Monday, December 3, 2018

Ketatanegaraan Pada Masa Abbasiyah dan Turki Usmani


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sebelum Daulah Abbasiyah  lahir telah ada terlebih dahulu  Daulah Umayyah yang diprakarsai oleh Muawwiyah. Pada masa Umayyah pemerintahan yang demokratis berubah menjadi monarchiheridetis (kerajaan turun menurun). Ketika dinasti Umayyah melemah, kaum muslimin sibuk mencari figur-figur pemimpin yang mampu mengembalikan kaum muslimin ke jalan yang benar dan menciptakan keadilan diantara mereka.
Mereka berpendapat bahwa figur yang mampu berbuat demikian harus dari Bani Hasyim. Ditulis dan dikirimlah surat tersebut ke Abu Hasyim Abdullah bin Abu Thalib, salah seorang ulama terpercaya. Tidak lama kemudian kabar (surat) itu sampailah kepada Khilafah Bani Umayyah, Suliaman bin Abdul Malik, sehingga Abu Hasyim merasa terancam nyawanya. Dia lalu melarikan diri ke Hamimah, yang masuk ke wilayah Damaskus, disitulah sang paman, Ali As-sajjad bin Abdullah bin Abbas tinggal. Ketika akan meninggal, Abu Hasyim menyerahkan surat-surat yang diterimanya kepada Muhammad bin Abdullah bin Abbas dan berkata “Dirikanlah dinasti baru dan pewarisnya adalah anak-cucumu”.[1] Maka Muhammad bin Abdullah bin Abbas melaksanakan wasiat itu. Ia mengumpulkan orang-orang kepercayaannya untuk menyerukan kelemahan-kelemahan Dinasti Umayyah.
Daulah Abbasiyah dimulai pada tahun 120-350 H atau 737-961 M. Pemimpin pertama zaman Abbasiyah adalah Abu Abbas Abdullah bin Abdul Muthalib. Beliau merupakan kakak dari ayahanda Nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan gelar Abu Abbas As-Saffah. Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam berada dalam era kemunduran pertama. Melihat uraian diatas, maka kami tertarik untuk menulis makalah yang membahas tentang persoalan-persoalan diatas dengan judul: ”Ketatanegaraan pada masa Abbasiyah dan Turki Utsmani”.

I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami buat dalam makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.2.1    Bagaimanakah ketatanegaraan pada masa Abbasiyah?
1.2.2    Bagaimanakah ketatanegaraan pada masa Turki Utsmani?

1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis dengan tujuan :
1.3.1        Untuk mendeskripsikan ketatanegaraan pada masa Abbasiyah.
1.3.2        Untuk mendeskripsikan ketatanegaraan pada masa Turku Utsmani.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Ketatanegaraan pada Masa Bani Abbas
Masa emas Dinasti Abbasiyah berlangsung hingga pertengahan pemerintahan Al-Ma’mun pada awal abad ketiga hijrah. Setelah itu Dinasti Abbasiyah melemah. Kemunculan banyak negeri diberbagai wilayah, seperti Turki, Mongolia, Persia, dan India menjadi tanda mulai pudarnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini. Pada tahun 656 H/ 1258 M, ibukota Dinasti Abbasiyah berhasil dikuasai Bangsa Mongolia. Hal ini sekaligus menjadi akhir dari kekuasaan yang gemilang itu.
Perlu dicatat, Dinasti Abbasiyah menyumbang peran penting dalam soal alih bahasa atau terjemahan. Penerjemahan karya-karya penting sebenarnya sudah dimulai sejak pertengahan Dinasti Umayyah. Ketika kekuasaan beralih ke Dinasti Abbasiyah, kegiatan penerjemahan semakin marak. Al-Manshur termasuk khalifah Abbasiyah yang ikut andil dalam membangkitkan pemikiran. Dia mendatangkan berbagai muslim cendikia pada beragam disiplin ilmu ke Baghdad. Disamping itu, dia juga mengirimkan utusannya untuk mencari buku-buku ilmiah dari negeri Romawi untuk diterjemahkan kedalam bahasa arab. Khalifah pengganti Al-Makmun, Harun Ar-Rasyid, tidak mau ketinggalan. Dia mendirikan perpustakaan dan mengatur gerakan alih bahasa ke dalam bahasa arab. Pada masa Al-Makmun, gerakan pemikiran mencapai pusat keemasan. Bahkan, Baghdad pernah dijuluki sebagai menara ilmu dan pengetahuan dalam abad pertengahan.

