com/data/2013/news3/images/artikel/quote_1.gif
Mau bukti? Tengoklah kasus Nenek Minah (55) asal Banyumas yang divonis 1,5 tahun pada 2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao yang harganya tidak lebih dari Rp 10.000. Bahkan, untuk datang ke sidang kasusnya ini Nenek yang sudah renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp 30.000 untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup jauh.
Yang paling anyar, kasus pencurian sandal jepit yang menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3, Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Hanya gara-gara sandal jepit butut AAL terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara. 
Proses hukum atas AAL pun tampak janggal. Ia didakwa mencuri sandal merek Eiger nomor 43. Namun, bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor 9,5. Selama persidangan tak ada satu saksi pun yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi.
Di persidangan, Rusdi yakin sandal yang diajukan sebagai barang bukti itu adalah miliknya karena, katanya, ia memiliki kontak batin dengan sandal itu. Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.
AAL memang dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan kepada orangtuanya. Namun, majelis hakim memutus AAL bersalah karena mencuri barang milik orang lain.
 Mati
Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasodjo kepada Kompas.com, Kamis (5/1/2012) di Jakarta mengatakan, hukuman yang diberikan kepada Nenek Minah dan AAL itu menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri. Hukum, kata dia, hanya mengikuti aturan formal, tidak memperhitungkan subtansi dan hati nurani.
"Ancaman lima tahun dan vonis 1,5 tahun itu, bukan masalah Jaksa, Polisi, atau Hakim saja. Tapi mereka semua telah melakukan kesesatan kolektif. Meskipun banyak protes dari masyarakat, mereka masih juga memproses dan memutuskan sesuatu secara tidak sedikitpun ada kesadaran dan evaluasi," kata Imam.
Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto pun mengatakan hal serupa. Hakim kini dinilainya terlalu legalistik terhadap putusan bersalah rakyat kecil. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum.
"Undang-undang itu dead letter law (hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Kalau putusannya itu aneh, itu bukan salah undang-undang, melainkan hakim. Hakimnya harus pandai memberi putusan yang bisa diterima," kata Soetandyo.
Meskipun, seyogyanya mencuri atau mengambil barang orang lain sekecil apa pun tanpa izin adalah perbuatan melanggar hukum. Dan hukum harus ditegakkan. Namun, apakah hal itu sudah sesuai rasa keadilan di masyarakat?
Lihat saja bagaimana para pejabat dan koruptor berdasi putih mencuri uang rakyat yang nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit dan kakao itu diperlakukan dengan terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng bebas dari hukuman yang tidak terlalu berat. Mereka pun dapat mangkir dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan koruptor rata-rata hanya dihukum di bawah dua tahun. Pada 2010, sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen hanya dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87 kasus divonis 3-5 tahun, 13 kasus atau 2,94 persen divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas pada pertengahan November tahun lalu, mengakui bahwa hukuman untuk koruptor memang rendah. Pengadilan, kata Busyro, seakan-akan tak mencerminkan ideologi hukum yang baik. "Putusan hakim kehilangan roh untuk berpihak pada kepentingan rakyat," kata Busyro.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan kini hukum hanya tajam jika kebawah dan tumpul jika berhadapan dengan kalangan atas. Pemerintah, menurut Hikmahanto, seharusnya peka terhadap rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat.
"Saya prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak yang lemah menjadi terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan kacamata kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan melihat konteks," kata Himkmahanto di Jakarta, Kamis.
Keadilan Restoratif
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menyarankan agar aparat penegak hukum menggunakan restorative justice (keadilan restoratif) sebagai penyelesaian alternatif dalam sejumlah kasus kecil seperti yang menimpa AAL maupun Nenek Minah.
Keadilan restoratif adalah konsep pemidanaan yang mengedepankan pemulihan kerugian yang dialami korban dan pelaku, dibanding menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku. Hal itu dimaksudkan agar penyelesaian kasus-kasus kecil tak perlu sampai ke pengadilan, tetapi diselesaikan cukup dengan mediasi. Peradilan anak telah digagas pemerintah belandaskan azas ini.
Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar yang turut memperjuangkan penerapan keadilan restoratif mengaku kecewa dengan para penegak hukum yang tidak menggunakan konsep tersebut. Ia menilai, Kementerian Hukum dan HAM pun bertanggunjawab, karena sekarang lebih peduli pada pencitraan, sehingga subtansi rasa keadilan masyarakat tidak tersentuh lagi.
"Sungguh disesalkan, sekarang ini semua penegak hukum mulai lagi kembali ke ego sektoral masing-masing," kata Patrialis.
Sejumlah pandangan, fakta itu, memperlihatkan bahwa keadilan hukum di negeri ini hanya sebatas keadilan sendal jepit, keadilan yang menjepit rakyat kecil. Sungguh ironi, di negeri yang dalam butir-butir dasar negaranya disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku berkeadilan ini, rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil. Penegakan hukum di negeri ini masih sangat diskriminatif. Keras dan tegas untuk rakyat kecil, tapi loyo bagai agar agar bagi kalangan atas.
Editor : Heru Margianto

