Islam diturunkan di tanah kelahiran yang memiliki kegiatan ekonomi
sangat tinggi. Bisa dilihat pada Bangsa Arab yang sudah berpengalaman selama
beberapa ratus tahun dalam beraktivitas ekonomi. Jalur Bangsa Arab ketika itu
terbentang dari Yaman sampai ke daerah-daerah Mediteranian. Ajaran Islam
sendiri diwahyukan melalui Nabi Muhammad SAW. Beliau seseorang yang terlahir
dari keluarga pedagang, dan beliau pun menikah dengan seorang saudagar kaya
yang bernama Siti Khadijah. [1]
Kemunculan budaya Islam memberikan kontribusi yang sangat besar
kepada kemajuan pembangunan ekonomi dan teori ekonomi itu sendiri. Hal ini
karena konsep islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas prinsip
persaingan bebas. Namun demikian bukan berarti kebebasan tersebut berlaku
mutlak akan tetapi kebebasan yang di bungkus adalah bentuk aturan syariah.
Pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak mana pun, tak terkecuali
negara dengan otoritas penentuan harga atau private sektor dengan kegiatan
monopolistic atau lainnya.
Aktivitas ekonomi dalam konsep ini diarahkan kepada kebaikan setiap
kepentingan untuk seluruh komunitas Islam, baik sektor pertanian,
perindustrian, perdagangan maupun lainnya. Maka penentuan harga dilakukan oleh
kekuatan-kekuatan pasar, yaitu kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran.
Dimana pertemuan permintaan dengan penawaran tersebut haruslah terjadi secara
rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi
pada tingkat harga tersebut. Sebagaimana Allah berfirman dalam Qs. An- Nisa’:
29.
“Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka
sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
adalah Maha penyayang kepadamu.” [2]
Dari ayat
diatas, dapat kita telusuri yang menjadi tujuan islam itu sendiri dalam
perdagangan, adalah :
1)
Setiap individu menerima pendapatan
sekurang-kurangnya sampai tingkat yang mencukupi kehidupannya yang layak.
2)
Kekayaan jangan sampai hanya dimiliki oleh
segelintir orang saja
3)
Tidak ada seorang individupun yang dapat
dipaksa untuk bekerja melebihi dari kesanggupannya dalam mendapatkan
penghasilan.
4)
Harga hendaklah adil dan sesuai, tidak terlalu
tinggi dan tidak pula terlalu rendah dan hendaklah disesuaikan dengan biaya
produksi yang sesungguhnya. Sebab jika tidak demikian maka dapat menimbulkan
ketidakadilan dilarang, seperti : mengurangi timbangan, menyembunyikan arang
cacat, talaqqi rukban ( mencegah masuknya pedagang desa ke kota), dan lain sebagainya.
1.
Mekanisme Pasar Masa Rosulullah
Suatu ketika di masa Rosulullah harga di Pasar Madinah begitu menggila. Rakyat kecil
menjerit dan para sahabat pun datang pada Rosulullah yang juga sekaligus
pemimpin negara, untuk meminta kebijakan beliau. “wahai Rosulullah, tentukanlah
harga buat kami.” (diriwayatkan Anas)
Namun teryata Nabi Muhammad menolak permintaan para sahabat itu,
beliau mengatakan “Allah adalah Dzat yang menentukan dan mengatur harga,
penahan, pencurah serta penentu rezeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku
dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal
darah dan harta.” Bahkan lebih jauh, intervensi pemerintah dalam
menentukan harga bisa dikategorikan
sesuatu yang zalim.
Dari kalimat diatas menyatakan bahwa kebijakan membiarkan mekanisme
pasar untuk berjalan dengan sendirinya, tentu dengan bimbingan dari pencipta
kita yaitu Allah SWT. Namun yang jelas nabi memang menghendaki terjadinya
persaingan pasar yang adil di Madinah. Untuk itu beliau menerapkan sejumlah
aturan agar keadilan itu bisa berlangsung. Diantara aturan-aturan tersebut
adalah :
1)
Melarang tallaqi rukban, yakni
menyongsong kalifah di luar kota. Dengan demikian pedagang tadi mendapatkan
keuntungan dari ketidaktahuan khalifah yang baru datang dari luar kota terhadap
situasi pasar.