دالت الدولة الأموية, التي حكمت الدولة العربية الاسلامية من الحاضرة دمشق, وقامت علي انقاضها دولة جديدة تنتهي الي بيت الرسول صلى الله عليه وسلم وهي الدولة العباسية.
Artinya: Dinasti Bani Abbas ditegakkan secara revolusi di atas sisa-sisa kekuatan Bani Umaiyah.[2]
Setelah berhasil menggulingkan Marwan II, khalifah terakhir Bani Umaiyah pada tahun 750 M. abu al-Abbas al-Saffah[3] memproklamirkan berdirinya kerajaan Bani Abbas. Meskipun Al-Saffah merupakan pendiri dinasti ini, orang yang berjasa mengembangkannya adalah Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M).
Kebijakan terpenting yang dilakukan al-Manshur adalah memindahkan ibu kota kerajaan ke Bagdad pada tahun 762 M. Pada mulanya, pusat pemerintahan Abbasiyah adalah di Kufah. Namur kota ini kurang aman, karena Kufah merupakan basispendukung Syi’ah yang Sangay pro-Ali. Oleh karena itu, al-Saffah memindahkannya ke Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun di sini juga belum aman dari oposisi dari Syi’ah, karena dekat dengan Kufah. Akhirnya pada masa al-Manshur, ibu kota dipindahkan.
§  Struktur Pemerintah Abbasiyah[4]
Pada masa al-Saffah daerah kekuasaan Bani Abbas dibagi menjadi dua belas provinsi. Pemerintah daerah (amir) dibagi menjadi tiga keamiran, yaitu imarah istikfa’, imarah istila’ dan  imarah khashshah. Masing-masing imarah mempunyai tugas dan wewenang yang jelas. Imarah istikfa’ bertugas antara lain mengatur dan menggaji tentara, memungut pajak, menjadi imam dan menegakkan pelaksanakan hukum. Imarah istila’ bertugas dalam bidang politik, yaitu semacam kepala kepolisian daerah bertugas dalam bidang politik, yaitu semacam kepala kepolisian daerah (polda). Mereka bertanggung jawabatas keamanan dan ketertiban daerah. Sedangkan imarah khashshah bertugas menangani masalah ketentaraan.
Seperti halnya Bani Umaiyah, kekuasaan yudikatif al-sulthah al-qadha’iyah dibagi kepada bidang hisbah, al-qadha’ dan al-mazhalim. Tugas dan kewenangan mereka juga tidak berbeda dengan masa yang sebelumnya. Namun selain tiga bidang tersebut, Bani Abbas juga membentuk lembaga peradilan militer (Qadhi al-‘Askar atau Qadhi al-Jund). Khalifah sendiri juga menyediakan waktu-waktu tertentu yang khusus.
Sistem pemerintahan pada masa Dinasti Abbasiyah mengacu pada empat aspek, diantaranya yakni :
1.      Khilafah : berfungsi menyatukan kekuasaan agama dan politik. Perhatian mereka terhadap agama tentu tidak terlepas dari pertimbangan politis, yaitu untuk memperkuat posisi dan melegitimasi kekuasaan mereka terhadap rakyat.
2.      Wizarah (kementrian) : salah satu aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas-tugas kepala negara. Sedangkan wazir adalah orang yang membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan.
3.      Kitabah : salah satu aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas-tugas wazir dalam mengkoordinir masing-masing departemen. Diantara jabatan katib ini adalah katib al-rasail, katib al-kharaj, katib al-jund, katib al-syurtha dan katib al-qadhi.
4.      Hijabah : berarti pembatas atau penghalang. Dalam sistem politik Bani Abbas, hajib (petugas hijab) berarti pengawal khalifah. Mereka bertugas menjaga keselamatan dan keamanan khalifah.