Berita II
AAL dan Misteri Dua Merek Sandal Jepit Butut[2]
Penulis : Maria Natalia                Kompas.com Jumat, 6 Januari 2012 | 08:40 WIB
KOMPAS.com - Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (4/1/2012), memutus bebas AAL, remaja yang dituduh mencuri sandal jepit butut milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Meski diputus bebas, AAL dinyatakan bersalah karena mencuri barang milik orang lain. Ia tidak dihukum, tapi dikembalikan kepada orangtuanya.
http://assets.kompas.com/data/2013/news3/images/artikel/quote_1.gif Ajaib sekali kasus ini. Konyol. Ini seperti Lelucon. http://assets.kompas.com/data/2013/news3/images/artikel/quote_1.gif
Putusan ini menuai protes. Hakim dinilai tak memutus perkara berdasarkan kebenaran materiil. Fakta di persidangan, alat bukti yang diajukan berbeda dengan barang yang diduga dicuri. AAL didakwa mencuri sandal merek Eiger nomor 43. Namun, bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor 9,5.
Selama persidangan pun, tak ada satu saksi yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi. AAL sendiri membantah melakukan pencurian, tapi menemukan sebuah sandal Ando di luar pagar indekos milik Rusdi.
Dalam sidang, saat hakim Rommel F Tampubolon dan sejumlah pengacara AAL bertanya, bagaimana Rusdi yakin itu sandal miliknya, Rusdi menjawab, ”Saya ada kontak batin saat melihat sandal itu.” Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.
Menurut Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Muhammad Ihsan, AAL tak bisa dinyatakan bersalah, karena bukti dan saksi yang dibawa ke persidangan tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
"Menurut pandangan kami, AAL dinyatakan bersalah tidak benar. Itu tidak sesuai dengan pemeriksaan saksi dan alat bukti di persidangan. Alat bukti di persidangan berbeda," ujar Ihsan saat dihubungi Kompas.com, Kamis (5/1/2012).
Mengenai barang bukti yang berbeda dengan dakwaan, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengatakan, hakim memiliki kewenangan untuk memutuskan. "Kalau soal itu (bukti berbeda di pengadilan) itu nanti hakim yang memutuskan," katanya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Noor Rachmad menyatakan, tak benar ada perbedaan antara barang bukti. Menurutnya, sejak awal baik AAL maupun Briptu Rusdi telah ditunjukkan sandal tersebut dan mereka mengakui itulah barang yang hilang dari indekos Briptu Rusdi.
"Kepada saksi korban (polisi), sudah ditanyakan apa benar kehilangan sandal ini atau yang mana yang hilang, dia bilang betul yang dihadirkan ke persidangan. Sementara itu, kepada terdakwa pun, dia tidak membantah dan mengakui bahwa sandal itu yang diambil," jelas Noor.
Lelucon
Pakar hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Yesmil Anwar, dalam perbincangan dengan Kompas.com berpendapat, seyogyianya kasus ini diselesaikan dengan jalan damai.
"Dibawa ke ranah hukum juga ada benarnya, karena negara kita adalah negara hukum, ada yang melanggar hukum yang harus ditindak. Nah, jika barang bukti berbeda, harusnya damai dan batal demi hukum," jelas Yesmil.
Ia tertawa kecil membayangkan kasus tersebut tetap dijalankan sejak penyidikan di kepolisian, kejaksaan, hingga ke pengadilan dengan barang bukti yang tidak sesuai. Hal tersebut ia anggap sebagai proses hukum yang menyimpang. Tak hanya itu, Yesmil menyebut proses hukum dalam kasus sandal jepit sebagai proses yang konyol dan penuh lelucon."Uang saja yang dicuri, meskipun nilainya sama, tapi kode uangnya beda tidak bisa dijadikan barang bukti. Kasus tidak bisa dijalankan jika barang buktinya tidak sama. Ajaib sekali kasus ini. Konyol. Ini seperti Lelucon," katanya sambil tertawa.
Editor : Heru Margianto



