Saturday, December 29, 2018

Permintaan Dalam Ekonomi Islam


PERMINTAAN

A.    Pengertian Permintaan
Menurut Ibnu Taimiyyah, permintaan suatu barang adalah  hasrat terhadap sesuatu, yang digambarkan dengan istilah raghbah fil al-syai. Diartikan juga sebagai jumlah barang yang diminta.[1] Secara garis besar, permintaan dalam ekonomi islam sama dengan ekonomi konvensional, namun ada prinsip-prinsip tertentu yang harus diperhatikan oleh individu muslim dalam keinginannya.
Islam mengharuskan orang untuk mengkonsumsi barang yang halal dan thayyib. Aturan islam melarang seorang muslim memakan barang yang haram, kecuali dalam  keadaan darurat dimana apabila barang tersebut tidak dimakan, maka akan berpengaruh terhadap nya muslim tersebut. Di saat darurat seorang muslim dibolehkan mengkonsumsi barang haram secukupnya.
Selain itu, dalam ajaran islam, orang yang mempunyai uang banyak tidak serta merta diperbolehkan untuk membelanjakan uangnya untuk membeli apa saja dan dalam jumlah berapapun yang diinginkannya. Batasan anggaran (budget constrain) belum cukup dalam membatasi konsumsi. Batasan lain yang harus diperhatikan adalah bahwa seorang muslim tidak berlebihan (israf), dan harus mengutamakan kebaikan (maslahah).
Islam tidak menganjurkan permintaan terhadap suatu barang dengan tujuan kemegahan, kemewahan dan kemubadziran. Bahkan islam memerintahkan bagi yang sudah mencapai nisab, untuk menyisihkan dari anggarannya untuk membayar zakat, infak dan shadaqah.

B.     Hukum Permintaan
Definisi Permintaan terhadap barang atau jasa yaitu “kuantitas barang atau jasa yang orang bersedia untuk membelinya pada berbagai tingkat harga dalam suatu periode waktu tertentu”. Orang bersedia membelinya untuk memberi penekanan pada kegiatan konsumsi yang dilakukan secara aktif oleh masyarakat konsumen., yang dipengaruhi oleh tingkat harga.  Adapun kandungan makna , bahwa konsumen memiliki keinginan untuk membeli suatu barang atau jasa (dengan kata lain konsumen memiliki ‘preferensi’ terhadap barang atau jasa tersebut), dan juga memiliki kemampuan yaitu uang atau pendapatan untuk membeli dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut.[2]

1.      Asumsi-asumsi
Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya kuantitas atau jumlah barang atau jasa yang diminta oleh konsumen. Yang paling utama adalah harga dari barang itu sendiri. Selain faktor harga barang tersebut juga mempengaruhi permintaan barang itu. Contohnya adalah pendapatan masyarakat, harga barang lain, serta selerah.[3]
Secara umum diketahui bahwa semakin tinggi harga suatu barang semakin kecil permintaan terhadap barang tersebut. Pernyatan tersebut menerangkan hubungan antara permintaan terhadap suatu barang dengan harga barang tersebut, atau dikenal dengan “hukum permintaan”.
Permintaan diasumsikan bahwa permintaan terhadap barang  dan jasa hanya dipengaruhi oleh harga barang dan jasa tersebut. Faktor-faktor lain dari luar harga barang dianggap tetap . asumsi ini sering dikenal dengan istilah ceteris paribus.[4]
2.      Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan
Permintaan suatu barang dipengaruhi oleh faktor-faktor lain disamping harga, yaitu :
a.       Pendapatan
Semakin tinggi pendapatan seseorang, permintaan terhadap suatu barang akan meningkat, walaupun harga barang tersebut tidak berubah.
b.      Harga barang-barang lain yang terkait
Contohnya permintaan terhadap susu murni akan meningkat apabila harga susu bubuk naik.
c.       Selera
Contohnya permintaan terhadap sepatu olahraga dengan alasan tipis (seperti sepatu Bruce Lee) sekarang ini semakin rendah, sebaliknya sepatu olahraga dengan alas tebal (seperti Nike, Adidas, dan sebagainya) semakin meningkat. Hal ini dikarenakan ada perubahan selerah.
d.      Jumlah penduduk
Semakin besar jumlah penduduk di suatu daerah, semakin banyak pula permintaan terhadap suatu produk di daerah tersebut. Permintaan beras di indonesia semakin lama semakin banyak., sehingga jumlah beras yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan mereka semakin banyak. Tercermin dengan permintaan beras yang selalu naik.[5]

