Tuesday, December 4, 2018

Analisis Kasus Hukum Agraria Sengketa Lahan Wongsorejo Banyuwangi Jawa Timur


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Di era modern yang semakin canggih dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, telah mampu membantu mahusia dalam berbagai hal. Pada dasarnya kemajuan teknologi dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia bukan untuk kehancuran manusia itu sendiri. Setiap kemajuan pasti memelki nilai plus dan minus masing-masing. Begitu pula kemajuan teknologi di satu sisi memberikan manfaat dan di sisi lai memberikan kemudharatan.
Teknologi yang semakin berkembang telah mampu mengatasi berbagai hal. Seiring dengan itu jumlah penduduk pun juga semakin bertambah karena pengaruh dari teknologi itu sendiri. Misalnya, dulu orang ketika melahirkan harus menunggu sampai sembilan bulan atau lebih tetapi sekarang bayi bisa dilahirkan dengan jangka waktu kurang dari sembilan bulan melalui operasi sesar yang lebih canggih. Ditambah lagi dengan karakteristik anak muda sekarang yang lebih suka menikah di usia muda menjadikan problematika jumlah populasi yang semakin pesat menyebabkan tnah untuk tempat tinggal populasi manusia menjadi semakin berkurang, hingga pada saatnya bahkan akan habis.
Akibat yang signifikan dari membeludaknya populasi. Maka pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional yang memiliki fungsi untuk mengatur urusan pertanahan di Indonesia menerbitkan UU No. 5 tahun 1960 tentang petaturan dasar pokok-pokok agraria yang mengatur tentang agraria dan yang berkaitan dengan hal tersebut. Agar tercipta sebuah kondisi yang aman, tentram, damn damai.
Problematika pertanahan sering memicu sebuah konflik baik internal maupun eksternal. Problematika tanah terjadi bukan hanya sekali atau dua kali, hampir setiap saat sering dijumpai. Ini bukan hanya terjadi orang-perseorangan bahkan kelompok-kelompok. Sehingga aparat yang berwajib kadang-kadang merasa kewalahan menghadapi kasus tentang tanah ini.
Kasus hak milik tanah rentan sekali dengan penyalahgunaan oleh lembaga atau oknum tertentu. Sehingga ibarat sebuah pepatah hukum itu bagaikan mata pisau tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Maksudnya hukum itu tegas dan bijak bagi orang kecil. Dan hukum itu lemah bagi orang yang besar. Mengapa demikian? Perlu kita ketahui bahwa segala sesuatu dapat sirna jika berhadapan dengan uang. Semua akan tunduk dan patuh pada uang. Sehingga dengan mudah orang yang memilik banyak uang akan memainkan peran aparat untuk meewujudkan tujuan yang ingin dicapai. Jika hal ini dibiarkan kualitas supremasi hukum di negeri ini akan semakin menurun dan bahkan suatu saat hukum akan mati (law death).
Peran dari seorang lembaga penegak hukum memang penting. Untuk iru diperlukan loyalitas bagi para praktisi hukum untuk mengemban amanat mulia yang dibebankan oleh negara untuk menegakkan hukumdi tanah air khusunya hukum tentang agrarian. Dimana hukum agraria ini merupakan penentu sekaligus pengatur maslah tanah yang ada di negeri ini.
Selain itu juga, generasi muda sebagai penerus tongkat estafet bangsa harus mampu menjadi agent of change and agent of social control (agen perubahan dan agen kontrol sosial). Ketika ada sebuah permasalahan yang menyimpang dari aturan pertanahan yang ada di Indonesia. Seorang generasi muda haruslah cepat dan tanggap dalam meneliti sekaligus mencarikan solusi yang tepat demi kelancaran dan kebaikan semua pihak yang sedang bersengketa tentang tanah.
B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat ditarik beberapa permasalahn yang muncul, dianataranya:
1.      Hak Guna Usaha dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
2.      Solusi kasus sengketa lahan yang tengah terjadi di daerah Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur
C.  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya. Maka akan muncul bebrapa tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini, diantaranya:
1.      Mengetahui Hak Guna Usaha dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
2.      Memahami solusi kasus sengketa lahan yang ada di daerah Wongsorejo, Banyuwangi.





BAB I
URAIAN KASUS

Berita Sengketa Lahan.

