Monday, June 20, 2016

Tugas dan Wewenang Ahl Hilii wal Aqdi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Legislatif merupakan lembaga yang berdasarkan terminologi fiqh disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” (ahlul hilli wal aqdi). Istilah ahlul hilli wal aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli tafsir dan ahli fikih setelah masa Rasullulah saw.mereka berada di antara orang-orang yang dinamakan dengan ash-shahabah.
Badan pembuat undang-undang adalah struktur utama negara islam, inti dari semua jabatan istimewa dalam tatanan pemerintahan, termasuk jabatan presiden. Dari para penasihat nabi terdekat dan panitia Syura, yang mengambil presiden, nabi mengangkat gubernur, wakil-wakil politik, pemimpin-pemimpin prajurit dan para pejabat negara, dan keempat khalifah  Rasyidin dipilih setelah nabi wafat. Badan pembuat undang-undang itu merumuskan hukum konstitusi (syari’ah) sesuai dengan konstitusi suci islam, juga arah kehendak negara islam. Ia biasanya melakukan kontrol dan pengawasan terhadap cabang pemerintahan yang lain. Kekuasaan badan pembuat undang-undang bisa mencangkup empat fungsi, di antaranya yaitu:kekuasaan konstituante, kekuasaan pemilih, kekuasaan menyusun undang-undang, dan kekuasaan pengawasan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pengertian dari Ahlul Hilli Wal Aqdi?
2.      Apa Tugas dan Wewenang dari ahlul hilli wal aqdi ?
3.      Apa syarat-syarat dari Ahlul hilli wal aqdi?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari Ahlul hilli wal aqdi.
2.      Untuk Mengetahui tugas dan Wewenang dari ahlul hilli wal aqdi.
3.      Untuk Mengetahui Syarat-syarat dari Ahlul Hilli Wal Aqdi.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ahlul hilli wal aqdi
Secara harfiyah ahl hilli wal aqd adalah  seseorang yang dapat memutuskan dan mengikat. Dan menurut ahli fiqh siyasah arti  dari ahl hilli wal aqd adalah sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat (warga negara). Dengan kata lain ahl hilli wal aqd  adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi atau suara masyarakat. Anggota dari ahl hilli wal aqd adalah dari kalangan-kalangan yang memiliki profesi, dan tugas dari ahl hilli wal aqd adalah untuk mengangkat dan menetapkan kepala negara sebagai pemimpin negara.
قال الماوردي: قالت طائفة لا تنعقد إلا بجمهور أهل الحل والعقد من كل بلد, ليكون الرضا به عاما والتسليم لإمامته إجماعا. وممن ذهب إلى هذا القول أبو يعلى في الأحكام السلطانىة فقال: أما انعقادها با ختيار أهل الحل والعقد فلا تنعقد إلا بجمهور أهل الحل والعقد, قال أحمد فى رواية إسحاق بن إبراهيم: الامام الذي يجتمع قول آهل الحل والعقد عليه كلهم يقول هذا إمام قال: وظاهر هذا أنها تنعقد بجماعتهم .
Maksudnya:
Al-mawardi berkata:seseorang mengatakan jangan, membuat keputusan kecuali dengan sekelompok ahlul hilli wal aqdi dari setiap negara. Dan barang siapa yang mengikuti perkataan ini, abu ya’li didalam kitabnya Al-ahkam as-sulthaniyah berkata: sedangkan keputusannya dengan kabar ahlul hilli wal aqdi maka jangan membuat keputusan kecuali dengan sekelompok ahlul hilli wal aqdi. Ahmad dalam riwayatnya ishak bin ibrahim berkata: pemimpin yang mengumpulkan perkataan tentang ahlul hilli wal aqdi diahruskan untuk mengatakan perkataan pemimpin ini: dan ini terlihat jelas bahwasannya toifah membuat keputusan dengan bersama-sama.
