BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di
era modern yang semakin canggih dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
telah mampu membantu mahusia dalam berbagai hal. Pada dasarnya kemajuan
teknologi dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia bukan untuk kehancuran manusia itu sendiri.
Setiap kemajuan pasti memelki nilai plus dan minus masing-masing. Begitu pula
kemajuan teknologi di satu sisi memberikan manfaat dan di sisi lai memberikan
kemudharatan.
Teknologi
yang semakin berkembang telah mampu mengatasi berbagai hal. Seiring dengan itu
jumlah penduduk pun juga semakin bertambah karena pengaruh dari teknologi itu
sendiri. Misalnya, dulu orang ketika melahirkan harus menunggu sampai sembilan
bulan atau lebih tetapi sekarang bayi bisa dilahirkan dengan jangka waktu
kurang dari sembilan bulan melalui operasi sesar yang lebih canggih. Ditambah
lagi dengan karakteristik anak muda sekarang yang lebih suka menikah di usia
muda menjadikan problematika jumlah populasi yang semakin pesat menyebabkan
tnah untuk tempat tinggal populasi manusia menjadi semakin berkurang, hingga
pada saatnya bahkan akan habis.
Akibat
yang signifikan dari membeludaknya populasi. Maka pemerintah melalui Badan
Pertanahan Nasional yang memiliki fungsi untuk mengatur urusan pertanahan di
Indonesia menerbitkan UU No. 5 tahun 1960 tentang petaturan dasar pokok-pokok
agraria yang mengatur tentang agraria dan yang berkaitan dengan hal tersebut.
Agar tercipta sebuah kondisi yang aman, tentram, damn damai.
Problematika
pertanahan sering memicu sebuah konflik baik internal maupun eksternal.
Problematika tanah terjadi bukan hanya sekali atau dua kali, hampir setiap saat
sering dijumpai. Ini bukan hanya terjadi orang-perseorangan bahkan
kelompok-kelompok. Sehingga aparat yang berwajib kadang-kadang merasa kewalahan
menghadapi kasus tentang tanah ini.
Kasus hak milik tanah rentan sekali dengan
penyalahgunaan oleh lembaga atau oknum tertentu. Sehingga ibarat sebuah pepatah
hukum itu bagaikan mata pisau tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Maksudnya hukum
itu tegas dan bijak bagi orang kecil. Dan hukum itu lemah bagi orang yang
besar. Mengapa demikian? Perlu kita ketahui bahwa segala sesuatu dapat sirna
jika berhadapan dengan uang. Semua akan tunduk dan patuh pada uang. Sehingga
dengan mudah orang yang memilik banyak uang akan memainkan peran aparat untuk
meewujudkan tujuan yang ingin dicapai. Jika hal ini dibiarkan kualitas
supremasi hukum di negeri ini akan semakin menurun dan bahkan suatu saat hukum
akan mati (law death).
Peran dari seorang lembaga penegak hukum memang
penting. Untuk iru diperlukan loyalitas bagi para praktisi hukum untuk
mengemban amanat mulia yang dibebankan oleh negara untuk menegakkan hukumdi
tanah air khusunya hukum tentang agrarian. Dimana hukum agraria ini merupakan
penentu sekaligus pengatur maslah tanah yang ada di negeri ini.
Selain itu juga, generasi muda sebagai penerus tongkat
estafet bangsa harus mampu menjadi agent of change and agent of social control
(agen perubahan dan agen kontrol sosial). Ketika ada sebuah permasalahan yang
menyimpang dari aturan pertanahan yang ada di Indonesia. Seorang generasi muda
haruslah cepat dan tanggap dalam meneliti sekaligus mencarikan solusi yang
tepat demi kelancaran dan kebaikan semua pihak yang sedang bersengketa tentang
tanah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik
beberapa permasalahn yang muncul, dianataranya:
1.
Hak
Guna Usaha dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
2.
Solusi
kasus sengketa lahan yang tengah terjadi di daerah Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa
Timur
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan
sebelumnya. Maka akan muncul bebrapa tujuan yang ingin dicapai dalam makalah
ini, diantaranya:
1.
Mengetahui
Hak Guna Usaha dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2.
Memahami
solusi kasus sengketa lahan yang ada di daerah Wongsorejo, Banyuwangi.
BAB I
URAIAN KASUS
Berita Sengketa Lahan.
