Monday, June 20, 2016

Sejarah Bai'at Dalam Hukum Tata Negara islam



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar belakang
Bai’at adalah salah satu pembahasan yang dibahas pada saat kita mengkaji Fiqh Siyasah. Bai’at merupakan salah satu materi yang penting untuk dibahas. Pembahasan mengenai bai’at tidak lepas dari kegiatan dalam perpolitikan karena bai’at merupakan salah satu kegiatan politik yang dilakukan oleh umat islam.
Bai’at dikenal sebagai sumpah atau janji setia untuk meyakinkan orang atau masyarakat. Bai’at biasanya dilakukan oleh seorang pemimpin, namun bai’at tidak hanya dilakukan oleh pemimpin saja tetapi juga orang-orang atau suatu masyarakat yang dibai’at oleh pemimpinnya untuk memberikan kepercayaan dalah hal tertentu, misalnya memajukan desa atau dalam hal keagamaan.
Orang yang diibai’at harus faham akan hal kepemimpinannya, karena memahami kepemimpinannya akan menimbulkan suatu tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya.
Hendaknya pembai’atan itu disertai keikhlasan oleh orang yang dibai’at, karena dengan rasa ikhlas segalanya akan terasa lebih ringan dan tidak ada beban leterpaksaan antara yang dibai’at dan yang membai’at.
Masyarakatpun akan lebih tenang jika pemimpin tersebut ikhlas dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya serta memberikan perlindungan kepada rakyat yang kesusahan.
Bai’at sangat penting untuk dibahas karena hal ini menyangkut pilihan kita dalam menentukan pemimpn yang dapat dipercaya serta ikhlas dalam menjalankan tugasnya,  bertanggung jawab akan tugas yang telah diterimanya dan menjaga kepercayaan rakyatnya, oleh karena itu bai’at perlu kita pelajari agar kita dapat mengerti apa sebenarnya bai’at tersebut serta sejarah-sejarahnya pada masa islam terdahulu.  
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Bai’at?
2.      Bagaimana sejarah Bai’at?
2.2  Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui pengertian Bai’at..
2.      Untuk mengetahui sejarah Bai’at.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Bai’at
Bai’at secara terminologi menurut Ibn Manzur, bai’at berasal dari kata ba’a yang berarti “menjual”. Bai’at mengandung makna perjanjian, janji setia atau saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan bai’at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Maka bai’at secara istilah adalah ungkapan perjanjian antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya dan kesetiaannya kepada pihak kedua secara ikhlas dalam hal urusannya.[1]    
Mawardi seems to follow the majority of legal scholars in stating that a contract for the imamate is still required. Etimologically, bay’ah derives from the root “bay’a” meaning to barter, to sell, or to buy.[2]
Dari kalimat diatas dapat diartikan bahwa “Mawardi rupanya mengikuti mayoritas sarjana dalam memulai perjanjian untuk imamah (pemimpin) adalah juga diperlukan. Asal kata, Bay’ah diperoleh dari kata “bay’a” yang berarti untuk dagang, untuk menjual dan atau untuk membeli. 
Jadi dalam bai’at terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan serta kewajiban pihak pertama secara suka rela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga memiliki hk dan kewajiban atas hak pihak pertama yang diterimnya.
Bai’at (Mubaya’ah) juga merupakan suatu pengakuan mematuhi dan menaati imam yang dilakukan oleh ahl al-hall wa al-aqd dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan.[3] Diaud-din Rais mengutip pendapat Ibn Khaldun tentang bai’at ini dan menjelaskan:
Adalah mereka apabila mem-bai’at-kan seseorang amir dan mengikatkan perjanjian, mereka meletakkan tangan-tangan mereka ditangannya untuk menguatkan perjanjian. Hal itu serupa dengan perbuatan si penjual dan si pembeli. Karena itu dinamakanlah dia itu bai’at.[4]
Ibn Khaldun mengatakan bahwa “bila orang muslim memberikan bai’ahnya kepada penguasa dan berjanji akan patuh, mereka meletakkan tangan mereka ditangannya, sesuatu yang sama tindakan penjuak dan pembeli”. Pegang tangan tersebut menjadi simbol bai’at.
Ibn Khaldun menganngap bai’at sebagai sumpah kepatuhan rakyat kepada penguasa. Sebetulnya bai’at melambangkan serah terima kekuasaan rakyat kepada imam, lalu imam berjanji akan melaksanakan hukum islam dan memenuhi harapan-harapan rakyat.[5]
Bai’ah adalah sumpah setia yang mempertalikan pemimpin dan masyarakat. Bai’ah identik dengan sebuah perjanjian dan sebagai mana layaknya semua ragam perjanjian, bai’ah melibatkan dua kelopok: di satu sisi, pihak pemimpin dan masyarakat, di sisi lain tidak hanya ulama yang berperan penting dalam proses konsultasi sebelum bai’ah terwujud, tetapi semua pihak yang berpengetahuan, berbakat, berpengaruh, dan mempunyai kekuasaan juga terlibat dalam proses tersebut.[6]
Dalam bai’at ada kemungkinan tidak seluruh anggota ahl al-hall wa al-aqd membai’at imam, keadaan demikian harus dihindari sedapat mungkin yaitu dengan cara bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan. Namun apabila dengan cara tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, maka imam dapat dibai’at oleh mayaritas ahlul halli wal aqdi. Apabiala telah diabai’at oleh mayoritas maka golongan minoritas harus tetp mentaati dan membantu imam, tidak boleh berusaha menjatuhkan imam kecuali imam melakukan kekafiran yang nyata.

