BAB I
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan
sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas
diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan untuk
mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat
dipenuhi, walaupun tidak seluruhnya, dlam keadaan yang tidk memerlukan desakan
dari dalam atau orang lain.terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhannya dan
harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa pemikiran
matang yang dapat merugikan linkungan atau manusia lain.
Hal seperti itu
akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari
kehidupan yang benilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan
yang bernilai baik itu diperlukan suatu pertanggungjawaban dari perilaku yang
berbuat sampai da ketidakseimbangan. Dan pertanggungjwaban yang wajib
dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidakenakan masyarakat supaya
dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Pemberi pelimpahan
dilakukan oleh individu atau sekelompok orang yang berwenang untuk itu sebagai
tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan penerima limpahan dalam
mempertanggungjawabkan perbuatannya pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut
“dipidanakan”. Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan
suatu hukuman untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dinilai kurang
baik dan membahayakan kepentingan umum.
Berat ringannya
hukum yang wajib dijalankan oleh seseorang untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya tergantung dari penilaian masyarakat atas perbuatan orang itu. Dan
penilaian yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu perbuatan baik ata
tidak sesuai dengan ukuran rasa keadilan dan kepentingan umum. Oleh karena itu,
ketentuan-ketentuan dalam pidana yang menjadi tolak ukurya adalah kepenigan
masyarkat secara umum.
- Rumusan Masalah
a. Apa
pengertian ajaran percobaan pidana dan ajaran perbarengan pidana?
b. Apa
saja teori-teori dari percobaan pidana?
c. Apa
saja macam-macam dari ajaran perbarengan pidana?
- Tujuan penulisan
a. Mengetahui
apa pengertian ajaran percobaan pidana dan ajaran pebarengan pidana.
b. Mengetahui
teori-teori percobaan pidana.
c. Mengetahui
macam-macam ajaran perbarengan pidana.
BAB II
PERCOBAAN
1.
Arti kata percobaan
Pada
umumnya kata “percobaan” atau pogging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya
tidak atau belum tercapai
Dalam hukum pidana
“percobaan” merupakan suatu pengertian teknik yang agak banyak segi atau
aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya ialah, bahwa apabila dalam
hukum pidana dibicarakan hal “percobaan” maka sudah tetap, bahwa tujuan yang
dikejar adalah tidak tercapai. Unsur “belum tercapai” tidak ada, dan maka dari
itu tidak menjadi persoalan.
2.
Pengertian dalam hukum pidana
Pasal
53 KUHP berbunya sebagai berikut:
a)
Percobaan
akan melakukan suatu kejahatan, dikenakan hukuman pidana, apabila kehendak
sipelaku sudah nampak dengan permulaan pelaksanaan, dan pelaksanaan ini tidak
selesai hanya sebagai akibat dari hal-hal yang tidak tergantung dari kemauan si
pelaku.
b)
Maksimum
hukuman-hukuman pokok (hoofdstrffen) pada kejahatan yang bersangkutan dikurangi
dengan sepertiga.
c)
Apabila
suatu kejahatan dapat dikenakan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup, maka maksimum
hukuman menjadi hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
d)
Hukuman-hukuman
tambahan (bijkomende straffen) bagi “percobaan kejahatan”adalah sama dengan
kejahatan yang selesai diperbuat.
Percobaan untuk melakukan suatu “pelanggaran”tidak dikenakan
hukuman pidana.[1]
3.
Unsur-unsur
percobaan menurut rumusan pasal 53 ayat
1KUHPid, yaitu:
a.
Adanya
niat;
b.
Adanya
permulaan pelaksanaan yang menyatakan niat;
c.
Pelaksanaan
itu tidak selesai;
d.
Tidak
selesainya pelaksanaan bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri.
Sebenarnya unsur
“tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri”
bukan merupakan unsur percobaan. Jika ini lebih merupakan alasan penghapus
pidana. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata karena kehendaknya sendiri, maka
yang bersangkutan tidak dapat dipidana.[2]
Teori Objektif dan Subjektif tentang
Percobaan
Dari
aspek teoritis yang menayakan tentang meupakan dasar pikiran suatu percobaan
untuk melakukan tindak pidana, jadi perbuatan itu belum merupakan suatu delik selesai,
yang sudah dipandang perlu dipidana.
Untuk
menjawab pertanyyan tersebut dalam hukum ilmu pidana dikenal teori-teori
tentang dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana yang terdiri dari atas
teori percobaan objektif, dengan pendukungnya yang terkenal adalah D. Simons,
dan teori percobaan subjektif, dengan pendukungnya antara lain adalah G. A. Van
Hamel.
Menurut
teori percobaan yang objektif, dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana
adalah bahwa perbuatan itu telah membahayakan suatu kepentingan hukum. Dan
menurut teori percobaan Subjektif, dasar dapat dipidananya adalah watak yang
berbahaya bagi si pelaku.