Komnas HAM Selidiki Sengketa Lahan
Wongsorejo
Tempo.co.id senin 1 juli 2013 14.45 WIB
TEMPO.CO,
Banyuwangi - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia turun tangan
menyelidiki sengketa lahan antara petani kampung Bongkoran dengan perusahaan
perkebunan randu, PT Wongsorejo, di Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur. Komisioner
Komnas HAM Otto Nur Abdullah mengatakan, sejak Sabtu 29 Juni 2013 lalu pihaknya
telah mengumpulkan keterangan dari petani, pemerintah daerah, kepolisian dan PT
Wongsorejo. "Sebelumnya, kami menerima laporan petani atas sengketa lahan
tersebut," kata dia Senin 1 Juli 2013.
Otto menjelaskan, dari keterangan yang dikumpulkan, sengketa lahan sejak 1999 itu mengakibatkan seorang petani tertembak polisi. Hingga saat ini pun nasib ratusan petani di Bongkoran belum jelas karena tuntutannya tidak dikabulkan oleh PT Wongsorejo dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. PT Wongsorejo mengantongi hak guna usaha kebun randu seluas 603 hektare sejak 1980. HGU tersebut habis akhir 2012 lalu kemudian akan diperpanjang. Rencananya, Pemerintah Banyuwangi akan membangun kawasan industri terpadu di lahan tersebut.
Namun di kawasan kebun randu itu ada sekitar 287 kepala keluarga yang menetap sejak 1950-an. Mereka meminta 220 hektare lahan sebagai pemukiman dan pertanian. Permintaan petani ditolak. Pemerintah Banyuwangi dan PT Wongsorejo hanya bersedia memberikan lahan seluas 60 hektare.
Menurut Otto, jatah 60 hektare tidak memiliki alasan mendasar. Pemerintah Banyuwangi, kata dia, harus memberikan lahan yang bisa memberikan kenyamanan bagi petani."Pemerintah harus membuka dialog lagi dengan petani," kata dia. Keterangan yang dikumpulkan Komnas HAM, kata otto, akan dipelajari lagi sebagai bahan menerbitkan rekomendasi. Sekretaris Kabupaten Banyuwangi, Slamet Kariyono, mengatakan, 60 hektare tersebut berdasarkan pengukuran ulang terhadap area pemukiman dan pertanian kampung Bongkoran oleh Badan Pertanahan Nasional. Selain itu, jumlah penduduk setempat telah berkurang hingga tersisa 95 KK. "Ini hasil verifikasi terbaru," kata dia.Menurut Slamet, selain mendapat jatah lahan, petani akan dipekerjakan di industri yang akan berdiri di wilayah itu.
Otto menjelaskan, dari keterangan yang dikumpulkan, sengketa lahan sejak 1999 itu mengakibatkan seorang petani tertembak polisi. Hingga saat ini pun nasib ratusan petani di Bongkoran belum jelas karena tuntutannya tidak dikabulkan oleh PT Wongsorejo dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. PT Wongsorejo mengantongi hak guna usaha kebun randu seluas 603 hektare sejak 1980. HGU tersebut habis akhir 2012 lalu kemudian akan diperpanjang. Rencananya, Pemerintah Banyuwangi akan membangun kawasan industri terpadu di lahan tersebut.
Namun di kawasan kebun randu itu ada sekitar 287 kepala keluarga yang menetap sejak 1950-an. Mereka meminta 220 hektare lahan sebagai pemukiman dan pertanian. Permintaan petani ditolak. Pemerintah Banyuwangi dan PT Wongsorejo hanya bersedia memberikan lahan seluas 60 hektare.
Menurut Otto, jatah 60 hektare tidak memiliki alasan mendasar. Pemerintah Banyuwangi, kata dia, harus memberikan lahan yang bisa memberikan kenyamanan bagi petani."Pemerintah harus membuka dialog lagi dengan petani," kata dia. Keterangan yang dikumpulkan Komnas HAM, kata otto, akan dipelajari lagi sebagai bahan menerbitkan rekomendasi. Sekretaris Kabupaten Banyuwangi, Slamet Kariyono, mengatakan, 60 hektare tersebut berdasarkan pengukuran ulang terhadap area pemukiman dan pertanian kampung Bongkoran oleh Badan Pertanahan Nasional. Selain itu, jumlah penduduk setempat telah berkurang hingga tersisa 95 KK. "Ini hasil verifikasi terbaru," kata dia.Menurut Slamet, selain mendapat jatah lahan, petani akan dipekerjakan di industri yang akan berdiri di wilayah itu.
