BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Hukum pidana hakikatnya adalah keseluruhan
dari peraturan peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan
termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan
terhadap yang melakukannya. Hukum Pidana sama dengan hukum publik yang mengatur
hubungan hukum antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana bersifat
memaksa, monopoli, dan mencakup semua.
Hukum pidana dapat dilakukan tanpa menunggu
gugatan dari penggugat. Jadi jika ada kasus pidana, maka hukum akan segera
menindak, tak memandang sudah diajukan atau belum oleh si penggugat atau yang
dirugikan. Hal ini sungguh berbeda dengan hukum perdata yang mengatur hubungan
hukum antara perseorangan dengan orang lain.
Berdasarkan pengertian di atas maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa hukum pidana memiliki sifat yang tegas
dan bijak. Hukum pidana itu memiliki beberapa macam pelanggaran, berikut beberapa pelanggaran yang
termasuk hukum pidana, seperti pembunuhan, pencurian , perampokan, korupsi,
penipuan, pemerkosaan, dll. Dibanding hukum perdata hukum pidana memiliki
cakupan yang lebih luas dan lengkap
Kasus
pidana memang memiliki banyak ragam dan jenisnya salah satunya adalah
pencurian. Pencurian diatur dalam pasal 362 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana). Semua yang telah diatur dalam KUHP hendaknya dipatuhi oleh semua warga
negara Indonesia tanpa terkecuali, tak peduli profesi apa yang sedang mereka
jalani. Hukum harus tetap ditegakkan bukan malah menjadi aturan yang tumpul
diatas dan tajam ke bawah, maksudnya supremasi hukum di negeri ini seakan-akan
hanya ilusi. Seringkali kta menemukan para birokrat yang melakukan pelanggaran
berat hanya dihukum ringan sementara rakyat kecil yang melakukan pelanggaran
ringan cenderung mendapatkan hukuman berat. Inilah hukum buatan manusia, yang
senantiasa jauh dari rasa keadilan. Semuanya dengan mudah dibeli dengan uang.
Bahkan saat ini virus semacam ini telah menjalar ke ranah yudikatif tak hanya
di ranah eksektif dan legislatif saja.
Kita
takkan pernah tahu sampai kapan ketidakadilan hukum ini terjadi di Indonesia.
Selama aparat penegak hukum bersikap tidak adil, ketidakpastian hukum akan
senantiasa menyelimuti tanah air. Maka sebagai generasi penerus bangasa sudah
sepatutnya kita mulai melakukan pembenahan. Meskipun hanya dalam ruang lingkup
kecil setidaknya telah mampu meminimalisir kecurangan dalam hukum.
B. Rumusn
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah,
diantaranya:
1. Apa
yang menjadi dasar hukum pencurian dalam KUHP?
2. Analisis
kasus pencurian yang dilakukan anak berdasarkan dasar hukum dalam peraturan
perundang-undangan yang sesuai?
C. Tujuan
Dengan
memperhatikan beberapa rumusan masalah diatas pastinya, akan menciptakan sebuah
tujuan yang hendak dicapai, diantaranya:
1. Mengetahui
dasar hukum pencurian dalam KUHP
2. Memahami
analisa kasus pencurian yang dilakukan anak menggunakan dasar hukum dalam
peraturan perundang-undangan yang
sesuai.
BAB II
PENYAJIAN DATA
Berita I
Kejamnya Keadilan "Sandal Jepit"....[1]
Penulis: Ary Wibowo Kompas.com
Jumat, 6 Januari 2012 | 09:44 WIB
KOMPAS.com - Jauh sebelum kasus "sandal jepit" merebak,
penyanyi kondang Iwan Fals sudah teriak-teriak soal sandal jepit dalam syair
lagunya "Besar dan Kecil". Iwan menganalogikan rakyat kecil seperti
sandal jepit yang selalu terjepit, diremehkan, lemah, selalu kalah. Seperti
sandal jepit, begitulah kenyataan masyarakat kecil jika harus berurusan dengan
hukum.Tidak perlu menutup mata karena kenyataan itu ada di depan mata kita.