Banyak para ahli yang menamai kata ahl hilli wal aqd dengan kata-kata lain seperti al-mawardi menyebutnya dengan ahl al-ikhtiyar, karena merekalah yang berhak memilih kholifah,  sedangkan ibn taimiyah menyebutnya dengan ahl al-syawkah. Sementara al-baghdadi menyebutnya dengan ahl al-ijtihad.  Dan sebagian lagi menyebutnya dengan ahl al-syura atau ahl al-ijma’. Akan tetapi semua itu mempunyai inti dari pengertian-pengerian diatas yaitu sekelompok anggota masyarakat yang mewakili umat (rakyat) dalam menentukan arah dan kebijaksanaan pemerintahan demi tercapainya kemaslahatan hidup mereka.
Istilah yang lebih umum pada awal pemerintahan  islam adalah as syura. Pada masa khalifah yang empat, khususnya pada masa umar istilah ini mengacu kepada pengertian beberapa sahabat senior  yang melakukan musyawarah untuk menentukan kebijaksanaan negara dan memilih pengganti kepala negara. Realitanya masalah “kelompok ahlul hilli wal aqdi dan pemilu” adalah seperi masalah “kekholifahan,” seperti yang dikatakan oleh ibnu khaldun, yakni termasuk kemaslahatan umum yang semua pengaturannya diserahkan kepada rakyat.
Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya sebutan kelompok ahlul hilli wal aqdi dalam turats fikih kita sejak awal islam, yang mereka adalah “dewan perwakilan rakyat” yang para khalifah selalu merujuk mereka dalam perkara-perkara rakyat juga berkomitmen dengan pendapat mereka, dan mereka mempunyai hak untuk memilih atau menobatkan khalifah dan juga memberhentikannya. Dan jelas kelompok ini (ahlul hilli wal aqdi) menunjukkan bahwa kelompok ini merupakan lembaga legislatif.
Ahlul hilli wal aqdi menurut kami adalah ahlul ikhtiyar dan mereka juga adalah dewan perwakilan rakyat. Banyaknya nama mereka sebab keberagaman tugas yang mereka emban
Tugas mereka tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin tertinggi negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencangkup melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak Allah.
B.     Dasar Ahlul Hilli Wal Aqdi dalam Al-Quran
Bila al-quran dan sunnah sebagai sumber perundang-undanganislam dan tidak menyebutkan ahlul hilli wal aqdi atau dewan perwakilan rakyat, namun sebutan itu hanya ada di dalam turats fikih kita dibidang politik keagamaan, maka dasar sebutan ini di dalam al-quran ada dalam mereka yang disebut dengan “ulil amri”.
The qur’an says, “obey god, and obey the prophet, and the ulual-amr from amongst you.” Al-mawardi, ibn khaldun and others argue that the authority of the imam should be supreme, whereas al-naysaburi, abduh and rashid rida affirm that the pharase ulual-amr means the ahl al-hall wa al-aqd, those who represent the people.[1]
Maksudnya:
Dalam firman allah SWT:  taatilah Allah dan taatila rasul-NYA dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-nisa (4) 59) Al-mawardi, ibnu khaldun dan yang lainnya itu menentang bahwa autoritasnya pemimpin itu harus tinggi wawasannya. Sebagaimana pendapatnya al-naisaburi, abduh, dan Rashid rida menegaskan bahwa perkataan tentang ulil amri yang dimaksudkan adalah ahlul hilli wal aqdi, mereka yang mewakili para rakyat.
Dasar sebutan ini juga ada dalam mereka yang disebut dengan umat dalam firmanNya: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan rakyat yang menyeru kepada kebajikan , menyeruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka adalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran (3) 104)
Dengan demikian fiqh politik islam telah menciptakan satu bentuk musyawarah di masa awal timbulnya daulah islamiyah di madina, sebagaimna ia telah menciptakan satu bentuk konstitusi yang dikenal dengan konstitusi madinah.