Dalil-dalil Al-Qur’an yang menjelaskan tentang bai’at ini antara lain:
1.      QS. Al-Fath: 10
¨bÎ) šúïÏ%©!$# y7tRqãè΃$t6ム$yJ¯RÎ) šcqãè΃$t7ム©!$# ßtƒ «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷ƒr& 4 `yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Ztƒ 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR ( ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ  
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
2.      QS. At-Taubah: 111
* ¨bÎ) ©!$# 3uŽtIô©$# šÆÏB šúüÏZÏB÷sßJø9$# óOßg|¡àÿRr& Nçlm;ºuqøBr&ur  cr'Î/ ÞOßgs9 sp¨Yyfø9$# 4 šcqè=ÏG»s)ムÎû È@Î6y «!$# tbqè=çGø)uŠsù šcqè=tFø)ãƒur ( #´ôãur Ïmøn=tã $y)ym Îû Ïp1uöq­G9$# È@ÅgUM}$#ur Éb#uäöà)ø9$#ur 4 ô`tBur 4nû÷rr& ¾ÍnÏôgyèÎ/ šÆÏB «!$# 4 (#rçŽÅ³ö6tFó$$sù ãNä3Ïèøu;Î/ Ï%©!$# Läê÷ètƒ$t/ ¾ÏmÎ/ 4 šÏ9ºsŒur uqèd ãöqxÿø9$# ÞOŠÏàyèø9$# ÇÊÊÊÈ  
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan, barangsiapa yang menyempurnakan janjinya dengan Allah hendaknya kamu beri kabar suka dengan janji setia yang kamu telah berjanji setia dengannya, dan Itulah kemenangan yang besar.”
3.      QS. Al-Mumtahanah: 12
$pkšr'¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# #sŒÎ) x8uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# y7uZ÷è΃$t7ム#n?tã br& žw šÆø.ÎŽô³ç «!$$Î/ $\«øx© Ÿwur z`ø%ÎŽô£tƒ Ÿwur tûüÏR÷tƒ Ÿwur z`ù=çFø)tƒ £`èdy»s9÷rr& Ÿwur tûüÏ?ù'tƒ 9`»tFôgç6Î/ ¼çmuZƒÎŽtIøÿtƒ tû÷üt/ £`ÍkÏ÷ƒr&  ÆÎgÎ=ã_ör&ur Ÿwur šoYŠÅÁ÷ètƒ Îû 7$râ÷êtB   £`ßg÷è΃$t6sù öÏÿøótGó$#ur £`çlm; ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÊËÈ  
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Pada intinya bai’at adalah suatu perjanjian atau janji setia yang di ucapkan atau dilakukan oleh dua pihak secara suka rela, hal tersebut dilakukan kedua pihak tersebut percaya satu sama lain.
Dari beberapa pengertian bai’at diatas, penegrtian tersebut mirip dengan teori “kontrak sosial” dalam ilmu politik. Teori tersebut menyatakan seseorang atau sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada seorang atau kepada lembaga yang disepakati. Implikasi teori ini berasal dari rakyat dan memperoleh legitimasi melalui kontark sosial antara dua pihak.[7]
2.2  Sejarah Bai’at
Bai’at pertama terhadap khalifah terjadi di Tsaqie-fah Bani Sa’idah yang diceritakan oleh Ibnu Qutaibah Adainuri sebagai berikut:
kemudian Abu Bakar menghadap kepada orang-orang Anshor memuji Allah dan mengajak mereka untuk bersatu serta melarang berpecah belah selanjutnya Abu Bakar berkata, “saya nasehatkan kepadamu untuk mem-bai’at salah seorang diantara dua orang ini, yaitu Abi Ubaidah bin Jaroh atau Umar, kemudian Umar berkata, “demi Allah, akan terjadikah itu? Padahal, tuan (Abu Bakar), ada diantara kita, tuanlah yang paling berhak memegang persoalan ini, tuan adalah lebih dahulu jadi sahabat Rosulullah dari pada kami, tuanlah muhajirin yang paling utama, tuanlah yang menggantikan Rosullullah mengimami shalat, dan shalat adalah rukun islam yang paling utama. Maka siapakah yang lebih pantas mengurusi persoalan ini dari pada tuan? Ulurkanlah tangan tuan, saya mem-bai’at tuan.”
Pada waktu Usman bin Affan diangkat jadi khalifah, yang mula-mula mem-bai’at adalah Abdurrahman bin Auf yang kemudian diikuti oleh manusia yang ada dimasjid.[8]
Dari uraian diatas tampak yang membai’at adalah ahl al-hall wa al-‘aqd dan kemudian dapat di ikuti oleh rakyat seperti pada waktu pem-bai’atan Usman. Namun dapat juga pembai’atan itu dianggap sah apabila dilakukan oleh anggota-anggota ahl al-hall wa al-‘aqd sebagai mana pembai’atan Umar.
Pada dasarnya bai’at adalah suatu perjanjian yang mengikat jadi isi bai;at tidak selalu sama lafal bai’at dibuat sesuai kebutuhan asal tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah.
Dalam sejarah dikenal dengan bai’at Aqobah I yang terjadi pada tahun 621 M, dan bai’at Aqobah II yang terjadi pada tahun 622 M.
1.      Bai’at Aqobah pertama (621 M)
Bai’at Aqobah pertama terjadi pada tahun 621 M terjadi di suatu bukit yang bernama Aqobah. Bai’at aqobah pertama ini antara Nabi dengan 12 orang dari kabilah Khajraj dan Aus dari Yastrib (Madinah), yang kemudian mereka memeluk agama islam dan berbai’at (bersumpah setia) kepada Nabi Muhammad. Isi bai’at tersebut ada tiga yaitu
a.       Tidak menyekutukan Allah dengan hal apapun.
b.      Melaksanakan apa yang diperintahkan Allah.
c.       Meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah diataranya mencuri, berzina, membunuh anak-anak, menuduh dengan tuduhan palsu, serta mendurhakai Nabi dalam hal kebaikan.
Isi bai’at pertama sedikit tergambar dalam QS. Al-Mumtahanah surat ke 60 ayat 12 yang artinya:
