Monday, June 20, 2016

Penyebab Munculnya Sistem Khilafah dan Imamah



BAB I

A.    LATAR BELAKANG
Dalam wacana fiqh siyasah, kata imamah biasanya diidentikkan dengan khilafah. Keduanya menunjukkan pengertian kepemimpinan tertinggi dalam negara Islam. Istilah imamah lebih banyak digunakan oleh kalangan Syi’ah sedangkan istilah khalifah lebih populer penggunaannya dalam masyarakat Sunni. Hanya saja terdapat perbedaan mendasar antara kedua aliran ini dalam memahami imamah. Kelompok Syi’ah memandang bahwa imamah merupakan bagian dari prinsip agama, sedangkan sunni tidak memandang demikian. Meskipun begitu, beberapa pemikir sunni juga menggunakan terminologi imamah untuk pembahasan tentng khilafah. Hal ini antara lain dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Mawardi.[1] Di antara pemikir Sunni modern juga ada yang menggunakan terminologi al-imamah al ‘uzhma untuk pengertian ini, seperti terlihat dalam tulisan ‘Abd al-Qadir ‘Audah dan Muhammad Rasyid Ridha.[2]

B.     RUMUSAN MASALAH
a.       Apa pengertian Khilafah dan Imamah?
b.      Apa saja dasar hukum munculnya khilafah dan imamah?

C.     TUJUAN PENULISAN
a.       Untuk mengetahui arti khilafah dan imamah.
b.      Agar mengetahui dasar hukum munculnya khilafah dan imamah.