Masing-masing
teori ini membawa konsekuensi yang berbeda mengenai batas permulaan pelaksanaan
dan percobaan yang tidak mampu. Konsekuensi yang berkenaan dengan batas
permulaan pelaksanaan akan dibahas dalam sub bab berikut. Sehingga yang akan
dibahas disini adalah berkenaan dengan percobaan yang tidak mampu.
Kehendak Melakukan Tindak Pidana
Diatas
telah dikemukakan bahwa pasal 53 KUHP menentukan syarat-syarat untuk menegakkan
hukuman pidana pada percobaan tindak pidana. Syarat pertama adalah kehendak
(voornemen) melakukan tindak pidana.
Perkataan
voornemen atau “kehendak” berarti adanya suatu tujuan yang diarah kepada
sesuatu. Maka akan timbul persoalan, apakah bagi tindak pidana yang berunsur
kesengajaan, percobaan, atau poging hanya dikenakan hukuman pidana apabila
kesengajaannya bermacam tujuan.[3]
Permulaan Pelaksanaan Tindak Pidana
Ini
adalah syarat kedua untuk mempidanakan percobaan tindak pidana yang merupakan
soal yang paling sulit dalam hal percobaan tindak pidana.
Dengan
diisyaratkan permulaan pelaksanaan tindak pidana, maka timbul penggolongan
semua perbuatan yang belum merupakan penyelesaian tindak pidana menjadi dua
golongan, yaitu ke-1 golongan pelaksanaan tindak pidana
(uitveorings-handeling), dan ke-2 golongan persiapan tindak pidana
(voorbereidings-handeling) dengan pengertian, bahwa hanya perbuatan pelaksanaan
tindak pidana dapat merupakan percobaan yang dapat dikenakan hukuman pidana.
Pelaksanaan Tidak Selesai
Tidak
selesainya pelaksanaan menyebabkan perbuatan suatu percobaan. Justru karena
tidak selesainya pelaksanaan sehingga perbuatan itu diklasifikasi sebagai
percobaan.
Tidak
selesainya pelaksanaan itu dapat terjadi karena berbagai sebab, baik oleh sebab
yang di luar kehendak si pelaku maupun oleh kehendak dari si pelaku sendiri.
Perlu
pula dikemukakan bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu yang percobaannya sudah
ditentukan sebagai delik selesai oleh pembentuk undang-undang, malahan ada
perbuatan yang persiapannya sudah ditentukan sebagai delik selesai oleh
pembentuk undang-undang.
Tidak Selesainya Pelaksanaan Bukan
Semata-mata Karena Kehendaknya Sendiri
Hal
yang disebutkan pada angka 4 ini, sebenarnya bukan syarat untuk dipidananya
percobaan melakukan kejahatan melainkan merupakan alasan pengecualian pidana.
Dengan
demikian, yang menjadi syarat-syarat untuk dapat dipiananya percobaan tindak
pidana (kejahatan) adalah;
1.
Adanya
niat untuk melakukan kejahatan;
2.
Niat
itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan;
3. Pelaksanaan itu tidak selesai.
Percobaan yang Tidak Mampu
Dalam
KUHPid tidak diatur mengenai percobaan yang tidak mampu ini. Tetapi dalam
doktrin telah diadakan rincian antara:
1.
Percobaan
yang alatnya tidak mampu, yang terdiri atas:
a.
Alat
yang absolut tidak mampu;
b.
Alat
yang relatif tidak mampu.
2.
Percobaan
yang objeknya tidak mampu, yang terdiri atas:
a.
Objek
yang absolut tidak mampu;
b. Objek yang relatif tidak mampu.
Dari
sudut pandang teori percobaan objektif, dalam hal alat absolut tidak mampu dan
objek absolut tidak mampu, pelakunya tidak dapat dipidanakan karena tidak ada
suatu kepentingan hukum yang telah dapat dipidanakan karena tidak ada suatu
kepentingan hukum yang telah dibahayakan.
Dari
sudut pandang teori percobaan subjektif, baik alat tidak mampu secara absolut
dan relatif maupun objek tidak mampu secara absolut dan relatif, pelakunya
tetap dapat dipidana karena percobaan tindak pidana. Hal ini disebabkan dasar
dapat dipidananya percobaan tindak pidana adalah watak yang berbahaya dari si
pelaku, sedangkan dalam hal ini pelaku telah melakukan perbuatan yang
menunjukkan wataknya yang berbahaya. Tidak terjadinya suatu akibat yang
dikehendaki oleh si pelaku, hanyalah soal kebetulan saja yang tidak memengaruhi
hal perlu dipidananya si pelaku.