BAB III
PEMBAHASAN

A.  Dasar Hukum Pencurian dalam KUHP
Bab XXII - Pencurian
Pasal 362
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 363
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. pencurian ternak;
2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;
3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
5. pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 364
Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.
Pasal 365
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, periniah palsu atau pakaian jabatan palsu.
4. jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tuhun.
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakihntkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.
Pasal 366
Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu perbuatan yang dirumuskan dalum pasal 362. 363, dan 865 dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4.
Pasal 367
(1) Jika pembuat atau pemhantu ciari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
(2) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
(3) Jika menurut lembaga matriarkal kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.[3]





B.  Analisis Kasus Pencurian yang Dilakukan Anak Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Sesuai
            Dalam kasus pidana pencurian sandal yang dilakukan oleh siswa SMK terhadap seorang anggota Brimob Polda Sulteng.Perlu dilakukan sebuah analisis baik dari segi hukum formil maupun materiil. Pada dasarnya kasus tersebut tidak patut untuk diulang kembali. Bagaimana pun juga itu telah memberikan pencitraan yang buruk bagi kepolisisan. Peristiwa ini tak hanya menjadi bahan persoalan dalam negeri bahkan warga asing pun juga mengetahui kronologi ceritanya. Sejauh inikah hukum di negeri ini, dimana ibara sebuah oeoatah hukum itu bagaikan kedua mata pisau “tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas”. Maksudnya jika rakyat kecil melakukan peanggaran sedikit maka akibatnya akan besar. Tetapi jika pejabat melakukan pelanggaran besar akibatnya cenderung kecil. Inilah hukum Indonesia yang tengah yumbuh dan berkembang seperti air yang mengalir tanpa ada rambu-rambu yang jelas. Jadi kita disini akan melakukan penelaahan terhadap kasus yang penuh dengan problematika tersebut.
            Secara umum terjadi beberapa keanehan dalam kasus ini, disini kita akan meninjau secara spesifik baik dari segi materiil (hukum pidana) ataupun formiil (hukum acara pidana).
1.      Segi materiil
Pertama, pasal pencurian yang digunakan dalam penyelesaian kasus, yang termaktub dalam KUHP tidak mampu diterapkan dengan baik dalam kasus. Sehingga memunculkan pro dan kontra. Pada segi ini dimana fokus sudut pandangnya tertuju pada meteri hukumnya, dimana disini mereka menggunakan aturan hukum dalam KUHP mentah-mentah tanpa analisis lebih jauh. Memang aturan pidana telah berhasil ditegakkan, akan tetapi mereka masih meninggalkan segi hati nurani dalam penerapan hukumnya. Kedua, mereka juga tak memandang siapa yang akan mereka pidanakan orang dewasa atau anak-anak.Jika orang dewasa itu bukan masalah, tetapi disini seorang anak siswa SMK. Dimana dalam aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia anak-anak dilindungi oleh negara di dalam bidang hukum, setidaknya dua contoh keanehan tersebut telah menjadi sebuah kecacatan dari segi materiil.
2.      Segi formiil
Prosedur dalam penanganan kasus ini kurang sesuai dengan yang tercantum dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), sehingga menjadikan problematika bagi beberapa kalangan. Pertama dalam hal pembuktian disini terlihat kurang memiliki bukti data yang valid. Misalkan sandal yang dicuri siswa SMK itu bermerk eiger tetapi sampai di pengadilan alat buktinya berubah menjadi sandal bermerk ando.Apalagi tidak memenuhi syarat bukti minimal sesuai KUHAP Hal ini sungguh sebuah kecatatan bukti dalam sebuah hukum acara peradilan. Kedua dalam hal pengakuan terdakwa terlihat bahwa terdakwa menemukan sandal tersenbut di luar rumah Polisi, bukan mencurinya . Ketiga dari segi saksi terlihat seolah-olah saksi cenderung membenarkan apa yang menjadi keinginan dari sang polisi. Saksi –saksi tersebut diadakan meskipun tak melihat kejadian secara langsung. Keempat dari segi hakim pun juga cenderung pro kepada sang polisi Sejatinya keanehan-keanehan yang mucul bukan hanya ini saja melainkan masih ada beberapa hal lagi.yang lebih rinci.
Dari beberapa keanehan tersebut paling tidak kita sudah mengetahui akar permasalahan yang sedang terjadi dalam kasus ini. Yakni problem ketidakadilan dalam sebuah hukum dimana polisi akan selalu menang dalam persidangan berbeda dengan seorang anak siswa SMK yang tak mempunyai daya dan upaya Marilah untuk pertama kali kita akan menelaah secara komprehensif mulai dari segi materiil. Dari segi materiil pertama, terlihat beberapa hal yang tidak sesuai dengan aturan yang sebenarnya.Menurut Jonkers (1949:169), bahwa sebagai dasar peringanan atau pengurangan pidana yang bersifat umum, biasa disebut:
a.       Percobaan untuk melakukan kejahatan (Pasal 53 KUHP)
b.      Pembantuan (Pasal 56 KUHP)
c.       Strafrechtelijke minderjarigheid atau orang yang belum cukup umur yang dapat dipidana.(Pasal 45 KUHP)
Pada poin ketiga menurut pendapat Jonkers telah terlihat bahwa aturan dari segi materiil tak digunakan sebagaimana mestinya dalam kasus ini. Sehingga meskipun siswa SMK itu masih tergolong dibawah umur tidak ada pengurangan atau peringanan pidana dalam keputusan yang dijatuhkan hakim melalui kuasanya dalam memberikan vonis.
Status terdakwa pada saat itu adalah seorang anak, dimana seharusnya memperoleh perlindungan dari negara. Dalam pasal 2 ayat (3) dan (4) UU RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ditentukan bahwa :”Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupu sesudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembnagan dengan wajar.” Kedua ayat tersebut memberikan dasar pemikiran bahwa perlindungan anak bermaksud untuk mengupayakan perlakuan yang benar dan adil untuk mencapai kesejahteraan anak. [4] Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolok ukur peradaba bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat hukum.[5] Oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak.