Solusi tersebut, dia klaim dapat mengentaskan
kemiskinan warga setempat. "Kita memakai pendekatan kesejahteraan,"
kata dia.Ketua Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi Yateno menolak
dipekerjakan di industri karena tidak sesuai dengan kultur warga sebagai
petani. Apalagi kesejahteraan menjadi buruh industri, jauh dibawah petani.
"Yang diminta petani itu kecil. Pemerintah masih bisa membangun kawasan
industri dengan lahan 400-an hektare," katanya.
Uraian
Kasus secara spesifik:
Sengketa lahan Wongsorejo,
Banyuwangi, memang telah terjadi sejak tahun 1999, yang menyebabkan satu petani
tertembak polisi akibat kekerasan yang telah berlangsung puluhan tahun antara
petani desa Bongkoran dengan Perusahaan perkebunan PT. Wongsorejo. Hal Ini
menyebabkan Komnas HAM turut serta untuk menyelidiki sekaligus mencarikan
solusi antara kedua belah pihak yang berseteru.
Berdasarkan informasi yang didapat dari polisi,
pemerintah daerah petani, dan PT Wongsorejo didapatkan sebuah informasi seperti
berikut ini PT Wongsorejo mengantongi hak guna usaha kebun randu seluas
603 hektare sejak 1980. HGU tersebut habis akhir 2012 lalu kemudian akan
diperpanjang. Rencananya, Pemerintah Banyuwangi akan membangun kawasan industri
terpadu di lahan tersebut. Namun
di kawasan kebun randu itu ada sekitar 287 kepala keluarga yang menetap sejak
1950-an. Mereka meminta 220 hektare lahan sebagai pemukiman dan pertanian.
Permintaan petani ditolak. Pemerintah Banyuwangi dan PT Wongsorejo hanya
bersedia memberikan lahan seluas 60 hektare.
Menurut Komnas HAM, jatah 60 hektare tidak
memiliki alasan mendasar. Pemerintah Banyuwangi, harus memberikan lahan yang
bisa memberikan kenyamanan bagi petani."Pemerintah harus membuka dialog
lagi dengan petani.Menurut pemerintah Daerah Banyuwangi para petani di daerah
ini akan dipekerjakan sebagai buruh industri di industri terpadu ini. Tetapi petani menolak dengan alasan
karena kultur petani itu lebih baik daripada menjadi buruh industry.
BAB III
ANALISIS KASUS
A. Hak Guna Usaha dalam Perundang-undangan yang berlaku
di Indonesia
Menurut pasal 28 ayat (1) UUPA yang dimaksud dengan
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebur dalam pasal 29, guna perusahaan
pertanian, perikanan, peternakan[1].
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 menambahkan guna usaha perkebunan.
Luas tanah Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan
luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya 25 hektar. Adapun untuk badan
hukum luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh Kepala BPN
(Pasal ayat 28 (2) UUPA. Jo Pasal 5 PP No. 40 Tauhun 1996)
Berikut diantara yang dapat mempunyai (subjek hukum)
Hak Guna Usaha menurut pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 40
Tahun 1996 adalah:
1.
Warga
Negara Indonesia
2.
Badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia [2]
Asal tanah Hak Guna Usaha adalah tanah negara, kalau
asal tanah Hak Guna Usaha berupa tanah hak, maka tanah hak tersebut harus
dilakukan pelepasan atau penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian
ganti kerugian oleh calon pemegang Hak Guna Usaha selanjutnya mengajukan permohonan
pemberian Hak Guna Usaha kepada Badan Pertanahan Nasional. Kalau tanahnya
berasal dari kawasan hutan, maka tanah tersebut harus dikeluarkan statusnya
sebagai kawasan hutan [3]
Hak Guna Usaha terjadi dengan penetapan pemerintah. Hak
Guna Usaha ini terjadi melalui permohonan pemberian Hak Guna Usaha oleh pemohon
kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional RI. Apabila semua persyaratan yang
ditentukan dalam permohonan tersebut dipenuhi maka kepala BPN atau pejabat
BPNyang diberikan pelimpahan kewenangan menerbitkan surat keputusan pemberian
hak (SKPH)SKPH ini wajib didaftarakan ke kantor pertanahan kab/kotauntuk
dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.