Aparat negeri ini terkesan lebih suka menjepit rakyat kecil yang sudah biasa
menjerit karena ketidakadilan di negeri ini. Mereka terkesan lebih senang
membela pejabat dengan kekayaan berlipat, dibandingkan rakyat kecil yang biasa
hidup melarat.
Aku seperti bemo atau sendal jepit. Tubuhku kecil mungil
biasa terjepit. Pada siapa ku mengadu? Pada siapa ku bertanya?
Mau bukti? Tengoklah kasus Nenek Minah (55) asal Banyumas
yang divonis 1,5 tahun pada 2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao yang
harganya tidak lebih dari Rp 10.000. Bahkan, untuk datang ke sidang kasusnya
ini Nenek yang sudah renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp 30.000
untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang memang jaraknya cukup
jauh.
Yang paling anyar, kasus pencurian sandal jepit yang
menjadikan AAL (15) pelajar SMK 3, Palu, Sulawesi Tengah, sebagai pesakitan di
hadapan meja hijau. Ia dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi
Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Hanya gara-gara sandal jepit butut AAL
terancam hukuman kurungan maksimal lima tahun penjara.
Proses hukum atas AAL pun tampak janggal. Ia didakwa
mencuri sandal merek Eiger nomor 43. Namun, bukti yang diajukan adalah sandal
merek Ando nomor 9,5. Selama persidangan tak ada satu saksi pun yang melihat
langsung apakah sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi.
Di persidangan, Rusdi yakin sandal yang diajukan sebagai
barang bukti itu adalah miliknya karena, katanya, ia memiliki kontak batin
dengan sandal itu. Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu
kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.
AAL memang dibebaskan dari hukuman dan dikembalikan kepada
orangtuanya. Namun, majelis hakim memutus AAL bersalah karena mencuri barang
milik orang lain.
Mati
Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam Prasodjo kepada Kompas.com,
Kamis (5/1/2012) di Jakarta mengatakan, hukuman yang diberikan kepada Nenek
Minah dan AAL itu menggambarkan bahwa proses hukum yang mati dari tujuan hukum
itu sendiri. Hukum, kata dia, hanya mengikuti aturan formal, tidak
memperhitungkan subtansi dan hati nurani.
"Ancaman lima tahun dan vonis 1,5 tahun itu, bukan
masalah Jaksa, Polisi, atau Hakim saja. Tapi mereka semua telah melakukan
kesesatan kolektif. Meskipun banyak protes dari masyarakat, mereka masih juga
memproses dan memutuskan sesuatu secara tidak sedikitpun ada kesadaran dan
evaluasi," kata Imam.
Sosiolog Soetandyo Wignjosoebroto pun mengatakan hal serupa.
Hakim kini dinilainya terlalu legalistik terhadap putusan bersalah rakyat kecil.
Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung
dalam aturan hukum.
"Undang-undang itu dead letter law (hukum yang
mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim.
Kalau putusannya itu aneh, itu bukan salah undang-undang, melainkan hakim.
Hakimnya harus pandai memberi putusan yang bisa diterima," kata Soetandyo.
Meskipun, seyogyanya mencuri atau mengambil barang orang
lain sekecil apa pun tanpa izin adalah perbuatan melanggar hukum. Dan hukum harus
ditegakkan. Namun, apakah hal itu sudah sesuai rasa keadilan di masyarakat?
Lihat saja bagaimana para pejabat dan koruptor berdasi putih
mencuri uang rakyat yang nilainya sebanding dengan jutaan sandal jepit dan
kakao itu diperlakukan dengan terhormat oleh aparat. Mereka dapat melanggeng
bebas dari hukuman yang tidak terlalu berat. Mereka pun dapat mangkir dari
panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang kadang dibuat-buat.
Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan koruptor
rata-rata hanya dihukum di bawah dua tahun. Pada 2010,
sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen hanya dijatuhi hukuman antara 1 dan 2
tahun. Sedangkan, 87 kasus divonis 3-5 tahun, 13 kasus atau 2,94 persen divonis
6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus atau 0,45
persen.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas pada
pertengahan November tahun lalu, mengakui bahwa hukuman untuk koruptor memang
rendah. Pengadilan, kata Busyro, seakan-akan tak mencerminkan ideologi hukum
yang baik. "Putusan hakim kehilangan roh untuk berpihak pada kepentingan
rakyat," kata Busyro.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana
mengatakan kini hukum hanya tajam jika kebawah dan tumpul jika berhadapan
dengan kalangan atas. Pemerintah, menurut Hikmahanto, seharusnya peka terhadap
rasa ketidakadilan yang terus dialami rakyat.
"Saya prihatin. Hakim terlalu legalistik jika pihak
yang lemah menjadi terdakwa. Untuk kasus korupsi, hakim justru tak menggunakan
kacamata kuda, tetapi seolah-olah memahami tuduhan korupsi tak terbukti dengan
melihat konteks," kata Himkmahanto di Jakarta, Kamis.
Keadilan Restoratif
Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka
Sirait menyarankan agar aparat penegak hukum menggunakan restorative justice
(keadilan restoratif) sebagai penyelesaian alternatif dalam sejumlah kasus
kecil seperti yang menimpa AAL maupun Nenek Minah.
Keadilan restoratif adalah konsep pemidanaan yang
mengedepankan pemulihan kerugian yang dialami korban dan pelaku, dibanding
menjatuhkan hukuman penjara bagi pelaku. Hal itu dimaksudkan agar penyelesaian
kasus-kasus kecil tak perlu sampai ke pengadilan, tetapi diselesaikan cukup
dengan mediasi. Peradilan anak telah digagas pemerintah belandaskan azas ini.
Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar
yang turut memperjuangkan penerapan keadilan restoratif mengaku kecewa dengan
para penegak hukum yang tidak menggunakan konsep tersebut. Ia menilai,
Kementerian Hukum dan HAM pun bertanggunjawab, karena sekarang lebih peduli
pada pencitraan, sehingga subtansi rasa keadilan masyarakat tidak tersentuh
lagi.
"Sungguh disesalkan, sekarang ini semua penegak hukum
mulai lagi kembali ke ego sektoral masing-masing," kata Patrialis.
Sejumlah pandangan, fakta itu, memperlihatkan bahwa keadilan
hukum di negeri ini hanya sebatas keadilan sendal jepit, keadilan yang menjepit
rakyat kecil. Sungguh ironi, di negeri yang dalam butir-butir dasar negaranya
disebut menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan perilaku berkeadilan ini,
rakyatnya diperlakukan dalam perbedaan kasta besar dan kecil. Penegakan hukum
di negeri ini masih sangat diskriminatif. Keras dan tegas untuk rakyat kecil,
tapi loyo bagai agar agar bagi kalangan atas.
Editor
: Heru Margianto
Berita
II
AAL dan Misteri Dua Merek Sandal Jepit Butut[2]
Penulis : Maria Natalia Kompas.com Jumat, 6 Januari 2012 | 08:40
WIB
KOMPAS.com
- Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (4/1/2012), memutus bebas AAL,
remaja yang dituduh mencuri sandal jepit butut milik Briptu Ahmad Rusdi
Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng. Meski diputus bebas, AAL dinyatakan
bersalah karena mencuri barang milik orang lain. Ia tidak dihukum, tapi
dikembalikan kepada orangtuanya.
Ajaib sekali kasus ini. Konyol. Ini seperti
Lelucon.
Putusan ini menuai protes. Hakim dinilai tak memutus perkara
berdasarkan kebenaran materiil. Fakta di persidangan, alat bukti yang diajukan
berbeda dengan barang yang diduga dicuri. AAL didakwa mencuri sandal merek
Eiger nomor 43. Namun, bukti yang diajukan adalah sandal merek Ando nomor 9,5.
Selama persidangan pun, tak ada satu saksi yang melihat
langsung apakah sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi.
AAL sendiri membantah melakukan pencurian, tapi menemukan sebuah sandal Ando di
luar pagar indekos milik Rusdi.
Dalam sidang, saat hakim Rommel F Tampubolon dan sejumlah
pengacara AAL bertanya, bagaimana Rusdi yakin itu sandal miliknya, Rusdi
menjawab, ”Saya ada kontak batin saat melihat sandal itu.” Saat hakim meminta
mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.