Berikut beberapa contoh perundang-undangan di Indonesia tentang anak.
1.      UU No. 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Memang undang-Undang ini tidak secara eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam pasal 153 ayat (5) member wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai usia 17 tahun untuk menhadiri sidang.
2.      UU No. 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Permasyarakatan, menurut ketentuan pasal 1 angka 8 huru dan c UU/12 1995. Bahwa anak didk pemasyarakatan baik anak pidana, anak negara, dan anak sipil untuk dapat dididik di lembaga Pemsyrakatan Anak adalah paling tinggi.sampai berumur 18(delapan belas) tahun.
3.      UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak., dalam pasal satu butir menyatakan bahwa anak adalah sesorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.
4.      Pasal 45 KUHP
Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya. Ketika umurnya belum enam belas tahun. Hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya,atau pemeliharaya , dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman atau memerintahkn supaya si tersalah diserahkan kepada pemrintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 497, 503-5o5, 614, 517-519, 526, 536, dan 50 dan perbuatan dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan terdahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran itu atau suatu kejahatan atau menghukum anak yang bersalah itu.
5.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam pasal 330 ayat 1 memuat antara belum dewasa, yaitu 21 tahun kecuali anak tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan.
6.      PP No. 2 Tahun 1998 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah, menurut ketentuan ini anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
Terhadap anak-anak yang kebetulan berhadapan dengan hukum, menurut Arief Gosita ada beberapa hak anak yang harus diperjuangkan pelaksanaanmya secara bersama-sama, yaitu:[6]
1.      Sebelum Persidangan
2.      Selama Persidangan
3.      Setelah Persidangan
Kedua, yakni dalam memahami aturan pidana yang terdapat dalam KUHP hakim cenderung mengambil mentah pasal yang ada didalamnya tanpa analisa terlebih dahulu. Padahal dalam memberikan vonis hakim harus menimbang dari segi nurani juga dalam memberikan vonis kepada terdakwa, Bukan semata-mata terpaku pada KUHP secara paten. Untuk keyakinan pada diri hakim memang sangat diperlukan untuk menyelesaikan problem semacam ini.
Kemudian dari segi formiil, pertama yaitu pembuktian dan putusan dalam hukum acara.pidana. Berdasarkan pasal 183 dan 184 dalam KUHAP.[7]
Pasal 183
            Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal 184
(1)   Alat bukti yang sah, yaitu:
a.       Keterangan saksi;
b.      Keteranagan ahli;
c.       Surat Petunjuk;
d.      Petunjuk;
e.       Keterangan terdakwa.
(2)   Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan
Disini mulai terlihat bahwa dalam kasus pencurian sandal yang dilakukan siswa SMK, tidak memilki dasar hukum acara pidana yang valid karena persyaratan dalam pembuktian dan putusan dalam sidang belum terpenuhi semuanya. Sehingga ini menjadikan putusan yang dihasilkan oleh seorang hakim menjadi meleset dan kurang tepat dengan kasusnya.(lihat pasal 184 KUHP). Bayangkan saja syarat minimal alat bukti yang tercantum dalam pasal 183 KUHAP sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Sementara kasus ini hanya mempunyai satu alat bukti yaitu sandal ando. Bahkan parahnya sandal tersebut bukan sandal asli. Alasan polisi tersebut bahwa telah ada kontak batin antara sandal ando yang dipakainya dengan dirinya. Masih perlukh di zaman yang telah maju kita mempercayai hal sulit dinalar dengan indra. Apalagi ini masalah hukum yang bukti-buktinya harus riil, faktual, dan objektif bukan dari pendapat subjektif seseorang.