2)
Mengurangi timbangan dilarang, karena itu berarti
barang dijual dengan harga sama tetapi jumlah lebih sedikit.
3)
Menyembunyikan cacat barang dilarang, karena
itu berarti penjual mendapat harga baik dari barang yang buruk.
4)
Dan sejumlah larangan lain agar terciptanya
persaingan yang adil di pasar.
5)
Ghaban faa-hisy (besar) dilarang karena
menjual diatas harga pasar.[3]
Dalam ekonomi konvensional, monopoli dilarang
kecuali untuk komoditas tertentu. Sedangkan Islam sesungguhnya tidak melarang
monopoli, namun sesungguhnya juga tidak memberi peluang terciptanya kondisi
itu, karena entry barrier ke berbagai sektor perdagangan memang tidak
ada. Yang dilarang oleh Islam dan jelas terkandung dalam sejumlah hadis adalah
menimbun barang (ikhtikar) yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan
normal dengan cara menjual lebih sedikit barang agar mendapatkan harga yang
lebih tinggi.
“Tidaklah
orang melakukan ikhtikar itu kecuali ia berdosa.” (HR.Muslim, Ahmad, Abu Dawud)
atau hadis lain yang diriwayatkan dari HR. Ibnu Majah, Ahmad “ barang siapa
yang melakukan ikhtikar untuk merusak harga pasar sehingga harga naik secara
tajam, maka ia berdosa.”[4]
Di masa Rosulullah kepemilikan pribadi di akui, mencari nafkah
bebas dilakukan setiap warga negara bahkan itu wajib, asalkan tidak dilakukan
dengan cara-cara yang melanggar syariah dan moral Islam. Kewajiban mencari
nafkah itu tidak dibatasi dalam produksi barang ataupun jasa yang dihasilkan.
Islam juga sangat tidak menyukai perbuatan menimbun kekayaan atau mengambil
keuntungan atas kesulitan orang lain. Dalam kerangka mekanisme pasar bebas ini
Islam sejak masa Rosulullah sudah melarang segala bentuk penimbunan bahan pokok
atau komoditas yang esensial. Perbuatan demikian akan menimbulkan distori pada
kebebasan itu sendiri dan akhirnya akan menciptakan harga semu. Nah dalam Islam
ini merupakan tindakan kejahatan maka akan dihukum dengan ketentuan yang sangat
jelas.
Maka di masa Rosulullah dimana beliau merupakan kepala negara dan
merupakan kepala negara pertama di abad ke-7 Masehi, beliau memperkenalkan
konsep baru dibidang keuangan negara, yakni semua hasil pendapatan negara
dikumpulkan terlebih dahulu, kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan
negara. Hasil pengumpulan itu menjadi milik negara dan bukan milik individu.
2.
Dimasa Khulafaur Rasyidin
Kebijakan ekonomi dimasa ini secara prinsip sesungguhnya meneruskan
kebijakan yang dilaksanakan Rosulullah. Penyempurnaan dilakukan dimana-mana
sebagai bagian dari proses kemajuan dan mengantisipasi keadaan.
a)
Pada masa Abu Bakar,
tidak ada hal yang terlalu menonjol kecuali sikap beliau yang sangat tegas
terhadap satu kaum yang tidak bersedia membayar zakat. Namun kebijakan ini
tidak ada hubungannya dengan mekanisme pasar.
b)
Pada masa Umar bin Khattab pernah terjadi kenaikan harga gandum di pasar
Madinah. Ini terjadi karena pasokan melemah, hal ini bisa saja terjadi karena
gagal panen di sejumlah wilayah pemasok gandum. Untuk itu mengembalikan harga
pada keseimbangan normal, Umar mengimpor gandum dari Mesir, lalu memasokkannya
ke pasar. Intervensi pasokan ini diikuti dengan aktifnya lembaga hisbah yang
sudah dibentuk ketika itu yang bertujuan untuk mengawasi pihak-pihak yang
bermain di pasar agar tidak berlaku curang. Intervensi sisi permintaan pun
dilakukan dengan menanamkan sikap sederhana dan menjauhkan dari sikap boros
dalam berbelanja. Umar bisa melakukan langkah antisipasi yang cepat dan tepat
karena beliau selalu berusaha mendapatkan informasi harga, termasuk harga
barang-barang yang sulit dijangkau.