Menurut Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
Muhammad Ihsan, AAL tak bisa dinyatakan bersalah, karena bukti dan saksi yang
dibawa ke persidangan tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
"Menurut pandangan kami, AAL dinyatakan bersalah tidak
benar. Itu tidak sesuai dengan pemeriksaan saksi dan alat bukti di persidangan.
Alat bukti di persidangan berbeda," ujar Ihsan saat dihubungi Kompas.com,
Kamis (5/1/2012).
Mengenai barang bukti yang berbeda dengan dakwaan, Kepala
Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution mengatakan, hakim
memiliki kewenangan untuk memutuskan. "Kalau soal itu (bukti berbeda di
pengadilan) itu nanti hakim yang memutuskan," katanya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Noor Rachmad
menyatakan, tak benar ada perbedaan antara barang bukti. Menurutnya, sejak awal
baik AAL maupun Briptu Rusdi telah ditunjukkan sandal tersebut dan mereka
mengakui itulah barang yang hilang dari indekos Briptu Rusdi.
"Kepada saksi korban (polisi), sudah ditanyakan apa
benar kehilangan sandal ini atau yang mana yang hilang, dia bilang betul yang
dihadirkan ke persidangan. Sementara itu, kepada terdakwa pun, dia tidak
membantah dan mengakui bahwa sandal itu yang diambil," jelas Noor.
Lelucon
Pakar hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, Bandung,
Yesmil Anwar, dalam perbincangan dengan Kompas.com berpendapat,
seyogyianya kasus ini diselesaikan dengan jalan damai.
"Dibawa ke ranah hukum juga ada benarnya, karena negara
kita adalah negara hukum, ada yang melanggar hukum yang harus ditindak. Nah,
jika barang bukti berbeda, harusnya damai dan batal demi hukum," jelas
Yesmil.
Ia tertawa kecil membayangkan kasus tersebut tetap
dijalankan sejak penyidikan di kepolisian, kejaksaan, hingga ke pengadilan
dengan barang bukti yang tidak sesuai. Hal tersebut ia anggap sebagai proses
hukum yang menyimpang. Tak hanya itu, Yesmil menyebut proses hukum dalam kasus
sandal jepit sebagai proses yang konyol dan penuh lelucon."Uang saja yang
dicuri, meskipun nilainya sama, tapi kode uangnya beda tidak bisa dijadikan
barang bukti. Kasus tidak bisa dijalankan jika barang buktinya tidak sama.
Ajaib sekali kasus ini. Konyol. Ini seperti Lelucon," katanya sambil
tertawa.
Editor
: Heru Margianto
BAB III
PEMBAHASAN
A. Dasar
Hukum Pencurian dalam KUHP
Bab XXII - Pencurian
Pasal 362
Barang siapa mengambil barang
sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud
untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus
rupiah.
Pasal 363
(1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1.
pencurian ternak;
2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir
gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar,
kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;
3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di
situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
4.
pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
5. pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan
kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan
merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah
palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2)
Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal
dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
tahun.
Pasal 364
Perbuatan yang diterangkan dalam
pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam
pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan
tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua
puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling
lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.
Pasal 365
(1)
Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang
didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atsu mempermudah pencurian,
atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri
atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
(2)
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam
sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum atau
dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
2.
jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
3. jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan
merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, periniah palsu atau
pakaian jabatan palsu.
4.
jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3)
Jika perbuatan mengakibatkan kematian maka diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tuhun.
(4)
Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakihntkan luka berat
atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,
disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.
Pasal 366
Dalam hal pemidanaan berdasarkan
salah satu perbuatan yang dirumuskan dalum pasal 362. 363, dan 865 dapat
dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4.