C.    Teori Permintaan Islam
Penggunaan kata teori permintaan hanya untuk membedakan dengan hukum permintaan. Teori permintaan adalah perbandingan lurus antara permintaan terhaadap harganya, yaitu apabila permintaan naik, maka harga relatif akan naik, sebaliknya bila permintaan turun, maka harga relatif akan turun.[6]
Apabila jumlah barang yang diminta sangat banyak, maka harta barang tersebut relatif akan meningkat. Sebaliknya, bila jumlah permintaan barang tersebut relatif sedikit, maka harganya akan turun. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahwa spada suatu pasar terdapat terdapat permintaan suatu produk yang relatif sangat banyak, sehingga :
1)      Mobil yang tersedia pada produsen tidak dapat memenuhi suatu permintaan, sehingga untuk membatasi jumlah pembelian produsen akan menaikkan harga jual produk tersebut.
2)      Penjual akan berusaha menggunakan kesempatan untuk meningkatkan dan memperbesar keuntungan dengan menaikkan harga jual produknya.
Sebaliknya, manakalah pada suatu pasar permintaan suatu produk relatif sedikit, maka yang terjadi adalah harga akan turun. Keadaan ini dapat diperjekas sebagai berikut :
1)      Barang yang tersedia pada produsen atau penjual relatif sangat banyak sehingga manakalah jumlah permintaan sedikit produsen akan berusaha menjual produknya sebanyak mungkin dengan cara menurunkan harga jual produknya.
2)      Produsen atau penjual hanya akan meningkatkan keuntungannya dari volume penjualannya (banyak produk yang dijual) pada konsumen yang mempunyai daya beli.[7]
           Dalam ekonomi islam, setiap keputusan ekonomi seorang manusia dihubungkan kepada syariat. Al-Qur’an menyebut ekonomi dengan istilah iqtishad (penghematan, ekonomi) yang secara literal berarti pertengahan dan moderat.
           Seorang muslim dilarang melakukan pemborosan (al-Israa ayat 26-27).
ÏN#uäur#sŒ4n1öà)ø9$#¼çm¤)ymtûüÅ3ó¡ÏJø9$#urtûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#ŸwuröÉjt7è?#·ƒÉö7s?ÇËÏȨbÎ)tûïÍÉjt6ßJø9$#(#þqçR%x.tbºuq÷zÎ)ÈûüÏÜ»u¤±9$#(tb%x.urß`»sÜø¤±9$#¾ÏmÎn/tÏ9#Yqàÿx.ÇËÐÈ

Artinya : “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”.
           Seoarng muslim diminta untuk mengambil sebuah sikap moderat dalam memperoleh dan menggunakan sumber daya. Dia tidak boleh israf (royal, berlebih-lebihan) tetapi juga dilarang pelit (bukhl).[8]
           Islam mewajibkan zakat, yaitu mengeluarkan sebagian hartanya kepada pihak lain yang telah melewati batas nishaf tertentu baik dari segi jumlah maupun penguasaan waktu. Kewajiban zakat ini sebagaimana firman Allah : (QS. Ar-Rum : 38)
ÏN$t«sù#sŒ4n1öà)ø9$#¼çm¤)ymtûüÅ3ó¡ÏJø9$#urtûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#4y7Ï9ºsŒ×ŽöyzšúïÏ%©#Ïj9tbr߃̍ãƒtmô_ur«!$#(y7Í´¯»s9'ré&urãNèdtbqßsÎ=øÿßJø9$#ÇÌÑÈ

Artinya : “Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalamperjalanan [1171]. Itulah yang lebih baik bagiorang-orang yang mencari keridhaan Allah dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung”.
1.      Paradigma konsumsi Islam
Al-Qur’an dan Hadis mengajarkan, dalam kaitan dengan perilaku konsumen, antara lain :
a.       Islam mengakui keterampilan dan kemampuan setiap individu berbeda-beda. Karenanya tidak adil dan tidak masuk akal apabila terjadi persamaan mutlak di antara semua anggota masyarakat dalam hal pendapatan, konsumen dan sebagainya. Akan tetapi pada titik ekstrem yang lain, dimana ketimpangan bisa jadi sangat  mencolok berdasarkan perbedaan kemampuan, kesepakatan, dan kegigihan setiap orang pun tidak sesuai dengan semangat islam. Islam memandang perbedaan kemampuan dalam masyarakat sebagai suatu kerangka sosial untuk membangun suatu mekanisme internal yang saling menghargai dan penuh kasih sayang. Islam mengajarkan bahwa “tangan yang diatas lebih mulia daripada tangan yang dibawah”, yakni pihak yang memberi pertolongan mendapat kedudukan lebih tinggi daripada pihak yang ditolong. Ajaran ini dapat pula dimaknai  bahwa orang yang hidupnya pas-pasan bisa saja berkedudukan mulia di dalam Islam apabila ia banyak menolong orang.
b.      Islam mewajibkan Zakat, yakni mengeluarkan sebagian kecil harta yang telah melewati batas nisab tertentu baik dari segi jumlah maupun waktu penguasaan harta tersebut. Zakat adalah kewajiban bagi umat Islam yang  mampu atau  kaya. Jika berzakat wajib, maka menjadi mampu atau kaya pun wajib, agar dapat menjalankan kewajiban berzakat tersebut. Jika  kewajiban zakat tidak bisa dilaksanakan sebelum syarat mampu terpenuhi, maka syarat mampu wajib hukumnya untuk dipenuhi.[9]
c.       QS. Ar-Ruum ayat 38
ÏN$t«sù#sŒ4n1öà)ø9$#¼çm¤)ymtûüÅ3ó¡ÏJø9$#urtûøó$#urÈ@Î6¡¡9$#4y7Ï9ºsŒ×ŽöyzšúïÏ%©#Ïj9tbr߃̍ãƒtmô_ur«!$#(y7Í´¯»s9'ré&urãNèdtbqßsÎ=øÿßJø9$#ÇÌÑÈ
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang  beruntung.
Agama Islam adalah agama satu-satunya yang mewajibkan pengeluaran untuk kebutuhan orang lain, yang berbentuk zakat. Zakat wajib bagi mereka yang mampu yang pendapatannya melebihi nisab tertentu. Islam juga menganjurkan pengeluaran sukarela untuk kepentingan sesama dalam bentuk sifaq, sedekah dan wakaf. Pembahasan ekonomi terhadap sumber daya yang dapat dihimpun dari kegiatan zakat, infak, sedekah, dan wakaf memprlihatkan potensinya dalam mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan umat.
Adapun aturan islam mengenai bagaimana seharusnya melakukan kegiatan konsumsi adalah sebagai berikut :
a)      Tidak Boleh Berlebih-lebihan
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-An’aam ayat 141
*uqèdurüÏ%©!$#r't±Sr&;M»¨Yy_;M»x©rá÷è¨BuŽöxîur;M»x©râ÷êtBŸ@÷¨Z9$#urtíö¨9$#ur$¸ÿÎ=tFøƒèC¼ã&é#à2é&šcqçG÷ƒ¨9$#uršc$¨B9$#ur$\kÈ:»t±tFãBuŽöxîur7mÎ7»t±tFãB4(#qè=à2`ÏBÿ¾Ín̍yJrO!#sŒÎ)tyJøOr&(#qè?#uäur¼çm¤)ymuQöqtƒ¾ÍnÏŠ$|Áym(Ÿwur(#þqèùÎŽô£è@4¼çm¯RÎ)Ÿw=ÏtäšúüÏùÎŽô£ßJø9$#ÇÊÍÊÈ

