BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Legislatif merupakan lembaga yang berdasarkan
terminologi fiqh disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” (ahlul
hilli wal aqdi). Istilah ahlul hilli wal aqdi mulai timbul
dalam kitab-kitab para ahli tafsir dan ahli fikih setelah masa Rasullulah
saw.mereka berada di antara orang-orang yang dinamakan dengan ash-shahabah.
Badan pembuat undang-undang adalah struktur
utama negara islam, inti dari semua jabatan istimewa dalam tatanan
pemerintahan, termasuk jabatan presiden. Dari para penasihat nabi terdekat dan
panitia Syura, yang mengambil presiden, nabi mengangkat gubernur, wakil-wakil
politik, pemimpin-pemimpin prajurit dan para pejabat negara, dan keempat khalifah Rasyidin dipilih setelah nabi wafat. Badan
pembuat undang-undang itu merumuskan hukum konstitusi (syari’ah) sesuai dengan
konstitusi suci islam, juga arah kehendak negara islam. Ia biasanya melakukan
kontrol dan pengawasan terhadap cabang pemerintahan yang lain. Kekuasaan badan
pembuat undang-undang bisa mencangkup empat fungsi, di antaranya
yaitu:kekuasaan konstituante, kekuasaan pemilih, kekuasaan menyusun
undang-undang, dan kekuasaan pengawasan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian dari Ahlul Hilli Wal Aqdi?
2. Apa Tugas dan Wewenang dari ahlul hilli wal aqdi ?
3. Apa syarat-syarat dari Ahlul hilli wal aqdi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ahlul hilli wal aqdi.
2. Untuk Mengetahui tugas dan Wewenang dari ahlul hilli wal aqdi.
3. Untuk Mengetahui Syarat-syarat dari Ahlul Hilli Wal Aqdi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlul hilli wal aqdi
Secara harfiyah ahl hilli wal aqd adalah seseorang yang dapat memutuskan dan mengikat.
Dan menurut ahli fiqh siyasah arti dari ahl
hilli wal aqd adalah sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk
memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Dengan kata
lain ahl hilli wal aqd adalah
lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara
masyarakat. Anggota dari ahl hilli wal aqd adalah dari kalangan-kalangan
yang memiliki profesi, dan tugas dari ahl hilli wal aqd adalah untuk
mengangkat dan menetapkan kepala negara sebagai pemimpin negara.
قال الماوردي: قالت طائفة لا تنعقد إلا
بجمهور أهل الحل والعقد من كل بلد, ليكون الرضا به عاما والتسليم لإمامته إجماعا.
وممن ذهب إلى هذا القول أبو يعلى في الأحكام السلطانىة فقال: أما انعقادها با ختيار
أهل الحل والعقد فلا تنعقد إلا بجمهور أهل الحل والعقد, قال أحمد فى رواية إسحاق
بن إبراهيم: الامام الذي يجتمع قول آهل الحل والعقد عليه كلهم يقول هذا إمام قال:
وظاهر هذا أنها تنعقد بجماعتهم .
Maksudnya:
Al-mawardi berkata:seseorang mengatakan
jangan, membuat keputusan kecuali dengan sekelompok ahlul hilli wal aqdi dari
setiap negara. Dan barang siapa yang mengikuti perkataan ini, abu ya’li didalam
kitabnya Al-ahkam as-sulthaniyah berkata: sedangkan keputusannya dengan kabar
ahlul hilli wal aqdi maka jangan membuat keputusan kecuali dengan sekelompok
ahlul hilli wal aqdi. Ahmad dalam riwayatnya ishak bin ibrahim berkata:
pemimpin yang mengumpulkan perkataan tentang ahlul hilli wal aqdi diahruskan
untuk mengatakan perkataan pemimpin ini: dan ini terlihat jelas bahwasannya
toifah membuat keputusan dengan bersama-sama.