Pasal 367
(1)
Jika pembuat atau pemhantu ciari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah
suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan
ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu
tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
(2)
Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah
harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam
garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua maka terhadap orang itu hanya
mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
(3) Jika menurut
lembaga matriarkal kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak
kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.[3]
B. Analisis
Kasus Pencurian yang Dilakukan Anak Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
yang Sesuai
Dalam kasus
pidana pencurian sandal yang dilakukan oleh siswa SMK terhadap seorang anggota
Brimob Polda Sulteng.Perlu dilakukan sebuah analisis baik dari segi hukum
formil maupun materiil. Pada dasarnya kasus tersebut tidak patut untuk diulang
kembali. Bagaimana pun juga itu telah memberikan pencitraan yang buruk bagi
kepolisisan. Peristiwa ini tak hanya menjadi bahan persoalan dalam negeri
bahkan warga asing pun juga mengetahui kronologi ceritanya. Sejauh inikah hukum
di negeri ini, dimana ibara sebuah oeoatah hukum itu bagaikan kedua mata pisau
“tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas”. Maksudnya jika rakyat kecil melakukan
peanggaran sedikit maka akibatnya akan besar. Tetapi jika pejabat melakukan
pelanggaran besar akibatnya cenderung kecil. Inilah hukum Indonesia yang tengah
yumbuh dan berkembang seperti air yang mengalir tanpa ada rambu-rambu yang
jelas. Jadi kita disini akan melakukan penelaahan terhadap kasus yang penuh
dengan problematika tersebut.
Secara umum
terjadi beberapa keanehan dalam kasus ini, disini kita akan meninjau secara
spesifik baik dari segi materiil (hukum pidana) ataupun formiil (hukum acara
pidana).
1. Segi materiil
Pertama, pasal pencurian yang digunakan dalam penyelesaian
kasus, yang termaktub dalam KUHP tidak mampu diterapkan dengan baik dalam
kasus. Sehingga memunculkan pro dan kontra. Pada segi ini dimana fokus sudut
pandangnya tertuju pada meteri hukumnya, dimana disini mereka menggunakan
aturan hukum dalam KUHP mentah-mentah tanpa analisis lebih jauh. Memang aturan
pidana telah berhasil ditegakkan, akan tetapi mereka masih meninggalkan segi
hati nurani dalam penerapan hukumnya. Kedua, mereka juga tak memandang siapa
yang akan mereka pidanakan orang dewasa atau anak-anak.Jika orang dewasa itu
bukan masalah, tetapi disini seorang anak siswa SMK. Dimana dalam aturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia anak-anak dilindungi oleh negara di dalam bidang
hukum, setidaknya dua contoh keanehan tersebut telah menjadi sebuah kecacatan
dari segi materiil.
2. Segi formiil
Prosedur dalam penanganan kasus ini kurang sesuai dengan
yang tercantum dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), sehingga
menjadikan problematika bagi beberapa kalangan. Pertama dalam hal pembuktian
disini terlihat kurang memiliki bukti data yang valid. Misalkan sandal yang
dicuri siswa SMK itu bermerk eiger tetapi sampai di pengadilan alat buktinya berubah
menjadi sandal bermerk ando.Apalagi tidak memenuhi syarat bukti minimal sesuai
KUHAP Hal ini sungguh sebuah kecatatan bukti dalam sebuah hukum acara peradilan.
Kedua dalam hal pengakuan terdakwa terlihat bahwa terdakwa menemukan sandal
tersenbut di luar rumah Polisi, bukan mencurinya . Ketiga dari segi saksi
terlihat seolah-olah saksi cenderung membenarkan apa yang menjadi keinginan
dari sang polisi. Saksi –saksi tersebut diadakan meskipun tak melihat kejadian
secara langsung. Keempat dari segi hakim pun juga cenderung pro kepada sang
polisi Sejatinya keanehan-keanehan yang mucul bukan hanya ini saja melainkan
masih ada beberapa hal lagi.yang lebih rinci.
Dari beberapa keanehan tersebut paling tidak kita sudah
mengetahui akar permasalahan yang sedang terjadi dalam kasus ini. Yakni problem
ketidakadilan dalam sebuah hukum dimana polisi akan selalu menang dalam
persidangan berbeda dengan seorang anak siswa SMK yang tak mempunyai daya dan
upaya Marilah untuk pertama kali kita akan menelaah secara komprehensif mulai
dari segi materiil. Dari segi materiil pertama, terlihat beberapa hal yang
tidak sesuai dengan aturan yang sebenarnya.Menurut Jonkers (1949:169), bahwa
sebagai dasar peringanan atau pengurangan pidana yang bersifat umum, biasa
disebut:
a.
