PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pada
masa Nabi Muhammad saw sudah ada Negara dan pemerintahan Islam, pandangan demikian
tertuju pada masa beliau berada di kota Yastrib, kota ini kemudian berganti
nama menjadi “Madinah al nabi” dan popular dengan sebutan Madinah.
Terbentuknya Negara Madinah akibat dari perkembangan penganut Islam yang
menjelma menjadi kelompok social dan memiliki kekuatan politik riil pada pasca
periode Mekkah di bawah pimpinan Nabi. Dijelaskan oleh Muhammad Dhiya’ al-Din al- Rayis, dalam karyannya al-Nadzariyat
as-Siyasah al-Islamiyah yang intinya, Telah terbentuk Madinah sebagai Negara Islam
pertama dan telah meletakkan dasar-dasar negeri Islam pertama dan telah
meletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undang Islam.[1]
Setelah Rasulullah wafat, maka tongkat estafet
kepemimpinan dalam Islam digantikan oleh empat orang sahabatanya, yang dimulai
dari Abu Bakar al-Shiddiq sampai
khalifah Ali yang lebih dikenal dengan khalifa’ al-Rasyidun.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Berdasarkan
latar belakang diatas maka penulis akan merumuskan beberapa masalah sebagai
berikut:
1.
Apa yang dimaksud dengan Al-Khulafa’ur Rosyidun ?
2.
Bagaimana pembentukan dan perkembangan sistem
pemerintahan islam pada masa Al-Khulafaur Rosyidun ?
C.
TUJUAN
1.
Dapat mengetahui pengertian dari Al-Khulafa’ur Rosyidun.
2.
Dapat mengetahui perkembangan sistem
pemerintahan pada masa Al-Khulafa’ur Rosyidun
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
AL-KHULAFA’UR ROSYIDUN
Khulafaurrasyidun
adalah pecahan dari kata Khulafa’ dan Al – Rasyidun, Kata Khulafa’ mengandung
pengertian : cerdik, pandai dan pengganti. Sedangkan kata Al – Rasyidun
mengandung pengertian : Lurus Benar dan Mendapat petunjuk.
Pengertian Khulafaurrasyidun adalah :
Artinya
adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya
oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan Nabi
Muhammad setelah ia wafat.[2]
Secara
istilah adalah “ Pengganti yang
cerdik dan benar serta para pemimpin pengganti Rasulullah dalam urusan
kehidupan kaum muslimin, yang sangat adil dan bijaksana, pandai dan cerdik, dan
dalam menjalankan tugasnya senantiasa pada jalur yang benar serta senantiasa
mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada
kaum muslimin agar mereka mengangkat seorang khalifah setelah beliau SAW wafat,
yang dibai'at dengan bai'at syar'iy untuk memerintahkan kaum muslimin
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Menegakkan syari'at Allah, dan berjihad
bersama kaum muslimin melawan musuh-musuh Allah.
Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya
tidak ada Nabi setelah aku, dan akan ada para khalifah, dan banyak
(jumlahnya)." para sahabat bertanya, "Apa yang engkau perintahkan
kepada kami? Nabi SAW
menjawab, "penuhilah bai'at yang pertama, dan yang pertama. Dan Allah akan
bertanya kepada mereka apa-apa yang mereka pimpin." (HR. MUSLIM)
Rasulullah SAW berwasiat kepada kaum muslimin, agar jangan sampai ada masa
tanpa adanya khalifah (yang memimpin kaum muslimin). Jika hal ini terjadi,
dengan tiadanya seorang khalifah, maka wajib bagi kaum muslimin berupaya
mengangkat khalifah yang baru, meskipun hal itu berakibat pada kematian.
B.
PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA
KHOLIFAH ABU BAKAR AS-SHIDDIQ (632-634 M)
Permasalahan pertama yang
muncul setelah Nabi Muhammad wafat adalah suksesi pengangkatan pemimpin. Sehari setelah rasul wafat, kaum ansar memprakarsai
musyawarah besar di Saqifah Bani Sa’idah.[3]
Mereka membicarakan siapa yang akan diangkat menjadi khalifah pengganti
kekuasaan Nabi. Sa’ad ibn ‘Ubaidah menyatakan bahwa ini adalah awal kelemahan yang akan
membawa kepada perpecahan umat Islam.[4]
Political questions surrounded the selection
and eletion of Abu Bakar as caliph since that office was without precedent in
arabia, and his tenure would begin to define it at a critical moment for the
islamic polity, as muslims moved from god's rule under Muhammad to the
appointment of his successors by mere mortals.[5]
Yang artinya, pertanyaan politik dikelilingi pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah karena tanpa adanya preseden dalam negara, dan masa jabatannya akan mulai pada saat yang kritis bagi pemerintahan Islam, sebagai muslim pindah dari kekuasaan Tuhan di bawah Muhammad untuk penunjukan penerusnya oleh manusia belaka.
Akhirnya Abu Bakr terpilih menjadi khalifah
menggantikan Rasulullah,
Setelah terangkatnya menjadi kholifah, Abu Bakr menghadapi para pembangkang terdiri dari suku
Arab yang enggan membayar zakat, nabi-nabi palsu dan orang-orang murtad. Dalam menghadapi
kaum murtad dan pembangkang yang menolak membayar zakat Abu Bakr mengadakan
musyawarah dengan para sahabat lainnya. Abu
Bakr sangat menekankan musyawarah dalam memerangi orang-orang murtad (Perang Riddah).[6]
Yang artinya, Abu Bakr mengirim pesan kepada Kholid bin Walid yang
menjadi pemimpin dalam memerangi orang murtad, yang isi pesannya dia
memerintahkan kepada Kholid untuk bermusyawarah kepada sebagian sahabat sebelum
memutuskan suatu perkara, maka Allah akan memberikan keberkahan dari hasil
musyawarahnya.selain itu menurut Abu Bakr Pembayaran zakat kepada pemerintah
pusat (Madinah) merupakan simbol integrasi dan pengakuan suku Arab terhadap
kekuasaan politik Islam.[7]
Adapun unsur pemerintahan dinas kota
Madinah khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan hukum Negara Madinah
menjadi beberapa propinsi. Dan tiap propinsi menugaskan seorang Amir
atau wali untuk memegang (setingkat jabatan gubernur), para amir di
samping sebagai pemimpin agama, sebagai hakim dan pelaksanaan tugas kepolisian.[8]
Praktek pemerintahan Khalifah Abu Bakar
terpenting lainnya adalah mengenai suksesi kepemimpinan atas inisiatifnya
sendiri dengan menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikannya.[9]
Keputusan-keputusan yang dibuat oleh
khalifah Abu Bakar untuk membentuk beberapa pasukan tersebut, dari segi tata
negara, menunjukkan bahwa ia juga memegang jabatan panglima tertinggi tentara
islam. Hal ini seperti juga berliku di zaman modern ini di mana seorang kepala
negara atau presiden juga sekaligus sebagai pangima tertinggi angkatan
bersenjata.
Mengenai praktek pemerintahan Abu
Bakar di bidang pranata social ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan
kesejahteraan social rakyat.untuk kemaslahatan rakyat ini ia mengolah zakat,
infak,sadaqoh yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah harta rampasan perang
dan jizyah dari warga Negara non-muslim, sebagai sumber pendapatan baitul mal.
Penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan Negara ini di bagikan
untuk kesejahteraan tentara, bagi para pegawai Negara,dan kepada rakyat yang
berhak menerima sesuai ketentuan al-quran.
C.
PERKEMBANGAN SISTEM
PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHOLIFAH UMAR BIN KHATTAB (634-644 M )
Pidato ‘Umar di hadapan
umat Islam untuk menjelaskan visi politik dan arah kebijakan yang akan
dilaksanakannya dalam memimpin kaum muslimin.