Pendaftaran SKPH itu menandai lahirnya HGU (pasal 31 UUPA jo,pasal 6 dan pasal
7 PP No. 40 Tahun 1996)
Prosedur terjadinya HGU diatur dalam pasal 17 sampai
dengan 31 Permen Agraria/ Kepala BPN No9 Tahun 1999.
Hak Guna Usaha memiliki jangka waktu untuk pertama
kalinya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu palin
lama 25 tahun (pasal 29 UUPA). Pasal 8 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur jangka
waktu Hak guna Usaha adalah untuk pertama kalinya palin lama 35 tahun, dapat
diperpanjang untuk jangka waktu palin lama 25 tahun, dapat diperbaharui paling
lama 35 tahun. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna
Usaha diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha
tersebut. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha dicata dalam buku tanah
pada kantor pertanahan kabupaten/kota. Setempat. Persyaratan yang harus
dipenuhi oleh pemegang hak untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak
Guna Usaha adalah:
1.
Tanahnya
masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian
hak tersebut
2.
Syarat-syarat
pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
3.
Pemegang
hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Berdasarkan pasal 12 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996,
pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untu:
1.
Membayar
uang pemasukkan kepada negara.
2.
Melaksanakan
usaha pertania, perkebunan, perikanan, dan/atau peternakan sesuai peruntukan
dan persyaratan sebagaiaman ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya.
3.
Mengusahakan
sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha
berdasarkan criteria ynag ditetapkan oleh instansi teknis.
4.
Membangun
dan memelihara parasarana lingkunag dan fasilitas tanah yang ada dalam
lingkungan areal Hak Guna Usaha.
5.
Memelihara
kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam. Dan menjaga kelestarian
kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undanaga yang
brlaku.
6.
Menyampaikan
laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha.
7.
Menyerahkan
kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada negara sesudah Hak
Guna Usaha tersebut hapus
8.
Menyerahkan
sertifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada kantor pertanahan.
Berdasarkan Pasal 14 PP No. 40 Tahun 1996 pemegang Hak
Guna Usaha berhak menguasai dan menggunakan tanah yang diberikan dengan Hak
Guna Usaha untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan/atau
peternakan.Pengauasaa dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di
atas tanah Hak Guna Usaha oleh pemegang Hak Guna Usaha hanya dapat dilakukan
untuk mendukung usaha Hak GUna Usaha dengan mengingat ketentuan peraturan
perundanga-undangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitarnya.
Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepda pihak
lain (Pasal 28 ayat (3) UUPA jo pasal 16 PP No. 40 Tahun 1996). Hak Guna usaha
dapat beralih karena pewarisan, yang harus dibuktikan dengan adanya surat
wasiat atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang
berwenang, surat keternagan kematian pemegang Hak Guna Usaha yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli waris, dan ertifiat Hak Guna
Usaha yang bersangkutan.Hak Guna Usaha juga dapat dialihkan kepada pihaka lain
yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak GUna Usaha. Bentuk dialihkan tersebut
dapat berbentuk jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal
perusahaan yang harus dibuktikan dengan akta PPATkhususyang ditunjuk oleh
Kepala BPN, sedangkan lelang harus dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang
dibuat oleh pejabat dari kantor lelang, PPAT khusus menurut pasal 1 angka 3 PP
No. 36 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalh Pejabat
Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan
tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanakan
program atau tugas pemerintah tertentu. A.P. Parlindungan menyatakan PPAT
khusus yaitu pejabat di lingkungan BPN terutama untuk pembuatan akta peralihan
hak-hak atas tanah yang berstatus Hak guna Usaha.[4]
Peralihan Hak Guna Usaha wajib didaftarkan kepada
kantor Pertanahankab/kota untuk dicata dalam buku tanah dan dilakukan perubahan
nama dalam sertifikat dari pemegang ahk Guna Usaha lam kepada pemegang Hak Guna
Usaha baru.
Berdasarkan pasal 34 UUPA Hak Guna Usaha hapus,
karena:
1.
Jangka
waktuya berakhir
2.
Diberhentikan
sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.
3.
Dilepaskan
oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
4.
Dicabut
untuk kepentingan umum.
5.
Ditelantarkan.
6.
Tanahnya
musnah
7.
Ketentuan
dalam pasal 30 ayat (2)[5]
Pasal 18 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur konsekuensi
hapusnya Hak Guna Usaha bagi bekas pemegang Hak Guna Usaha, yaitu:
1.
