BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebelum Daulah Abbasiyah lahir telah ada terlebih dahulu Daulah Umayyah yang diprakarsai oleh Muawwiyah.
Pada masa Umayyah pemerintahan yang demokratis berubah menjadi monarchiheridetis
(kerajaan turun menurun). Ketika dinasti Umayyah melemah, kaum muslimin
sibuk mencari figur-figur pemimpin yang mampu mengembalikan kaum muslimin ke
jalan yang benar dan menciptakan keadilan diantara mereka.
Mereka berpendapat bahwa figur yang
mampu berbuat demikian harus dari Bani Hasyim. Ditulis dan dikirimlah
surat tersebut ke Abu Hasyim Abdullah bin Abu Thalib, salah seorang ulama
terpercaya. Tidak lama kemudian kabar (surat) itu sampailah kepada Khilafah
Bani Umayyah, Suliaman bin Abdul Malik, sehingga Abu Hasyim merasa terancam
nyawanya. Dia lalu melarikan diri ke Hamimah, yang masuk ke wilayah Damaskus,
disitulah sang paman, Ali As-sajjad bin Abdullah bin Abbas tinggal. Ketika akan
meninggal, Abu Hasyim menyerahkan surat-surat yang diterimanya kepada Muhammad
bin Abdullah bin Abbas dan berkata “Dirikanlah dinasti baru dan pewarisnya
adalah anak-cucumu”.[1]
Maka Muhammad bin Abdullah bin Abbas melaksanakan wasiat itu. Ia
mengumpulkan orang-orang kepercayaannya untuk menyerukan kelemahan-kelemahan
Dinasti Umayyah.
Daulah Abbasiyah dimulai pada tahun 120-350
H atau 737-961 M. Pemimpin pertama zaman Abbasiyah adalah Abu Abbas Abdullah
bin Abdul Muthalib. Beliau merupakan kakak dari ayahanda Nabi Muhammad SAW yang
terkenal dengan gelar Abu Abbas As-Saffah. Kerajaan Turki Usmani muncul di saat
Islam berada dalam era kemunduran pertama. Melihat uraian diatas, maka kami
tertarik untuk menulis makalah yang membahas tentang persoalan-persoalan diatas
dengan judul: ”Ketatanegaraan pada masa Abbasiyah dan Turki Utsmani”.
I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami buat dalam
makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimanakah ketatanegaraan pada masa
Abbasiyah?
1.2.2 Bagaimanakah ketatanegaraan pada masa Turki
Utsmani?
1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini
ditulis dengan tujuan :
1.3.1
Untuk
mendeskripsikan ketatanegaraan pada masa Abbasiyah.
1.3.2
Untuk
mendeskripsikan ketatanegaraan pada masa Turku Utsmani.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ketatanegaraan pada Masa Bani Abbas
Masa emas Dinasti Abbasiyah
berlangsung hingga pertengahan pemerintahan Al-Ma’mun pada awal abad ketiga
hijrah. Setelah itu Dinasti Abbasiyah melemah. Kemunculan banyak negeri
diberbagai wilayah, seperti Turki, Mongolia, Persia, dan India menjadi tanda mulai
pudarnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah ini. Pada tahun 656 H/ 1258 M, ibukota
Dinasti Abbasiyah berhasil dikuasai Bangsa Mongolia. Hal ini sekaligus menjadi
akhir dari kekuasaan yang gemilang itu.
Perlu dicatat, Dinasti Abbasiyah
menyumbang peran penting dalam soal alih bahasa atau terjemahan. Penerjemahan
karya-karya penting sebenarnya sudah dimulai sejak pertengahan Dinasti Umayyah.
Ketika kekuasaan beralih ke Dinasti Abbasiyah, kegiatan penerjemahan semakin
marak. Al-Manshur termasuk khalifah Abbasiyah yang ikut andil dalam
membangkitkan pemikiran. Dia mendatangkan berbagai muslim cendikia pada beragam
disiplin ilmu ke Baghdad. Disamping itu, dia juga mengirimkan utusannya untuk
mencari buku-buku ilmiah dari negeri Romawi untuk diterjemahkan kedalam bahasa
arab. Khalifah pengganti Al-Makmun, Harun Ar-Rasyid, tidak mau ketinggalan. Dia
mendirikan perpustakaan dan mengatur gerakan alih bahasa ke dalam bahasa arab.
Pada masa Al-Makmun, gerakan pemikiran mencapai pusat keemasan. Bahkan, Baghdad
pernah dijuluki sebagai menara ilmu dan pengetahuan dalam abad pertengahan.