“Aku telah dipilih
menjadi khalifah. Kerendahatian Abu Bakr sejalan dengan jiwanya yang terbaik di antara kalian dan lebih kuat
terhadap kalian serta juga lebih mampu memikul urusan-urusan kamu yang penting.
Aku di angkat untuk menjadi khalifah tidak sama dengan beliau. Seandainya aku
tahu ada orang yang lebih kuat unuk memikul jabatan ini dari padaku, maka aku
lebih suka memilih memberikan leherku untuk dipenggali dari pada memikul
jabatan ini”.
Umar bin Khattab sangat tegas didalam memutuskan sesuatu dengan kejujuran,
sebagaimana dijelaskan dalam buku In the Beginning : Hijacking of the
religion of god.[10]
In Fact at one the "shura
Council" gatherings the powerful and well revered caliph, Umar Ibn
Khattab, was once told by certain members of the "shura Council",
" By God if we find any dishonesty in you, we would straighten you out
with our swords." these were the early islamic people and this was how
they practiced the art of wisely exercising power and unafraid democracy
through the islamic "shura" proces.
Yang artinya, Dalam Fakta di "Dewan syura" pertemuan yang kuat dan baik yang
dihadiri dan dihormati khalifah, Umar bin Khattab, pernah diberitahu oleh anggota tertentu dari "Dewan syura", "Demi Allah jika kita menemukan ketidakjujuran dalam diri Anda, kami akan meluruskan Anda dengan pedang kami. "ini adalah orang-orang Islam awal dan ini adalah bagaimana mereka berlatih seni bijaksana menggunakan kekuatan dan demokrasi
Begitu pula terasa pemilihan Umar bin Khattab hampir tidak menimbulkan
perbedaan, mengingat pertimbangan-pertimbangan, yaitu bahwa untuk menghadapi
sejubel persoalan umat Islam pasca Abu Bakar, maka dibutuhkan kepemimpinan
seorang yang tegas dan berwibawa. Tak lain Umar lah orangnya.[11] Negara Islam Madinah mengalami masa kejayaannya pada masa khalifah kedua
ini, sebagaimana dikatakan oleh Fahdi bin Abdullah.[12]
Yang intinya, Catatan histories
menorehkan bahwa Umar bin Khattab, panji-panji Islam kian berkibar bahkan
dengan adanya perluasan ke wilayah-wilayah seperti juga dilakukan oleh Abu
Bakar kekuatan Islam kian terasa. Di samping itu dari
segi pemerintahan ada berbagai kebijakan Umar yang dinilai sangat brilian,
salah satunya adalah desentralisasi administrasi Negara, untuk itu Muhammad
Thair Azhary.[13]
Menyatakan dalam bukunya bahwa Umar-lah khalifah Islam yang melakukan
desentralisasi administrasi Negara. Sistem otonomi yang diterapkan ini tentunya
juga menuntut perubahan sistem kinerja pemerintahan di wilayah-wilayah bagian,
untuk itu tak jarang jika ditemukan terjadi semacam pengembangan struktur
pemerintahan yang pada generasi sebelumnya tidak ditemukan.
D.
PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHOLIFAH UTSMAN BIN
AFFAN (23-35 H/ 644-656 M)
Khalifah Ustman Bin Affan [14],
Setelah Usman bin Affan dilantik menjadi, ia menyampaikan
pidatonya yang menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra pemerintahannya
lebih bercorak agama ketimbang politik belaka sebagai dominan. Dalam pidato itu
usman mengingatkan beberapa hal yang penting:
1. agar
umat islam berbuat baik sebagai bekal untuk hari kematian;
2. agar
umat islam terpedaya kemewahan hidup dunia yang penuh kepalsuan
3. agar
umat islam mau mengambil pelajaran dari masa lalu;
4. sebagai
khalifah ia akan melaksanakan perintah al-quran dan sunnah rasul;
5. di
samping ia akan meneruskan apa yang telah dilkukan pendahulunya juga akan
membuat hal baru yag akan membawa kepada kebajikan
6. umat
islamboleh mengkririknya bila ia menyimpang dari ketentuan hokum
Untuk
pelaksanaan administrasi pemerintahan didaerah, khalifah usman mempercayakannya
kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau propinsi pada masanya
kekuasaan wilayah madinah dibagi menjadi 10 propinsi. Sedangkan kekuasaan
legislative dipegang oleh Dewan Penasehat Syura, tempat khalifah mengadakan
musyawarah dengan para sahabat terkemuka.
