Sunday, December 16, 2018

Mekanisme Pasar dalam Ekonomi Islam



Islam diturunkan di tanah kelahiran yang memiliki kegiatan ekonomi sangat tinggi. Bisa dilihat pada Bangsa Arab yang sudah berpengalaman selama beberapa ratus tahun dalam beraktivitas ekonomi. Jalur Bangsa Arab ketika itu terbentang dari Yaman sampai ke daerah-daerah Mediteranian. Ajaran Islam sendiri diwahyukan melalui Nabi Muhammad SAW. Beliau seseorang yang terlahir dari keluarga pedagang, dan beliau pun menikah dengan seorang saudagar kaya yang bernama Siti Khadijah. [1]
Kemunculan budaya Islam memberikan kontribusi yang sangat besar kepada kemajuan pembangunan ekonomi dan teori ekonomi itu sendiri. Hal ini karena konsep islam menegaskan bahwa pasar harus berdiri di atas prinsip persaingan bebas. Namun demikian bukan berarti kebebasan tersebut berlaku mutlak akan tetapi kebebasan yang di bungkus adalah bentuk aturan syariah. Pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak mana pun, tak terkecuali negara dengan otoritas penentuan harga atau private sektor dengan kegiatan monopolistic atau lainnya.
Aktivitas ekonomi dalam konsep ini diarahkan kepada kebaikan setiap kepentingan untuk seluruh komunitas Islam, baik sektor pertanian, perindustrian, perdagangan maupun lainnya. Maka penentuan harga dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pasar, yaitu kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran. Dimana pertemuan permintaan dengan penawaran tersebut haruslah terjadi secara rela sama rela, tidak ada pihak yang merasa terpaksa untuk melakukan transaksi pada tingkat harga tersebut. Sebagaimana Allah berfirman dalam Qs. An- Nisa’: 29.
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu.” [2]
Dari ayat diatas, dapat kita telusuri yang menjadi tujuan islam itu sendiri dalam perdagangan, adalah :
1)      Setiap individu menerima pendapatan sekurang-kurangnya sampai tingkat yang mencukupi kehidupannya yang layak.
2)      Kekayaan jangan sampai hanya dimiliki oleh segelintir orang saja
3)      Tidak ada seorang individupun yang dapat dipaksa untuk bekerja melebihi dari kesanggupannya dalam mendapatkan penghasilan.
4)      Harga hendaklah adil dan sesuai, tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah dan hendaklah disesuaikan dengan biaya produksi yang sesungguhnya. Sebab jika tidak demikian maka dapat menimbulkan ketidakadilan dilarang, seperti : mengurangi timbangan, menyembunyikan arang cacat, talaqqi rukban ( mencegah masuknya pedagang desa ke kota), dan lain sebagainya.

