BAB I
A.
LATAR BELAKANG
Dalam wacana
fiqh siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan khilafah. Keduanya
menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam. Istilah
imamah lebih banyak digunakan oleh kalangan Syi’ah sedangkan istilah khalifah
lebih populer penggunaannya dalam masyarakat Sunni. Hanya saja terdapat
perbedaan mendasar antara kedua aliran ini dalam memahami imamah. Kelompok
Syi’ah memandang bahwa imamah merupakan bagian dari prinsip agama, sedangkan
sunni tidak memandang demikian. Meskipun begitu, beberapa pemikir sunni juga
menggunakan terminologi imamah untuk pembahasan tentng khilafah. Hal ini antara
lain dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Mawardi.[1] Di
antara pemikir Sunni modern juga ada yang menggunakan terminologi al-imamah
al ‘uzhma untuk pengertian ini, seperti terlihat dalam tulisan ‘Abd
al-Qadir ‘Audah dan Muhammad Rasyid Ridha.[2]
B.
RUMUSAN MASALAH
a.
Apa pengertian Khilafah dan Imamah?
b.
Apa saja dasar hukum munculnya khilafah dan imamah?
C.
TUJUAN PENULISAN
a.
Untuk mengetahui arti khilafah dan imamah.
b.
Agar mengetahui dasar hukum munculnya khilafah dan imamah.
BAB II
A.
Pengertian Khilafah dan Imamah
Al-Imamah secara
literal (lughawi) berarti “kepemimpinan”. Al-Imam berarti
“pemimpin”. Dalam terminologi Islam al-Imâmah bermakna “otoritas semesta
dalam seluruh urusan agama dan dunia, yang menggantikan peran Nabi Saw.[3]Al-Imam
berarti: “Seorang (pria) yang – menggantikan Nabi – memiliki hak untuk
memerintah secara mutlak dalam urusan kaum muslimin baik dalam urusan dunia maupun
akhirat.
Kata
“seorang (pria)” menunjukkan bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi seorang
imam. “Memerintah secara mutlak” tidak termasuk mereka yang memimpin salat –
mereka juga dipanggil imam – tapi dalam konteks salat jamaah.
Tetapi mereka tidak memiliki otoritas mutlak. Dalam suksesi nabi, suksesi
tersebut menunjukkan perbedaan antara seorang nabi dan seorang imam. Imam
menjalankan otoritas ini secara tidak langsung, melainkan menjalankan tugas ini
untuk menggantikan kedudukan Nabi.
Kata “khilafah”
berarti “pergantian” dan “al-khalifah” bemakna “pengganti”. Dalam
terminologi Islam “al-khilafah” dan “al-khalifah” secara praktis
menandakan arti yang sama dengan “al-imamah” dan “al-imam“.Adapun
al-Wisayah berarti “pelaksanaan wasiat” dan “al-Wasi” bermakna
“pelaksana wasiat”. Secara signifikan maknanya sama dengan “al-khilafah”
dan “al-khalifah“.Menarik untuk diperhatikan bahwa banyak nabi-nabi
sebelumnya juga khalifah dari nabi-nabi pendahulunya, jadi mereka adalah
nabi dan khalifah; sementara nabi-nabi yang lain (yang membawa syari’at
baru) bukan khalifah dari nabi-nabi sebelumnya. Dan diantara mereka ada yang menjadi khalifah nabi-nabi tetapi bukan nabi.
Penegakan
institusi imamah atau khilafah, menurut para fuqaha, mempunyai dua fungsi,
yaitu menegakkan agama islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan
politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan islam. Menurut al-Mawardi,
imamah dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan
mengatur kehidupan dunia. Sejalan dengan pandangan al-Maward Audah
mendefinisikan bahwa khilafah atau imamah adalah kepemimpinan umum umat islam
dalam masalah-masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad
Saw dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan
oleh segenap umat islam.