Dengan demikian ia telah menetapkan satu prinsip “sesui undang-undang” dalam komunitas politik, salah satu prinsip terpenting yang ditetapkan oleh islam dibidang konstitusional politik, yang belakangan ini dikenal oleh ilmu politik barat dan membuat beberapa gambaran penerapannya.
Ilmu politik barat telah mendahului kita sampai kepada sesuatu yang seharusnya kitalah yang lebih dahulu sampai kepadanya, daripada beberapa beragam sistem  kehidupan, umumnya dan sistem politik, khususnya, seandainya kita tidak tertimpa kelemahan dan keterbelakangan di segala bidang kehidupan.
Bentuk musyawarah itu tidak lain kecuali apa yang dikenal dengan Ahl hilli wal aqdi atau dewan perwakilan rakyat atau ahlul ikhtiyar di awal islam, yang mereka telah dipercaya oleh rakyat dengan keilmuan dan kecendikiawanan mereka serta keikhlasan mereka, juga dengan keseriusan mereka dalam membuat hukum-hukum yang diperlukan, baik yang berkenaan dengan peraturan sipil, politik, dan administratif.
Mereka termasuk dalam kata ulil amri yang Allah SWT mewajibkan rakyat untuk mentaati mereka.
C.    Ahlul hilli wal aqdi adalah al-ummah yang tersebut dalam al-quran yang memiliki wewenang konstitusional dan pengawasan atas para pejabat.
Adapun yang kami sebutkan dengan adanya dasar ahlul hilli wal aqdi dalam kitab Allah, yakni ulil amri legislatif dan pengawas atas kewenangan eksekutif, terutama pimpinan tertinggi negara, ia hanya disebut dengan lafal Al-ummah, dan tugasnya hanya terbatas pada dua hal. Pertama, mengajak kepada kebaikan, termasuk didalamnya segala perkara umum yang di antaranya menetapkan hukum atau peraturan untuk rakyat yang dibuat lewat musyawarah. Kedua, menindak para penguasa yang zalim, yakni yang melakukan penyimpangan dalam pemerintahan.
Allah SWT berfirman: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan rakyat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran (3):104)
Maksudnya, hendaklah ada di antara kalian satu golongan atau satu kelompok yang khusus menjalankan tugas ini. Kata kata min berfungsi menyatakan sebagian, bukan berfungsi menerangkan, dan karena tugas ini hukumnya fardhu kifayah.
Adapun tafsiran dari Prof. Imam Muhammad abduh, adalah “hendaknya ada segolongan dari kalian yang istimewa, yang menjalankan tugas menyeru kepada kebaikan dan amar ma’ruf nahi minkar. Perintah ini ditunjukkan kepada kaum mukminin keseluruhan.”[2]
Menurut kami tafsiran ini lebih kuat daripada tafsiran sebagian ahli tafsir yang berlandaskan bahwa lafal min berfungsi menerangkan, dan maknanya menurut mereka :hendaklah kalian menjadi rakyat yang menyuruh kepada makruf dan mencegah yang mungkar.
Makna menerangkan ini adalah yang dipilih oleh imam muhammad abduh, di mana dia berkata: “yang jelas, perkataan itu sama dengan perkataan hendaklah engkau menjadi temanku. Maka dengan demikian, perintah itu bersifat umum.”
Dia juga memberikan beberapa dalil dalam teks al-quran.
Kami mendasarkan apa yang menurut kami kuat, yakni lafal min berfungsi menyatakan sebagian atas bebrapa dalil. Kami juga menyangkal dalil yang dipergunakan untukn menyatakan keumuman dalam firman Allah SWT: demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasih-nasihatnya supaya mentaati kebenaran dan nasihat-nmenasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-Ashr (103):1-3)
Mereka berkata:”saling nasihat-menasehati adalah amar (perintah) dan nahi (larangan). Keumuman itu diambil dari ayat-ayat lain yaitu firman Allah SWT: kamu adalah umat yang terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada allah. (QA. Ali-imran (3): 110)
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa kebaikan umat ini dan keutamaannya dari umat-umat yang lain adalah adanya perkara berikut: menyuruh yang makruf dan mencegah yang mungkar, serta beriman kepada Allah.