BAB II

A.    Pengertian Khilafah dan Imamah
Al-Imamah secara literal (lughawi) berarti “kepemimpinan”. Al-Imam berarti “pemimpin”. Dalam terminologi Islam al-Imâmah bermakna “otoritas semesta dalam seluruh urusan agama dan dunia, yang menggantikan peran Nabi Saw.[3]Al-Imam berarti: “Seorang (pria) yang – menggantikan Nabi – memiliki hak untuk memerintah secara mutlak dalam urusan kaum muslimin baik dalam urusan dunia maupun akhirat.
Kata “seorang (pria)” menunjukkan bahwa seorang wanita tidak dapat menjadi seorang imam. “Memerintah secara mutlak” tidak termasuk mereka yang memimpin salat – mereka juga dipanggil imam – tapi  dalam konteks salat jamaah. Tetapi mereka tidak memiliki otoritas mutlak. Dalam suksesi nabi, suksesi tersebut menunjukkan perbedaan antara seorang nabi dan seorang imam. Imam menjalankan otoritas ini secara tidak langsung, melainkan menjalankan tugas ini untuk menggantikan kedudukan Nabi.
Kata “khilafah” berarti “pergantian” dan “al-khalifah” bemakna “pengganti”. Dalam terminologi Islam “al-khilafah” dan “al-khalifah” secara praktis menandakan arti yang sama dengan “al-imamah” dan “al-imam“.Adapun al-Wisayah berarti “pelaksanaan wasiat” dan “al-Wasi” bermakna “pelaksana wasiat”. Secara signifikan maknanya sama dengan “al-khilafah” dan “al-khalifah“.Menarik untuk diperhatikan bahwa banyak nabi-nabi sebelumnya juga khalifah dari nabi-nabi pendahulunya, jadi mereka adalah nabi dan khalifah; sementara nabi-nabi yang lain (yang membawa syari’at baru) bukan khalifah dari nabi-nabi sebelumnya. Dan diantara mereka ada yang menjadi khalifah nabi-nabi tetapi bukan nabi.
Penegakan institusi imamah atau khilafah, menurut para fuqaha, mempunyai dua fungsi, yaitu menegakkan agama islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan islam. Menurut al-Mawardi, imamah dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia. Sejalan dengan pandangan al-Maward Audah mendefinisikan bahwa khilafah atau imamah adalah kepemimpinan umum umat islam dalam masalah-masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad Saw dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat islam.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad mempunyai dua fungsi sekaligus dalam menjalankan dakwahnya, yaitu menyampaikan risalah dari Allah dan menegakkan peraturan-peraturan duniawi berdasarkan risalah yang dibawanya. Setelah beliau wafat, fungsi pertama otomatis berakhir dan tidak dapat dilanjutkan lagi oleh siapapun sebab beliau adalah penutup para rasul. Maka tinggallah fungsi kedua yang dilanjutkan oleh pengganti beliau. Karena orang yang menggantikannya (Abu Bakar) hanya melaksanakan peran yang kedua, maka dinamakan dengan khalifah (khalifah Rasul Allah = pengganti Rasulillah).
Dalam pandangan islam, antara fungsi religius dan fungsi politik imam atau khalifah tidak dapat dipisah-pisahkan. Antara keduanya terdapat hubungan timbal balik yang erat sekali. Di kalangan pemikir-pemikir islam pandangan ini begitu kental hingga awal abad ke-20, seperti yang akan terlihat tulisan di bawah nanti. Sementara dalam praktiknya, para khalifah di dunia islam mempunyai kapasitas sebagai pemimpin agama dan pemimpin politik  sekaligus. Kenyataan ini kemudian melahirkan pandangan di kalangan pemikir modern bahwa islam merupakan agama dan negara sekaligus, sebagaimana antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yusuf Musa (al islam din wa dawlah). Barulah ketika kekhalifahan Turki Usmani melemah dan dihancurkan oleh Musthafa Kemal Attaturk, timbul wacana pemisahan antara kekuasaan agama dan politik dalam dunia islam. Attaturk melepaskan segala yang berbau agama dalam kehidupan Turki modern.
Agar kepemimpinan Islam (imamah atau khilafah) tersebut berlaku efektif dalam dunia Islam, maka umat Islam membutuhkan pendiri negara untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam. Negara dibutuhkan dalam Islam untuk merealisasikan wahyu-wahyu Allah, maka Islam memandang bahwa negara hanyalah merupakan alat, bukan tujuan itu sendiri. Karena merupakan alat, para ulama berbeda pendapat tentang landasan berdirinya negara dalam Islam. Menurut Al-Mawardi, pendirian negara ini didasarkan pada ijma’ ulama, adalah fardhu kifayah. Pandangannya didasarkan pada kenyataan sejarah al-Khulafa’ al-Rasyidun dan khalifah-khalifah setelah mereka. Pandangan ini juga sejalan dengan kaidah yang menyatakan ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib (suatu kewajiban tidak sempurna kecuali melalui alat atau sarana, maka alat atau sarananya itu juga hukumnya wajib). Artinya, menciptakan dan memelihara kemashlahatan adalah wajib, sedangkan alat untuk terciptanya kemaslahatan tersebut adalah negara. Maka, hukum mendirikan negara juga wajib (fardhu kifayah).[4]
Pandangan senada juga dianut oleh juris Sunni lainnya, Al-Ghazali. Menurutnya, agama adalah landasan bagi kehidupan manusia dan kekuasaan politik (negara) adalah penjaganya. Keduanya mempunyai hubungan yang erat, politik tanpa agama bisa hancur, sebaliknya agama tanpa kekuasaan politik dapat hilang dalam kehidupan manusia. Kekuasaan politik atau negara merupakan penjaga bagi pelaksanaan agama. Karena itu, pembentukan negara bukanlah didasarkan pada pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i.
Berbeda dengan dua pemikir Sunni di atas, Ibn Taimiyah berpendapat bahwa mengatur kehidupan umat memang merupakan bagian kewajiban agama yang terpenting. Namun demikian, hal ini tidak berati bahwa agama tidak dapat hidup tanpa negara.[5] Ibn Taimiyah menolak ijma’ sebagai landasan kewajiban mendirikan negara. Ia melakukan pendekatan sosiologis dalam hal ini. Menurutnya, kesejahteraan dan kemaslahatan manusia tidak akan tercipta kecuali hanya dalam suatu tatanan sosial dimana setiap orang saling bergantung pada yang lainnya. Oleh sebab itu, dibutuhkan negara dan pemimpin yang akan mengatur kehidupan sosial tersebut. Jadi, bagi Ibn Taimiyah, penegakan negara bukanlah salah satu asas atau dasar agama Islam, melainkan hanya kebutuhna praktis saja.[6]