Apabila
Hak Guna Usaha hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharuai, bekas pemegang
hakwajib membongkar banguna-banguan dan benda-benda yang ada di atasnya dan
menyerahkan tanah dan tanaman tyang ada diatas tanah bekas Hak Guna Usaha
tersebut kepada negara dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri Negara
Agraria/ Kepala BPN.
2.
Apabila
banguna, tanaman, dan beenda-benda tersebut diatas diperlukan untuk
melangsungkan atau memulihkan pengusahaan tanahnya, maka kepada bekas pemegang
hak diberikan ganti rugi yang bentuk da jumlahnya diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Presiden.
3.
Pembongkaran
banguna dan benda-bendadiatas tanah Hak Guna Usaha dilaksanakan atas biaya
bekas pemegang Hak Guna Usaha.
4.
Jika
bekas pemegang Hak Guna Usaha lalai dalam memenuhi kewajiban tersebut, maka
bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas Hak Guna Usaha itu
dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Guna Usaha.
Asas-asas dalam Undang-Undang pokok agraria, salah
satunya Adalah asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.[6]
semua hak atas tanah berfugsi soaial ditemukan dalam pasal 6 UUPA, yaitu: “Semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial:”Hak atas tanah apapun yang ada pada
sesorang tidak dibenarkan bahwa tanahnya itu digunakan atau tidak digunakan
semata-mata untuk kepentingan pribadinya. Apalagi kalau hal itu merugikan
masyarakat.Penggunaan tanah itu harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat
haknya., hingga bermanfaat baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya
maupun bagi masyarakat dan negara. Tetapi disini tidak berarti bahwa
kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan
umummasyarakat. UUPA tetap memperhatikan pula kepentingan perseorangan.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi.
Asas fungsi sosial hak atas tnah juga ditemukan dalam
pasal 18 UUPA, yaitu: “Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta ke[pentingan bersama dai rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabu,
dengan member ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
Undang-undang.”. Dalam menggunakan hak atas tanah harus mengedepankan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Apabila kepentingan umum
menghendaki diambilnya hak atas tanah, maka pemegang hak atas tanah harus
melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah dengan pemberian ganti kerugian yang
layak melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah. Pengambilan tanah untuk
kepentingan umum tanpa disertai pemberian ganti kerugian yang layak sama dengan
perampasan hak atas tanah.
B. Solusi Kasus Sengketa Lahan Wongsorejo, Banyuwangi
Berdasarkan informasi yang kami peroleh di daerah
Wongsorejo, Banyuwangi tengah terjadi sengketa lahan antara Petani desa
Bongkoran dengan Perusahaan perkebunan PT. Wongsorejo. Solusi dari problematika
yang terjadi di daerah ini. kita akan mencoba menelaah dari awal,. mulai dari
Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh PT Wongsorejo terlihat tanah 603 hektar sejak
1980 resmi dimiliki haknya yang berakhir tahun 2012. Dilihat dari segi
legalitas hukum memang ini sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Badan
Pertanahan Nasional .Tetapi permasalahan muncul ketika PT. Wongsorejo akan
memperpanjang Hak Guna Usaha. Dimana perpanjangan ini didukung oleh Pemerintah
Daerah Banyuwangi. Karena Pemda berniat membangun industri terpadu di lahan di
daerah Wongsorejo.
. Namun di kawasan kebun
randu itu ada sekitar 287 kepala keluarga yang menetap sejak 1950-an. Mereka
meminta 220 hektare lahan sebagai pemukiman dan pertanian. Permintaan petani
ditolak. Pemerintah Banyuwangi dan PT Wongsorejo hanya bersedia memberikan
lahan seluas 60 hektare.
Menurut Komnas HAM, jatah 60 hektare tidak
memiliki alasan mendasar. Pemerintah Banyuwangi, harus memberikan lahan yang
bisa memberikan kenyamanan bagi petani."Pemerintah harus membuka dialog
lagi dengan petani.Menurut pemerintah Daerah Banyuwangi para petani di daerah
ini akan dipekerjakan sebagai buruh industri di industri terpadu ini. Tetapi petani menolak dengan alasan
karena kultur petani itu lebih baik daripada menjadi buruh industri
Jadi sebenarnya masyarakat petani di Wongsorejo
menolak opsi dari Pemda terkait pemberian lahan seluas 60 hektare saja untuk
pemukiman dan lahan. Mereka menuntut untuk kawasan industri terpadu hanya 400
hektar saja, sedangkan sisanya untuk para petani. Sepintas terlihat memang
lahan untuk kawasan industri terpadu itu 400 hektar cukup.Alasan lainpetani
menolak dipekerjakan menjadi buruh industri karena tingkat kesejahteraan buruh
industri jauh lebih rendah daripada petani. Bertani adalah kultur mereka yang
tengah hidup semenjak ratusan tahun lalu. Sehingga mereka denagn gigih tetap
memegang warisan budaya nenek moyang mereka.