Percobaan
untuk melakukan kejahatan (Pasal 53 KUHP)
b.
Pembantuan
(Pasal 56 KUHP)
c.
Strafrechtelijke
minderjarigheid atau orang yang belum cukup umur yang dapat dipidana.(Pasal 45
KUHP)
Pada poin ketiga menurut pendapat Jonkers telah terlihat
bahwa aturan dari segi materiil tak digunakan sebagaimana mestinya dalam kasus
ini. Sehingga meskipun siswa SMK itu masih tergolong dibawah umur tidak ada
pengurangan atau peringanan pidana dalam keputusan yang dijatuhkan hakim
melalui kuasanya dalam memberikan vonis.
Status terdakwa pada saat itu adalah seorang anak, dimana
seharusnya memperoleh perlindungan dari negara. Dalam pasal 2 ayat (3) dan (4)
UU RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak ditentukan bahwa :”Anak
berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupu sesudah
dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembnagan dengan wajar.”
Kedua ayat tersebut memberikan dasar pemikiran bahwa perlindungan anak
bermaksud untuk mengupayakan perlakuan yang benar dan adil untuk mencapai
kesejahteraan anak. [4]
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa, merupakan tolok ukur
peradaba bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan kemampuan
nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang
berakibat hukum.[5]
Oleh karena itu perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak.
Berikut beberapa contoh perundang-undangan di Indonesia
tentang anak.
1. UU No. 8 Tahun 1981 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Memang undang-Undang ini tidak secara
eksplisit mengatur tentang batas usia pengertian anak, namun dalam pasal 153
ayat (5) member wewenang kepada hakim untuk melarang anak yang belum mencapai
usia 17 tahun untuk menhadiri sidang.
2. UU No. 12 Tahun 1995 tentang Lembaga
Permasyarakatan, menurut ketentuan pasal 1 angka 8 huru dan c UU/12 1995. Bahwa
anak didk pemasyarakatan baik anak pidana, anak negara, dan anak sipil untuk
dapat dididik di lembaga Pemsyrakatan Anak adalah paling tinggi.sampai berumur
18(delapan belas) tahun.
3. UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak., dalam pasal satu butir menyatakan bahwa anak adalah
sesorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
4. Pasal 45 KUHP
Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan
yang dikerjakannya. Ketika umurnya belum enam belas tahun. Hakim boleh
memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya,
walinya,atau pemeliharaya , dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman atau
memerintahkn supaya si tersalah diserahkan kepada pemrintah dengan tidak
dikenakan suatu hukuman yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau
salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 497,
503-5o5, 614, 517-519, 526, 536, dan 50 dan perbuatan dilakukan sebelum lalu
dua tahun sesudah keputusan terdahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu
pelanggaran itu atau suatu kejahatan atau menghukum anak yang bersalah itu.
5. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
dalam pasal 330 ayat 1 memuat antara belum dewasa, yaitu 21 tahun kecuali anak
tersebut telah kawin sebelum berumur 21 tahun dan pendewasaan.
6. PP No. 2 Tahun 1998 tentang Usaha
Kesejahteraan Anak Bagi Anak Yang Mempunyai Masalah, menurut ketentuan ini anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.
Terhadap anak-anak yang kebetulan berhadapan dengan hukum,
menurut Arief Gosita ada beberapa hak anak yang harus diperjuangkan
pelaksanaanmya secara bersama-sama, yaitu:[6]
1. Sebelum Persidangan
2. Selama Persidangan
3. Setelah Persidangan
Kedua, yakni dalam memahami aturan pidana yang terdapat
dalam KUHP hakim cenderung mengambil mentah pasal yang ada didalamnya tanpa
analisa terlebih dahulu. Padahal dalam memberikan vonis hakim harus menimbang
dari segi nurani juga dalam memberikan vonis kepada terdakwa, Bukan semata-mata
terpaku pada KUHP secara paten. Untuk keyakinan pada diri hakim memang sangat
diperlukan untuk menyelesaikan problem semacam ini.