Dari penjelasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad mempunyai dua fungsi sekaligus
dalam menjalankan dakwahnya, yaitu menyampaikan risalah dari Allah dan
menegakkan peraturan-peraturan duniawi berdasarkan risalah yang dibawanya.
Setelah beliau wafat, fungsi pertama otomatis berakhir dan tidak dapat
dilanjutkan lagi oleh siapapun sebab beliau adalah penutup para rasul. Maka
tinggallah fungsi kedua yang dilanjutkan oleh pengganti beliau. Karena orang
yang menggantikannya (Abu Bakar) hanya melaksanakan peran yang kedua, maka
dinamakan dengan khalifah (khalifah Rasul Allah = pengganti Rasulillah).
Dalam pandangan
islam, antara fungsi religius dan fungsi politik imam atau khalifah tidak dapat
dipisah-pisahkan. Antara keduanya terdapat hubungan timbal balik yang erat
sekali. Di kalangan pemikir-pemikir islam pandangan ini begitu kental hingga
awal abad ke-20, seperti yang akan terlihat tulisan di bawah nanti. Sementara
dalam praktiknya, para khalifah di dunia islam mempunyai kapasitas sebagai
pemimpin agama dan pemimpin politik
sekaligus. Kenyataan ini kemudian melahirkan pandangan di kalangan
pemikir modern bahwa islam merupakan agama dan negara sekaligus, sebagaimana
antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yusuf Musa (al islam din wa dawlah).
Barulah ketika kekhalifahan Turki Usmani melemah dan dihancurkan oleh Musthafa
Kemal Attaturk, timbul wacana pemisahan antara kekuasaan agama dan politik
dalam dunia islam. Attaturk melepaskan segala yang berbau agama dalam kehidupan
Turki modern.
Agar
kepemimpinan Islam (imamah atau khilafah) tersebut berlaku efektif dalam dunia
Islam, maka umat Islam membutuhkan pendiri negara untuk merealisasikan
ajaran-ajaran Islam. Negara dibutuhkan dalam Islam untuk merealisasikan
wahyu-wahyu Allah, maka Islam memandang bahwa negara hanyalah merupakan alat,
bukan tujuan itu sendiri. Karena merupakan alat, para ulama berbeda pendapat
tentang landasan berdirinya negara dalam Islam. Menurut Al-Mawardi, pendirian
negara ini didasarkan pada ijma’ ulama, adalah fardhu kifayah. Pandangannya
didasarkan pada kenyataan sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun dan
khalifah-khalifah setelah mereka. Pandangan ini juga sejalan dengan kaidah yang
menyatakan ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib (suatu
kewajiban tidak sempurna kecuali melalui alat atau sarana, maka alat atau
sarananya itu juga hukumnya wajib). Artinya, menciptakan dan memelihara
kemashlahatan adalah wajib, sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan
tersebut adalah negara. Maka, hukum mendirikan negara juga wajib (fardhu
kifayah).[4]
Pandangan
senada juga dianut oleh juris Sunni lainnya, Al-Ghazali. Menurutnya, agama
adalah landasan bagi kehidupan manusia dan kekuasaan politik (negara) adalah
penjaganya. Keduanya mempunyai hubungan yang erat, politik tanpa agama bisa
hancur, sebaliknya agama tanpa kekuasaan politik dapat hilang dalam kehidupan
manusia. Kekuasaan politik atau negara merupakan penjaga bagi pelaksanaan
agama. Karena itu, pembentukan negara bukanlah didasarkan pada pertimbangan
rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i.
Berbeda dengan
dua pemikir Sunni di atas, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa mengatur kehidupan
umat memang merupakan bagian kewajiban agama yang terpenting. Namun demikian,
hal ini tidak berati bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara.[5]
Ibn Taimiyah menolak ijma’ sebagai landasan kewajiban mendirikan negara. Ia
melakukan pendekatan sosiologis dalam hal ini. Menurutnya, kesejahteraan dan
kemaslahatan manusia tidak akan tercipta kecuali hanya dalam suatu tatanan
sosial dimana setiap orang saling bergantung pada yang lainnya. Oleh sebab itu,
dibutuhkan negara dan pemimpin yang akan mengatur kehidupan sosial tersebut.
