BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Bai’at adalah
salah satu pembahasan yang dibahas pada saat kita mengkaji Fiqh Siyasah. Bai’at
merupakan salah satu materi yang penting untuk dibahas. Pembahasan mengenai
bai’at tidak lepas dari kegiatan dalam perpolitikan karena bai’at merupakan
salah satu kegiatan politik yang dilakukan oleh umat islam.
Bai’at dikenal
sebagai sumpah atau janji setia untuk meyakinkan orang atau masyarakat. Bai’at
biasanya dilakukan oleh seorang pemimpin, namun bai’at tidak hanya dilakukan
oleh pemimpin saja tetapi juga orang-orang atau suatu masyarakat yang dibai’at
oleh pemimpinnya untuk memberikan kepercayaan dalah hal tertentu, misalnya
memajukan desa atau dalam hal keagamaan.
Orang yang
diibai’at harus faham akan hal kepemimpinannya, karena memahami kepemimpinannya
akan menimbulkan suatu tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya.
Hendaknya
pembai’atan itu disertai keikhlasan oleh orang yang dibai’at, karena dengan
rasa ikhlas segalanya akan terasa lebih ringan dan tidak ada beban leterpaksaan
antara yang dibai’at dan yang membai’at.
Masyarakatpun
akan lebih tenang jika pemimpin tersebut ikhlas dalam menjalankan tugasnya
sebagai pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya serta memberikan
perlindungan kepada rakyat yang kesusahan.
Bai’at sangat
penting untuk dibahas karena hal ini menyangkut pilihan kita dalam menentukan
pemimpn yang dapat dipercaya serta ikhlas dalam menjalankan tugasnya, bertanggung jawab akan tugas yang telah
diterimanya dan menjaga kepercayaan rakyatnya, oleh karena itu bai’at perlu
kita pelajari agar kita dapat mengerti apa sebenarnya bai’at tersebut serta
sejarah-sejarahnya pada masa islam terdahulu.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian
Bai’at?
2. Bagaimana sejarah
Bai’at?
2.2 Tujuan Penelitian
1.
Untuk
mengetahui pengertian Bai’at..
2.
Untuk
mengetahui sejarah Bai’at.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Bai’at
Bai’at secara terminologi menurut Ibn Manzur, bai’at berasal dari kata
ba’a yang berarti “menjual”. Bai’at mengandung makna perjanjian, janji setia
atau saling berjanji dan setia. Dalam pelaksanaan bai’at selalu melibatkan dua
pihak secara suka rela. Maka bai’at secara istilah adalah ungkapan perjanjian
antara dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual apa yang dimilikinya
dan menyerahkan dirinya dan kesetiaannya kepada pihak kedua secara ikhlas dalam
hal urusannya.[1]
Mawardi seems to follow the majority of legal scholars in stating that a
contract for the imamate is still required. Etimologically, bay’ah derives from
the root “bay’a” meaning to barter, to sell, or to buy.[2]
Dari kalimat diatas dapat diartikan bahwa “Mawardi rupanya mengikuti
mayoritas sarjana dalam memulai perjanjian untuk imamah (pemimpin) adalah juga
diperlukan. Asal kata, Bay’ah diperoleh dari kata “bay’a” yang berarti untuk
dagang, untuk menjual dan atau untuk membeli.
Jadi dalam bai’at terjadi penyerahan hak dan pernyataan ketaatan serta
kewajiban pihak pertama secara suka rela kepada pihak kedua. Pihak kedua juga
memiliki hk dan kewajiban atas hak pihak pertama yang diterimnya.
Bai’at (Mubaya’ah) juga merupakan suatu pengakuan mematuhi dan menaati
imam yang dilakukan oleh ahl al-hall wa al-aqd dan dilaksanakan sesudah permusyawaratan.[3]
Diaud-din Rais mengutip pendapat Ibn Khaldun tentang bai’at ini dan menjelaskan:
Adalah
mereka apabila mem-bai’at-kan seseorang amir dan mengikatkan perjanjian, mereka
meletakkan tangan-tangan mereka ditangannya untuk menguatkan perjanjian. Hal
itu serupa dengan perbuatan si penjual dan si pembeli. Karena itu dinamakanlah dia
itu bai’at.[4]
Ibn Khaldun mengatakan bahwa “bila orang muslim memberikan bai’ahnya
kepada penguasa dan berjanji akan patuh, mereka meletakkan tangan mereka
ditangannya, sesuatu yang sama tindakan penjuak dan pembeli”. Pegang tangan
tersebut menjadi simbol bai’at.