Banyak para ahli yang menamai kata ahl
hilli wal aqd dengan kata-kata lain seperti al-mawardi menyebutnya dengan ahl
al-ikhtiyar, karena merekalah yang berhak memilih kholifah, sedangkan ibn taimiyah menyebutnya dengan ahl
al-syawkah. Sementara
al-baghdadi menyebutnya dengan ahl al-ijtihad. Dan sebagian lagi menyebutnya dengan ahl
al-syura atau ahl al-ijma’. Akan tetapi semua itu mempunyai inti
dari pengertian-pengerian diatas yaitu sekelompok anggota masyarakat yang
mewakili umat (rakyat) dalam menentukan arah dan kebijaksanaan pemerintahan
demi tercapainya kemaslahatan hidup mereka.
Istilah yang lebih umum pada awal pemerintahan islam adalah as syura. Pada masa
khalifah yang empat, khususnya pada masa umar istilah ini mengacu kepada
pengertian beberapa sahabat senior yang
melakukan musyawarah untuk menentukan kebijaksanaan negara dan memilih
pengganti kepala negara. Realitanya masalah “kelompok ahlul hilli wal aqdi
dan pemilu” adalah seperi masalah “kekholifahan,” seperti yang dikatakan oleh
ibnu khaldun, yakni termasuk kemaslahatan umum yang semua pengaturannya
diserahkan kepada rakyat.
Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya sebutan
kelompok ahlul hilli wal aqdi dalam turats fikih kita sejak awal islam, yang
mereka adalah “dewan perwakilan rakyat” yang para khalifah selalu merujuk
mereka dalam perkara-perkara rakyat juga berkomitmen dengan pendapat mereka,
dan mereka mempunyai hak untuk memilih atau menobatkan khalifah dan juga
memberhentikannya. Dan jelas kelompok ini (ahlul hilli wal aqdi) menunjukkan
bahwa kelompok ini merupakan lembaga legislatif.
Ahlul hilli wal aqdi menurut kami adalah ahlul ikhtiyar dan
mereka juga adalah dewan perwakilan rakyat. Banyaknya nama mereka sebab
keberagaman tugas yang mereka emban
Tugas mereka tidak hanya bermusyawarah dalam
perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan
dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar
syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin
tertinggi negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencangkup melaksanakan peran
pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai wewenang pengawasan yang
dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka
dari tindakan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak Allah.
B. Dasar Ahlul Hilli Wal Aqdi dalam Al-Quran
Bila al-quran dan sunnah sebagai sumber perundang-undanganislam dan tidak menyebutkan ahlul hilli wal aqdi atau dewan perwakilan rakyat, namun sebutan
itu hanya ada di dalam turats fikih kita dibidang politik keagamaan, maka dasar
sebutan ini di dalam al-quran ada dalam mereka yang disebut dengan “ulil amri”.
The qur’an says, “obey god, and obey the
prophet, and the ulual-amr from amongst you.” Al-mawardi, ibn khaldun and
others argue that the authority of the imam should be supreme, whereas
al-naysaburi, abduh and rashid rida affirm that the pharase ulual-amr means the
ahl al-hall wa al-aqd, those who represent the people.[1]
Maksudnya:
Dalam firman allah SWT: taatilah Allah dan taatila rasul-NYA dan ulil
amri di antara kamu. (QS. An-nisa (4) 59) Al-mawardi, ibnu khaldun dan yang
lainnya itu menentang bahwa autoritasnya pemimpin itu harus tinggi wawasannya.
Sebagaimana pendapatnya al-naisaburi, abduh, dan Rashid rida menegaskan bahwa
perkataan tentang ulil amri yang dimaksudkan adalah ahlul hilli wal aqdi,
mereka yang mewakili para rakyat.
Dasar sebutan ini juga ada dalam mereka yang
disebut dengan umat dalam firmanNya: dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan rakyat yang menyeru kepada kebajikan , menyeruh kepada yang makruf
dan mencegah dari yang mungkar, mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS.
Ali Imran (3) 104)
Dengan demikian fiqh politik islam telah
menciptakan satu bentuk musyawarah di masa awal timbulnya daulah islamiyah di
madina, sebagaimna ia telah menciptakan satu bentuk konstitusi yang dikenal
dengan konstitusi madinah.