Oleh karena itu ulama sepakat bahwa kewajiban melakukan pengawasan oleh rakyat keseluruhan seperti kewajiban fardhu kifayah  sedangkan kewajiban melakukan pengawasan oleh rakyat/umat khusus adalah fardhu ain.
Karena lafaln umat artinya segolongan sebagaimana dalam firman Allah SWT: “mengapa tidak pergi dari tiap-tipa golongan din antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.”(QS. At-taubah (9) 122)
Dan firma-Nya: di antara ahli kitab itu ada umat yang berlaku lurus. (QS. Ali-imran (3) 113).
D.    Syarat-syarat Ahlul hilli wal aqdi
Ahlul hilli wal aqdiadalah orang-orang yang ahli dalam memilih dan bermusyawarah, juga orang-orang yang ahli dalam mengawasi para pejabat. Mereka adalah ulil amri dalam umat dan tugas mereka masuk dalam ruang lingkup “politik keagamaan.”
Arti politik sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu akil: “politik adalah suatu perbuatan yang bila dilakukan oleh manusia yang hasilnya lebih dekat kepada perbaikan dan lebih jauh dari kerusakan, sekalipun tidak menetapkan oleh Rosul dan tidak ada nash-nya. Sesungguhnya Allah mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar manusia menjalankan dengan adil. Itulah sikap adil yang dengannya makmurlah bumi dan langit. Jika telah tampak tanda-tanda keadilan dan kelihatan dengan cara apa pun, maka itulah syariat Allah dan agama –Nya. Cara apa saja yang dengan cara itu akan timbul keadilan dan keseimbangan, maka cara itu termasuk agama (dibenarkan oleh agama), bukan menyalahinya.”[3]
Syarat-syarat Ahlul hilli wal aqdi yang disebutkan oleh para fuqoha termasuk dalam politik substansial yang tunduk dengan kemaslahatan, berbeda-beda sesuai perbedaan zaman. Bila ada yang mengira bahwa ini adalah termasuk dalam syariat umum dan lazim bagi umat sampai hari kiyamat, maka sebenarnya tidaklah demikian.
Syarat-syarat ini termasuk salah satu fikih (pemahaman yang harus selalu diperbaharui sesuai dengan perubahan kondisi dan zaman). Ia bukan termasuk agama, juga bukan termasuk dasar-dasarnya yang tidak bisa berubah. Ini adalah perkara yang banyak orang terjebak di dalamnya dan salah dalam memahaminya.
The ahl al aqd wa al-hall, which is composed of those in authority. They must meet three conditions to be electors adala,  justice in deciding on all the conditions required of the candidate ‘ilmknowledge of those worthy of theimamah and ra’y wa hikmah judgement and wisdom, in order that they might choose the one fittest in every respect for the caliphal dignity.
Maksudnya:
Ahlul hilli wal aqdi, yang terdiri dari mereka yang berwenang, Mereka harus memenuhi tiga kondisi untuk menjadi pemilih ‘adala,keadilan dalam memutuskan pada semua kondisi yang dibutuhkan ilmu pengetahuan bagi kandidat yang layak untuk  seorang pemimpin  dan ra'y wa hikmah, penghakiman dan kebijaksanaan,agar mereka dapat memilih salah satu terkuat di setiap menghormati martabat khalifah.
E.     Memahami Syarat-syarat
Para ulama fikih terdahulu telah menyibukkan dirinya untuk menentukan syarat-syarat bagi orang yang berhak memikul amanah, syarat-syarat Ahlul Hili Wal Aqdi dan syarat-syarat pengawas. Mereka juga terbagi-bagi tentang hal ini dalam beberapa madzhab dan berbeda pendapat dalam menentukan syarat-syarat.