Komnas HAM Selidiki Sengketa Lahan Wongsorejo

Tempo.co.id                                                              senin 1 juli 2013 14.45 WIB

TEMPO.CO, Banyuwangi - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia turun tangan menyelidiki sengketa lahan antara petani kampung Bongkoran dengan perusahaan perkebunan randu, PT Wongsorejo, di Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur. Komisioner Komnas HAM Otto Nur Abdullah mengatakan, sejak Sabtu 29 Juni 2013 lalu pihaknya telah mengumpulkan keterangan dari petani, pemerintah daerah, kepolisian dan PT Wongsorejo. "Sebelumnya, kami menerima laporan petani atas sengketa lahan tersebut," kata dia Senin 1 Juli 2013.

Otto menjelaskan, dari keterangan yang dikumpulkan, sengketa lahan sejak  1999 itu mengakibatkan seorang petani tertembak polisi. Hingga saat ini pun nasib ratusan petani di Bongkoran belum jelas karena tuntutannya tidak dikabulkan oleh PT Wongsorejo dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. PT Wongsorejo mengantongi hak guna usaha kebun randu seluas 603 hektare sejak 1980. HGU tersebut habis akhir  2012 lalu kemudian akan diperpanjang. Rencananya, Pemerintah Banyuwangi akan membangun kawasan industri terpadu di lahan tersebut.

Namun di kawasan kebun randu itu ada sekitar 287 kepala keluarga yang menetap sejak 1950-an. Mereka meminta 220 hektare lahan sebagai pemukiman dan pertanian. Permintaan petani ditolak. Pemerintah Banyuwangi dan PT Wongsorejo hanya bersedia memberikan lahan seluas 60 hektare.

Menurut Otto, jatah 60 hektare tidak memiliki alasan mendasar. Pemerintah Banyuwangi, kata dia, harus memberikan lahan yang bisa memberikan kenyamanan bagi petani."Pemerintah harus membuka dialog lagi dengan petani," kata dia. Keterangan yang dikumpulkan Komnas HAM, kata otto, akan dipelajari lagi sebagai bahan menerbitkan rekomendasi. Sekretaris Kabupaten Banyuwangi, Slamet Kariyono, mengatakan, 60 hektare tersebut berdasarkan pengukuran ulang terhadap area pemukiman dan pertanian kampung Bongkoran oleh Badan Pertanahan Nasional. Selain itu, jumlah penduduk setempat telah berkurang hingga tersisa 95 KK. "Ini hasil verifikasi terbaru," kata dia.Menurut Slamet, selain mendapat jatah lahan, petani akan dipekerjakan di industri yang akan berdiri di wilayah itu.
Solusi tersebut, dia klaim dapat mengentaskan kemiskinan warga setempat. "Kita memakai pendekatan kesejahteraan," kata dia.Ketua Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi Yateno menolak dipekerjakan di industri karena tidak sesuai dengan kultur warga sebagai petani. Apalagi kesejahteraan menjadi buruh industri, jauh dibawah petani. "Yang diminta petani itu kecil. Pemerintah masih bisa membangun kawasan industri dengan lahan 400-an hektare," katanya.

Uraian Kasus secara spesifik:
            Sengketa lahan Wongsorejo, Banyuwangi, memang telah terjadi sejak tahun 1999, yang menyebabkan satu petani tertembak polisi akibat kekerasan yang telah berlangsung puluhan tahun antara petani desa Bongkoran dengan Perusahaan perkebunan PT. Wongsorejo. Hal Ini menyebabkan Komnas HAM turut serta untuk menyelidiki sekaligus mencarikan solusi antara kedua belah pihak yang berseteru.
Berdasarkan informasi yang didapat dari polisi, pemerintah daerah petani, dan PT Wongsorejo didapatkan sebuah informasi seperti berikut ini PT Wongsorejo mengantongi hak guna usaha kebun randu seluas 603 hektare sejak 1980. HGU tersebut habis akhir  2012 lalu kemudian akan diperpanjang. Rencananya, Pemerintah Banyuwangi akan membangun kawasan industri terpadu di lahan tersebut. Namun di kawasan kebun randu itu ada sekitar 287 kepala keluarga yang menetap sejak 1950-an. Mereka meminta 220 hektare lahan sebagai pemukiman dan pertanian. Permintaan petani ditolak. Pemerintah Banyuwangi dan PT Wongsorejo hanya bersedia memberikan lahan seluas 60 hektare.
Menurut Komnas HAM, jatah 60 hektare tidak memiliki alasan mendasar. Pemerintah Banyuwangi, harus memberikan lahan yang bisa memberikan kenyamanan bagi petani."Pemerintah harus membuka dialog lagi dengan petani.Menurut pemerintah Daerah Banyuwangi para petani di daerah ini akan dipekerjakan sebagai buruh industri di industri terpadu ini. Tetapi petani menolak dengan alasan karena kultur petani itu lebih baik daripada menjadi buruh industry.