Dengan demikian ia telah menetapkan satu
prinsip “sesui undang-undang” dalam komunitas politik, salah satu prinsip
terpenting yang ditetapkan oleh islam dibidang konstitusional politik, yang
belakangan ini dikenal oleh ilmu politik barat dan membuat beberapa gambaran
penerapannya.
Ilmu politik barat telah mendahului kita
sampai kepada sesuatu yang seharusnya kitalah yang lebih dahulu sampai
kepadanya, daripada beberapa beragam sistem
kehidupan, umumnya dan sistem politik, khususnya, seandainya kita tidak
tertimpa kelemahan dan keterbelakangan di segala bidang kehidupan.
Bentuk musyawarah itu tidak lain kecuali apa
yang dikenal dengan Ahl hilli wal aqdi atau dewan perwakilan rakyat atau
ahlul ikhtiyar di awal islam, yang mereka telah dipercaya oleh rakyat dengan
keilmuan dan kecendikiawanan mereka serta keikhlasan mereka, juga dengan
keseriusan mereka dalam membuat hukum-hukum yang diperlukan, baik yang
berkenaan dengan peraturan sipil, politik, dan administratif.
Mereka termasuk dalam kata ulil amri yang
Allah SWT mewajibkan rakyat untuk mentaati mereka.
C. Ahlul hilli wal aqdi adalah al-ummah yang tersebut dalam al-quran yang
memiliki wewenang konstitusional dan pengawasan atas para pejabat.
Adapun yang kami sebutkan dengan adanya dasar ahlul
hilli wal aqdi dalam kitab Allah, yakni ulil amri legislatif dan pengawas
atas kewenangan eksekutif, terutama pimpinan tertinggi negara, ia hanya disebut
dengan lafal Al-ummah, dan tugasnya hanya terbatas pada dua hal. Pertama,
mengajak kepada kebaikan, termasuk didalamnya segala perkara umum yang di
antaranya menetapkan hukum atau peraturan untuk rakyat yang dibuat lewat
musyawarah. Kedua, menindak para penguasa yang zalim, yakni yang
melakukan penyimpangan dalam pemerintahan.
Allah SWT berfirman: dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan rakyat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada
yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang
beruntung. (QS. Ali Imran (3):104)
Maksudnya, hendaklah ada di antara kalian satu
golongan atau satu kelompok yang khusus menjalankan tugas ini. Kata kata min
berfungsi menyatakan sebagian, bukan berfungsi menerangkan, dan karena tugas
ini hukumnya fardhu kifayah.
Adapun tafsiran dari Prof. Imam Muhammad
abduh, adalah “hendaknya ada segolongan dari kalian yang istimewa, yang
menjalankan tugas menyeru kepada kebaikan dan amar ma’ruf nahi minkar. Perintah
ini ditunjukkan kepada kaum mukminin keseluruhan.”[2]
Menurut kami tafsiran ini lebih kuat daripada
tafsiran sebagian ahli tafsir yang berlandaskan bahwa lafal min berfungsi
menerangkan, dan maknanya menurut mereka :hendaklah kalian menjadi rakyat yang
menyuruh kepada makruf dan mencegah yang mungkar.
Makna menerangkan ini adalah yang dipilih oleh
imam muhammad abduh, di mana dia berkata: “yang jelas, perkataan itu sama
dengan perkataan hendaklah engkau menjadi temanku. Maka dengan demikian,
perintah itu bersifat umum.”
Dia juga memberikan beberapa dalil dalam teks
al-quran.