دالت الدولة
الأموية, التي حكمت الدولة العربية الاسلامية من الحاضرة دمشق, وقامت علي انقاضها دولة جديدة تنتهي الي بيت الرسول صلى الله عليه وسلم وهي الدولة العباسية.
Setelah berhasil
menggulingkan Marwan II, khalifah terakhir Bani Umaiyah pada tahun 750 M. abu
al-Abbas al-Saffah[3]
memproklamirkan berdirinya kerajaan Bani Abbas. Meskipun Al-Saffah merupakan
pendiri dinasti ini, orang yang berjasa mengembangkannya adalah Abu Ja’far
al-Manshur (754-775 M).
Kebijakan
terpenting yang dilakukan al-Manshur adalah memindahkan ibu kota kerajaan ke
Bagdad pada tahun 762 M. Pada mulanya, pusat pemerintahan Abbasiyah adalah di
Kufah. Namur kota ini kurang aman, karena Kufah
merupakan basispendukung Syi’ah yang Sangay pro-Ali. Oleh karena itu, al-Saffah
memindahkannya ke Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun di sini juga belum aman dari oposisi dari
Syi’ah, karena dekat dengan Kufah. Akhirnya pada masa al-Manshur, ibu kota
dipindahkan.
§ Struktur Pemerintah Abbasiyah[4]
Pada masa
al-Saffah daerah kekuasaan Bani Abbas dibagi menjadi dua belas provinsi. Pemerintah
daerah (amir) dibagi menjadi tiga keamiran, yaitu imarah istikfa’,
imarah istila’ dan imarah
khashshah. Masing-masing imarah mempunyai tugas dan wewenang yang jelas.
Imarah istikfa’ bertugas antara lain mengatur dan menggaji tentara,
memungut pajak, menjadi imam dan menegakkan pelaksanakan hukum. Imarah
istila’ bertugas dalam bidang politik, yaitu semacam kepala kepolisian
daerah bertugas dalam bidang politik, yaitu semacam kepala kepolisian daerah
(polda). Mereka bertanggung jawabatas keamanan dan ketertiban daerah. Sedangkan
imarah khashshah bertugas menangani masalah ketentaraan.
Seperti
halnya Bani Umaiyah, kekuasaan yudikatif al-sulthah al-qadha’iyah dibagi
kepada bidang hisbah, al-qadha’ dan al-mazhalim. Tugas dan
kewenangan mereka juga tidak berbeda dengan masa yang sebelumnya. Namun selain
tiga bidang tersebut, Bani Abbas juga membentuk lembaga peradilan militer (Qadhi
al-‘Askar atau Qadhi al-Jund). Khalifah sendiri juga menyediakan
waktu-waktu tertentu yang khusus.
Sistem
pemerintahan pada masa Dinasti Abbasiyah mengacu pada
empat aspek, diantaranya yakni :
1.
Khilafah : berfungsi menyatukan
kekuasaan agama dan politik. Perhatian mereka terhadap agama tentu tidak
terlepas dari pertimbangan politis, yaitu untuk memperkuat posisi dan
melegitimasi kekuasaan mereka terhadap rakyat.
2.
Wizarah (kementrian) : salah
satu aspek dalam kenegaraan yang membantu tugas-tugas kepala negara. Sedangkan
wazir adalah orang yang membantu dalam pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan.
3.
Kitabah : salah satu aspek
dalam kenegaraan yang membantu tugas-tugas wazir dalam mengkoordinir
masing-masing departemen. Diantara jabatan katib ini adalah katib al-rasail,
katib al-kharaj, katib al-jund, katib al-syurtha dan katib al-qadhi.
4.
Hijabah : berarti pembatas atau
penghalang. Dalam sistem politik Bani Abbas, hajib (petugas hijab)
berarti pengawal khalifah. Mereka bertugas menjaga keselamatan dan keamanan
khalifah.
2.2 Ketatanegaraan
pada Masa Turki Usmani
Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam
berada dalam era kemunduran pertama. Berawal dari kerajaan kecil,[5] lalu
mengalami perkembangan pesat, dan akhirnya sempat diakui sebagai negara
adikuasa pada masanya dengan wilayah kekuasaan yang meliputi bagian utara
Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian Timur.[6]
The history of Turkey encompasses the
history of Republic of Turkey and the history of the region
now known as Turkey (derived from the Medieval Latin Turchia; i.e., "Land of the
Turks"), including the areas known as Anatolia and Eastern Thrace.