Kelompok Khawarij berpendapat hampir sama dengan Ibn Taimiyah. Pendirian negara, menurut mereka, bukanlah didasarkan pada perintah syar’i. Pertimbangan mendirikan negara adalah kemaslahatan. Kalau menurut kemaslahatan dibutuhkan negara, maka hal tersebut boleh dilakukan. Tetapi kalau tanpa negara sudah tercipta kemaslahatan, maka negara tidak dibutuhkan. Pendapat ini juga dianut oleh Mu’tazilah. Hanya saja Mu’tazilah menambahkan bahwa akallah yang menetapkan perlu tidaknya membentuk negara. Konsekuensinya, kalau akal menetapkan perlu membentuk negara, maka umat Islam wajib mematuhinya. Sebab, kekuatan hukum akal sama dengan nash. Dalam hal ini, berbeda dengan Khawarij yang terkesan sederhana dalam cara berpikirnya, kaum Mu’tazilah memberikan argumentasi teologis dan filosofis dalam menjelaskan landasan berdirinya negara.
Pemikir modern aktivis al-Ikhwan al-Muslimun, ‘Abd al Qadir ‘Audah, mengemukakan enam argumen tentang wajibnya mendirikan negara ini, yaitu Pertama, khilafah atau imamah merupakan sunnah f’liyah Rasulullah SAW. sebagaimana pendirian Negara Madinah. Dalam negara ini, beliau menciptakan satu kesatuan politik dan menyatukan umat Islam dibawah kepemimpinannya. Kedua, umat Islam, khususnya para sahabat Nabi, sepakat (ijma’) untuk memilih pemimpin negara setelah wafatnya Rasulullah SAW. Seandainya para sahabat ketika itu berbeda pendapat tentang penggantian Rasul, tentu saja pendirian negara juga tidak mereka sepakati. Ketiga, sebagian besar kewajiban syar’i tergantung pada adanya negara. Kemaslahatan yang hendak diciptakan oleh Islam tidak akan terwujud tanpa sarananya. Jadi negara merupakan suatu sarana untuk menciptkan kemaslahatan dan menolak kemudharatan dalam kehidupan manusia. Keempat, nash-nash Al-Qur’an dan Hadist Nabi sendiri mengisyaratkan tentang wajibnya mendirikan negara, seperti dalam surat An-Nisa 4:59 yang mengatakan: “Taatilah Allah dan taatilah rasulnya serta ulil amri diantara kamu.” Ulil Amri dalam ayat ini adalah para pemimpin negara yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan di kalangan umat Islam. Sementara hadist nabi diantaranya menyebutkan bahwa diantara bentuk ketaatan kepada Allah adalah mematuhi beliau, dan diantara bentuk kepatuhan kepadanya adalah mematuhi para pemimpin umat Islam. Juga hadist yang mengatakan bahwa orang muslim yang mati tidak membaiah imam, maka matinya dalam keadaan jahiliyah. Kelima, sesungguhnya Allah menjadikan umat Islam sebagai satu kesatuan, meskipun berbeda bahasa, suku bangsa dan warna kulitnya. Perbedaan ini tidak boleh menjadikan mereka berpecah dan berselisih paham. Karena itu, umat Islam juga merupakan satu kesatuan politik. Keenam, konsekuensi dari kesatuan politik ini adalah bahwa umat Islam harus memilih dan mematuhi satu pemimpin tertinggi.
Disamping itu, ‘Audah juga mengemukakan argumentasi kewajiban mendirikan negara secara akal. Menurutnya, mewujudkan pemerintahan dalam masyarakat Islam merupakan kebutuhan bagi masyrakat itu sendiri. Sebab, manusia secara pribadi tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan hidupnya mencapai kemaslahatan. Mereka membutuhkan negara untuk menciptakan kemaslahatan diantara mereka dan menghilangkan persengketaan sesama mereka.
The prophet Muhammad established at one and the same time a religion and a state; as long as he lived, they both had exactly the same territorial extention. Religious authority was always exercised by him alone, since according to his thinking and that of his companions there was no possibility of delegating spiritual powers to to others, nor of transmitting such power by inheritance after his death. The series of divine revelations, namely, the qur’an, came to a definite the end with the prophet Muhammad; after him, the beliavers had only to follow faithfully his teachings.
However, on his election Abu Bakr undertook to perform the administrative, legislative and judical function of Muhammad; it is also reported that he was called the khalifah of the Prophet. One of the point that led to Abu Bakr’s election was the fact that he had often led the prayers in the absence of the Prophet; it is likely that attaching the title of Imam  to the ruler in the Muslim community was due to his role in leading the regular congregational prayers.
Regarding the nature of his authority, AbuBakr is reported to have said :
Allah has left a Khalifah over you that you hearts may be united. And your word established so help me in this sincerity. I shall not extend my hand or tongue on one when it is not lawful, if God so pleases; and I swear I did not desire it (the khilafah) at any time nor did I ever ask. Allah for (it) in secret or in Public. Verily, I have been assigned a heavy task for which I have no strengh or might and verily I desired that I find the strongest of men for this in my place; so follow me so long as I follow Allah; when I disobey Him, I (deserve) no obedience from you..., I am naught but like one of you and when you see that I have gone right, follow me and if I falter, straighten me....
From the first days of the caliphate there were some who thought that Ali was entitled to the imamah because of his close family relationship with the mesenger of Allah (he was his cousin and so-in-law), even thought the claim was not made directly on this basis at that stage. Later however Ali’s relationship to the Prophet became a
            و هكذا أخذت الإمامة معنى إصطلاخيا إسلاميا, فقصد بالإمام : خليفة المسلمين و حاكمهم, وتوصف  الإمامة أحيانا با الإمامة العظمى أو الكبري تمييزا لها عن الإمامة في الصلاة, على أن الإمامة إذا أطلقت فإ نها توجه إلى الإمامة الكبري أو العامة, كما أو ضح ذ لك ابن خزم رحمه اللّه
الترا دف بين ألفاظ : الإمام و الخليفة و أمير المؤمنين :
و الذين يبدو من استعراض الأ حاد يث الوا ردت في با ب الخلا فة والإ مامة ا ن الرسول صلى اللّه عليه و سلم و الصحابة و التابعين الذين رووها لم يفرقوا بين لفظ خليفة و إمام, [7]