Ada diantara syarat-syarat yang disepakati oleh sebagian ulama, namun disebagian ulama lainnya menjadi bahan perdebatan. Sebab besarnya perhatian mereka dengan syarat-syarat ini, kembali kepada pandangan mereka bahwa kekuasaan itu adalah amanah yang wajib ditunaikan oleh orany yang memikulnya dengan semestinya hingga tercapai tujuannya.
Sunnah Rasullilah Saw. Telah menunjukkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang wajib ditunaikan. Seperti sabda beliau kepada Abi Dzar ra. Tentang kepemimpinan: ia adalah amanah, dan di hari kiamat nanti ia bisa menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang menunaikan  haknya dan melaksanakan kewajibannya.
Sabda Rasullulah SAW. :apabila amanah telah di sia-siakan maka tunggulah saat kehancurannya. Lalu ada yang bertanya :” bagaimana menyia-nyiakan amanah itu? “beliau menjawab: apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat kehancurannya.
Sabda Rasullulah SAW. Juga :tidak ada seorang pun yang dijadikan oleh allah sebagai pemimpin suatu rakyat yang meninggal dunia, yang pada saat meninggalnya dia masih dalam keadaan menipu(tidak bertaubat dari perbuatan menipunya terhadap rakyat), kecuali Allah akan haramkan atasnya mencium wangi surga.
Tidak heran kalau penelitian para fukaha terhadap syarat-syarat ini merupakan bahan pendalaman pemahaman terhadap pengertian ulil amri.
Ulil amri ada dua macam, yakni umarah dan ulama. Mereka adalah orang yang bila mereka bagus maka bagus pula seluruh rakyat. Menangani perkara kaum muslimin adalah termasuk di antara kewajiban terbesar dalam agama, bahkan tidak akan tegak agama kecuali dengannya. Maka, seorang muslim wajib berusaha dalam mengemban tugas itu semampunya. Barang siapa yang menangani suatu wewenang yang dengan tugas menangani itu dia bertujuaan untuk taat kepada Allah dan melaksanakan apa yang bisa dia lakukan dari kewajiban-kewajiban juga menjauhi apa yang bisa dia jauhi dari pada hal-hal yang dilarang, maka dia tidak akan disanksi dengan sebab apa yang dia tidak mampu melakukannya.
Sesungguhnya mengangkat atau menugaskan orang-orang yang baik lebih baik bagi rakyat daripada mengangkat atau menugaskan orang-orang yang jahat. Siapa yang tidak mampu menegakkan agama dengan kekuasaan dan jihad, namun dia melakukan apa yang dia sanggup saja, berupa nasihat hati ke hati dan mendoakan umat serta cinta dengan kebaikan dan orang-orang yang baik, disamping apa yang sanggup dia lakukan dari kebaikan, maka dia tidak akan dibebani (terbebas dari tanggung jawab) dengan apa yang dia tidak sanggup melakukannya.[4]
F.     Ringkasan syarat-syarat yang wajib ada pada Ahlul Hilli wal aqdi menurut para fukaha
Pertama-tama kami melihat bahwa syarat-syarat ini berhubungan dengan apa yang mereka namakan dengan Ahli Ikhtiyar  atauahlul hilli wal aqdi atau “majelis permusyawaratan”. Istilah-istilah itu sebenarnya adalah istilah-istilah untuk satu kelompok yang mempunyai beberapa ragam tugas dalam komunitas islam, yang akhirnya membuat nama mereka juga beragam.