Artinya : “.... dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”.
Jika manusia dilarang untuk berlebih-lebihan berarti manusia sebaiknya melakukan konsumsi seperlunya saja. Dalam ekonomi, perilaku konsumsi Islami yang tidak berlebih-lebihan berarti bahwa pola permintaan Islami lebih didorong oleh faktor kebutuhan (need) daripada keingginan (wants)
Secara teori, dorongan untuk menolong orang lain, apakah dengan memberi infak atau membelikan bahan makanan, akan mengakibatkan kurva permintaan bergeser.
b)      Mengkonsumsi yang Halal dan Thayyib
Konsumsi seorang muslim dibatasi kepada barang-barang yang halal dan thayyib (QS. Al-Baqarah ayat 75).
*tbqãèyJôÜtGsùr&br&(#qãZÏB÷sãƒöNä3s9ôs%urtb%x.×,ƒÌsùöNßg÷YÏiBtbqãèyJó¡ozN»n=Ÿ2«!$#¢OèO¼çmtRqèùÌhptä.`ÏBÏ÷èt/$tBçnqè=s)tãöNèduršcqßJn=ôètƒÇÐÎÈ
Arti : “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, Padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui”.

Tidak ada permintaan terhadap barang haram. Di dalam Islam barang yang sudah dinyatakan haram untuk dikonsumsi otomatis tidak lagi memiliki nilai ekonomi, karena tidak boleh diperjualbelikan. Berkaitan dengan aturan pertama larangan  berlebih-lebihan, maka barang halal pun tidak dapat dikonsumsi sebanyak yang kita inginkan. Harus dibatasi sebatas cukupnya keperluan, untuk menghindari kemewahan, berlebih-lebihan dan kemubaziran.[10] Dan dalam (QS. Al-Baqarah : 172)
$ygƒr'¯»tƒšúïÏ%©!$#(#qãZtB#uä(#qè=à2`ÏBÏM»t6ÍhŠsÛ$tBöNä3»oYø%yu(#rãä3ô©$#ur¬!bÎ)óOçFZà2çn$­ƒÎ)šcrßç7÷ès?ÇÊÐËÈ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepadanya-Nya kamu menyembah”.




DAFTAR PUSTAKA

Anita Rahmawati. 2011. Ekonomi Mikro Islam. Nora Media Enterprise. Kudus
Setyanto, budi. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta : Prenada Media Gruop
Nawawi, Ismail. 2010. Ekonomi Mikro dalam perspektik islam. Jakarta : CV. Dwi Putra Pustaka Jaya.



[1]Anita Rahmawati, Ekonomi Mikro Islam, Nora Media Enterprise, Kudus, 2011, hal. 89
[2]Setyanto, budi. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta : Prenada Media Gruop. Hlm 80
[3]Ibid. Hlm 80
[4]Ibid. Hlm 81
[5]Ibid. Hlm 84
[6] Nawawi, Ismail. 2010. Ekonomi Mikro dalam perspektik islam. Jakarta : CV. Dwi Putra Pustaka Jaya. Hlm 20
[7]Ibid. Hlm 21
[8]Setyanto, budi. 2006. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta : Prenada Media Gruop. Hlm 85
[9]Ibid. Hlm 86
[10]Ibid. Hlm 89