Prestsai
tertinggi masa pemerintahan Usman sebagai hasil majlis syura adalah menyusun
al-quran standar , yaitu penyeragaman bacaan dan tulisan al-quran,s eperti yang
dikenal sekarang.naskah salinan al-quran tersebut disimpan dirumah istri nabi
kemudian naskah salinannya atas persetujuan para sahabat dikirim ke beberapa
daerah.
Di
masa pemerintahan Utsman Radhiallahu ‘anhu (644-655 M), Armenia, Tunisia,
Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan
Tabaristan berhasil direbut. Bahkan Umar mengirim utusan ke Cina di tahun 651 M.
sebagaimana dikutip dalam buku Islamic History.[15]
Usman
may even have sent and emissary to china, by the end of the 7th century arab
muslims were trading there. the fiscal strain of such expansion and the growing
independence of arabs outside the peninsula underlay the persisting discontents
that surfaced toward the end of the Utsman reign.
E.
PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHOLIFAH
ALI BIN ABI THOLIB (35-40 H/ 656-661 M)
Setelah wafatnya khalifah Utsman, umat
yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Utsman, membaiat Ali bin Abi Thalib
sebagai Khalifah baru. Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang
khalifah pendahulunya.ia di bai’at di tengah-tengah kematian usman,
pertentangan dan kekacauan dan kebingungan umat islam Madinah. sebab kaum
pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibaiat menjadi khalifah.
Dalam
pidatonya khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat islam:
1. Tetap
berpegang teguh kepada al-quran dan sunnah rasul
2. Taat
dan bertaqwa kepada allah serta mengabdi kepada negara dan sesame
manusia
3. Saling
memelihara kehormatan di antara sesame muslim dan umat lain
4. Terpanggil
untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum,dan
5. Taat
dan patuh kepada pemerintah.
Ali bin Abi Tholib sangat mengistimewakan ro’yu atau pikiran untuk
menyelesaikan persoalan.[16]
Seperti kasus
pembunuhan seorang ahl al-dzimmah oleh seorang
Yang artinya, bahwa
sayyidina Ali bin Abi tholib r.a, melakukan suma tindakan pada dewan syura
dengan keistimewaa tanpa menggunakan ro’yu yang berlebihan dalam menyelesaikan
berbagai urusan.
Muslim. Setelah terbukti
bahwa si muslim bersalah, maka Ali bin Abi Thalib tidak segan untuk menjatuhkan hukuman qishass
kepada si muslim. Namun sebelum pelaksanaan eksekusi qishash terlaksana,
pihak korban mengampuni kesalahan Muslim itu, maka setelah mempertimbangkan
kemungkinan munculnya pemaafan itu, maka akhirnya memutuskan hukum diyat
kepada si pembunuh
Tidak
lama setelah dia di bai’at, Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu menghadapi
pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Yang dikenal dengan nama Perang Jamal
(Unta). Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis
karena pertentangan antar kelompok yang berpangkal dari pembunuhan Usman.namun
Ameer Ali menyatakan:…ia berhasil memecat sebagian besar gubernur yang korupsi
dan mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang
memungkinkan.ia membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan
menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah,serta
mengordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan
Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para
gubernur di Damaskus, Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang didukung oleh sejumlah
bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Sehingga
terjadilah pertempuran yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini
diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan
masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang
yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu.
PENUTUP
KESIMPULAN
A.