Ahli ikhtiyar yakni orang-orang yang bertugas memilih pemimpin lewat jalan musyawarah kemudian mengajukan kepada rakyat untuk dibaiat (dinobatkan) oleh mereka. Tidak sah tugas memikul amanah sebagai pemimpin kecuali sudah dibaiat oleh rakyat.”apabila dasar pemerintahan islam bersifat musyawarah maka pemilihan itu juga harus bersifat musyawarah.”[5] Ketika tidak mungkin melakukan misyawarah antara seluruh individu rakyat, maka musyawarah hanya bisa dilakukan antara kelompok yang mewakili rakyat dan apa yang mereka putuskan sama dengan keputusan seluruh individu rakyat karena mereka tahu dengan kemaslahatan umum dan karena kepedulian mereka terhadap kemaslahatan umum itu, juga karena masing-masing individu rakyat percaya dengan mereka dan dengan keputusan yang akan mereka ambil. Nah, mereka inilah yang dinamakan ahlul hilli wal aqdi. Membentuk kelompok ini hukumnya fardhu ain. Diwajibkan atas setiap orang mukalaf untuk ikut berpartisipasi bersama orang lain dalam pembentukannya.[6]
Jelas bagi kita bahwa sebenarnya istilah-istilah ini untuk satu kelompok ulil amri sekalipun dengan beragam tugas-tugasnya. Bahkan ada diantara tujuan-tujuan pembentukan kelompok ini, menugaskan orang yang dipilih oleh rakyat untuk memutuskan perkara yang diperselisihkan oleh ulil amri dari pada pejabat dan ahlul hilli wal aqdi. Orang yang ditugaskan itu adalah orang yang disebut dengan majelis permusyawaratan, dengan mengembalikan perkara yang diperselisihkan tersebut kepada al-quran dan sunah, sebagai pengamalan firman Allah SWT: kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kebalikanlah ua kepada Allah (al-quran) dan Rasul (sunah). (QS. An-nisa (4):59)
Dari penjelasan diatas, jelas bagi kita dasar syarat-syarat yang dipaparkan oleh para fukaha. Mereka juga berpendapat bahwa syarat-syarat ini harus dipertimbangkan pada kelompok ini, dan syarat-syarat ,ini merupakan syarat-syarat yang fleksibel, tidak terbatas.[7]
Al-farra berkata: ahli ikhtiyar harus memiliki tiga syarat berikut:
1.      Adil.
2.      Mengetahui ilmu pengetahuan yang dengan ilmu itu dapat mengetahui siapa saja yang berhak memegang tongkat kepemimpinan.
3.      Ahli ikhtiyar harus terdiri dari para pakar dan ahli manajemen yang dapat memilih siapa yang lebih pantas untuk memegang tongkat kepemimpinan.[8]
Sangat mudah bagi peneliti untuk mengungkap hubungan antara sifat ahlul hilli wal aqdi dan antara pandangan ahli fikih terhadap syarat-syarat yang harus ada pada mereka. Di antaranya, apa yang ditetapkan oleh para fukaha terdahulu bahwa amanah sudah terlaksana dengan pemilihan ahlu hilli wal aqdi, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Mawardi: “amanah dapat terlaksana dari dua jalan. Pertama, dengan pemilihan ahlul hilli wal aqdi. Kedua, dengan wasiat pemimpin terdahulu. Apabila ahlul hilli wal aqdi berkumpul untuk memilih, mereka harus memperhatikan keadaan orang-orang yang sudah masuk dalam kriteria menjadi pemimpin, lalu mereka mengajukan untuk dibaiat orang yang banyak keutamaannya, paling sempurna kriterianya, rakyat cepat patuh kepadanya, dan tidak tinggal diam untuk membaiatnya.[9]
Orang yang dinobatkan itu adalah orang yang sesuai dengansifat-sifat yang disebutkan oleh para fukaha, yang mereka memiliki kelebihan dengan keterjagaan dari kemapanan dalam kepandaian serta ikhlas menegakkan agama Allah. Ahlul hilli wal aqdi inilah yang kemudian disebut dengan nama mujtahid.[10]
Sebenarnya, kata ahlul hilli wal aqdi sudah menjadi bahasa para fukaha dan kedudukannya di tempat pertama dalam pembahasan mereka, yakni pembahasan kepemimpinan. Sebagaimana kata itu juga sudah menjadi bahasa para ulama ushul dan kedudukannya juga  ditempat pertama dalam pembahasan mereka yaitu bab ijma’.”[11]
Di antara hal yang jelas dalam syarat ahlul hilli wal aqdi adalah spesialisasi mereka sebagai berikut:
1.      Membaiat orang yang menurut mereka mampu untuk memegang tongkat kepemimpinan.
2.      Melakukan ijtihad dalam hukum-hukum untuk mencapai kesepakatan.
Kami melihat bahwa spesialisasi pertama menuntut adanya syarat “mempunyai pikiran dan kebijaksanaan”, dan itu sangat utama sekali. Sedangkan spesialisasi kedua menuntut adanya syarat “memounyai pengetahuan tentang perundang-undangan dan cukup mengenal kemaslahatan rakyat. Hal itu memasukkan mereka kepada kelompok mujtahid, menurut istilah para ulama fikih. Artinya kedudukan Ahlul hilli wal aqdibisa dipandang sebagai tugas perundang-undangan yang menuntut adanya pengenalan terhadap hukum-hukum fatwa dan pengambilan hukum dalam masalah-masalah umum seperti masalah keamanan dan ketakutan.
       Bisa saja dipandang sebagai tugas politik yang menuntut bahwa mereka terdiri dari para cendikiawan dan para pakar serta mampu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan juga kepentingan-kepentingan umum, baik sosial, ekonomi atau politik, dengan kapasitas mereka sebagai majelis permusyawaratan yang apabila mereka menyepakati suatu perkara dan perkara kemaslahatan umat yang tidak ada nash yang jelas dari Allah, maka taat kepada mereka adalah wajib, dan wajib atas para penguasa memutuskan sesuai dengan apa yang mereka sepakati itu, serta wajib pila melaksanakannya.
       Bisa dipandang juga sebagai tugas pengawasan atas orang-orang yang memiliki kekuasaan. Maka mereka harus menyelidiki tentang kemungkaran-kemungkaran para penguasa, yakni yang melakukan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak Allah atau hak-hak bersama.
       Secara global bisa dikatakan bahwa ahlul hilli wal aqdi adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas semua kemaslahatan rakyat seluruhnya, mereka adalah orang-orang yang mewakili kekuasaan rakyat.  Mereka juga adalah orang-orang yang telah dipercayai oleh rakyat dalam memperjuangkan aspirasi dan kemaslahatan rakyat yang dengannya akan makmur kehidupan mereka. Rakyat juga akan mengikuti apa yang mereka tetapkan baik dalam perkara agama ataupun perkara dunia.
       Ini adalah perkara primer komunitas diseluruh bangsa, yang atasnya tergantung kehidupan sosial yang merata.apabila sekelompok dari rakyat ini (ahlul hilli wal aqdi) bagus, maka bagus pula keadaan rakyat dan keadaan penguasa mereka. Namun, apabila rusak maka rusak pula keadaan keduannya. Oleh karena ituahlul hilli wal aqdi dalam islam itu harus terdiri dari para pakar bidang ilmu perundang-undangan dan mengenal kemaslahatan-kemaslahatan rakyat, baik politik, sosial, peradilan, administrasi, dan finansial. Juga harus terdiri dari orang-orang yang bersifat adil, mempunyai pemikiran dan kebijaksanaan. Orang-orang seperti ini sangat sedikit sekali kecuali dalam umat-umat yang merdeka.[12]
       Perlu diperhatikan juga bahwa masalah syarat yang dibicarakan oleh para fukaha muslim dan mereka menganggap syarat itu wajib ada pada ahlul hilli wal aqdiatau majelis permusyawaratan bukanlah termasuk masalah keagamaan. Namun masalah itu adalah masalah-masalah yang masuk dalam bab politik keagamaan yang diserahkan sepenuhnya kepada ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman dan yang sesuai dengan tujuan syariat, yakni mewujudkan kemaslahatan dan menyempurnakannya serta menggagalkan kerusakan dan meminimalisirnya.