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Maka sudah jelas bahwa bai’at sudah di anjurkan oleh Allah dalam Al-Qur’an agar orang yang membai’at atau yang dibai’at dapat saling percaya dan menepati janji yang telah diucapkan. Serta bertanggung jawab atas apa yang telah dipercayakan kepanya. Tentunya juga melaksanakan kewajiban-kewajiban atas tugasnya
.
2.      Bai’at Aqobah kedua (622 M)
Bai’at Aqobah kedua terjadi pada tahun 622 M. Bai’at Aqobah kedua terjadi antara Nabi dengan 75 orang Yastrib, 73 orang laki-laki dan 2 orang perempuan.
Bai’at Aqobah kedua ini dapat dibilang bai’at kubro. Dalam bai’at ini terjadi dialog antara Rasulullah dengan orang-orang Yastrib. Dan akhirnya orang-orang Yastrib membai’at Rasul dengan kata-kata:
kami berbai’at (janji setia) untuk taat dan selalu mengikuti baik pada waktu kesulitan maupun pada waktu dalam kemudahan, pada waktu senang dan pada waktu susah dan tetap berbicara benar dimanapun kami berada, tidak takut celaan orang didalam membela kalimah Allah”
            Orang-orang Yastrib melakukan bai’at dengan Nabi dan mereka berjanji akan tetap dijalan Allah dalam keadaan apapun, baik susah maupun senang.
            Ada juga peristiwa bai’at lain yang terjadi dalam sejarah, pada masa Nabi dan Sahabat, sekelompok penduduk Madinah berbai’at kepada Nabi ketika beliau hendak hijrah ke kota itu. Kaum muslimin yang menyertai Nabi dalam perjalanan ke Mekkah untuk Umrah pada tahun 6H berbai’at kepada beliau dibawah pohon.
            Fakta sejarah tersebut menunjukkan, praktek kontrak sosial telah dilakukan oleh umat islam generasi pertama. Baru beberapa abad kemudian diteorikan oleh Al-Mawardi, yaitu pada abad XI, sedangkan di Eropa baru muncul petama kali pada adab XVI.[9]
            Dari uraian diatas dapat kita ketahui nilai-nilai yang dapat diambil dari kegiatan bai’at adalah:
1.      Dengan bai’at kita dapat saling percaya kepada pihak yang membai’at atau yang dibai’at.
2.      Untuk pengangkatan imam juga diperlukan bai’at yakni untuk menggambarkan serah terima jabatan oleh rakyat untuk pemimpin.
3.      Dengan bai’at juga dapat membuat orang yang dibai’at atau membai’at memiliki tanggung jawab untuk melaksakan apa yang telah dijanjikannya dengan sebaik-baiknya.
4.      Dan dengan bai’at kita senantiasa ingat bahwa janji seorang yang dibai’at adalah janji kepada Allah karena pada saat kita melakukan bai’at dengan meletakkan tangan maka tangan Allah berada diatas tangan orang-orang tersebut. Hal ini dijelaskan pada Al-Qur’an surat Al-Fath ayat 10.
Dalam ayat tersebut Allah juga menjelaskan “Barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.
Jadi dalam Al-Qur’an pun Allah telah menjelaskan mengenai bai’at atau perjanjian tersebut, maka jelas bai’at sudah ada di zaman Rosulullah dan kita sebagi umat harus meneruskan apa yang telah di lakukan oleh Rosulullah sebagai hal yang positif.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1.      Bai’at adalah janji atau janji setia yang dilakukan oleh dua pihak secara suka rela dan dengan rasa ikhlas. Bai’at merupakan tanda serah terima jabatan dari rakyat kepada seorang imam. Bai’at juga merupakan penyumpahan atau pengukuhan atara dua pihak. Pada intinya bai’at adalah suatu perjanjian antara dua pihak.
Berbagai definisi mengenai bai’at namun kebanyak mengartikan bai’at identik dengan pegang tangan. Setiap orang yang dibai’at meletakkan tangan mereka di tangan pihak satunya.
Dalam hal ini bai’at dilakukan agar kedua pihak saling percaya dan menumbuhkan sikap tanggung jawab orang yang telah dibai’at agar melaksanakan tugasnya dengan baik, seoerti halnya pembai’atan imam dilakukan agar imam melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik.
2.      Dalam sejarah terdapat peristiwa bai’at Aqobah 1 dan bai’at Aqobah 2. Bai’at Aqobah 1 terjadi pada tahun  621 M dan bai’at Aqobah 2 terjadi pada tahun 622 M. Hal tersebut membuktikan bahwa bai’at sudah ada sejak zaman Nabi dan sudah jelas dengan adanya ayat-ayat yang menjelaskan tentang peristiwa bai’at.
3.2  Saran
Tujuan bai’at sangatlah baik untuk meberikan kepercayaan seseorang agar bertanggung jawab dan melaksanakan tugasnya dengan baik. Maka hal tersebut perlu diterapkan sampai kapanpun, hal itu untuk menghindari konflik-konflik yang terjadi antara imam dan rakyat. Karena dengan adanya serah terima jabatan dengan bai’at ini dapat menumbuhkan rasa percaya rakyat kepada imam yang di bai’at untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuan.