Dalam sejarah kaum muslimin hingga
hari ini, pemerintah Islam di bawah institusi Khilafah Islamiah pernah dipimpin
oleh 103 khalifah. Mereka (para khalifah) terdiri dari 4 orang khalifah dari
khulafaur raasyidun, 14 khalifah dari dinasti Umayyah, 18 khalifah dari dinasti
'Abbasiyyah, diikuti dari Bani Buwaih 8 orang khalifah, dan dari Bani Saljuk 11
orang khalifah. Dari sini pusat pemerintahan dipindahkan ke kairo, yang
dilanjutkan oleh 18 orang khalifah. Setelah itu khalifah berpindah kepada Bani
'Utsman. Dari Bani ini terdapat 30 orang khalifah.
Dalam hal ini
yang dimaksud Khalifah Ar-Rasyidah atau Khulafa'ur Rasyidun adalah empat khalifah pertama dalam tradisi Islam, sebagai pengganti Nabi
Muhammad, yang dipandang sebagai pemimpin yang mendapat petunjuk dan patut
dicontoh. Mereka semuanya adalah sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, dan penerusan
kepemimpinan mereka bukan berdasarkan keturunan tetapi berdasarkan hasil dari
musyawarah yang dilakukan oleh para sahabat.
B.
Perlu
dicatat secara umum mengenai beberapa hal yang dicontohkan oleh khulafa
al-Rasyidin dalam memimpin Negara Madinah. Pertama,
mengenai pengangkatan empat orang sahabat Nabi terkemuka itu menjadi Khalifah
dipilih dan di angkat dengan cara yang berbeda. 1) Pemilihan bebas dan
terbuka melalui forum musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya. Karena
Rasulullah SAW tidak pernah menunjuk calon penggantinya. Cara ini terjadi pada
musyawarah terpilihnya Abu Bakar dibalai pertemuan TsaqifahBani Syaidah. 2)
Pemilihan dengan cara pencalonan atau penunjukan oleh khalifah sebelumnya
dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan para sahabat terkemuka dan
kemudian memberitahukan kepada umat islam, dan mereka menyetujuinya. Penunjukan
itu tidak karena ada hubungan keluarga antara khalifah yang mencalonkan dan
calon yang di tunjuk. Cara ini terjadi pada penunjukan Umar oleh khalifah Abu
Bakar. 3) Pemilihan team atau Majelis Syura yang di bentuk khalifah.
Anggota tem bertugas memilih salah seorang dari mereka menjadi khalifah. Cara
ini terjadi pada Usman melalui Majelis Syura yang dibentuk oleh khalifah Umar
yang beranggotakan enam orang. 4) Pengangkatan spontanitas di
tengah-tengah situasi yang kacau akibat pemberontakan sekelompok masyarakat
muslim yang membunuh usman.Cara ini terjadi pada Ali yang dipilih oleh kaum
pemberontak dan umat Islam Madinah. Kedua, Pemerintahan Khulafa’
al-Rasyidin tidak mempunyai konstitusi yang dibuat secara khusus sebagai dasar
dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan. Undang-undang nya adalah Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul ditambah dengan hasil ijtihad khalifah dan keputusan Majelis Syura
dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul yang tidak ada penjelasannya
dalam nash syariat. Ketiga, Pemerintahan khulafa al-Rasyidin juga
tidak mempunyai ketentuan mengenai masa jabatan bagi setiap khalifah. Mereka
tetap memegang jabatan itu selama berpegang kepada syariat islam. Keempat,
dalampenyelenggaraan pemerintahan Negara Madinah khulafa al-Rasyidin
telah melaksanakan prinsip musyawarah, prinsip persamaanbagi semua lapisan
masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, prinsip kebebasan berpendapat,
prinsip keadilan social dan kesejahteraan rakyat. Kelima,dasar
dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan Negara Madinah adalah Al-Qur’an dan
Sunnah rasul, hasil ijtihad penguasa, dan hasil keputusan Majelis Syura.