BAB III
ANALISIS KASUS


A.  Hak Guna Usaha dalam Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
Menurut pasal 28 ayat (1) UUPA yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebur dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, peternakan[1]. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 menambahkan guna usaha perkebunan.
Luas tanah Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya 25 hektar. Adapun untuk badan hukum luas minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh Kepala BPN (Pasal ayat 28 (2) UUPA. Jo Pasal 5 PP No. 40 Tauhun 1996)
Berikut diantara yang dapat mempunyai (subjek hukum) Hak Guna Usaha menurut pasal 30 UUPA jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 adalah:
1.      Warga Negara Indonesia
2.      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia [2]
Asal tanah Hak Guna Usaha adalah tanah negara, kalau asal tanah Hak Guna Usaha berupa tanah hak, maka tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan atau penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang Hak Guna Usaha selanjutnya mengajukan permohonan pemberian Hak Guna Usaha kepada Badan Pertanahan Nasional. Kalau tanahnya berasal dari kawasan hutan, maka tanah tersebut harus dikeluarkan statusnya sebagai kawasan hutan [3]
Hak Guna Usaha terjadi dengan penetapan pemerintah. Hak Guna Usaha ini terjadi melalui permohonan pemberian Hak Guna Usaha oleh pemohon kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional RI. Apabila semua persyaratan yang ditentukan dalam permohonan tersebut dipenuhi maka kepala BPN atau pejabat BPNyang diberikan pelimpahan kewenangan menerbitkan surat keputusan pemberian hak (SKPH)SKPH ini wajib didaftarakan ke kantor pertanahan kab/kotauntuk dicatat dalam buku tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Pendaftaran SKPH itu menandai lahirnya HGU (pasal 31 UUPA jo,pasal 6 dan pasal 7 PP No. 40 Tahun 1996)
Prosedur terjadinya HGU diatur dalam pasal 17 sampai dengan 31 Permen Agraria/ Kepala BPN No9 Tahun 1999.
Hak Guna Usaha memiliki jangka waktu untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu palin lama 25 tahun (pasal 29 UUPA). Pasal 8 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur jangka waktu Hak guna Usaha adalah untuk pertama kalinya palin lama 35 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu palin lama 25 tahun, dapat diperbaharui paling lama 35 tahun. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Usaha diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum  berakhirnya jangka waktu Hak Guna Usaha tersebut. Perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha dicata dalam buku tanah pada kantor pertanahan kabupaten/kota. Setempat. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemegang hak untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Usaha adalah:
1.      Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut
2.      Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
3.      Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Berdasarkan pasal 12 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996, pemegang Hak Guna Usaha berkewajiban untu:
1.      Membayar uang pemasukkan kepada negara.
2.      Melaksanakan usaha pertania, perkebunan, perikanan, dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaiaman ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya.
3.      Mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan criteria ynag ditetapkan oleh instansi teknis.
4.      Membangun dan memelihara parasarana lingkunag dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha.
5.      Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam. Dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undanaga yang brlaku.
6.      Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha.
7.      Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus
8.      Menyerahkan sertifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada kantor pertanahan.
Berdasarkan Pasal 14 PP No. 40 Tahun 1996 pemegang Hak Guna Usaha berhak menguasai dan menggunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan/atau peternakan.Pengauasaa dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah Hak Guna Usaha oleh pemegang Hak Guna Usaha hanya dapat dilakukan untuk mendukung usaha Hak GUna Usaha dengan mengingat ketentuan peraturan perundanga-undangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitarnya.
Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepda pihak lain (Pasal 28 ayat (3) UUPA jo pasal 16 PP No. 40 Tahun 1996). Hak Guna usaha dapat beralih karena pewarisan, yang harus dibuktikan dengan adanya surat wasiat atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, surat keternagan kematian pemegang Hak Guna Usaha yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, bukti identitas para ahli waris, dan ertifiat Hak Guna Usaha yang bersangkutan.Hak Guna Usaha juga dapat dialihkan kepada pihaka lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak GUna Usaha. Bentuk dialihkan tersebut dapat berbentuk jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan yang harus dibuktikan dengan akta PPATkhususyang ditunjuk oleh Kepala BPN, sedangkan lelang harus dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang dibuat oleh pejabat dari kantor lelang, PPAT khusus menurut pasal 1 angka 3 PP No. 36 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah adalh Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanakan program atau tugas pemerintah tertentu. A.P. Parlindungan menyatakan PPAT khusus yaitu pejabat di lingkungan BPN terutama untuk pembuatan akta peralihan hak-hak atas tanah yang berstatus Hak guna Usaha.[4]
Peralihan Hak Guna Usaha wajib didaftarkan kepada kantor Pertanahankab/kota untuk dicata dalam buku tanah dan dilakukan perubahan nama dalam sertifikat dari pemegang ahk Guna Usaha lam kepada pemegang Hak Guna Usaha baru.