Ibn Khaldun menganngap bai’at sebagai sumpah kepatuhan rakyat kepada penguasa.
Sebetulnya bai’at melambangkan serah terima kekuasaan rakyat kepada imam, lalu
imam berjanji akan melaksanakan hukum islam dan memenuhi harapan-harapan
rakyat.[5]
Bai’ah adalah sumpah setia yang mempertalikan pemimpin dan masyarakat.
Bai’ah identik dengan sebuah perjanjian dan sebagai mana layaknya semua ragam
perjanjian, bai’ah melibatkan dua kelopok: di satu sisi, pihak pemimpin dan
masyarakat, di sisi lain tidak hanya ulama yang berperan penting dalam proses
konsultasi sebelum bai’ah terwujud, tetapi semua pihak yang berpengetahuan,
berbakat, berpengaruh, dan mempunyai kekuasaan juga terlibat dalam proses
tersebut.[6]
Dalam bai’at ada kemungkinan tidak seluruh anggota ahl al-hall wa al-aqd
membai’at imam, keadaan demikian harus dihindari sedapat mungkin yaitu dengan
cara bermusyawarah untuk mencapai kesepakatan. Namun apabila dengan cara
tersebut tidak menghasilkan kesepakatan, maka imam dapat dibai’at oleh
mayaritas ahlul halli wal aqdi. Apabiala telah diabai’at oleh mayoritas maka
golongan minoritas harus tetp mentaati dan membantu imam, tidak boleh berusaha
menjatuhkan imam kecuali imam melakukan kekafiran yang nyata.
Dalil-dalil
Al-Qur’an yang menjelaskan tentang bai’at ini antara lain:
1. QS. Al-Fath: 10
¨bÎ) úïÏ%©!$# y7tRqãèÎ$t6ã $yJ¯RÎ) cqãèÎ$t7ã ©!$# ßt «!$# s-öqsù öNÍkÉ÷r& 4
`yJsù y]s3¯R $yJ¯RÎ*sù ß]ä3Zt 4n?tã ¾ÏmÅ¡øÿtR (
ô`tBur 4nû÷rr& $yJÎ/ yyg»tã çmøn=tæ ©!$# ÏmÏ?÷sã|¡sù #·ô_r& $VJÏàtã ÇÊÉÈ
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia
kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di
atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia
melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan Barangsiapa menepati
janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
2. QS. At-Taubah: 111
*
¨bÎ) ©!$# 3utIô©$# ÆÏB úüÏZÏB÷sßJø9$# óOßg|¡àÿRr& Nçlm;ºuqøBr&ur cr'Î/ ÞOßgs9 sp¨Yyfø9$# 4 cqè=ÏG»s)ã Îû È@Î6y «!$# tbqè=çGø)usù cqè=tFø)ãur (
#´ôãur Ïmøn=tã $y)ym Îû Ïp1uöqG9$# È@ÅgUM}$#ur Éb#uäöà)ø9$#ur 4 ô`tBur 4nû÷rr& ¾ÍnÏôgyèÎ/ ÆÏB «!$# 4 (#rçųö6tFó$$sù ãNä3Ïèøu;Î/ Ï%©!$# Läê÷èt$t/ ¾ÏmÎ/ 4 Ï9ºsur uqèd ãöqxÿø9$# ÞOÏàyèø9$# ÇÊÊÊÈ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka
berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah
menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan, barangsiapa
yang menyempurnakan janjinya dengan Allah hendaknya kamu beri kabar suka dengan
janji setia yang kamu telah berjanji setia dengannya, dan Itulah kemenangan
yang besar.”