Kami mendasarkan apa yang menurut kami kuat,
yakni lafal min berfungsi menyatakan sebagian atas bebrapa dalil. Kami juga
menyangkal dalil yang dipergunakan untukn menyatakan keumuman dalam firman
Allah SWT: demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan
nasih-nasihatnya supaya mentaati kebenaran dan nasihat-nmenasihati supaya
menetapi kesabaran. (QS. Al-Ashr (103):1-3)
Mereka berkata:”saling nasihat-menasehati
adalah amar (perintah) dan nahi (larangan). Keumuman itu diambil dari ayat-ayat
lain yaitu firman Allah SWT: kamu adalah umat yang terbaik, yang dilahirkan
untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan
beriman kepada allah. (QA. Ali-imran (3): 110)
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa kebaikan
umat ini dan keutamaannya dari umat-umat yang lain adalah adanya perkara
berikut: menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar, serta beriman kepada
Allah.
Oleh karena itu ulama sepakat bahwa kewajiban
melakukan pengawasan oleh rakyat keseluruhan seperti kewajiban fardhu
kifayah sedangkan kewajiban
melakukan pengawasan oleh rakyat/umat khusus adalah fardhu ain.
Karena lafaln umat artinya segolongan
sebagaimana dalam firman Allah SWT: “mengapa tidak pergi dari tiap-tipa
golongan din antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka
tentang agama.”(QS. At-taubah (9) 122)
Dan firma-Nya: di antara ahli kitab itu ada
umat yang berlaku lurus. (QS. Ali-imran (3) 113).
D. Syarat-syarat Ahlul hilli wal aqdi
Ahlul hilli wal aqdiadalah orang-orang yang ahli dalam memilih dan
bermusyawarah, juga orang-orang yang ahli dalam mengawasi para pejabat. Mereka
adalah ulil amri dalam umat dan tugas mereka masuk dalam ruang lingkup “politik
keagamaan.”
Arti politik sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnu akil: “politik adalah suatu perbuatan yang bila dilakukan oleh manusia
yang hasilnya lebih dekat kepada perbaikan dan lebih jauh dari kerusakan,
sekalipun tidak menetapkan oleh Rosul dan tidak ada nash-nya. Sesungguhnya
Allah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar manusia
menjalankan dengan adil. Itulah sikap adil yang dengannya makmurlah bumi dan
langit. Jika telah tampak tanda-tanda keadilan dan kelihatan dengan cara apa
pun, maka itulah syariat Allah dan agama –Nya. Cara apa saja yang dengan cara
itu akan timbul keadilan dan keseimbangan, maka cara itu termasuk agama
(dibenarkan oleh agama), bukan menyalahinya.”[3]
Syarat-syarat Ahlul hilli wal aqdi yang
disebutkan oleh para fuqoha termasuk dalam politik substansial yang tunduk
dengan kemaslahatan, berbeda-beda sesuai perbedaan zaman. Bila ada yang mengira
bahwa ini adalah termasuk dalam syariat umum dan lazim bagi umat sampai hari
kiyamat, maka sebenarnya tidaklah demikian.
Syarat-syarat ini termasuk salah satu fikih
(pemahaman yang harus selalu diperbaharui sesuai dengan perubahan kondisi dan
zaman). Ia bukan termasuk agama, juga bukan termasuk dasar-dasarnya yang tidak
bisa berubah. Ini adalah perkara yang banyak orang terjebak di dalamnya dan
salah dalam memahaminya.
The ahl al aqd wa al-hall, which is composed
of those in authority. They must meet three conditions to be electors adala, justice in deciding on all the conditions
required of the candidate ‘ilmknowledge of those worthy of theimamah
and ra’y wa hikmah judgement and wisdom, in order that they might choose
the one fittest in every respect for the caliphal dignity.
Maksudnya:
Ahlul hilli wal aqdi, yang terdiri dari mereka yang berwenang,
Mereka harus memenuhi tiga kondisi untuk menjadi pemilih ‘adala,keadilan dalam
memutuskan pada semua kondisi yang dibutuhkan ilmu pengetahuan bagi kandidat
yang layak untuk seorang pemimpin dan ra'y wa hikmah, penghakiman dan
kebijaksanaan,agar mereka dapat memilih salah satu terkuat di setiap
menghormati martabat khalifah.
