Monday, June 20, 2016

Sistem Pemerintahan Islam Pada Masa Khulafaur Rasyidin



PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pada masa Nabi Muhammad saw sudah ada Negara dan pemerintahan Islam, pandangan demikian tertuju pada masa beliau berada di kota Yastrib, kota ini kemudian berganti nama menjadi “Madinah al nabi” dan popular dengan sebutan Madinah. Terbentuknya Negara Madinah akibat dari perkembangan penganut Islam yang menjelma menjadi kelompok social dan memiliki kekuatan politik riil pada pasca periode Mekkah di bawah pimpinan Nabi. Dijelaskan oleh Muhammad Dhiya’ al-Din al- Rayis, dalam karyannya al-Nadzariyat as-Siyasah al-Islamiyah yang intinya, Telah terbentuk Madinah sebagai Negara Islam pertama dan telah meletakkan dasar-dasar negeri Islam pertama dan telah meletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undang Islam.[1]
Setelah Rasulullah wafat, maka tongkat estafet kepemimpinan dalam Islam digantikan oleh empat orang sahabatanya, yang dimulai dari Abu Bakar  al-Shiddiq sampai khalifah Ali yang lebih dikenal dengan khalifa’ al-Rasyidun.
B.     RUMUSAN MASALAH
       Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis akan merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan Al-Khulafa’ur Rosyidun ?
2.      Bagaimana pembentukan dan perkembangan sistem pemerintahan islam pada masa Al-Khulafaur Rosyidun ?
C.    TUJUAN
1.      Dapat mengetahui pengertian dari Al-Khulafa’ur Rosyidun.
2.      Dapat mengetahui perkembangan sistem pemerintahan pada masa Al-Khulafa’ur Rosyidun


PEMBAHASAN

A.      PENGERTIAN AL-KHULAFA’UR ROSYIDUN
Khulafaurrasyidun adalah pecahan dari kata Khulafa’ dan Al – Rasyidun, Kata Khulafa’ mengandung pengertian  : cerdik, pandai dan pengganti. Sedangkan kata Al – Rasyidun mengandung pengertian  : Lurus Benar dan Mendapat petunjuk.
Pengertian Khulafaurrasyidun adalah :
الخلفاء الراشدون هو مصطلح سني يشمل الحكام الأربعة الأوائل بعد وفاة النبي محمد
Artinya adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad setelah ia wafat.[2]
Secara istilah adalah “ Pengganti yang cerdik dan benar serta para pemimpin pengganti Rasulullah dalam urusan kehidupan kaum muslimin, yang sangat adil dan bijaksana, pandai dan cerdik, dan dalam menjalankan tugasnya senantiasa pada jalur yang benar serta senantiasa mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kaum muslimin agar mereka mengangkat seorang khalifah setelah beliau SAW wafat, yang dibai'at dengan bai'at syar'iy untuk memerintahkan kaum muslimin berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Menegakkan syari'at Allah, dan berjihad bersama kaum muslimin melawan musuh-musuh Allah.
Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya tidak ada Nabi setelah aku, dan akan ada para khalifah, dan banyak (jumlahnya)." para sahabat bertanya, "Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi SAW menjawab, "penuhilah bai'at yang pertama, dan yang pertama. Dan Allah akan bertanya kepada mereka apa-apa yang mereka pimpin." (HR. MUSLIM) Rasulullah SAW berwasiat kepada kaum muslimin, agar jangan sampai ada masa tanpa adanya khalifah (yang memimpin kaum muslimin). Jika hal ini terjadi, dengan tiadanya seorang khalifah, maka wajib bagi kaum muslimin berupaya mengangkat khalifah yang baru, meskipun hal itu berakibat pada kematian.
B.       PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHOLIFAH ABU BAKAR AS-SHIDDIQ (632-634 M)
Permasalahan pertama yang muncul setelah Nabi Muhammad wafat adalah suksesi pengangkatan pemimpin. Sehari setelah rasul wafat, kaum ansar memprakarsai musyawarah besar di Saqifah Bani Sa’idah.[3] Mereka membicarakan siapa yang akan diangkat menjadi khalifah pengganti kekuasaan  Nabi. Sa’ad ibn ‘Ubaidah menyatakan bahwa ini adalah awal kelemahan yang akan membawa kepada perpecahan umat Islam.[4]
Political questions surrounded the selection and eletion of Abu Bakar as caliph since that office was without precedent in arabia, and his tenure would begin to define it at a critical moment for the islamic polity, as muslims moved from god's rule under Muhammad to the appointment of his successors by mere mortals.[5]
Yang artinya, pertanyaan politik dikelilingi pemilihan  Abu Bakar sebagai khalifah karena tanpa adanya preseden dalam negara, dan masa jabatannya akan mulai pada saat yang kritis bagi pemerintahan Islam, sebagai muslim pindah dari kekuasaan Tuhan di bawah Muhammad untuk penunjukan penerusnya oleh manusia belaka.
Akhirnya Abu Bakr terpilih  menjadi khalifah menggantikan Rasulullah,
Setelah terangkatnya menjadi kholifah, Abu Bakr menghadapi para pembangkang terdiri dari suku Arab yang enggan membayar zakat, nabi-nabi palsu dan orang-orang murtad. Dalam menghadapi kaum murtad dan pembangkang yang menolak membayar zakat Abu Bakr mengadakan musyawarah dengan para sahabat lainnya. Abu Bakr sangat menekankan musyawarah dalam memerangi orang-orang murtad (Perang Riddah).[6]
 