Berdasarkan pasal 34 UUPA Hak Guna Usaha hapus, karena:
1.      Jangka waktuya berakhir
2.      Diberhentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.
3.      Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
4.      Dicabut untuk kepentingan umum.
5.      Ditelantarkan.
6.      Tanahnya musnah
7.      Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2)[5]
Pasal 18 PP No. 40 Tahun 1996 mengatur konsekuensi hapusnya Hak Guna Usaha bagi bekas pemegang Hak Guna Usaha, yaitu:
1.      Apabila Hak Guna Usaha hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharuai, bekas pemegang hakwajib membongkar banguna-banguan dan benda-benda yang ada di atasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman tyang ada diatas tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut kepada negara dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN.
2.      Apabila banguna, tanaman, dan beenda-benda tersebut diatas diperlukan untuk melangsungkan atau memulihkan pengusahaan tanahnya, maka kepada bekas pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk da jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
3.      Pembongkaran banguna dan benda-bendadiatas tanah Hak Guna Usaha dilaksanakan atas biaya bekas pemegang Hak Guna Usaha.
4.      Jika bekas pemegang Hak Guna Usaha lalai dalam memenuhi kewajiban tersebut, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas Hak Guna Usaha itu dibongkar oleh pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Guna Usaha.
Asas-asas dalam Undang-Undang pokok agraria, salah satunya Adalah asas semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.[6] semua hak atas tanah berfugsi soaial ditemukan dalam pasal 6 UUPA, yaitu: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial:”Hak atas tanah apapun yang ada pada sesorang tidak dibenarkan bahwa tanahnya itu digunakan atau tidak digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya. Apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat.Penggunaan tanah itu harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya., hingga bermanfaat baik kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bagi masyarakat dan negara. Tetapi disini tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umummasyarakat. UUPA tetap memperhatikan pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi.
Asas fungsi sosial hak atas tnah juga ditemukan dalam pasal 18 UUPA, yaitu: “Untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta ke[pentingan bersama dai rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabu, dengan member ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.”. Dalam menggunakan hak atas tanah harus mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Apabila kepentingan umum menghendaki diambilnya hak atas tanah, maka pemegang hak atas tanah harus melepaskan atau menyerahkan hak atas tanah dengan pemberian ganti kerugian yang layak melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah. Pengambilan tanah untuk kepentingan umum tanpa disertai pemberian ganti kerugian yang layak sama dengan perampasan hak atas tanah.
B.  Solusi Kasus Sengketa Lahan Wongsorejo, Banyuwangi
Berdasarkan informasi yang kami peroleh di daerah Wongsorejo, Banyuwangi tengah terjadi sengketa lahan antara Petani desa Bongkoran dengan Perusahaan perkebunan PT. Wongsorejo. Solusi dari problematika yang terjadi di daerah ini. kita akan mencoba menelaah dari awal,. mulai dari Hak Guna Usaha yang dimiliki oleh PT Wongsorejo terlihat tanah 603 hektar sejak 1980 resmi dimiliki haknya yang berakhir tahun 2012. Dilihat dari segi legalitas hukum memang ini sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Badan Pertanahan Nasional .Tetapi permasalahan muncul ketika PT. Wongsorejo akan memperpanjang Hak Guna Usaha. Dimana perpanjangan ini didukung oleh Pemerintah Daerah Banyuwangi. Karena Pemda berniat membangun industri terpadu di lahan di daerah Wongsorejo.
. Namun di kawasan kebun randu itu ada sekitar 287 kepala keluarga yang menetap sejak 1950-an. Mereka meminta 220 hektare lahan sebagai pemukiman dan pertanian. Permintaan petani ditolak. Pemerintah Banyuwangi dan PT Wongsorejo hanya bersedia memberikan lahan seluas 60 hektare.
Menurut Komnas HAM, jatah 60 hektare tidak memiliki alasan mendasar. Pemerintah Banyuwangi, harus memberikan lahan yang bisa memberikan kenyamanan bagi petani."Pemerintah harus membuka dialog lagi dengan petani.Menurut pemerintah Daerah Banyuwangi para petani di daerah ini akan dipekerjakan sebagai buruh industri di industri terpadu ini. Tetapi petani menolak dengan alasan karena kultur petani itu lebih baik daripada menjadi buruh industri
Jadi sebenarnya masyarakat petani di Wongsorejo menolak opsi dari Pemda terkait pemberian lahan seluas 60 hektare saja untuk pemukiman dan lahan. Mereka menuntut untuk kawasan industri terpadu hanya 400 hektar saja, sedangkan sisanya untuk para petani. Sepintas terlihat memang lahan untuk kawasan industri terpadu itu 400 hektar cukup.Alasan lainpetani menolak dipekerjakan menjadi buruh industri karena tingkat kesejahteraan buruh industri jauh lebih rendah daripada petani. Bertani adalah kultur mereka yang tengah hidup semenjak ratusan tahun lalu. Sehingga mereka denagn gigih tetap memegang warisan budaya nenek moyang mereka.
Dalam rangka penyelesaian kasus ini setidaknya dibutuhkan sebuah dialog antara petani, Pemda, dan PT. Wongsorejo terkait problematika sengketa lahan. Agar memunculkan sebuah consensus yang akan menjadi sebuah titik temu. Agar permasalahan ini tidak berlarut-larut. Dalam audiensi setidaknya harus ada yang mengorbankan kepentingan yang ingin dicapainya mengingat sesuai dengan asas hukum tanah. Hak atas tanah itu haruslah mampu berfungsi sosial. Dimana tidak hanya untuk kepentingan perseorangan saja, tetapi yang lebih utama yaitu kepentingan umum.