Anatolia (Turkish: Anadolu) comprises
most of modern Turkey and is known by the Latin name of Asia Minor.[7]
Artinya: Sejarah Turki meliputi
sejarah Republik Turki dan sejarah wilayah yang sekarang dikenal sebagai Turki
( berasal dari Abad Pertengahan Turchia Latin yaitu, "Tanah Turki").
Termasuk daerah yang dikenal sebagai Anatolia dan Thrace Timur. Anatolia (
Turki : Anadolu ) sebagian besar terdiri dari Turki modern dan dikenal dengan
nama Latin Asia Kecil.
Masa
pemerintahannya berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak tahun
1299 M-1924 M. Kurang lebih enam abad (600 tahun). [8] Dalam
rentang waktu yang demikian panjang kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika
yang selalu menghadirkan format dan ciri khas yang baru dalam pemerintahan,
bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang
berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena sebagaimana diketahui, bahwa
kekuasaan Turki Utsmani tidak hanya terbatas kekuasaan wilayah melainkan agama.
Pendiri
kerajaan ini adalah bangsa Turki dari kabilah Oghuz[9] yang
mendiami daerah Mongol dan daerah utara negeri Cina. Dalam jangka waktu lebih
kurang tiga abad, mereka pindah ke Turkistan kemudian Persia dan Irak. Mereka
masuk Islam sekitar abad ke sembilan atau ke sepuluh ketika menetap di Asia
Tengah. Di bawah tekanan serangan-serangan Mongol pada abad ke-13 M bangsa
Turki dengan dipimpin Artogol melarikan diri menuju dinasti Saljuk untuk
mengabdi pada penguasa yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Alauddin II.
Artogol dan
pasukannya bersekutu dengan pasukan Saljuk membantu Sultan Alauddin II
berperang menyerang Bizantium, dan usaha ini berhasil, artinya pasukan Saljuk
mendapat kemenangan. Atas jasa baiknya itu Sultan Alauddin II menghadiahkan
sebidang tanah di Asia Kecil yang berbatasan dengan Bizantium. Sejak itu bangsa
Turki terus membina wilayah barunya dan memilih Kota Syukud sebagai ibu kota.[10]
Pada tahun 1289 M Artogol meninggal dunia.
Kepemimpinan- nya dilanjutkan oleh putranya, Usman. Putra Artogol inilah yang
dianggap sebagai pendiri kerajaan Usmani, beliau memerintah tahun 1290 M – 1326
M. Sebagaimana ayahnya, Usman banyak berjasa pada Sultan Alauddin II, dengan
keberhasilannya menduduki benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300 M, Bangsa
Mongol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kerajaan
Saljuk kemudian terpecah-pecah dalam beberapa kerajaan kecil. Usman pun
menyatakan kemerdekaan dan berkuasa penuh atas daerah yang didudukinya. Sejak
itulah kerajaan Turki Usmani dinyatakan berdiri. Penguasa pertamanya adalah
Usman yang sering disebut Usman I. Dalam perkembangannya, Turki Usmani melewati
beberapa periode kepemimpinan. Sejak berdiri tahun 1299 M yang dipimpin oleh
Usman I Ibn Artogol (1299-1326 M) berakhir dengan Mahmud II Ibn Majib
(1918-1922 M). Dan dalam perjalanan sejarah selanjutnya Turki Usmani merupakan
salah satu dari tiga kerajaan besar yang membawa kemajuan dalam Islam.[11]
Sebagaimana diketahui Kerajaan Turki Usmani
dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia, dan
kekuasaan spiritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai title
Sultan, dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah.[12]
Dari pemerintahan turki yang paling menonjol
adalah:
لقد قامت الصّوفيّة
في المجتمع العثمانّي على قاعدة متينة متجذرة من الممارسات الاجتماعيّة والدّينيّة
امتدّت لعدّة قرون, ومن هُنا لابدّلنا أنْ نقدّم لمحةً بسيطة عن أصول الصّوفيّة
ووجوهها الاجتماعيّة والثقافيّة المختلفة, وكيفيّة تغلغلها في الثقافة الدّينيّة
والمجتمع.
Artinya: masyarakat turki utsmani pada dasar yang kokoh berakar praktek-praktek sosial dan keagamaan
berlangsung selama beberapa abad, dan disiana menawarkan gambaran
sederhana dari aset tasawuf dan wujud sosial,
budaya yang berbeda, dan bagaimana infiltrasi budaya agama dan
masyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
uraian-uraian pada bab-bab terdahulu serta pembahasan tentang ketatanegaraan
pada masa abbasiyah da Turki utsmani, dapat disimpulkan sebagai berikut :
·
Sistem pemerintahan yang
dikembangkan oleh Bani Abbas merupakan pengembangan dari bentuk yang sudah
dilaksanakan sebelumnya. Ada beberapa hal penting yang dilakukan oleh
khalifah-khalifah Bani Abbas dalam menjalankan pemerintahan. Bani Abbas
mengembangkan system pemerintahan dengan mengacu pada empat aspek, yaitu aspek khilafah,
wizarah, hijabah, dan kitabah.