 Yang artinya, Abu Bakr mengirim pesan kepada Kholid bin Walid yang menjadi pemimpin dalam memerangi orang murtad, yang isi pesannya dia memerintahkan kepada Kholid untuk bermusyawarah kepada sebagian sahabat sebelum memutuskan suatu perkara, maka Allah akan memberikan keberkahan dari hasil musyawarahnya.selain itu menurut Abu Bakr Pembayaran zakat kepada pemerintah pusat (Madinah) merupakan simbol integrasi dan pengakuan suku Arab terhadap kekuasaan politik Islam.[7]
Adapun unsur pemerintahan dinas kota Madinah khalifah Abu Bakar membagi wilayah kekuasaan hukum Negara Madinah menjadi beberapa propinsi. Dan tiap propinsi menugaskan seorang Amir atau wali untuk memegang (setingkat jabatan gubernur), para amir di samping sebagai pemimpin agama, sebagai hakim dan pelaksanaan tugas kepolisian.[8]
Praktek pemerintahan Khalifah Abu Bakar terpenting lainnya adalah mengenai suksesi kepemimpinan atas inisiatifnya sendiri dengan menunjuk Umar bin Khattab untuk menggantikannya.[9]
Keputusan-keputusan yang dibuat oleh khalifah Abu Bakar untuk membentuk beberapa pasukan tersebut, dari segi tata negara, menunjukkan bahwa ia juga memegang jabatan panglima tertinggi tentara islam. Hal ini seperti juga berliku di zaman modern ini di mana seorang kepala negara atau presiden juga sekaligus sebagai pangima tertinggi angkatan bersenjata.
Mengenai praktek pemerintahan Abu Bakar di bidang pranata social ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan social rakyat.untuk kemaslahatan rakyat ini ia mengolah zakat, infak,sadaqoh yang berasal dari kaum muslimin, ghanimah harta rampasan perang dan jizyah dari warga Negara non-muslim, sebagai sumber pendapatan baitul mal. Penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber pendapatan Negara ini di bagikan untuk kesejahteraan tentara, bagi para pegawai Negara,dan kepada rakyat yang berhak menerima sesuai ketentuan al-quran.
C.    PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHOLIFAH UMAR BIN KHATTAB (634-644 M )
Pidato ‘Umar di hadapan umat Islam untuk menjelaskan visi politik dan arah kebijakan yang akan dilaksanakannya dalam memimpin kaum muslimin.
“Aku telah dipilih menjadi khalifah. Kerendahatian Abu Bakr sejalan dengan jiwanya yang terbaik di antara kalian dan lebih kuat terhadap kalian serta juga lebih mampu memikul urusan-urusan kamu yang penting. Aku di angkat untuk menjadi khalifah tidak sama dengan beliau. Seandainya aku tahu ada orang yang lebih kuat unuk memikul jabatan ini dari padaku, maka aku lebih suka memilih memberikan leherku untuk dipenggali dari pada memikul jabatan ini”.
Umar bin Khattab sangat tegas didalam memutuskan sesuatu dengan kejujuran, sebagaimana dijelaskan dalam buku In the Beginning : Hijacking of the religion of god.[10]
In Fact at one the "shura Council" gatherings the powerful and well revered caliph, Umar Ibn Khattab, was once told by certain members of the "shura Council", " By God if we find any dishonesty in you, we would straighten you out with our swords." these were the early islamic people and this was how they practiced the art of wisely exercising power and unafraid democracy through the islamic "shura" proces.
Yang artinya, Dalam Fakta di "Dewan syura" pertemuan yang kuat dan baik yang dihadiri dan dihormati khalifah, Umar bin Khattab, pernah diberitahu oleh anggota tertentu dari "Dewan syura", "Demi Allah jika kita menemukan ketidakjujuran dalam diri Anda, kami akan meluruskan Anda dengan pedang kami. "ini adalah orang-orang Islam awal dan ini adalah bagaimana mereka berlatih seni bijaksana menggunakan kekuatan dan demokrasi
Begitu pula terasa pemilihan Umar bin Khattab hampir tidak menimbulkan perbedaan, mengingat pertimbangan-pertimbangan, yaitu bahwa untuk menghadapi sejubel persoalan umat Islam pasca Abu Bakar, maka dibutuhkan kepemimpinan seorang yang tegas dan berwibawa. Tak lain Umar lah orangnya.[11] Negara Islam Madinah mengalami masa kejayaannya pada masa khalifah kedua ini, sebagaimana dikatakan oleh Fahdi bin Abdullah.[12]