1.      Mekanisme Pasar Masa Rosulullah
Suatu ketika di masa Rosulullah harga di  Pasar Madinah begitu menggila. Rakyat kecil menjerit dan para sahabat pun datang pada Rosulullah yang juga sekaligus pemimpin negara, untuk meminta kebijakan beliau. “wahai Rosulullah, tentukanlah harga buat kami.” (diriwayatkan Anas)
Namun teryata Nabi Muhammad menolak permintaan para sahabat itu, beliau mengatakan “Allah adalah Dzat yang menentukan dan mengatur harga, penahan, pencurah serta penentu rezeki. Aku mengharapkan dapat menemui Tuhanku dimana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena kezaliman dalam hal darah dan harta.” Bahkan lebih jauh, intervensi pemerintah dalam menentukan  harga bisa dikategorikan sesuatu yang zalim.
Dari kalimat diatas menyatakan bahwa kebijakan membiarkan mekanisme pasar untuk berjalan dengan sendirinya, tentu dengan bimbingan dari pencipta kita yaitu Allah SWT. Namun yang jelas nabi memang menghendaki terjadinya persaingan pasar yang adil di Madinah. Untuk itu beliau menerapkan sejumlah aturan agar keadilan itu bisa berlangsung. Diantara aturan-aturan tersebut adalah :
1)      Melarang tallaqi rukban, yakni menyongsong kalifah di luar kota. Dengan demikian pedagang tadi mendapatkan keuntungan dari ketidaktahuan khalifah yang baru datang dari luar kota terhadap situasi pasar.
2)      Mengurangi timbangan dilarang, karena itu berarti barang dijual dengan harga sama tetapi jumlah lebih sedikit.
3)      Menyembunyikan cacat barang dilarang, karena itu berarti penjual mendapat harga baik dari barang yang buruk.
4)      Dan sejumlah larangan lain agar terciptanya persaingan yang adil di pasar.
5)      Ghaban faa-hisy (besar) dilarang karena menjual diatas harga pasar.[3]
Dalam ekonomi konvensional, monopoli dilarang kecuali untuk komoditas tertentu. Sedangkan Islam sesungguhnya tidak melarang monopoli, namun sesungguhnya juga tidak memberi peluang terciptanya kondisi itu, karena entry barrier ke berbagai sektor perdagangan memang tidak ada. Yang dilarang oleh Islam dan jelas terkandung dalam sejumlah hadis adalah menimbun barang (ikhtikar) yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang agar mendapatkan harga yang lebih tinggi.
Tidaklah orang melakukan ikhtikar itu kecuali ia berdosa.” (HR.Muslim, Ahmad, Abu Dawud) atau hadis lain yang diriwayatkan dari HR. Ibnu Majah, Ahmad “ barang siapa yang melakukan ikhtikar untuk merusak harga pasar sehingga harga naik secara tajam, maka ia berdosa.”[4]

Di masa Rosulullah kepemilikan pribadi di akui, mencari nafkah bebas dilakukan setiap warga negara bahkan itu wajib, asalkan tidak dilakukan dengan cara-cara yang melanggar syariah dan moral Islam. Kewajiban mencari nafkah itu tidak dibatasi dalam produksi barang ataupun jasa yang dihasilkan. Islam juga sangat tidak menyukai perbuatan menimbun kekayaan atau mengambil keuntungan atas kesulitan orang lain. Dalam kerangka mekanisme pasar bebas ini Islam sejak masa Rosulullah sudah melarang segala bentuk penimbunan bahan pokok atau komoditas yang esensial. Perbuatan demikian akan menimbulkan distori pada kebebasan itu sendiri dan akhirnya akan menciptakan harga semu. Nah dalam Islam ini merupakan tindakan kejahatan maka akan dihukum dengan ketentuan yang sangat jelas.

Maka di masa Rosulullah dimana beliau merupakan kepala negara dan merupakan kepala negara pertama di abad ke-7 Masehi, beliau memperkenalkan konsep baru dibidang keuangan negara, yakni semua hasil pendapatan negara dikumpulkan terlebih dahulu, kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan negara. Hasil pengumpulan itu menjadi milik negara dan bukan milik individu.


2.      Dimasa Khulafaur Rasyidin
Kebijakan ekonomi dimasa ini secara prinsip sesungguhnya meneruskan kebijakan yang dilaksanakan Rosulullah. Penyempurnaan dilakukan dimana-mana sebagai bagian dari proses kemajuan dan mengantisipasi keadaan.
a)      Pada masa Abu Bakar, tidak ada hal yang terlalu menonjol kecuali sikap beliau yang sangat tegas terhadap satu kaum yang tidak bersedia membayar zakat. Namun kebijakan ini tidak ada hubungannya dengan mekanisme pasar.
b)      Pada masa Umar bin Khattab  pernah terjadi kenaikan harga gandum di pasar Madinah. Ini terjadi karena pasokan melemah, hal ini bisa saja terjadi karena gagal panen di sejumlah wilayah pemasok gandum. Untuk itu mengembalikan harga pada keseimbangan normal, Umar mengimpor gandum dari Mesir, lalu memasokkannya ke pasar. Intervensi pasokan ini diikuti dengan aktifnya lembaga hisbah yang sudah dibentuk ketika itu yang bertujuan untuk mengawasi pihak-pihak yang bermain di pasar agar tidak berlaku curang. Intervensi sisi permintaan pun dilakukan dengan menanamkan sikap sederhana dan menjauhkan dari sikap boros dalam berbelanja. Umar bisa melakukan langkah antisipasi yang cepat dan tepat karena beliau selalu berusaha mendapatkan informasi harga, termasuk harga barang-barang yang sulit dijangkau.
c)      Pada masa Usman bin Affan dikenal sebagai seorang yang jujur dan saleh, tetapi sudah tua dan lemah lembut. Pada awalnya beliau mengikuti kebijakan Umar, namun lambat laun ketika menghadapi sejumlah hadangan atau rintangan, beliau mulai menyimpang dari garis kebijakan Umar. Penyimpangan itu membawa pengaruh yang kurang baik pada dirinya sendiri dan Islam pada umumnya. Berbeda dengan Umar yang gigih memperoleh harga pasar langsung ke pasar sedangkan Ustman memantau situasi pasar lewat diskusi dengan sejumlah sahabat di masjid.[5]
d)      Pada masa Ali bin Abi Thalib  tidak ada kisah khusus yang terkait dengan mekanisme pasar. Tampaknya ia melanjutkan kebijakan yang telah ditempuh pendahulu-pendahulunya.   