Daftar Pustaka

A. Djazuli. 2003. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah. Jakarta: Kencana.
Ash Shiddieqy, Hasbi. 1969. Asas-asas Hukum Tata Negara Islam Menurut Syari’at Islam. Yogyakarta: Matahari Masa.
Ash Shiddieqy, Hasbi. 1971. Ilmu kenegaraan dalam Fiqh islam. Yogyakarta: Matahari Masa,
Mulyati, Sri dkk. 1997. Islam & Development: a Politico Religious Response. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Rahman, Fazlur dkk 1996. Masalah-masalah Teori Politik Islam. Bandung: Mizan.
Sjadzali, Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara, Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: UI press
Jindan, Khalif Ibrahim. 1994. Teori Pemerintahan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Noer, Deliar. 1983. Pengantar Kepemikiran Politik. Jakarta: Rajawali
J Pulungan, Suyuti. 1997. Fiqh Siyasah. Jakarta: Raja Grafindo.



[1] J Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Raja Grafindo, jakarta, 1997. Hlm 72           
[2] Sri Mulyati dkk, Islam & Development: a Politico Religious Response, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1997, hlm 27
[3] Prof. T,M. Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-asas Hukum Tata Negara Islam Menurut Syari’at Islam, Matahari Masa, Yogyakarta, 1969. Hlm 66
[4] Prof. T,M. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu kenegaraan dalam Fiqh islam, Matahari Masa, Yogyakarta, 1971. Hlm 65
[5] Fazlur Rahman dkk, Masalah-masalah Teori Politik Islam, Mizan, Bandung, 1996, hlm 82
[6] Jindan Khalif Ibrahim, Teori Pemerintahan Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm 81
[7] Deliar Noer, Pengantar Kepemikiran Politik, Rajawali, Jakarta, 1983  hlm 79
[8] Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah, Kencana, Jakarta, 2003. Hlm 67
[9] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran dan Pemikiran, UI press, Jakarta, 1990, hlm 67

No comments:

Post a Comment