Jadi, bagi Ibn Taimiyah, penegakan negara bukanlah salah satu asas atau dasar
agama Islam, melainkan hanya kebutuhna praktis saja.[6]
Kelompok
Khawarij berpendapat hampir sama dengan Ibn Taimiyah. Pendirian negara, menurut
mereka, bukanlah didasarkan pada perintah syar’i. Pertimbangan mendirikan
negara adalah kemaslahatan. Kalau menurut kemaslahatan dibutuhkan negara, maka
hal tersebut boleh dilakukan. Tetapi kalau tanpa negara sudah tercipta
kemaslahatan, maka negara tidak dibutuhkan. Pendapat ini juga dianut oleh
Mu’tazilah. Hanya saja Mu’tazilah menambahkan bahwa akallah yang menetapkan perlu
tidaknya membentuk negara. Konsekuensinya, kalau akal menetapkan perlu
membentuk negara, maka umat Islam wajib mematuhinya. Sebab, kekuatan hukum akal
sama dengan nash. Dalam hal ini, berbeda dengan Khawarij yang terkesan
sederhana dalam cara berpikirnya, kaum Mu’tazilah memberikan argumentasi
teologis dan filosofis dalam menjelaskan landasan berdirinya negara.
Pemikir modern aktivis al-Ikhwan al-Muslimun, ‘Abd al Qadir
‘Audah, mengemukakan enam argumen tentang wajibnya mendirikan negara ini, yaitu
Pertama, khilafah atau imamah merupakan sunnah f’liyah Rasulullah
SAW. sebagaimana pendirian Negara Madinah. Dalam negara ini, beliau menciptakan
satu kesatuan politik dan menyatukan umat Islam dibawah kepemimpinannya. Kedua,
umat Islam, khususnya para sahabat Nabi, sepakat (ijma’) untuk
memilih pemimpin negara setelah wafatnya Rasulullah SAW. Seandainya para
sahabat ketika itu berbeda pendapat tentang penggantian Rasul, tentu saja
pendirian negara juga tidak mereka sepakati. Ketiga, sebagian besar
kewajiban syar’i tergantung pada adanya negara. Kemaslahatan yang hendak
diciptakan oleh Islam tidak akan terwujud tanpa sarananya. Jadi negara
merupakan suatu sarana untuk menciptkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan
dalam kehidupan manusia. Keempat, nash-nash Al-Qur’an dan Hadist Nabi
sendiri mengisyaratkan tentang wajibnya mendirikan negara, seperti dalam surat
An-Nisa 4:59 yang mengatakan: “Taatilah Allah dan taatilah rasulnya serta ulil
amri diantara kamu.” Ulil Amri dalam ayat ini adalah para pemimpin negara yang
melaksanakan kekuasaan pemerintahan di kalangan umat Islam. Sementara hadist
nabi diantaranya menyebutkan bahwa diantara bentuk ketaatan kepada Allah adalah
mematuhi beliau, dan diantara bentuk kepatuhan kepadanya adalah mematuhi para
pemimpin umat Islam. Juga hadist yang mengatakan bahwa orang muslim yang mati
tidak membaiah imam, maka matinya dalam keadaan jahiliyah. Kelima, sesungguhnya
Allah menjadikan umat Islam sebagai satu kesatuan, meskipun berbeda bahasa,
suku bangsa dan warna kulitnya. Perbedaan ini tidak boleh menjadikan mereka
berpecah dan berselisih paham. Karena itu, umat Islam juga merupakan satu
kesatuan politik. Keenam, konsekuensi dari kesatuan politik ini adalah
bahwa umat Islam harus memilih dan mematuhi satu pemimpin tertinggi.