2.2  Ketatanegaraan pada Masa Turki Usmani
 Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam berada dalam era kemunduran pertama. Berawal dari kerajaan kecil,[5] lalu mengalami perkembangan pesat, dan akhirnya sempat diakui sebagai negara adikuasa pada masanya dengan wilayah kekuasaan yang meliputi bagian utara Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian Timur.[6]
The history of Turkey encompasses the history of Republic of Turkey and the history of the region now known as Turkey (derived from the Medieval Latin Turchia; i.e., "Land of the Turks"), including the areas known as Anatolia and Eastern Thrace. Anatolia (Turkish: Anadolu) comprises most of modern Turkey and is known by the Latin name of Asia Minor.[7]
Artinya: Sejarah Turki meliputi sejarah Republik Turki dan sejarah wilayah yang sekarang dikenal sebagai Turki ( berasal dari Abad Pertengahan Turchia Latin yaitu, "Tanah Turki"). Termasuk daerah yang dikenal sebagai Anatolia dan Thrace Timur. Anatolia ( Turki : Anadolu ) sebagian besar terdiri dari Turki modern dan dikenal dengan nama Latin Asia Kecil.
Masa pemerintahannya berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak tahun 1299 M-1924 M. Kurang lebih enam abad (600 tahun). [8] Dalam rentang waktu yang demikian panjang kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan format dan ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena sebagaimana diketahui, bahwa kekuasaan Turki Utsmani tidak hanya terbatas kekuasaan wilayah melainkan agama.
Pendiri kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz[9] yang mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih kurang tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh ketika menetap di Asia Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M bangsa Turki dengan dipimpin Artogol melarikan diri menuju dinasti Saljuk untuk mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II.
Artogol dan pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II berperang menyerang Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk mendapat kemenangan. Atas jasa baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa Turki terus membina wilayah barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota.[10]
Pada tahun 1289 M Artogol meninggal dunia. Kepemimpinan- nya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Artogol inilah yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, beliau memerintah tahun 1290 M – 1326 M. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan Saljuk kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah Usman yang sering disebut Usman I. Dalam perkembangannya, Turki Usmani melewati beberapa periode kepemimpinan. Sejak berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M) berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib (1918-1922 M). Dan dalam perjalanan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan salah satu dari tiga kerajaan besar yang membawa kemajuan dalam Islam.[11]
Sebagaimana diketahui Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia, dan kekuasaan spiritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai title Sultan, dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah.[12]