BAB IV
PENUTUP


A.  Kesimpulan
Jadi sebenarnya masyarakat petani di Wongsorejo menolak opsi dari Pemda terkait pemberian lahan seluas 60 hektare saja untuk pemukiman dan lahan. Mereka menuntut untuk kawasan industri terpadu hanya 400 hektar saja, sedangkan sisanya untuk para petani. Sepintas terlihat memang lahan untuk kawasan industri terpadu itu 400 hektar cukup.Alasan lain petani menolak dipekerjakan menjadi buruh industri karena tingkat kesejahteraan buruh industri jauh lebih rendah daripada petani. Bertani adalah kultur mereka yang tengah hidup semenjak ratusan tahun lalu. Sehingga mereka denagn gigih tetap memegang warisan budaya nenek moyang mereka.
Dalam rangka penyelesaian kasus ini setidaknya dibutuhkan sebuah dialog antara petani, Pemda, dan PT. Wongsorejo terkait problematika sengketa lahan. Agar memunculkan sebuah consensus yang akan menjadi sebuah titik temu. Agar permasalahan ini tidak berlarut-larut. Dalam audiensi setidaknya harus ada yang mengorbankan kepentingan yang ingin dicapainya mengingat sesuai dengan asas hukum tanah. Hak atas tanah itu haruslah mampu berfungsi sosial. Dimana tidak hanya untuk kepentingan perseorangan saja, tetapi yang lebih utama yaitu kepentingan umum.
B.  Saran

Makalah ini pada dasarnya menjelaskan tentang kasus sengketa lahan beserta solusinya di daerah Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur. Makalah ini sesuai jika dibaca dan dipahami oleh mahasiswa baik jurusan ilmu hukum maupun ilmu syariah karena substansi dari makalah ini memang memiliki standar yang sedemikian. Semoga makalah ini bisa menjadi salah satu dari sumber ilmu hukum agraria di lingkungan perguruan tinggi.












DAFTAR PUSTAKA


Santoso, Urip, SH.MH.2010. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah.Jakarta:Kencana Prenada Media Group
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja.2007.Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak-Hak Atas Tanah.Jakarta: Kencana Prenada Media Group
            Buku Undang-Undang Pokok Agraria
Dr. Santoso, Urip, SH.Mh.2012.Hukum Agraria: Kajian Komprehensif.Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Harsono, Budi. 2008. Hukum Agraria Indonesia.Jakarta: Djambatan
A.P. Parlindungan.1989.Hak Pengeloalaan Menurut Sistem UUPA ,Bandung: Mandar Maju
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996




[1] Pasal 28 ayat 1 UUPA
[2] Pasal 30 UUPA
[3] Pasal 4 PP NO.40 Tahun 1996
[4] A.P. Parlindungan ,Pendaftaran Tanah di Indonesia,Mandar Maju, Bandung,1999, hal 178
[5] Santoso, Urip SH, MH. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah.(Jakarta:Kencana Prenada Media,2010)
[6] Santoso, Urip,SH, MH.HukumAgraria: Kajian Komprehensif.(Jakarta:Kencana Prenada Media,2012),hlm.58

No comments:

Post a Comment