Yang intinya, Catatan histories menorehkan bahwa Umar bin Khattab, panji-panji Islam kian berkibar bahkan dengan adanya perluasan ke wilayah-wilayah seperti juga dilakukan oleh Abu Bakar kekuatan Islam kian terasa. Di samping itu dari segi pemerintahan ada berbagai kebijakan Umar yang dinilai sangat brilian, salah satunya adalah desentralisasi administrasi Negara, untuk itu Muhammad Thair Azhary.[13] Menyatakan dalam bukunya bahwa Umar-lah khalifah Islam yang melakukan desentralisasi administrasi Negara. Sistem otonomi yang diterapkan ini tentunya juga menuntut perubahan sistem kinerja pemerintahan di wilayah-wilayah bagian, untuk itu tak jarang jika ditemukan terjadi semacam pengembangan struktur pemerintahan yang pada generasi sebelumnya tidak ditemukan.
D.    PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHOLIFAH UTSMAN BIN AFFAN (23-35 H/ 644-656 M)
       Khalifah Ustman Bin Affan [14], Setelah Usman bin Affan dilantik menjadi, ia menyampaikan pidatonya yang menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang politik belaka sebagai dominan. Dalam pidato itu usman mengingatkan beberapa hal yang penting:
1.      agar umat islam berbuat baik sebagai bekal untuk hari kematian;
2.      agar umat islam terpedaya kemewahan hidup dunia yang penuh kepalsuan
3.      agar umat islam mau mengambil pelajaran dari masa lalu;
4.      sebagai khalifah ia akan melaksanakan perintah al-quran dan sunnah rasul;
5.      di samping ia akan meneruskan apa yang telah dilkukan pendahulunya juga akan membuat hal baru yag akan membawa kepada kebajikan
6.      umat islamboleh mengkririknya bila ia menyimpang dari ketentuan hokum

       Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan didaerah, khalifah usman mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau propinsi pada masanya kekuasaan wilayah madinah dibagi menjadi 10 propinsi. Sedangkan kekuasaan legislative dipegang oleh Dewan Penasehat Syura, tempat khalifah mengadakan musyawarah dengan para sahabat terkemuka.
Prestsai tertinggi masa pemerintahan Usman sebagai hasil majlis syura adalah menyusun al-quran standar , yaitu penyeragaman bacaan dan tulisan al-quran,s eperti yang dikenal sekarang.naskah salinan al-quran tersebut disimpan dirumah istri nabi kemudian naskah salinannya atas persetujuan para sahabat dikirim ke beberapa daerah.
Di masa pemerintahan Utsman Radhiallahu ‘anhu (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil direbut. Bahkan Umar mengirim utusan ke Cina di tahun 651 M. sebagaimana dikutip dalam buku Islamic History.[15]
Usman may even have sent and emissary to china, by the end of the 7th century arab muslims were trading there. the fiscal strain of such expansion and the growing independence of arabs outside the peninsula underlay the persisting discontents that surfaced toward the end of the Utsman reign.

E.     PERKEMBANGAN SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHOLIFAH ALI BIN ABI THOLIB (35-40 H/ 656-661 M)
       Setelah wafatnya khalifah Utsman, umat yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Utsman, membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah baru. Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah pendahulunya.ia di bai’at di tengah-tengah kematian usman, pertentangan dan kekacauan dan kebingungan umat islam Madinah. sebab kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibaiat menjadi khalifah.
Dalam pidatonya khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar umat islam:
1.      Tetap berpegang teguh kepada al-quran dan sunnah rasul
2.      Taat dan bertaqwa kepada allah serta mengabdi kepada negara dan sesame
       manusia
3.      Saling memelihara kehormatan di antara sesame muslim dan umat lain
4.      Terpanggil untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum,dan
5.      Taat dan patuh kepada pemerintah.
Ali bin Abi Tholib sangat mengistimewakan ro’yu atau pikiran untuk menyelesaikan persoalan.[16]


       Seperti  kasus pembunuhan seorang ahl al-dzimmah oleh seorang
Yang artinya, bahwa sayyidina Ali bin Abi tholib r.a, melakukan suma tindakan pada dewan syura dengan keistimewaa tanpa menggunakan ro’yu yang berlebihan dalam menyelesaikan berbagai urusan.
Muslim. Setelah terbukti bahwa si muslim bersalah, maka Ali bin Abi Thalib  tidak segan untuk menjatuhkan hukuman qishass kepada si muslim. Namun sebelum pelaksanaan eksekusi qishash terlaksana, pihak korban mengampuni kesalahan Muslim itu, maka setelah mempertimbangkan kemungkinan munculnya pemaafan itu, maka akhirnya memutuskan hukum diyat kepada si pembunuh
                  Tidak lama setelah dia di bai’at, Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Yang dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta). Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling kritis karena pertentangan antar kelompok yang berpangkal dari pembunuhan Usman.namun Ameer Ali menyatakan:…ia berhasil memecat sebagian besar gubernur yang korupsi dan mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang memungkinkan.ia membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah,serta mengordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.
                  Kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah Radhiallahu ‘anhu, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Sehingga terjadilah pertempuran yang dikenal dengan nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu ‘anhu.