3.        Pasar dalam Pandangan Sarjana Muslim
A.    Masa Ummayyah
Di masa Dinasti Ummayyah ini terdapat sedikit masalah dalam mengumpulkan informasi tentang kebijakan mekanisme pasar. Sulitnya informasi yang memadai mengenai apa yang terjadi saat itu secara spesifik. Namun yang jelas ketika itu perdagangan telah berkembang pesat, dan bukan sekedar pasar tradisional dengan cakupan wilayah dan komoditas yang terbatas. Tampaknya ini merupakan indikasi yang cukup kuat bahwa mekanisme pasar bebas telah diterapkan saat itu, sebagai kelanjutan kebijaksanaan yang telah diterapkan Rosulullah dan Khulafaur Rasyidin.
Di masa ini pemikiran Abu Yusuf seorang fukaha yang sesungguhnya lahir di masa Ummayah  ini dapat mewakilinya. Abu Yusuf yang juga seorang penasihat ekonomi buat Kaisar Harun Al-Rasyid mengatakan “Tidak ada batasan tertentu tentang mahal dan murah yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya, dan prinsipnya tidak dapat diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan, demikian juga yang mahal bukan karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah tetap mahal atau makanan langka pun tetap murah.”[6]
B.      Masa Dinasti Abassyiah I
Di samping Abu Yusuf yang kehadirannya secara fisik dan intelektual berada pada posisi transisi antara Ummayyah ke Abassiyyah, Al-Ghazali lebih jelas posisinya mewakili pemikiran dinasti Abassiyah I. Beliau saat itu sudah berpikiran bahwa timbulnya harga dari kekuatan permintaan dan penawaran. Bagi Ghazali pasar merupakan bagian dari keteraturan alami. Ia menjelaskan evolusi terciptanya pasar secara rinci dalam bukunya Ihya Ulumuddin. Dalam buku tersebut beliau juga menekankan pentingnya peran pemerintah menjamin keamanan jalur perdagangan demi kelancaran perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Ghazali memang tidak bicara kurva permintaan dan penawaran dalam terminologi modern, namun beliau menjelaskan dengan kalimat yang cukup jelas. Untuk menjelaskan bahwa kurva penawaran bergerak dari kiri bawah ke kanan atas, ia mengatakan “Jika petani tidak mendapatkan pembeli untuk barangnya, maka ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”. Sedangkan untuk kurva permintaan yang bergerak dari kiri atas ke kanan bawah, ia mengatakan “Harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan.”[7]
Sungguh mengagumkan lagi beliau rupanya telah paham konsep elastisitas permintaan. Ia berkata “Mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan dan akhirnya meningkatkan keuntungan pula.” Beliau juga mengidentifikasi bahwa bahan makanan pokok adalah komoditas yang tidak elastis. “karena makanan adalah bahan kebutuhan pokok, perdagangannya harus sedikit mungkin didorong oleh motif keuntungan. Keuntungan sebaiknya diambil dari komoditas yang bukan kebutuhan pokok.