c)
Pada masa Usman bin Affan dikenal
sebagai seorang yang jujur dan saleh, tetapi sudah tua dan lemah lembut. Pada
awalnya beliau mengikuti kebijakan Umar, namun lambat laun ketika menghadapi
sejumlah hadangan atau rintangan, beliau mulai menyimpang dari garis kebijakan
Umar. Penyimpangan itu membawa pengaruh yang kurang baik pada dirinya sendiri
dan Islam pada umumnya. Berbeda dengan Umar yang gigih memperoleh harga pasar
langsung ke pasar sedangkan Ustman memantau situasi pasar lewat diskusi dengan
sejumlah sahabat di masjid.[5]
d)
Pada masa Ali bin Abi Thalib tidak ada kisah khusus yang terkait dengan
mekanisme pasar. Tampaknya ia melanjutkan kebijakan yang telah ditempuh
pendahulu-pendahulunya.
3.
Pasar
dalam Pandangan Sarjana Muslim
A.
Masa Ummayyah
Di masa Dinasti Ummayyah ini terdapat sedikit
masalah dalam mengumpulkan informasi tentang kebijakan mekanisme pasar.
Sulitnya informasi yang memadai mengenai apa yang terjadi saat itu secara
spesifik. Namun yang jelas ketika itu perdagangan telah berkembang pesat, dan
bukan sekedar pasar tradisional dengan cakupan wilayah dan komoditas yang
terbatas. Tampaknya ini merupakan indikasi yang cukup kuat bahwa mekanisme
pasar bebas telah diterapkan saat itu, sebagai kelanjutan kebijaksanaan yang
telah diterapkan Rosulullah dan Khulafaur Rasyidin.
Di masa ini pemikiran Abu Yusuf seorang
fukaha yang sesungguhnya lahir di masa Ummayah
ini dapat mewakilinya. Abu Yusuf yang juga seorang penasihat ekonomi
buat Kaisar Harun Al-Rasyid mengatakan “Tidak ada batasan tertentu tentang
mahal dan murah yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya, dan
prinsipnya tidak dapat diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan,
demikian juga yang mahal bukan karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal
merupakan ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah tetap mahal atau
makanan langka pun tetap murah.”[6]
B.
Masa
Dinasti Abassyiah I
Di samping Abu Yusuf yang kehadirannya secara
fisik dan intelektual berada pada posisi transisi antara Ummayyah ke
Abassiyyah, Al-Ghazali lebih jelas posisinya mewakili pemikiran dinasti
Abassiyah I. Beliau saat itu sudah berpikiran bahwa timbulnya harga dari
kekuatan permintaan dan penawaran. Bagi Ghazali pasar merupakan bagian dari
keteraturan alami. Ia menjelaskan evolusi terciptanya pasar secara rinci dalam
bukunya Ihya Ulumuddin. Dalam buku tersebut beliau juga menekankan pentingnya
peran pemerintah menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran
perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Ghazali memang tidak bicara kurva permintaan dan penawaran dalam
terminologi modern, namun beliau menjelaskan dengan kalimat yang cukup jelas.
Untuk menjelaskan bahwa kurva penawaran bergerak dari kiri bawah ke kanan atas,
ia mengatakan “Jika petani tidak mendapatkan pembeli untuk barangnya, maka ia
akan menjualnya pada harga yang lebih murah”. Sedangkan untuk kurva permintaan
yang bergerak dari kiri atas ke kanan bawah, ia mengatakan “Harga dapat
diturunkan dengan mengurangi permintaan.”[7]
Sungguh mengagumkan lagi beliau rupanya telah
paham konsep elastisitas permintaan. Ia berkata “Mengurangi margin keuntungan
dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan
dan akhirnya meningkatkan keuntungan pula.” Beliau juga mengidentifikasi bahwa
bahan makanan pokok adalah komoditas yang tidak elastis. “karena makanan adalah
bahan kebutuhan pokok, perdagangannya harus sedikit mungkin didorong oleh motif
keuntungan. Keuntungan sebaiknya diambil dari komoditas yang bukan kebutuhan
pokok.
C.
Masa Dinasti Abassiyah II
Dalam dinasti ini kami menemukan pemikiran
tiga fuqaha tentang mekanisme pasar, yakni Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim dan
Ibnu Khaldun.