·
Dalam pelaksanaan pemerintahan, kerajaan
Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal
atau dunia, dan kekuasaan spiritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia
memakai title Sultan, dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar
Khalifah. Sistem pemerintahan Utsmani banyak mengadopsi praktek kenegaraan yang
berlaku di Bizantium dan Persia. Untuk menjalankan kedua fungsi ini, penguasa
Utsmani dibantu oleh tiga kekuasaan, yaitu administrasi birokrasi, militer dan
kekuasaan agama.
3.2 Saran
Dari uraian-uraian diatas kami bisa
memberi saran, ingatlah kata-kata Ir. Soekarno “JASMERAH” (Jangan Sekali-kali
Meninggalkan Sejarah). Karena degan mempelajari sejarah kita bisa belajar
banyak hal, dari social, budaza, aqidah dan terutama pada matakuliah kita ini
tentang ketatanegaraan, dimana kita bisa mengadopsi sistem mereka dan
memperbaharui sesuai dengan masa kita saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syalabi. 1988. Sejarah dan
Kebudayaan Islam Imperium Turki Usmani. Jakarta: Kalam Mulia.
Athur Goldscmidt. 1991. A Concise History
of the Midle Sast. Edisi ke-4. USA: Westview Press.
C.E. Bosworth. 1980. Dinasti-dinasti Islam. Bandung:
Mizan.
Dar al-‘ilm. 2011. Atlas Sejarah Islam.
Jakarta: Kaysa Media.
Douglas Arthur Howard. The
History of Turkey. Greenwood Publishing Group ISBN 978-0-313-30708-9. Retrieved 2 April 2013.
Harun Nasution. 1985. Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya. Jilid 1. Jakarta: UI Press.
Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh
al-Islam, juz. 3, hal. 22-23.
Hendry Frederick Amedroz. 2013. The Eclipse of The Abbasid
Caliphate, Forgotten Book.
Ibn Atsir. 1965. Al-Kamil
fi Tarikh. Beirut: Dar al-Shadir.
Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah
Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nabilah Hasan
Muhammad.1993. Tãrikh al-Dawlah al-ábãsiyah. Iskandaria: Dãr al-ma’rifah
al-jãmiah.
Philip K. Hitti. 1974. History of the
Arabs. London: The Mac Millan Press.
[2] Nabilah Hasan Muhammad, Tãrikh al-Dawlah al-ábãsiyah,
Iskandaria: Dãr al-ma’rifah al-jãmiah, 1993, Hlm: 2.
[3] Al-Saffah adalah gelar yang diberikannya sendiri kepada dirinya ketika ia berpidato
di Kufah. Gelar ini dimaksudkannya untuk memadamkan pemberontakan kaum
reaksioner dan sisa-sisa Bani Umaiyah yang masih tertinggal, demi
mempertahankan dan memperkuat kedudukannya. (Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh
al-Islam, juz. 3, hal. 22-23). Al-Saffah juga berarti dermawan karena ia
memberikan hadiah kepada penduduk Kufah yang memba’iatnya. Lihat Ibn Atsir, Al-Kamil
fi Tarikh, (Beirut: Dar al-Shadir, 1965), hal. 413.
[4] Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik
Islam,
[5] Kerajaan Turki Usmani muncul setelah kehancuran kerajaan Mamalik di
Mesir. Menurut sejarahwan dan beberapa penulis kerajaan Turki Usmani lahir pada
tahun 1290 M dan berakhir 1923 M, lihat Athur Goldscmidt, A Concise History
of the Midle Sast, Edisi ke-4, (USA: Westview Press, 1991), h. 124.
[6] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta:
UI Press, 1985), Jilid I, h. 82-83.
[7] Douglas Arthur Howard. The History of Turkey.
Greenwood Publishing Group. ISBN 978-0-313-30708-9. Retrieved 2 April 2013.
[8] Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: The Mac
Millan Press, 1974), h. 710.
[9] C.E. Bosworth, Dinasti-dinasti Islam,(Bandung: Mizan, 1980),
h. 163.
[10] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki
Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 2.
[11] Harun Nasution, op.cit., h. 84.
[12] Muhammad Iqbal, op.cit, Hlm. 98
No comments:
Post a Comment