C.    Masa Dinasti Abassiyah II
Dalam dinasti ini kami menemukan pemikiran tiga fuqaha tentang mekanisme pasar, yakni Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Khaldun.
Ibnu Taimiyah dengan yakin mengatakan bahwa harga memang dibentuk oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Maka dengan tegas ia membantah ketika masyarakat dizamannya menganggap kenaikan harga adalah hasil kejahatan atau tindak ketidakadilan dari penjual. Terkadang penyebabnya adalah defisiensi dalam produksi atau penurunan terhadap barang yang diminta, atau tekanan pasar. Oleh karena itu, jika permintaan terhadap barang-barang tersebut menaik sementara ketersediaannya atau penawaranannya menurun maka harganya akan naik. Begitu pula sebaliknya jika ketersediaan barang-barang menaik dan permintaan terhadapnya menurun, maka harga barang tersebut akan turun juga. Kelangkaan dan berlimpahnya barang mungkin bukan disebabkan oleh tindakan sebagian orang, hal tersebut terkadang disebabkan oleh tindakan yang tidak adil atau juga bukan. Semua itu adalah kehendak Allah yang telah menciptakan keinginan dalam hati manusia.[8]
Ibnu al-Qayyim sejalan dengan apa yang dikatakan Ibnu Taimiyah dimana jika terjadi terganggunya kesejahteraan rakyat maka pemerintah wajib intervensi, ia berpendapat bahwa pemilikan pribadi dan kebebasan dalam melakukan kegiatan ekonomi memang harus diakui, namun tetap dalam koridor keislaman. Penentuan harga juga harus diserahkan kepada kekuatan pasar. Ketidaksempurnaan pasar dan berbagai distorsi lainnya diserahkan saja pada kekuatan pasar untuk mengoreksinya sepanjang tidak mempengaruhi kesejahteraan rakyat.
Ibnu khaldun agak berbeda pendapat dengan mereka, beliau berpendapat bahwa ia telah membedakan komoditas sebagai barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Untuk barang kebutuhan pokok, semakin meningkat populasi maka barang kebutuhan pokok diprioritaskan pengadaannya, sehingga harganya pun turun sedangkan barang  mewah berkembang sejalan dengan perkembangan gaya hidup masyarakat.populasi yang meningkat akan mengubah gaya hidup, sehingga harga barang mewah meningkat.
Disini Ibnu khaldun lebih memfokuskan dirinya untuk menjelaskan fenomena yang terjadi sebagaimana adanya, sedangkan Ibnu Taimiyyah lebih menitik beratkan perhatiannya pada formulasi kebijakan untuk menyikapi fenomena tersebut (menjelaskan secara rinci pengaruh turun-naiknya permintaan dan penawaran terhadap harga keseimbangan).




DAFTAR PUSTAKA
Edwin, Mustafa, dkk. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup
Karim, Adiwarman A. 2010. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : Rajawali Press.
Siadiqi, Muhammad Nejatullah. 1991. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta : Bumi Aksara Jakarta
Nawawi, Ismail. 2010. Ekonomi Mikro Dalam Prespektif Islam. Jakarta : CV. Dwi Pustaka Jaya
Fauzia, Yunia Ika, dkk, 2014,  prinsip dasar ekonomi Islam:prespektif maqashid al-syariah, Jakarta : Kencana



[1] Ika Yunia Fauzia,  prinsip dasar ekonomi Islam:prespektif maqashid al-syariah, Jakarta : Kencana, 2014, hlm 197

[2] Adiwarman A Karim, Ekonomi Mikro Islam. Jakarta : Rajawali Press, 2010, hal 152

[3] Ismail, Nawawi, Ekonomi Mikro Dalam Prespektif Islam. Jakarta : CV. Dwi Pustaka Jaya, 2010, hlm. 173

[4] Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, 2006, hlm. 182
[5] Muhammad Nejatullah. S,  Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta : Bumi Aksara Jakarta, 1991, hlm. 154
[6] Ika Yunia Fauzia, prinsip dasar ekonomi Islam:prespektif maqashid al-syariah, Jakarta : Kencana, 2014, hlm 216
[7] Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, 2006, hlm. 183
[8]Mustafa Edwin, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup, 2006, hlm. 185


No comments:

Post a Comment