Ibnu Taimiyah dengan yakin mengatakan bahwa harga memang
dibentuk oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Maka dengan tegas ia membantah
ketika masyarakat dizamannya menganggap kenaikan harga adalah hasil kejahatan
atau tindak ketidakadilan dari penjual. Terkadang penyebabnya adalah defisiensi
dalam produksi atau penurunan terhadap barang yang diminta, atau tekanan pasar.
Oleh karena itu, jika permintaan terhadap barang-barang tersebut menaik
sementara ketersediaannya atau penawaranannya menurun maka harganya akan naik.
Begitu pula sebaliknya jika ketersediaan barang-barang menaik dan permintaan
terhadapnya menurun, maka harga barang tersebut akan turun juga. Kelangkaan dan
berlimpahnya barang mungkin bukan disebabkan oleh tindakan sebagian orang, hal
tersebut terkadang disebabkan oleh tindakan yang tidak adil atau juga bukan.
Semua itu adalah kehendak Allah yang telah menciptakan keinginan dalam hati
manusia.[8]
Ibnu al-Qayyim sejalan dengan apa yang dikatakan Ibnu
Taimiyah dimana jika terjadi terganggunya kesejahteraan rakyat maka pemerintah
wajib intervensi, ia berpendapat bahwa pemilikan pribadi dan kebebasan dalam
melakukan kegiatan ekonomi memang harus diakui, namun tetap dalam koridor
keislaman. Penentuan harga juga harus diserahkan kepada kekuatan pasar.
Ketidaksempurnaan pasar dan berbagai distorsi lainnya diserahkan saja pada
kekuatan pasar untuk mengoreksinya sepanjang tidak mempengaruhi kesejahteraan
rakyat.
Ibnu khaldun agak berbeda pendapat dengan mereka, beliau
berpendapat bahwa ia telah membedakan komoditas sebagai barang kebutuhan pokok
dan barang mewah. Untuk barang kebutuhan pokok, semakin meningkat populasi maka
barang kebutuhan pokok diprioritaskan pengadaannya, sehingga harganya pun turun
sedangkan barang mewah berkembang
sejalan dengan perkembangan gaya hidup masyarakat.populasi yang meningkat akan
mengubah gaya hidup, sehingga harga barang mewah meningkat.
Disini Ibnu khaldun lebih memfokuskan dirinya untuk menjelaskan
fenomena yang terjadi sebagaimana adanya, sedangkan Ibnu Taimiyyah lebih
menitik beratkan perhatiannya pada formulasi kebijakan untuk menyikapi fenomena
tersebut (menjelaskan secara rinci pengaruh turun-naiknya permintaan dan
penawaran terhadap harga keseimbangan).
DAFTAR PUSTAKA
Edwin,
Mustafa, dkk. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta :
Kencana Prenada Media Grup
Karim, Adiwarman
A. 2010. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : Rajawali Press.
Siadiqi,
Muhammad Nejatullah. 1991. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta : Bumi
Aksara Jakarta
Nawawi, Ismail.
2010. Ekonomi Mikro Dalam Prespektif Islam. Jakarta : CV. Dwi Pustaka
Jaya
Fauzia, Yunia Ika, dkk, 2014, prinsip
dasar ekonomi Islam:prespektif maqashid al-syariah, Jakarta : Kencana
[1] Ika Yunia Fauzia, prinsip dasar ekonomi Islam:prespektif
maqashid al-syariah, Jakarta : Kencana, 2014, hlm 197
[3] Ismail, Nawawi, Ekonomi Mikro Dalam Prespektif Islam. Jakarta
: CV. Dwi Pustaka Jaya, 2010, hlm. 173
[4] Mustafa Edwin,
Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup,
2006, hlm. 182
[5] Muhammad
Nejatullah. S, Kegiatan Ekonomi Dalam
Islam. Jakarta : Bumi Aksara Jakarta, 1991, hlm. 154
[6] Ika Yunia Fauzia, prinsip dasar ekonomi Islam:prespektif maqashid
al-syariah, Jakarta : Kencana, 2014, hlm 216
[7] Mustafa Edwin,
Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup,
2006, hlm. 183
[8]Mustafa Edwin,
Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup,
2006, hlm. 185
No comments:
Post a Comment