Kedua, Berkaitan dengan pengakuan terdakwa yang mengungkapkan bahwa dia menemukan sandal itu tergeletak di depan rumah polisi dan mengambilnya untuk dikembalikan. Tetapi sebaliknya oleh si Polisi siswa SMK itu dituduh mencuri sandal miliknya Hal ini merupakan tuduhan tanpa dasar yang jelas. Tetapi anehnya terdakwa tetap dituduh melakukan pencurian yang berencana oleh para penegak hukum waktu itu. Kenapa negeri ini seolah-olah hidup dalam aturan hukum yang mati. Lantas apa yang akan menjadi patokan dalam problem solving untuk kasus-kasus tersebut.jika tak ada aturan yang menjadi dasarnya.
Ketiga, Saksi di pengadilan dalam memberi kesaksian juga seolah cenderung membenarkan apa yang diungkapkan oleh polisi. Para saksi sebenarnya juga tidak melihat kejadiannnya secar langsung. Mereka datang ketika terjadi keributan antara kedua belah pihak. Padahal salah satu syarat dalam KUHAP menyebutkan bahwa saksi yang diajukan ke pengadilan haruslah melihat kejadian perkara secara langsung, bukan melihat ketika perkara telah selesai   Apakah ini sebuah hal yang adil ketika seorang saksi yang mempunyai peran untuk memberikan kesaksian yang sebenarnya malah menyalahgunakan wewenang yang diberikan.
Keempat, Hakim dalam memutuskan perkara pada kasus ini juga cenderung pro dengan polisi. Mereka membingkai semua dengan peraturan perundangan yang berlaku, seolah-olah ingin member hukuman yang berat kepada anak siswa SMK tersebut. Hal ini merupakan salah satu wujud penyalahgunakan wewenang hakim yang diberi oleh Undang-Undang.
Ketidakadilan hukum memang tengah terjadi di negeri ini, beragam kasus mencuat di ranah peradilan. Hal ini penyebabnya tidak lain karena perilaku penegak hukum kita yang kurang peka terhadap problematika sosial atau bisa dikatakan tak mempunyai hati nurani. Mereka sekolah sampai tinggi bergelar doktor. Tetapi anehnya mereka hanya tahu dalam ranah akademik saja sedangkan ranah sosial menjadi hal yang tabu bagi mereka. Para penegak hukum seolah menghambakan diri pada aturan perundangan. Padahal aturan tersebut buatan manusia, yang kemungkinan mempunyai pasal yang salah atau antar pasal satu dengan pasal lain saling tumpang tindih. Seharusnya mereka haruslah mampu membaca situasi dan kondisi dan tidak terpaku hanya pada aturan KUHP, karena bisa saja KUHP tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi terpidana. Stidaknya alasan ini mungkin bisa menjadi salah satu alasan yang berpengaruh. Terhadap rendahnya supremasi hukum tanah air.
Pada kasus pencurian sandal yang dilakukan oleh siswa SMK terhadap oknum polisi brimob Polda Sulteng. Akhirnya diputuskan bahwa anak siswa SMK tersebut dikembalikan kepada orang tuanya , disesuaikan dengan aturan yang ada berdasarkan keadilan hukum terpidana. Apalagi terpidana masih berstatus siswa SMK , dimana negara masih melindunginya dari jeratan hukum. Tetapi meskipun siswa tersebut bebas dari jeratan hukum. Keputusan hakim tetap mengatakan bahwa anak tersebut dihukum lima tahun sesuai aturan yang tercantum dalam pasal pencurian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Kasus pencurian sandal yang dilakukan oleh AAL seorang siswa SMK terhadap sandal yang dimiliki oleh Briptu Harahap, akhirnya menemukan sebuah jalan keluar bahwa AAL akan tetap divonis lima tahun oleh majelis hakim. Akan tetapi hukuman tersebut tak dilakukan dikarenakan usia AAL yang masih dibawah umur. Dimana Negara melindungi anak dari hukum terhadap anak yang belum cukup umur. Sehingga AAL pun dikembalikan kepada orang tuanya. Meskipun tak dihukum vonis yang telah diberikan oleh majelis hakim kepada AAL, telah menciptakan pencitraaan buruk pada bidang peradilan di negeri ini.
Kasus ini telah menjadikan tingkat keperayaan masyarakat berkurang terhadap para penegak hukum di negeri ini. Mereka seolah hukum di Indonesia bagiakan hukum rimba,” Siapa yang kuat Dialah yang akan selamat ”.