B.     Dasar Hukum Munculnya Khilafah dan Imamah
Sesungguhnya kewajiban adanya Khilafah telah disepakati oleh seluruh ulama dari seluruh mazhab. Tdk ada khilafiyah (perbedaan pendapat) dlm masalah ini, kecuali dari segelintir ulama yg tdk teranggap perkataannya (laa yu’taddu bihi).
“Umat Islam telah sepakat mengenai wajibnya akad Imamah [Khilafah], juga telah sepakat bahwa umat wajib mentaati seorang Imam [Khalifah] yang adil yang menegakkan hukum-hukum Allah di tengah mereka, yang mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum Syariah Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada yang keluar dari kesepakatan ini, orang yang teranggap perkataannya saat berbeda pendapat.”
Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menyebutkan, ”Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum muslimin seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini – sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum muslimin- adalah perkara yang pasti, tak ada pilihan di dalamnya dan tak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakannya termasuk sebesar-besar maksiat, yang akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.”
Kewajiban Khilafah ini bukan hanya pendapat Hizbut Tahrir, tapi pendapat seluruh ulama. Imam Ibnu Hazm menyebutkan bahwa, “Telah sepakat semua Ahlus Sunnah, semua Murji`ah, semua Syiah, dan semua Khawarij akan wajibnya Imamah.
Khusus dalam lingkup empat mazhab Ahlus Sunnah, Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menyebutkan,”Para imam mazhab yang empat [Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, dan Ahmad] rahimahumullah, telah sepakat bahwa Imamah [Khilafah] itu fardhu, dan bahwa kaum muslimin itu harus mempunyai seorang Imam (Khalifah) yang akan menegakkan syiar-syiar agama dan menolong orang yang dizalimi dari orang zalim. Mereka juga sepakat bahwa kaum muslimin dalam waktu yang sama di seluruh dunia, tidak boleh mempunyai dua imam, baik keduanya sepakat atau bertentangan.” Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.
Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT :“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.” (QS An-Nisaa`: 59)
Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah).
Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya.[8]
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT :“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS Al Maidah : 4).
Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu.
Dalil Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah: 17 , hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur: 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 3 , dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu.
Adapun dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.” (HR Muslim, no 1851).
Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya.
Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :“Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).” (HR Abu Dawud).
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya.[9]