Kemudian dari segi formiil, pertama yaitu pembuktian dan
putusan dalam hukum acara.pidana. Berdasarkan pasal 183 dan 184 dalam KUHAP.[7]
Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal 184
(1) Alat bukti yang sah, yaitu:
a.
Keterangan
saksi;
b.
Keteranagan
ahli;
c.
Surat
Petunjuk;
d.
Petunjuk;
e.
Keterangan
terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui
tidak perlu dibuktikan
Disini mulai terlihat bahwa dalam kasus pencurian sandal
yang dilakukan siswa SMK, tidak memilki dasar hukum acara pidana yang valid
karena persyaratan dalam pembuktian dan putusan dalam sidang belum terpenuhi
semuanya. Sehingga ini menjadikan putusan yang dihasilkan oleh seorang hakim
menjadi meleset dan kurang tepat dengan kasusnya.(lihat pasal 184 KUHP).
Bayangkan saja syarat minimal alat bukti yang tercantum dalam pasal 183 KUHAP
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Sementara kasus ini hanya mempunyai
satu alat bukti yaitu sandal ando. Bahkan parahnya sandal tersebut bukan sandal
asli. Alasan polisi tersebut bahwa telah ada kontak batin antara sandal ando
yang dipakainya dengan dirinya. Masih perlukh di zaman yang telah maju kita
mempercayai hal sulit dinalar dengan indra. Apalagi ini masalah hukum yang
bukti-buktinya harus riil, faktual, dan objektif bukan dari pendapat subjektif
seseorang.
Kedua, Berkaitan dengan pengakuan terdakwa yang
mengungkapkan bahwa dia menemukan sandal itu tergeletak di depan rumah polisi
dan mengambilnya untuk dikembalikan. Tetapi sebaliknya oleh si Polisi siswa SMK
itu dituduh mencuri sandal miliknya Hal ini merupakan tuduhan tanpa dasar yang
jelas. Tetapi anehnya terdakwa tetap dituduh melakukan pencurian yang berencana
oleh para penegak hukum waktu itu. Kenapa negeri ini seolah-olah hidup dalam
aturan hukum yang mati. Lantas apa yang akan menjadi patokan dalam problem
solving untuk kasus-kasus tersebut.jika tak ada aturan yang menjadi dasarnya.
Ketiga, Saksi di pengadilan dalam memberi kesaksian juga
seolah cenderung membenarkan apa yang diungkapkan oleh polisi. Para saksi
sebenarnya juga tidak melihat kejadiannnya secar langsung. Mereka datang ketika
terjadi keributan antara kedua belah pihak. Padahal salah satu syarat dalam
KUHAP menyebutkan bahwa saksi yang diajukan ke pengadilan haruslah melihat
kejadian perkara secara langsung, bukan melihat ketika perkara telah
selesai Apakah ini sebuah hal yang adil ketika seorang
saksi yang mempunyai peran untuk memberikan kesaksian yang sebenarnya malah
menyalahgunakan wewenang yang diberikan.
Keempat, Hakim dalam memutuskan perkara pada kasus ini juga
cenderung pro dengan polisi. Mereka membingkai semua dengan peraturan
perundangan yang berlaku, seolah-olah ingin member hukuman yang berat kepada
anak siswa SMK tersebut. Hal ini merupakan salah satu wujud penyalahgunakan
wewenang hakim yang diberi oleh Undang-Undang.
Ketidakadilan hukum memang tengah terjadi di negeri ini,
beragam kasus mencuat di ranah peradilan. Hal ini penyebabnya tidak lain karena
perilaku penegak hukum kita yang kurang peka terhadap problematika sosial atau
bisa dikatakan tak mempunyai hati nurani. Mereka sekolah sampai tinggi bergelar
doktor. Tetapi anehnya mereka hanya tahu dalam ranah akademik saja sedangkan
ranah sosial menjadi hal yang tabu bagi mereka. Para penegak hukum seolah menghambakan
diri pada aturan perundangan. Padahal aturan tersebut buatan manusia, yang
kemungkinan mempunyai pasal yang salah atau antar pasal satu dengan pasal lain
saling tumpang tindih. Seharusnya mereka haruslah mampu membaca situasi dan
kondisi dan tidak terpaku hanya pada aturan KUHP, karena bisa saja KUHP tidak
mampu memberikan rasa keadilan bagi terpidana. Stidaknya alasan ini mungkin
bisa menjadi salah satu alasan yang berpengaruh. Terhadap rendahnya supremasi
hukum tanah air.