Dari pemerintahan turki yang paling menonjol adalah:
لقد قامت الصّوفيّة في المجتمع العثمانّي على قاعدة متينة متجذرة من الممارسات الاجتماعيّة والدّينيّة امتدّت لعدّة قرون, ومن هُنا لابدّلنا أنْ نقدّم لمحةً بسيطة عن أصول الصّوفيّة ووجوهها الاجتماعيّة والثقافيّة المختلفة, وكيفيّة تغلغلها في الثقافة الدّينيّة والمجتمع.
Artinya: masyarakat turki utsmani pada dasar yang kokoh berakar praktek-praktek sosial dan keagamaan berlangsung selama beberapa abad, dan disiana menawarkan gambaran sederhana dari aset tasawuf dan wujud sosial, budaya yang berbeda, dan bagaimana infiltrasi budaya agama dan masyarakat.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab-bab terdahulu serta pembahasan tentang ketatanegaraan pada masa abbasiyah da Turki utsmani, dapat disimpulkan sebagai berikut :
·         Sistem pemerintahan yang dikembangkan oleh Bani Abbas merupakan pengembangan dari bentuk yang sudah dilaksanakan sebelumnya. Ada beberapa hal penting yang dilakukan oleh khalifah-khalifah Bani Abbas dalam menjalankan pemerintahan. Bani Abbas mengembangkan system pemerintahan dengan mengacu pada empat aspek, yaitu aspek khilafah, wizarah, hijabah, dan kitabah.
·         Dalam pelaksanaan pemerintahan, kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia, dan kekuasaan spiritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai title Sultan, dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah. Sistem pemerintahan Utsmani banyak mengadopsi praktek kenegaraan yang berlaku di Bizantium dan Persia. Untuk menjalankan kedua fungsi ini, penguasa Utsmani dibantu oleh tiga kekuasaan, yaitu administrasi birokrasi, militer dan kekuasaan agama.
3.2 Saran
Dari uraian-uraian diatas kami bisa memberi saran, ingatlah kata-kata Ir. Soekarno “JASMERAH” (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah). Karena degan mempelajari sejarah kita bisa belajar banyak hal, dari social, budaza, aqidah dan terutama pada matakuliah kita ini tentang ketatanegaraan, dimana kita bisa mengadopsi sistem mereka dan memperbaharui sesuai dengan masa kita saat ini.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syalabi. 1988. Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Usmani. Jakarta: Kalam Mulia.
Athur Goldscmidt. 1991. A Concise History of the Midle Sast. Edisi ke-4. USA: Westview Press.
C.E. Bosworth. 1980. Dinasti-dinasti Islam. Bandung: Mizan.
Dar al-‘ilm. 2011. Atlas Sejarah Islam. Jakarta: Kaysa Media.
Douglas Arthur Howard. The History of Turkey. Greenwood Publishing Group ISBN 978-0-313-30708-9. Retrieved 2 April 2013.
Harun Nasution. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid 1. Jakarta: UI Press.
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, juz. 3, hal. 22-23.
Hendry Frederick Amedroz. 2013. The Eclipse of The Abbasid Caliphate, Forgotten Book.
Ibn Atsir. 1965. Al-Kamil fi Tarikh. Beirut: Dar al-Shadir.
Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nabilah Hasan Muhammad.1993. Tãrikh al-Dawlah al-ábãsiyah. Iskandaria: Dãr al-ma’rifah al-jãmiah.
Philip K. Hitti. 1974. History of the Arabs. London: The Mac Millan Press.


[1] Dar al-‘ilm, Atlas Sejarah Islam, Jakarta: Kaysa Media, 2011, Hlm. 87.

[2] Nabilah Hasan Muhammad, Tãrikh al-Dawlah al-ábãsiyah, Iskandaria: Dãr al-ma’rifah al-jãmiah, 1993, Hlm: 2.
[3] Al-Saffah adalah gelar yang diberikannya sendiri kepada dirinya ketika ia berpidato di Kufah. Gelar ini dimaksudkannya untuk memadamkan pemberontakan kaum reaksioner dan sisa-sisa Bani Umaiyah yang masih tertinggal, demi mempertahankan dan memperkuat kedudukannya. (Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam, juz. 3, hal. 22-23). Al-Saffah juga berarti dermawan karena ia memberikan hadiah kepada penduduk Kufah yang memba’iatnya. Lihat Ibn Atsir, Al-Kamil fi Tarikh, (Beirut: Dar al-Shadir, 1965), hal. 413.
[4] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam,
[5] Kerajaan Turki Usmani muncul setelah kehancuran kerajaan Mamalik di Mesir. Menurut sejarahwan dan beberapa penulis kerajaan Turki Usmani lahir pada tahun 1290 M dan berakhir 1923 M, lihat Athur Goldscmidt, A Concise History of the Midle Sast, Edisi ke-4, (USA: Westview Press, 1991), h. 124.
[6] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), Jilid I, h. 82-83.
[7] Douglas Arthur Howard. The History of Turkey. Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-313-30708-9. Retrieved 2 April 2013.
[8] Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: The Mac Millan Press, 1974), h. 710.
[9] C.E. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam,(Bandung: Mizan, 1980), h. 163.
[10] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 2.
[11] Harun Nasution, op.cit., h. 84.
[12] Muhammad Iqbal, op.cit, Hlm. 98


No comments:

Post a Comment