E. Memahami Syarat-syarat
Para ulama fikih terdahulu telah menyibukkan
dirinya untuk menentukan syarat-syarat bagi orang yang berhak memikul amanah,
syarat-syarat Ahlul Hili Wal Aqdi dan syarat-syarat pengawas. Mereka
juga terbagi-bagi tentang hal ini dalam beberapa madzhab dan berbeda pendapat dalam
menentukan syarat-syarat.
Ada diantara syarat-syarat yang disepakati
oleh sebagian ulama, namun disebagian ulama lainnya menjadi bahan perdebatan.
Sebab besarnya perhatian mereka dengan syarat-syarat ini, kembali kepada
pandangan mereka bahwa kekuasaan itu adalah amanah yang wajib ditunaikan oleh
orany yang memikulnya dengan semestinya hingga tercapai tujuannya.
Sunnah Rasullilah Saw. Telah menunjukkan bahwa
kekuasaan adalah amanah yang wajib ditunaikan. Seperti sabda beliau kepada Abi
Dzar ra. Tentang kepemimpinan: ia adalah amanah, dan di hari kiamat nanti ia
bisa menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang menunaikan haknya dan melaksanakan kewajibannya.
Sabda Rasullulah SAW. :apabila amanah telah
di sia-siakan maka tunggulah saat kehancurannya. Lalu ada yang bertanya :”
bagaimana menyia-nyiakan amanah itu? “beliau menjawab: apabila suatu perkara
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya.
Sabda Rasullulah SAW. Juga :tidak ada
seorang pun yang dijadikan oleh allah sebagai pemimpin suatu rakyat yang
meninggal dunia, yang pada saat meninggalnya dia masih dalam keadaan
menipu(tidak bertaubat dari perbuatan menipunya terhadap rakyat), kecuali Allah
akan haramkan atasnya mencium wangi surga.
Tidak heran kalau penelitian para fukaha
terhadap syarat-syarat ini merupakan bahan pendalaman pemahaman terhadap
pengertian ulil amri.
Ulil amri ada dua macam, yakni umarah dan
ulama. Mereka adalah orang yang bila mereka bagus maka bagus pula seluruh
rakyat. Menangani perkara kaum muslimin adalah termasuk di antara kewajiban
terbesar dalam agama, bahkan tidak akan tegak agama kecuali dengannya. Maka,
seorang muslim wajib berusaha dalam mengemban tugas itu semampunya. Barang
siapa yang menangani suatu wewenang yang dengan tugas menangani itu dia
bertujuaan untuk taat kepada Allah dan melaksanakan apa yang bisa dia lakukan
dari kewajiban-kewajiban juga menjauhi apa yang bisa dia jauhi dari pada
hal-hal yang dilarang, maka dia tidak akan disanksi dengan sebab apa yang dia
tidak mampu melakukannya.
Sesungguhnya mengangkat atau menugaskan
orang-orang yang baik lebih baik bagi rakyat daripada mengangkat atau
menugaskan orang-orang yang jahat. Siapa yang tidak mampu menegakkan agama
dengan kekuasaan dan jihad, namun dia melakukan apa yang dia sanggup saja,
berupa nasihat hati ke hati dan mendoakan umat serta cinta dengan kebaikan dan
orang-orang yang baik, disamping apa yang sanggup dia lakukan dari kebaikan,
maka dia tidak akan dibebani (terbebas dari tanggung jawab) dengan apa yang dia
tidak sanggup melakukannya.[4]
F. Ringkasan syarat-syarat yang wajib ada pada Ahlul Hilli wal aqdi
menurut para fukaha
Pertama-tama kami melihat bahwa syarat-syarat ini
berhubungan dengan apa yang mereka namakan dengan Ahli Ikhtiyar atauahlul hilli wal aqdi atau “majelis
permusyawaratan”. Istilah-istilah itu sebenarnya adalah istilah-istilah untuk
satu kelompok yang mempunyai beberapa ragam tugas dalam komunitas islam, yang
akhirnya membuat nama mereka juga beragam.