3. QS. Al-Mumtahanah:
12
$pkr'¯»t ÓÉ<¨Z9$# #sÎ) x8uä!%y` àM»oYÏB÷sßJø9$# y7uZ÷èÎ$t7ã #n?tã br& w Æø.Îô³ç «!$$Î/ $\«øx© wur z`ø%Îô£t wur tûüÏR÷t wur z`ù=çFø)t £`èdy»s9÷rr& wur tûüÏ?ù't 9`»tFôgç6Î/ ¼çmuZÎtIøÿt tû÷üt/ £`ÍkÏ÷r& ÆÎgÎ=ã_ör&ur wur oYÅÁ÷èt Îû 7$râ÷êtB £`ßg÷èÎ$t6sù öÏÿøótGó$#ur £`çlm; ©!$# (
¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî ×LìÏm§ ÇÊËÈ
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan janji setia, bahwa mereka
tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak
akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara
tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik,
Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Pada intinya bai’at adalah suatu perjanjian atau janji setia yang di
ucapkan atau dilakukan oleh dua pihak secara suka rela, hal tersebut dilakukan
kedua pihak tersebut percaya satu sama lain.
Dari beberapa pengertian bai’at diatas, penegrtian tersebut mirip dengan
teori “kontrak sosial” dalam ilmu politik. Teori tersebut menyatakan seseorang
atau sekelompok manusia menyerahkan hak kekuasaan dirinya kepada seorang atau
kepada lembaga yang disepakati. Implikasi teori ini berasal dari rakyat dan
memperoleh legitimasi melalui kontark sosial antara dua pihak.[7]
2.2 Sejarah Bai’at
Bai’at pertama
terhadap khalifah terjadi di Tsaqie-fah Bani Sa’idah yang diceritakan oleh Ibnu
Qutaibah Adainuri sebagai berikut:
“kemudian
Abu Bakar menghadap kepada orang-orang Anshor memuji Allah dan mengajak mereka
untuk bersatu serta melarang berpecah belah selanjutnya Abu Bakar berkata,
“saya nasehatkan kepadamu untuk mem-bai’at salah seorang diantara dua orang
ini, yaitu Abi Ubaidah bin Jaroh atau Umar, kemudian Umar berkata, “demi Allah,
akan terjadikah itu? Padahal, tuan (Abu Bakar), ada diantara kita, tuanlah yang
paling berhak memegang persoalan ini, tuan adalah lebih dahulu jadi sahabat
Rosulullah dari pada kami, tuanlah muhajirin yang paling utama, tuanlah yang
menggantikan Rosullullah mengimami shalat, dan shalat adalah rukun islam yang
paling utama. Maka siapakah yang lebih pantas mengurusi persoalan ini dari pada
tuan? Ulurkanlah tangan tuan, saya mem-bai’at tuan.”
Pada waktu Usman bin
Affan diangkat jadi khalifah, yang mula-mula mem-bai’at adalah Abdurrahman bin
Auf yang kemudian diikuti oleh manusia yang ada dimasjid.[8]
Dari uraian diatas
tampak yang membai’at adalah ahl al-hall wa al-‘aqd dan kemudian dapat di ikuti
oleh rakyat seperti pada waktu pem-bai’atan Usman. Namun dapat juga pembai’atan
itu dianggap sah apabila dilakukan oleh anggota-anggota ahl al-hall wa al-‘aqd
sebagai mana pembai’atan Umar.
Pada dasarnya bai’at
adalah suatu perjanjian yang mengikat jadi isi bai;at tidak selalu sama lafal
bai’at dibuat sesuai kebutuhan asal tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
Al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah.
Dalam sejarah
dikenal dengan bai’at Aqobah I yang terjadi pada tahun 621 M, dan bai’at Aqobah
II yang terjadi pada tahun 622 M.
1. Bai’at Aqobah
pertama (621 M)
Bai’at Aqobah
pertama terjadi pada tahun 621 M terjadi di suatu bukit yang bernama Aqobah. Bai’at
aqobah pertama ini antara Nabi dengan 12 orang dari kabilah Khajraj dan Aus
dari Yastrib (Madinah), yang kemudian mereka memeluk agama islam dan berbai’at
(bersumpah setia) kepada Nabi Muhammad. Isi bai’at tersebut ada tiga yaitu
a. Tidak menyekutukan
Allah dengan hal apapun.
b. Melaksanakan apa
yang diperintahkan Allah.
c. Meninggalkan apa
yang dilarang oleh Allah diataranya mencuri, berzina, membunuh anak-anak,
menuduh dengan tuduhan palsu, serta mendurhakai Nabi dalam hal kebaikan.