BAB III

A.    KESIMPULAN
Penegakan institusi imamah atau khilafah, menurut para fuqaha, mempunyai dua fungsi, yaitu menegakkan agama islam dan melaksanakan hukum-hukumnya, serta menjalankan politik kenegaraan dalam batas-batas yang digariskan islam. Menurut al-Mawardi, imamah dibutuhkan untuk menggantikan kenabian dalam rangka memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia. Sejalan dengan pandangan al-Maward Audah mendefinisikan bahwa khilafah atau imamah adalah kepemimpinan umum umat islam dalam masalah-masalah keduniaan dan keagamaan untuk menggantikan Nabi Muhammad Saw dalam rangka menegakkan agama dan memelihara segala yang wajib dilaksanakan oleh segenap umat islam.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad mempunyai dua fungsi sekaligus dalam menjalankan dakwahnya, yaitu menyampaikan risalah dari Allah dan menegakkan peraturan-peraturan duniawi berdasarkan risalah yang dibawanya. Setelah beliau wafat, fungsi pertama otomatis berakhir dan tidak dapat dilanjutkan lagi oleh siapapun sebab beliau adalah penutup para rasul. Maka tinggallah fungsi kedua yang dilanjutkan oleh pengganti beliau. Karena orang yang menggantikannya (Abu Bakar) hanya melaksanakan peran yang kedua, maka dinamakan dengan khalifah (khalifah Rasul Allah = pengganti Rasulullah).






DAFTAR PUSTAKA

·         Al-Ahkam al-Sulthoniyah, Beirut:Dar al-Fikr,t.tp.
·         ‘Abd al-Qadir ‘Audah, Al-islam wa Audha’una al-Siyasah,(Kairo:al-Mukhtar al-Islam, 1978).
·         Sayyid Said Akhtar R, Ahlulbait Nabi Pewaris Khilafah Rasulullah, 2009.
·         Iqbal Muhammad, FIQH SIYASAH Konstektual Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001
·         Ibn Taimiyah, Al-Siyasah al-Syari’yah
·         Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Rineka Cipta,Jakarta, 1994
·         Lubis, Nur Fadhil, Islam & Development A politico-Religious Rresponse, Permika-Montreal and LPMI, Yogyakarta, 1997
·         Abdullah bin umar bin sulaiman ad-dazimi 7612. Imamatul ud’mah riyadh: daruttayyibah
·         Al-Maududi, Abdul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Mizan, Bandung, 1975
·         Dzajuli, Fiqh Siyasah, Prenada Media Grup, 2003



[1]Al-Ahkam al-Sulthoniyah, Beirut:Dar al-Fikr,t.tp.
[2]‘Abd al-Qadir ‘Audah, Al-islam wa Audha’una al-Siyasah,(Kairo:al-Mukhtar al-Islam, 1978).
[3]Sayyid Said Akhtar R, Ahlulbait Nabi Pewaris Khilafah Rasulullah, 2009.
[4]Iqbal Muhammad, FIQH SIYASAH Konstektual Doktrin Politik Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001
[5]Ibn Taimiyah, Al-Siyasah al-Syari’yah
[6]Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah, Rineka Cipta,Jakarta, 1994
[7] Abdullah bin umar bin sulaiman ad-dazimi 7612. Imamatul ud’mah riyadh: daruttayyibah
[8] Al-Maududi, Abdul A’la, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Mizan, Bandung, 1975
[9] Dzajuli, Fiqh Siyasah, Prenada Media Grup, 2003

No comments:

Post a Comment