       Apabila terjadi pertentangan maka mengambil kemaslahatan terbesar dari dua kemaslahatan dan meninggalkan kemaslahatan yang kecil, serta meninggalkan kerusakan terbesar dari dua kerusakan dan menangung kerusakan kecil, itulah yang dianjurkan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ahlul hilli wal aqdiadalah ahlul ikhtiyar dan mereka juga dalah dewan perwakilan rakyat. Banyaknya nama mereka sebab keberagaman tugas yang mereka emban.
Tugas mereka tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin tertinggi negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencangkup melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak Allah.
Dari uraian para ulama tentang ahlul hilli wal aqdi ini tampak hal-hal sebagai berikut:
1.      Ahlul hilli wal aqdi adalah pemegang kekuasaan tertinggi yang mempunyai wewenang untuk memilih dan mem-bai’at imam.
2.      Ahlul hilli wal aqdimempunyai wewenang mengarahkan kehidupan masyarakat kepada yang maslahat.
3.      Ahlul hilli wal aqdimempunyai wewenang membuat undang-undang yang mengikat kepada seluruh umat di dalam hal-hal yang tidk diatur secara tegas oleh Al-quran dan Hadist.
4.      Ahlul hilli wal aqditempat konsultasi imam di dalam menentukan kebijakannya.
5.      Ahlul hilli wal aqdimengawasi jalannya pemerintahan.
wewenang nomor 1 dan 2 mirip dengan wewenang MPR, wewenang nomor 3 dan 5 wewenang DPR, dan wewenang nomor 4 adalah wewenang DPA di Indonesia sebelum amandemen UUD 1945.
Daftar Pustaka
·         Khaliq, Farid Abdul. 2005. Fikih politik islam. Jakarta: Amzah
·         Kurdi, Abdulrahman Abdulkadir. 2000. Tatanan sosial islam. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR
·         Al-Maududi, Abul A’la. 1975. Sistem politik islam. Bandung: Mizan
·         Djazuli, Ahmad. 2003. Fikih siyasah:implementasi kemaslahatan umat dalam rambu-rambu syariah. Jakarta:Kencana
·         Iqbal, Muhammad. 2001. Fikih siyasah:kontekstualisasi doktrin politik islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
·         Mulyati, Sri dkk. 1997. Islam and development:a politico-religious response. Yogyakarta:Titian Ilahi Press
·         Abdullah bin Umar bin sulaiman ad-damiji. 7612. Imamatul ud’mah. Riyadh: Darul tayyibah
·         Pulungan, MA. Dr. J. Suyuthi. 2002. Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


[1]Mulyati, Sri dkk.Islam and development:a politico-religious response. Hlm. 16
[2]Tafsir al-manar, juz 4, hal 32
[3]Khaliq, Farid Abdul.Fikih politik islam.hlm. 107
[4]Syaikh islam ibnu taimiyah, as-siyasah asy syar’iyah, hlm. 182 dan 190
[5]Khaliq, Farid Abdul.Fikih politik islam. hlm, 109
[6]Sayyid rasyid ridha, tafsir al-manar, juz 4, hlm.31
[7]Abdul hamid mutawalli, mabadi al-hukm fil islam, hlm, 202
[8]Al-qadhi abu ya’la muhammad, al-ahkam as-sulthaniyah, hlm 6
[9]Al-mawardi, al-ahkam as-sulthaniyah, hlm 7-8
[10]Tafsir al-manar, hlm, 165
[11]Khaliq, Farid Abdul.  Fikih politik islam.hlm 110
[12]Syaikh muhammad rasyid ridha, al-khilafa, hlm, 66

No comments:

Post a Comment