Ahli ikhtiyar yakni orang-orang yang bertugas memilih
pemimpin lewat jalan musyawarah kemudian mengajukan kepada rakyat untuk dibaiat
(dinobatkan) oleh mereka. Tidak sah tugas memikul amanah sebagai pemimpin
kecuali sudah dibaiat oleh rakyat.”apabila dasar pemerintahan islam bersifat
musyawarah maka pemilihan itu juga harus bersifat musyawarah.”[5]
Ketika tidak mungkin melakukan misyawarah antara seluruh individu rakyat, maka
musyawarah hanya bisa dilakukan antara kelompok yang mewakili rakyat dan apa
yang mereka putuskan sama dengan keputusan seluruh individu rakyat karena
mereka tahu dengan kemaslahatan umum dan karena kepedulian mereka terhadap
kemaslahatan umum itu, juga karena masing-masing individu rakyat percaya dengan
mereka dan dengan keputusan yang akan mereka ambil. Nah, mereka inilah yang
dinamakan ahlul hilli wal aqdi. Membentuk kelompok ini hukumnya fardhu
ain. Diwajibkan atas setiap orang mukalaf untuk ikut berpartisipasi bersama
orang lain dalam pembentukannya.[6]
Jelas bagi kita bahwa sebenarnya
istilah-istilah ini untuk satu kelompok ulil amri sekalipun dengan beragam
tugas-tugasnya. Bahkan ada diantara tujuan-tujuan pembentukan kelompok ini,
menugaskan orang yang dipilih oleh rakyat untuk memutuskan perkara yang diperselisihkan
oleh ulil amri dari pada pejabat dan ahlul hilli wal aqdi. Orang yang
ditugaskan itu adalah orang yang disebut dengan majelis permusyawaratan, dengan
mengembalikan perkara yang diperselisihkan tersebut kepada al-quran dan sunah,
sebagai pengamalan firman Allah SWT: kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu maka kebalikanlah ua kepada Allah (al-quran) dan Rasul (sunah).
(QS. An-nisa (4):59)
Dari penjelasan diatas, jelas bagi kita dasar
syarat-syarat yang dipaparkan oleh para fukaha. Mereka juga berpendapat bahwa
syarat-syarat ini harus dipertimbangkan pada kelompok ini, dan syarat-syarat ,ini
merupakan syarat-syarat yang fleksibel, tidak terbatas.[7]
Al-farra berkata: ahli ikhtiyar harus memiliki
tiga syarat berikut:
1. Adil.
2. Mengetahui ilmu pengetahuan yang dengan ilmu itu dapat mengetahui siapa
saja yang berhak memegang tongkat kepemimpinan.
3. Ahli ikhtiyar harus terdiri dari para pakar dan ahli manajemen yang dapat
memilih siapa yang lebih pantas untuk memegang tongkat kepemimpinan.[8]
Sangat mudah bagi peneliti untuk mengungkap
hubungan antara sifat ahlul hilli wal aqdi dan antara pandangan ahli
fikih terhadap syarat-syarat yang harus ada pada mereka. Di antaranya, apa yang
ditetapkan oleh para fukaha terdahulu bahwa amanah sudah terlaksana dengan
pemilihan ahlu hilli wal aqdi, sebagaimana yang dikatakan oleh
al-Mawardi: “amanah dapat terlaksana dari dua jalan. Pertama, dengan pemilihan
ahlul hilli wal aqdi. Kedua, dengan wasiat pemimpin terdahulu. Apabila ahlul
hilli wal aqdi berkumpul untuk memilih, mereka harus memperhatikan keadaan
orang-orang yang sudah masuk dalam kriteria menjadi pemimpin, lalu mereka
mengajukan untuk dibaiat orang yang banyak keutamaannya, paling sempurna
kriterianya, rakyat cepat patuh kepadanya, dan tidak tinggal diam untuk
membaiatnya.[9]
Orang yang dinobatkan itu adalah orang yang
sesuai dengansifat-sifat yang disebutkan oleh para fukaha, yang mereka memiliki
kelebihan dengan keterjagaan dari kemapanan dalam kepandaian serta ikhlas
menegakkan agama Allah. Ahlul hilli wal aqdi inilah yang kemudian
disebut dengan nama mujtahid.[10]
Sebenarnya, kata ahlul hilli wal aqdi
sudah menjadi bahasa para fukaha dan kedudukannya di tempat pertama dalam
pembahasan mereka, yakni pembahasan kepemimpinan. Sebagaimana kata itu juga sudah
menjadi bahasa para ulama ushul dan kedudukannya juga ditempat pertama dalam pembahasan mereka yaitu
bab ijma’.”[11]
Di antara hal yang jelas dalam syarat ahlul
hilli wal aqdi adalah spesialisasi mereka sebagai berikut:
1. Membaiat orang yang menurut mereka mampu untuk memegang tongkat
kepemimpinan.