Disamping itu, ‘Audah juga mengemukakan argumentasi kewajiban
mendirikan negara secara akal. Menurutnya, mewujudkan pemerintahan dalam
masyarakat Islam merupakan kebutuhan bagi masyrakat itu sendiri. Sebab, manusia
secara pribadi tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan hidupnya mencapai
kemaslahatan. Mereka membutuhkan negara untuk menciptakan kemaslahatan diantara
mereka dan menghilangkan persengketaan sesama mereka.
The prophet
Muhammad established at one and the same time a religion and a state; as long
as he lived, they both had exactly the same territorial extention. Religious
authority was always exercised by him alone, since according to his thinking
and that of his companions there was no possibility of delegating spiritual
powers to to others, nor of transmitting such power by inheritance after his
death. The series of divine revelations, namely, the qur’an, came to a definite
the end with the prophet Muhammad; after him, the beliavers had only to follow
faithfully his teachings.
However, on his
election Abu Bakr undertook to perform the administrative, legislative and
judical function of Muhammad; it is also reported that he was called the khalifah
of the Prophet. One of the point that led to Abu Bakr’s election was the
fact that he had often led the prayers in the absence of the Prophet; it is
likely that attaching the title of Imam to the ruler in the Muslim community was due
to his role in leading the regular congregational prayers.
Regarding the nature of his authority, AbuBakr is reported to have said
:
Allah has left
a Khalifah over you that you hearts may be united. And your word
established so help me in this sincerity. I shall not extend my hand or tongue
on one when it is not lawful, if God so pleases; and I swear I did not desire
it (the khilafah) at any time nor did I ever ask. Allah for (it) in
secret or in Public. Verily, I have been assigned a heavy task for which I have
no strengh or might and verily I desired that I find the strongest of men for
this in my place; so follow me so long as I follow Allah; when I disobey Him, I
(deserve) no obedience from you..., I am naught but like one of you and when
you see that I have gone right, follow me and if I falter, straighten me....
From the first
days of the caliphate there were some who thought that Ali was entitled to the imamah
because of his close family relationship with the mesenger of Allah (he was his
cousin and so-in-law), even thought the claim was not made directly on this
basis at that stage. Later however Ali’s relationship to the Prophet became a
و هكذا أخذت الإمامة معنى إصطلاخيا إسلاميا, فقصد بالإمام : خليفة
المسلمين و حاكمهم, وتوصف الإمامة أحيانا با الإمامة العظمى أو الكبري تمييزا لها عن الإمامة في
الصلاة, على أن الإمامة إذا أطلقت فإ نها توجه إلى الإمامة الكبري أو العامة, كما
أو ضح ذ لك ابن خزم رحمه اللّه
الترا دف بين ألفاظ : الإمام و
الخليفة و أمير المؤمنين :
و الذين يبدو من استعراض الأ حاد يث
الوا ردت في با ب الخلا فة والإ مامة ا ن الرسول صلى اللّه عليه و سلم و الصحابة و
التابعين الذين رووها لم يفرقوا بين لفظ خليفة و إمام, [7]
B.
Dasar Hukum Munculnya Khilafah dan Imamah
Sesungguhnya kewajiban adanya Khilafah telah disepakati
oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tdk ada khilafiyah (perbedaan pendapat)
dlm masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yg tdk teranggap perkataannya
(laa yu’taddu bihi).
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah
[Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam
[Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang
mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh
Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap
perkataannya saat berbeda pendapat.”
Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir)
menyebutkan, ”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin
seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana
kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara
yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya.
Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan
diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.”
Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir,
tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat
semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan
wajibnya Imamah.
Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh
Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu
Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah
[Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam
(Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang
dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu
yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat
atau bertentangan.” Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah
ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah
Syar’iyyah.
Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :“Wahai
orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri
di antara kamu.” (QS An-Nisaa`: 59)
Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari
ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil
Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah).
Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya
mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam
untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil
Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa
mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya.[8]
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :“Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu.” (QS Al Maidah : 4).
Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah
memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum
muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih
menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah
kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada
Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah
ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk
kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan
Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam
(Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan
berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya
mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu.
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang
memerintahkan qishash (QS Al Baqarah: 17 , hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau had bagi
pencuri dalam QS Al Maidah : 3 , dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya
seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk
wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat
tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.
Adapun dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda
Nabi SAW :
“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa
jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu
wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam
(khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah)
itu wajib hukumnya.
Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :“Jika
ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka
mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu
Dawud).
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan
pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan
urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan
pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan
yang lebih penting. Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih
dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting
dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan
umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat
seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.[9]
BAB
III
A. KESIMPULAN
Penegakan
institusi imamah atau khilafah, menurut para fuqaha, mempunyai dua fungsi,
yaitu menegakkan agama islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan
politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan islam. Menurut al-Mawardi,
imamah dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan
mengatur kehidupan dunia. Sejalan dengan pandangan al-Maward Audah
mendefinisikan bahwa khilafah atau imamah adalah kepemimpinan umum umat islam
dalam masalah-masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad
Saw dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan
oleh segenap umat islam.
Dari penjelasan
di atas, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad mempunyai dua fungsi sekaligus
dalam menjalankan dakwahnya, yaitu menyampaikan risalah dari Allah dan menegakkan
peraturan-peraturan duniawi berdasarkan risalah yang dibawanya. Setelah beliau
wafat, fungsi pertama otomatis berakhir dan tidak dapat dilanjutkan lagi oleh
siapapun sebab beliau adalah penutup para rasul. Maka tinggallah fungsi kedua
yang dilanjutkan oleh pengganti beliau. Karena orang yang menggantikannya (Abu
Bakar) hanya melaksanakan peran yang kedua, maka dinamakan dengan khalifah
(khalifah Rasul Allah = pengganti Rasulullah).
DAFTAR
PUSTAKA
·
Al-Ahkam
al-Sulthoniyah, Beirut:Dar al-Fikr,t.tp.
·
‘Abd al-Qadir
‘Audah, Al-islam wa Audha’una al-Siyasah,(Kairo:al-Mukhtar al-Islam,
1978).
·
Iqbal Muhammad, FIQH SIYASAH Konstektual Doktrin Politik Islam, Gaya
Media Pratama, Jakarta, 2001
·
Ibn Taimiyah, Al-Siyasah al-Syari’yah
·
Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu
Taimiyah, Rineka Cipta,Jakarta, 1994
·
Lubis, Nur
Fadhil, Islam & Development A politico-Religious Rresponse,
Permika-Montreal and LPMI, Yogyakarta, 1997
·
Abdullah bin
umar bin sulaiman ad-dazimi 7612. Imamatul ud’mah riyadh: daruttayyibah
·
Al-Maududi,
Abdul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Mizan, Bandung,
1975
·
Dzajuli, Fiqh
Siyasah, Prenada Media Grup, 2003
[2]‘Abd al-Qadir
‘Audah, Al-islam wa Audha’una al-Siyasah,(Kairo:al-Mukhtar al-Islam,
1978).
[4]Iqbal Muhammad,
FIQH SIYASAH Konstektual Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 2001
[5]Ibn Taimiyah, Al-Siyasah
al-Syari’yah
[6]Jindan, Khalid
Ibrahim, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Rineka
Cipta,Jakarta, 1994
[7] Abdullah bin umar bin sulaiman ad-dazimi 7612. Imamatul ud’mah
riyadh: daruttayyibah
[8] Al-Maududi,
Abdul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Mizan, Bandung,
1975
[9] Dzajuli, Fiqh
Siyasah, Prenada Media Grup, 2003
No comments:
Post a Comment