Karenanya corak Negara Madinah pada periode Khulafa al-Rasyidin tidak jauh
berbeda daripada zamanRasulullah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al- Rayis, Muhammad
Dhiya’ al-Din. 1957. Al-Nadzariyat as-Siyasah al-
Islamiyah. Mesir : Al-Ajlu.
http://ar.wikipedia.org/wiki/الخلفاء الراشدين
Al-Thabari, Ibn Jarir. Juz IV .
Tarikh al-Thabari.
Beirut:Dar al-Fikr.
Bowering, Gerhard. 2013. The Pinceton
Encyclopedia of Islamic Political
Thought.
Oxford: Princeton University press.
Fahdi bin Abdullah. 2013. Mukhtasor Atsaqofah As Siyasah.
Yordania:
Dairoh Maktabah Wathoniyah.
Hasan, Masudul. 1992. History of Islam. India
: Adam Publlisher.
El-Soudani,
Sami M. 2009. In the Beginning : Hijacking of the religion of
god.
USA: Library of congres.
Tim penyusun Texbook sejarah dan kebudayaan
islam. 1981/1982. Sejarah
Dan
Kebudayaan Islam.
Jakarta : Departemen agama.
Azhary, Muhammad Thair.
2003. Negara Hukum; Suatu –Studi Tentang
Prinsip-Prinsipnya Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada
Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bandung : Angkasa.
Laura S . 2010. Islamic History. New York : Britannica
Educational
Publishing.
[1] Seperti dikutip oleh Muhammad Dhiya’ al-Din al- Rayis, al-Nadzariyat
as-Siyasah al-Islamiyah, (Mesir : Al-Ajlu, 1957), h. 15.
[2]
http://ar.wikipedia.org/wiki/الخلفاء الراشدين
[3] Tsaqifah Bani Saidah adalah balai pertemuan di madinah seperti Dar al
nadwah di mekkah, balai pertemuan orang quraisy sudah kebiasaan kaum anshar
berkumpul dib alai itu untuk mamusyawarahkan masalah-masalah umum, sebagaimana
kebiasaan kaum quraiys berkumpul di Daar Al Nadwah, Lihat Muhammad
Dhiya’ al-Din al-Rayis, Op. Cit, h.
25
[4]
Ibn Jarir al-Thabari,Tarikh al-Thabari,Juz
IV(birut:Dar al-Fikr),hal 38.
[5] Gerhard
Bowering, The Pinceton Encyclopedia of Islamic Political Thought, (Oxford:
Princeton University press, 2013), hlm. 13.
[6] Fahdi bin
Abdullah, Mukhtasor Atsaqofah As Siyasah, (Yordania, Dairoh Maktabah
Wathoniyah, 2013), hal.14
[8]
Muhammad Dhiya’ al-Din al- Rayis, al-Nadzariyat
as-Siyasah al-Islamiyah, (Mesir : Al-Ajlu, 1957), hal. 97-98
[9]
Ibid, hal. 100-103
[10]
Sami M. El-Soudani, In the Beginning : Hijacking of the religion of god,(USA: Library
of congres, 2009), hlm.1004.
[11] Tim penyusun
Texbook sejarah dan kebudayaan islam, Sejarah Dan Kebudayaan Islam,Departemen
agama,Jakarta,1981/1982, h. 54
[12]
Fahdi bin
Abdullah, Mukhtasor Atsaqofah As Siyasah, (Yordania, Dairoh Maktabah
Wathoniyah, 2013), hal.16
[13]
Muhammad Thair Azhary, Negara Hukum; Suatu –Studi
Tentang Prinsip-Prinsipnya Dari Segi
Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Bandung
: Angkasa,2003), hal. 42
[14] Nama lengkap
khalifah ketiga ini adalah uthman bin Affan bin Abi al-‘As bin Umayyah bin Abd Shams bin Abd Manaf bin Qusay.
[15]
Laura S . Islamic History, (New
York : Britannica Educational Publishing, 2010), hlm.58
[16]
Fahdi bin
Abdullah, Mukhtasor Atsaqofah As Siyasah, (Yordania, Dairoh Maktabah
Wathoniyah, 2013), hal.18
No comments:
Post a Comment