2. Melakukan ijtihad dalam hukum-hukum untuk mencapai kesepakatan.
Kami melihat bahwa spesialisasi pertama
menuntut adanya syarat “mempunyai pikiran dan kebijaksanaan”, dan itu sangat
utama sekali. Sedangkan spesialisasi kedua menuntut adanya syarat “memounyai
pengetahuan tentang perundang-undangan dan cukup mengenal kemaslahatan rakyat.
Hal itu memasukkan mereka kepada kelompok mujtahid, menurut istilah para ulama
fikih. Artinya kedudukan Ahlul hilli wal aqdibisa dipandang sebagai
tugas perundang-undangan yang menuntut adanya pengenalan terhadap hukum-hukum
fatwa dan pengambilan hukum dalam masalah-masalah umum seperti masalah keamanan
dan ketakutan.
Bisa saja dipandang sebagai tugas politik yang
menuntut bahwa mereka terdiri dari para cendikiawan dan para pakar serta mampu
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan juga kepentingan-kepentingan umum, baik
sosial, ekonomi atau politik, dengan kapasitas mereka sebagai majelis
permusyawaratan yang apabila mereka menyepakati suatu perkara dan perkara
kemaslahatan umat yang tidak ada nash yang jelas dari Allah, maka taat kepada
mereka adalah wajib, dan wajib atas para penguasa memutuskan sesuai dengan apa
yang mereka sepakati itu, serta wajib pila melaksanakannya.
Bisa
dipandang juga sebagai tugas pengawasan atas orang-orang yang memiliki
kekuasaan. Maka mereka harus menyelidiki tentang kemungkaran-kemungkaran para
penguasa, yakni yang melakukan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak Allah
atau hak-hak bersama.
Secara
global bisa dikatakan bahwa ahlul hilli wal aqdi adalah orang-orang yang
bertanggung jawab atas semua kemaslahatan rakyat seluruhnya, mereka adalah
orang-orang yang mewakili kekuasaan rakyat.
Mereka juga adalah orang-orang yang telah dipercayai oleh rakyat dalam
memperjuangkan aspirasi dan kemaslahatan rakyat yang dengannya akan makmur
kehidupan mereka. Rakyat juga akan mengikuti apa yang mereka tetapkan baik
dalam perkara agama ataupun perkara dunia.
Ini
adalah perkara primer komunitas diseluruh bangsa, yang atasnya tergantung
kehidupan sosial yang merata.apabila sekelompok dari rakyat ini (ahlul hilli
wal aqdi) bagus, maka bagus pula keadaan rakyat dan keadaan penguasa
mereka. Namun, apabila rusak maka rusak pula keadaan keduannya. Oleh karena ituahlul
hilli wal aqdi dalam islam itu harus terdiri dari para pakar bidang ilmu
perundang-undangan dan mengenal kemaslahatan-kemaslahatan rakyat, baik politik,
sosial, peradilan, administrasi, dan finansial. Juga harus terdiri dari
orang-orang yang bersifat adil, mempunyai pemikiran dan kebijaksanaan.