Isi
bai’at pertama sedikit tergambar dalam QS. Al-Mumtahanah surat ke 60 ayat 12
yang artinya:
“Hai
Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk Mengadakan
janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri,
tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta
yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan
mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”
Maka sudah jelas bahwa bai’at sudah di anjurkan oleh Allah dalam
Al-Qur’an agar orang yang membai’at atau yang dibai’at dapat saling percaya dan
menepati janji yang telah diucapkan. Serta bertanggung jawab atas apa yang
telah dipercayakan kepanya. Tentunya juga melaksanakan kewajiban-kewajiban atas
tugasnya
.
2. Bai’at Aqobah kedua
(622 M)
Bai’at Aqobah kedua
terjadi pada tahun 622 M. Bai’at Aqobah kedua terjadi antara Nabi dengan 75
orang Yastrib, 73 orang laki-laki dan 2 orang perempuan.
Bai’at Aqobah kedua
ini dapat dibilang bai’at kubro. Dalam bai’at ini terjadi dialog antara
Rasulullah dengan orang-orang Yastrib. Dan akhirnya orang-orang Yastrib
membai’at Rasul dengan kata-kata:
“kami
berbai’at (janji setia) untuk taat dan selalu mengikuti baik pada waktu
kesulitan maupun pada waktu dalam kemudahan, pada waktu senang dan pada waktu
susah dan tetap berbicara benar dimanapun kami berada, tidak takut celaan orang
didalam membela kalimah Allah”
Orang-orang Yastrib melakukan bai’at
dengan Nabi dan mereka berjanji akan tetap dijalan Allah dalam keadaan apapun,
baik susah maupun senang.
Ada juga peristiwa bai’at lain yang
terjadi dalam sejarah, pada masa Nabi dan Sahabat, sekelompok penduduk Madinah
berbai’at kepada Nabi ketika beliau hendak hijrah ke kota itu. Kaum muslimin
yang menyertai Nabi dalam perjalanan ke Mekkah untuk Umrah pada tahun 6H
berbai’at kepada beliau dibawah pohon.
Fakta sejarah tersebut menunjukkan,
praktek kontrak sosial telah dilakukan oleh umat islam generasi pertama. Baru
beberapa abad kemudian diteorikan oleh Al-Mawardi, yaitu pada abad XI,
sedangkan di Eropa baru muncul petama kali pada adab XVI.[9]
Dari uraian diatas dapat kita
ketahui nilai-nilai yang dapat diambil dari kegiatan bai’at adalah:
1.
Dengan bai’at kita dapat saling percaya kepada pihak yang membai’at atau
yang dibai’at.
2.
Untuk pengangkatan imam juga diperlukan bai’at yakni untuk menggambarkan
serah terima jabatan oleh rakyat untuk pemimpin.
3.
Dengan bai’at juga dapat membuat orang yang dibai’at atau membai’at
memiliki tanggung jawab untuk melaksakan apa yang telah dijanjikannya dengan
sebaik-baiknya.
4.
Dan dengan bai’at kita senantiasa ingat bahwa janji seorang yang dibai’at
adalah janji kepada Allah karena pada saat kita melakukan bai’at dengan
meletakkan tangan maka tangan Allah berada diatas tangan orang-orang tersebut.
Hal ini dijelaskan pada Al-Qur’an surat Al-Fath ayat 10.
Dalam
ayat tersebut Allah juga menjelaskan “Barang siapa yang melanggar janjinya
niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang
siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang
besar.
Jadi dalam Al-Qur’an
pun Allah telah menjelaskan mengenai bai’at atau perjanjian tersebut, maka
jelas bai’at sudah ada di zaman Rosulullah dan kita sebagi umat harus
meneruskan apa yang telah di lakukan oleh Rosulullah sebagai hal yang positif.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Bai’at adalah
janji atau janji setia yang dilakukan oleh dua pihak secara suka rela dan
dengan rasa ikhlas. Bai’at merupakan tanda serah terima jabatan dari rakyat
kepada seorang imam. Bai’at juga merupakan penyumpahan atau pengukuhan atara
dua pihak. Pada intinya bai’at adalah suatu perjanjian antara dua pihak.