PENUTUP

KESIMPULAN

A.                 Dalam sejarah kaum muslimin hingga hari ini, pemerintah Islam di bawah institusi Khilafah Islamiah pernah dipimpin oleh 103 khalifah. Mereka (para khalifah) terdiri dari 4 orang khalifah dari khulafaur raasyidun, 14 khalifah dari dinasti Umayyah, 18 khalifah dari dinasti 'Abbasiyyah, diikuti dari Bani Buwaih 8 orang khalifah, dan dari Bani Saljuk 11 orang khalifah. Dari sini pusat pemerintahan dipindahkan ke kairo, yang dilanjutkan oleh 18 orang khalifah. Setelah itu khalifah berpindah kepada Bani 'Utsman. Dari Bani ini terdapat 30 orang khalifah.
            Dalam hal ini yang dimaksud Khalifah Ar-Rasyidah atau Khulafa'ur Rasyidun adalah empat khalifah pertama dalam tradisi Islam, sebagai pengganti Nabi Muhammad, yang dipandang sebagai pemimpin yang mendapat petunjuk dan patut dicontoh. Mereka semuanya adalah sahabat dekat Nabi Muhammad SAW, dan penerusan kepemimpinan mereka bukan berdasarkan keturunan tetapi berdasarkan hasil dari musyawarah yang dilakukan oleh para sahabat.
B.                  Perlu dicatat secara umum mengenai beberapa hal yang dicontohkan oleh khulafa al-Rasyidin dalam memimpin Negara Madinah. Pertama, mengenai pengangkatan empat orang sahabat Nabi terkemuka itu menjadi Khalifah dipilih dan di angkat dengan cara yang berbeda. 1) Pemilihan bebas dan terbuka melalui forum musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya. Karena Rasulullah SAW tidak pernah menunjuk calon penggantinya. Cara ini terjadi pada musyawarah terpilihnya Abu Bakar dibalai pertemuan TsaqifahBani Syaidah. 2) Pemilihan dengan cara pencalonan atau penunjukan oleh khalifah sebelumnya dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan para sahabat terkemuka dan kemudian memberitahukan kepada umat islam, dan mereka menyetujuinya. Penunjukan itu tidak karena ada hubungan keluarga antara khalifah yang mencalonkan dan calon yang di tunjuk. Cara ini terjadi pada penunjukan Umar oleh khalifah Abu Bakar. 3) Pemilihan team atau Majelis Syura yang di bentuk khalifah. Anggota tem bertugas memilih salah seorang dari mereka menjadi khalifah. Cara ini terjadi pada Usman melalui Majelis Syura yang dibentuk oleh khalifah Umar yang beranggotakan enam orang. 4) Pengangkatan spontanitas di tengah-tengah situasi yang kacau akibat pemberontakan sekelompok masyarakat muslim yang membunuh usman.Cara ini terjadi pada Ali yang dipilih oleh kaum pemberontak dan umat Islam Madinah. Kedua, Pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin tidak mempunyai konstitusi yang dibuat secara khusus sebagai dasar dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan. Undang-undang nya adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul ditambah dengan hasil ijtihad khalifah dan keputusan Majelis Syura dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul yang tidak ada penjelasannya dalam nash syariat. Ketiga, Pemerintahan khulafa al-Rasyidin juga tidak mempunyai ketentuan mengenai masa jabatan bagi setiap khalifah. Mereka tetap memegang jabatan itu selama berpegang kepada syariat islam. Keempat, dalampenyelenggaraan pemerintahan Negara Madinah khulafa al-Rasyidin telah melaksanakan prinsip musyawarah, prinsip persamaanbagi semua lapisan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, prinsip kebebasan berpendapat, prinsip keadilan social dan kesejahteraan rakyat. Kelima,dasar dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan Negara Madinah adalah Al-Qur’an dan Sunnah rasul, hasil ijtihad penguasa, dan hasil keputusan Majelis Syura. Karenanya corak Negara Madinah pada periode Khulafa al-Rasyidin tidak jauh berbeda daripada zamanRasulullah.