Orang-orang seperti ini sangat sedikit sekali kecuali dalam umat-umat yang
merdeka.[12]
Perlu
diperhatikan juga bahwa masalah syarat yang dibicarakan oleh para fukaha muslim
dan mereka menganggap syarat itu wajib ada pada ahlul hilli wal aqdiatau
majelis permusyawaratan bukanlah termasuk masalah keagamaan. Namun masalah itu
adalah masalah-masalah yang masuk dalam bab politik keagamaan yang diserahkan
sepenuhnya kepada ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman dan yang
sesuai dengan tujuan syariat, yakni mewujudkan kemaslahatan dan
menyempurnakannya serta menggagalkan kerusakan dan meminimalisirnya.
Apabila
terjadi pertentangan maka mengambil kemaslahatan terbesar dari dua kemaslahatan
dan meninggalkan kemaslahatan yang kecil, serta meninggalkan kerusakan terbesar
dari dua kerusakan dan menangung kerusakan kecil, itulah yang dianjurkan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ahlul hilli wal aqdiadalah ahlul ikhtiyar dan mereka juga dalah
dewan perwakilan rakyat. Banyaknya nama mereka sebab keberagaman tugas yang
mereka emban.
Tugas mereka tidak hanya bermusyawarah dalam
perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan
dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar
syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin
tertinggi negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencangkup melaksanakan peran
pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai wewenang pengawasan yang
dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka
dari tindakan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak Allah.
Dari uraian para ulama tentang ahlul hilli wal
aqdi ini tampak hal-hal sebagai berikut:
1. Ahlul hilli wal aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai
wewenang untuk memilih dan mem-bai’at imam.
2. Ahlul hilli wal aqdimempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat
kepada yang maslahat.
3. Ahlul hilli wal aqdimempunyai wewenang membuat undang-undang yang mengikat
kepada seluruh umat di dalam hal-hal yang tidk diatur secara tegas oleh
Al-quran dan Hadist.
4. Ahlul hilli wal aqditempat konsultasi imam di dalam menentukan kebijakannya.
5. Ahlul hilli wal aqdimengawasi jalannya pemerintahan.
wewenang nomor 1 dan 2 mirip dengan wewenang MPR,
wewenang nomor 3 dan 5 wewenang DPR, dan wewenang nomor 4 adalah wewenang DPA
di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945.
Daftar Pustaka
·
Khaliq, Farid Abdul. 2005. Fikih politik
islam. Jakarta: Amzah
·
Kurdi, Abdulrahman Abdulkadir. 2000. Tatanan
sosial islam. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR
·
Al-Maududi, Abul A’la. 1975. Sistem politik
islam. Bandung: Mizan
·
Djazuli, Ahmad. 2003. Fikih
siyasah:implementasi kemaslahatan umat dalam rambu-rambu syariah. Jakarta:Kencana
·
Iqbal, Muhammad. 2001. Fikih
siyasah:kontekstualisasi doktrin politik islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
·
Mulyati, Sri dkk. 1997. Islam and
development:a politico-religious response. Yogyakarta:Titian Ilahi Press
·
Abdullah bin Umar bin sulaiman ad-damiji.
7612. Imamatul ud’mah. Riyadh: Darul tayyibah
·
Pulungan, MA. Dr. J. Suyuthi. 2002. Fiqh
Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[1]Mulyati, Sri dkk.Islam and development:a
politico-religious response. Hlm. 16
[2]Tafsir al-manar, juz 4, hal 32
[3]Khaliq, Farid Abdul.Fikih politik islam.hlm.
107
[4]Syaikh islam ibnu taimiyah, as-siyasah asy syar’iyah, hlm. 182 dan
190
[6]Sayyid rasyid ridha, tafsir al-manar, juz 4, hlm.31
[7]Abdul hamid mutawalli, mabadi al-hukm fil islam, hlm, 202
[8]Al-qadhi abu ya’la muhammad, al-ahkam as-sulthaniyah, hlm 6
[9]Al-mawardi, al-ahkam as-sulthaniyah, hlm 7-8
[11]Khaliq, Farid Abdul. Fikih
politik islam.hlm 110
[12]Syaikh muhammad rasyid ridha, al-khilafa, hlm, 66
No comments:
Post a Comment