Dalam rangka penyelesaian kasus ini setidaknya
dibutuhkan sebuah dialog antara petani, Pemda, dan PT. Wongsorejo terkait
problematika sengketa lahan. Agar memunculkan sebuah consensus yang akan
menjadi sebuah titik temu. Agar permasalahan ini tidak berlarut-larut. Dalam
audiensi setidaknya harus ada yang mengorbankan kepentingan yang ingin
dicapainya mengingat sesuai dengan asas hukum tanah. Hak atas tanah itu
haruslah mampu berfungsi sosial. Dimana tidak hanya untuk kepentingan perseorangan
saja, tetapi yang lebih utama yaitu kepentingan umum.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi sebenarnya masyarakat petani di Wongsorejo
menolak opsi dari Pemda terkait pemberian lahan seluas 60 hektare saja untuk
pemukiman dan lahan. Mereka menuntut untuk kawasan industri terpadu hanya 400
hektar saja, sedangkan sisanya untuk para petani. Sepintas terlihat memang
lahan untuk kawasan industri terpadu itu 400 hektar cukup.Alasan lain petani
menolak dipekerjakan menjadi buruh industri karena tingkat kesejahteraan buruh
industri jauh lebih rendah daripada petani. Bertani adalah kultur mereka yang
tengah hidup semenjak ratusan tahun lalu. Sehingga mereka denagn gigih tetap
memegang warisan budaya nenek moyang mereka.
Dalam rangka penyelesaian kasus ini setidaknya
dibutuhkan sebuah dialog antara petani, Pemda, dan PT. Wongsorejo terkait
problematika sengketa lahan. Agar memunculkan sebuah consensus yang akan
menjadi sebuah titik temu. Agar permasalahan ini tidak berlarut-larut. Dalam
audiensi setidaknya harus ada yang mengorbankan kepentingan yang ingin
dicapainya mengingat sesuai dengan asas hukum tanah. Hak atas tanah itu
haruslah mampu berfungsi sosial. Dimana tidak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja, tetapi yang lebih utama yaitu kepentingan umum.
B. Saran
Makalah ini pada dasarnya
menjelaskan tentang kasus sengketa lahan beserta solusinya di daerah Wongsorejo, Banyuwangi,
Jawa Timur. Makalah ini sesuai jika dibaca dan dipahami
oleh mahasiswa baik jurusan ilmu hukum maupun ilmu syariah karena
substansi dari makalah ini memang
memiliki standar yang sedemikian. Semoga makalah ini bisa menjadi salah satu
dari sumber ilmu hukum agraria di lingkungan perguruan tinggi.
DAFTAR
PUSTAKA
Santoso, Urip,
SH.MH.2010. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah.Jakarta:Kencana Prenada Media
Group
Muljadi, Kartini dan
Gunawan Widjaja.2007.Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak-Hak Atas Tanah.Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Buku
Undang-Undang Pokok Agraria
Dr. Santoso, Urip,
SH.Mh.2012.Hukum Agraria: Kajian Komprehensif.Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Harsono, Budi. 2008.
Hukum Agraria Indonesia.Jakarta: Djambatan
A.P.
Parlindungan.1989.Hak Pengeloalaan Menurut Sistem UUPA ,Bandung:
Mandar Maju
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996
[1] Pasal 28 ayat 1 UUPA
[2] Pasal 30 UUPA
[3] Pasal 4 PP NO.40 Tahun 1996
[4] A.P. Parlindungan ,Pendaftaran
Tanah di Indonesia,Mandar Maju, Bandung,1999, hal 178
[5] Santoso, Urip SH, MH. Hukum Agraria
dan Hak-Hak Atas Tanah.(Jakarta:Kencana Prenada Media,2010)
[6] Santoso, Urip,SH, MH.HukumAgraria:
Kajian Komprehensif.(Jakarta:Kencana Prenada Media,2012),hlm.58
No comments:
Post a Comment