Berbagai definisi mengenai bai’at
namun kebanyak mengartikan bai’at identik dengan pegang tangan. Setiap orang
yang dibai’at meletakkan tangan mereka di tangan pihak satunya.
Dalam hal ini bai’at dilakukan agar
kedua pihak saling percaya dan menumbuhkan sikap tanggung jawab orang yang telah
dibai’at agar melaksanakan tugasnya dengan baik, seoerti halnya pembai’atan
imam dilakukan agar imam melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik.
2.
Dalam sejarah
terdapat peristiwa bai’at Aqobah 1 dan bai’at Aqobah 2. Bai’at Aqobah 1 terjadi
pada tahun 621 M dan bai’at Aqobah 2
terjadi pada tahun 622 M. Hal tersebut membuktikan bahwa bai’at sudah ada sejak
zaman Nabi dan sudah jelas dengan adanya ayat-ayat yang menjelaskan tentang
peristiwa bai’at.
3.2
Saran
Tujuan bai’at
sangatlah baik untuk meberikan kepercayaan seseorang agar bertanggung jawab dan
melaksanakan tugasnya dengan baik. Maka hal tersebut perlu diterapkan sampai
kapanpun, hal itu untuk menghindari konflik-konflik yang terjadi antara imam
dan rakyat. Karena dengan adanya serah terima jabatan dengan bai’at ini dapat
menumbuhkan rasa percaya rakyat kepada imam yang di bai’at untuk melaksanakan
tugasnya sesuai dengan ketentuan.
Daftar Pustaka
A. Djazuli. 2003.
Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah.
Jakarta: Kencana.
Ash Shiddieqy,
Hasbi. 1969. Asas-asas Hukum Tata Negara Islam Menurut Syari’at Islam. Yogyakarta:
Matahari Masa.
Ash Shiddieqy,
Hasbi. 1971. Ilmu kenegaraan dalam Fiqh islam. Yogyakarta: Matahari
Masa,
Mulyati, Sri dkk.
1997. Islam & Development: a Politico Religious Response. Yogyakarta:
Titian Ilahi Press.
Rahman, Fazlur
dkk 1996. Masalah-masalah Teori Politik Islam. Bandung: Mizan.
Sjadzali,
Munawir. 1990. Islam dan Tata Negara, Ajaran dan Pemikiran. Jakarta: UI
press
Jindan, Khalif
Ibrahim. 1994. Teori Pemerintahan Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Noer, Deliar. 1983.
Pengantar Kepemikiran Politik. Jakarta: Rajawali
J Pulungan,
Suyuti. 1997. Fiqh Siyasah. Jakarta: Raja Grafindo.
[1] J Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Raja Grafindo, jakarta, 1997.
Hlm 72
[2] Sri Mulyati dkk, Islam & Development: a Politico Religious
Response, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1997, hlm 27
[3] Prof. T,M. Hasbi Ash Shiddieqy, Asas-asas Hukum Tata Negara Islam
Menurut Syari’at Islam, Matahari Masa, Yogyakarta, 1969. Hlm 66
[4] Prof. T,M. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu kenegaraan dalam Fiqh islam,
Matahari Masa, Yogyakarta, 1971. Hlm 65
[5] Fazlur Rahman dkk, Masalah-masalah Teori Politik Islam, Mizan,
Bandung, 1996, hlm 82
[6] Jindan Khalif Ibrahim, Teori Pemerintahan Islam, Rineka Cipta,
Jakarta, 1994, hlm 81
[7] Deliar Noer, Pengantar Kepemikiran Politik, Rajawali, Jakarta,
1983 hlm 79
[8] Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat
dalam Rambu-Rambu Syariah, Kencana, Jakarta, 2003. Hlm 67
[9] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran dan Pemikiran,
UI press, Jakarta, 1990, hlm 67
No comments:
Post a Comment