B.  Saran
Dari segi substansi makalah ini memang memiliki berbagai kelebihan dan kelamahannya masing-masing. Makalah ini berisi studi kasus tentang pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Kemudian dicarikan solusi akhirnya untuk menyelesaikannya. Makalah ini sangat cocock dibaca oleh mahasiswa jurusan hukum pidana, atau ilmu hukum atau hukum islam. Karena memuat materi yang penting sebagai penunjang mata kuliah tiap jurusan masing-masing. Untuk itu penulis memohon kritik dan saran kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran untuk perbiakan makalah ini kea rah kesempurnaan.






DAFTAR PUSTAKA

            Lamintang, Theo,Lamintang P.A.F.2009. Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan . Jakarta : Sinar Grafika
            Nashriana.2012. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Indonesia. Jakarta : raja Garafindo Persada
            Arief Gosita. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : Akademika Ptressindo
            Pasal 183 dan 184 KUHAP tentang Pembuktian dan Putusan dalam Hukum Acara Pidana
UU. No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Hakim, G. Abdul. 1986. Hukum dan Hak-Hak Anak. Disunting oleh Mulyana W..Kusumah . Jakarta: Rajawali
            Kitab Undang_undang hukum Pidana( KUHP)
            Kompas. Com ( referensi internet Koran digital )



[1] Kompas.com Jum’at 6 Januari 2012, 9.44 WIB
[2] Kompas.com Jum’at 6 Januari 2912. 08.40 WIB
[3] Kitab Undang_undang hukum Pidana (KUHP)
[4] UU. No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
[5] Hakim, G. AbdulHkum dan Hak-Hak Anak. Disunting oleh Mulyana W..Kusumah (Jakarta: Rajawali,1986) hlm. 23
[6] Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan.(Jakarta,Akademika Pressindo, 1993) hlmn. 10-13.
[7] Pasal 183 dan 184 KUHAP tentang Pembuktian dan Putusan dalam Hukum Acara Pidana

No comments:

Post a Comment