DAFTAR PUSTAKA
Al- Rayis, Muhammad Dhiya’ al-Din. 1957. Al-Nadzariyat as-Siyasah al-
            Islamiyah. Mesir : Al-Ajlu.                                                                
http://ar.wikipedia.org/wiki/الخلفاء الراشدين
Al-Thabari, Ibn Jarir. Juz IV . Tarikh al-Thabari. Beirut:Dar al-Fikr.
Bowering, Gerhard. 2013. The Pinceton Encyclopedia of Islamic Political
            Thought. Oxford: Princeton University press.
Fahdi bin Abdullah. 2013.  Mukhtasor Atsaqofah As Siyasah. Yordania:
            Dairoh Maktabah Wathoniyah.
Hasan, Masudul. 1992.  History of Islam.  India : Adam Publlisher.
El-Soudani, Sami M. 2009. In the Beginning : Hijacking of the religion of
            god. USA: Library of congres.               
Tim penyusun Texbook sejarah dan kebudayaan islam. 1981/1982. Sejarah
            Dan Kebudayaan Islam. Jakarta : Departemen agama.
Azhary, Muhammad Thair. 2003. Negara Hukum; Suatu –Studi Tentang
Prinsip-Prinsipnya   Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bandung : Angkasa.

Laura S . 2010.  Islamic History. New York : Britannica Educational
            Publishing.


[1] Seperti dikutip oleh Muhammad Dhiya’ al-Din al- Rayis, al-Nadzariyat as-Siyasah al-Islamiyah, (Mesir : Al-Ajlu, 1957), h. 15.
[2] http://ar.wikipedia.org/wiki/الخلفاء الراشدين
[3] Tsaqifah Bani Saidah adalah balai pertemuan di madinah seperti Dar al nadwah di mekkah, balai pertemuan orang quraisy sudah kebiasaan kaum anshar berkumpul dib alai itu untuk mamusyawarahkan masalah-masalah umum, sebagaimana kebiasaan kaum quraiys berkumpul di Daar Al Nadwah, Lihat Muhammad Dhiya’ al-Din  al-Rayis, Op. Cit, h. 25
[4] Ibn Jarir al-Thabari,Tarikh al-Thabari,Juz IV(birut:Dar al-Fikr),hal 38.
[5] Gerhard Bowering, The Pinceton Encyclopedia of Islamic Political Thought, (Oxford: Princeton University press, 2013), hlm. 13.
[6] Fahdi bin Abdullah, Mukhtasor Atsaqofah As Siyasah, (Yordania, Dairoh Maktabah Wathoniyah, 2013), hal.14
[7] Masudul Hasan,History of Islam,( india, Adam Publlisher,1992), hal 144.
[8] Muhammad Dhiya’ al-Din al- Rayis, al-Nadzariyat as-Siyasah al-Islamiyah, (Mesir : Al-Ajlu, 1957), hal. 97-98
[9] Ibid, hal. 100-103
[10] Sami M. El-Soudani, In the Beginning : Hijacking of the religion of god,(USA: Library of congres, 2009), hlm.1004.
[11] Tim penyusun Texbook sejarah dan kebudayaan islam, Sejarah Dan Kebudayaan Islam,Departemen agama,Jakarta,1981/1982, h. 54
[12] Fahdi bin Abdullah, Mukhtasor Atsaqofah As Siyasah, (Yordania, Dairoh Maktabah Wathoniyah, 2013), hal.16
[13] Muhammad Thair Azhary, Negara Hukum; Suatu –Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya   Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Bandung : Angkasa,2003), hal. 42
[14] Nama lengkap khalifah ketiga ini adalah uthman bin Affan bin Abi al-‘As bin Umayyah bin  Abd Shams bin Abd Manaf bin Qusay.
[15] Laura S . Islamic History,  (New York : Britannica Educational Publishing, 2010), hlm.58
[16] Fahdi bin Abdullah, Mukhtasor Atsaqofah As Siyasah, (Yordania, Dairoh Maktabah Wathoniyah, 2013), hal.18

No comments:

Post a Comment