Pada kasus pencurian sandal yang dilakukan oleh siswa SMK
terhadap oknum polisi brimob Polda Sulteng. Akhirnya diputuskan bahwa anak
siswa SMK tersebut dikembalikan kepada orang tuanya , disesuaikan dengan aturan
yang ada berdasarkan keadilan hukum terpidana. Apalagi terpidana masih
berstatus siswa SMK , dimana negara masih melindunginya dari jeratan hukum. Tetapi
meskipun siswa tersebut bebas dari jeratan hukum. Keputusan hakim tetap
mengatakan bahwa anak tersebut dihukum lima tahun sesuai aturan yang tercantum
dalam pasal pencurian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kasus pencurian sandal yang dilakukan oleh AAL seorang siswa
SMK terhadap sandal yang dimiliki oleh Briptu Harahap, akhirnya menemukan
sebuah jalan keluar bahwa AAL akan tetap divonis lima tahun oleh majelis hakim.
Akan tetapi hukuman tersebut tak dilakukan dikarenakan usia AAL yang masih
dibawah umur. Dimana Negara melindungi anak dari hukum terhadap anak yang belum
cukup umur. Sehingga AAL pun dikembalikan kepada orang tuanya. Meskipun tak
dihukum vonis yang telah diberikan oleh majelis hakim kepada AAL, telah
menciptakan pencitraaan buruk pada bidang peradilan di negeri ini.
Kasus ini telah menjadikan tingkat keperayaan masyarakat
berkurang terhadap para penegak hukum di negeri ini. Mereka seolah hukum di
Indonesia bagiakan hukum rimba,” Siapa yang kuat Dialah yang akan selamat ”.
B.
Saran
Dari segi substansi makalah ini memang memiliki berbagai
kelebihan dan kelamahannya masing-masing. Makalah ini berisi studi kasus tentang
pencurian yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Kemudian dicarikan solusi
akhirnya untuk menyelesaikannya. Makalah ini sangat cocock dibaca oleh
mahasiswa jurusan hukum pidana, atau ilmu hukum atau hukum islam. Karena memuat
materi yang penting sebagai penunjang mata kuliah tiap jurusan masing-masing.
Untuk itu penulis memohon kritik dan saran kepada pembaca untuk memberikan
kritik dan saran untuk perbiakan makalah ini kea rah kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Lamintang, Theo,Lamintang P.A.F.2009.
Delik-Delik Khusus: Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan . Jakarta : Sinar
Grafika
Nashriana.2012.
Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Indonesia. Jakarta : raja Garafindo
Persada
Arief
Gosita. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : Akademika Ptressindo
Pasal
183 dan 184 KUHAP tentang Pembuktian dan Putusan dalam Hukum Acara Pidana
UU.
No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Hakim,
G. Abdul. 1986. Hukum dan Hak-Hak Anak. Disunting oleh Mulyana W..Kusumah
. Jakarta: Rajawali
Kitab
Undang_undang hukum Pidana( KUHP)
Kompas.
Com ( referensi internet Koran digital )
[1] Kompas.com Jum’at 6 Januari 2012, 9.44 WIB
[2] Kompas.com Jum’at 6 Januari 2912. 08.40 WIB
[3] Kitab Undang_undang hukum Pidana (KUHP)
[4] UU. No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
[5] Hakim, G. AbdulHkum dan Hak-Hak Anak. Disunting oleh Mulyana
W..Kusumah (Jakarta: Rajawali,1986) hlm. 23
[6] Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan.(Jakarta,Akademika
Pressindo, 1993) hlmn. 10-13.
[7] Pasal 183 dan 184 KUHAP tentang Pembuktian dan Putusan dalam Hukum
Acara Pidana
No comments:
Post a Comment