A. Pengertian
Perbarengan Tindak Pidana
Perbarengan
(Belanda: samenloop; Latin: concursus) tindak pidana adalah
peristiwa dimana seseorang melakukan perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang
melanggar beberapa ketentuan pidana, dan beberapa tindak pidana itu diadili
sekaligus. Ada beberapa ketentuan pidana atau melakukan beberapa perbuatan yang
melanggar beberapa ketentuan pidana.[4]
Pengaturan
perbarengan tindak pidana berkaitan dengan pidana yang akan dikenakan.
B. Macam-Macam
Perbarengan
Tiga macam
perbarengan dalam KUHPid :[5]
1. Pembarengan
peraturan
Dalam
pasal 63 ayat 1 dan 2 KUHPid disebut tentang “suatu perbuatan masuk dalam lebih
dari sautu aturan pidana”.
Jenis
pembarengan ini dinamakan pembarengan peraturan. Dalam bahasa belanda ini di
namakan eendaadese samenloop, yaitu
pembarengan dalam satu perbuatan, karena dalam suatu perbuatan saja tetapi
suatu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan pidana.
2. Perbuatan
berlanjut
Dalam
pasal 64 ayat 1 disebutkan tentang “beberapa perbuatan, meskipun masing-masing
merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedimikian rupa sehingga
harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut”
3. Pembarengan
perbuatan
Dalam
pasal 65 pasal 1 KUHPid disebutkan tentang “beberapa perbuatan yang harus di pandang
sebagai perbuatan yang berdiri sendiri”.
Jenis
pembarengan ini dinamakan pembarengan perbuatan. Dalam bahasa belanda ini
dinamakan meerdaandse samenloop,
yaitu pemberangan pembarengan perbuatan, karena ada beberapa perbuatan yang
diulakukan.
Dalam
bahasa latin dinamakan concursus realis, karena perbarengan itu merupakan
kenyataan (realis) bukan sekadar ada dalam pikiran (idealis) saja.
Gabungan
perbuatan yang dapat dihukum mempunyai tiga bentuk,concursus ini diatur dalam
title VI KUHP,adalah sebagai berikut :[6]
1. concursus idealis (pasal 62 KUHP)
2. perbuatan
berlanjut (delik berlanjut pasal 64 KUHP)
3. concursus
realis (pasal 65 s/d 71 KUHP)
KUHP mengatur
perbarengan tindak pidana bab 4 pasal 63-71. Dalam rumusan pasal maupun bab IX
KUHP tidak memberikan definisi perbarengan tindak pidana ini.
A.
Concursus
idealis (pasal 63 KUHP)
Concursus
idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan
pidana. Sistem pemberian pidana yang di pakai concursus idealis adalah system
absorbs, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Misalnya terjadi
pemerkosaan di jalan umum. Makan pelaku dapat di ancam dengan pidana penjara 12
tahun menurut pasal 285. Dengan absorpsi maka di ambil yang terberat yaitu
12 tahun penjara.
B.
Perbuatan Berlanjut
(pasal 64 KUHP)
Perbuatan
berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan
atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan demikian rupa.
Sehingga harus dipandang sebagai satu peerbuatan berlanjut.
Dalam MvT (Memorie
Van Toelichting ) kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedimikian
rupa sehingga harus di pandang sebagai satu perbuatan berlanjut” .
1. Harus
ada keputusan kehendak ;
2. Masing-masing
perbuatan harus sejenis ;
3. Tenggang
waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.
C.
Concursus Realis
(Pasal 65 KUHP)
Concursus realis
terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing
perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis
dan tidak perlu berhubungan).
System pemberian
pidana concursus realis ada beberapa macam, yaitu
1. Apabila
berupa terjadi perbuatan kejahatan yang di ancan dengan pidana pokok sejenis,
maka hanya dekenakan pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak
boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Misal A melakukan
tiga kejahatan yang masing-masing di ancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan
9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun di tambah (1/3 X 9) tahun = 12 tahun
penjara . jika A melakukan dua kejahatan yang di ancam dengan pidana 1 tahun
dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun +9
tahun = 10 penjara. Tidak di kenakan 9 tahun (1/3 X 9) tahun , karena 12 tahun
melebihi jumlah maksimum pidana 10 tahun.
2. Apabila
berupa kejahatan yang di ancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka
semua jenis ancama pidana untuk tiap-tiap di jatuhkan, tetapi jumlahnya tidak
melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. System ini dinamakan
sitem komulasi diperlunak.
3. Apabila
concursus realis berupa pelanggaran maka menggunakan komulasi, yaitu jumlah
semua pidana yang di ancamkan. Namun jumlah semua pidana di batasi sampai
maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.
4. Apabila
concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu pasal 302 ayat(1)
penganiyaan ringan terhadap hewan, pasal
352(penganiyaan ringan), pasal 364 (pencurian ringan), pasal 379 (penipuan
ringan), dan pasal 482 (penadahan ringan), maka berlaku system komulasi dengan
pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan.
5. Untuk
concursus realis baik kejahatan ataupun pelanggaran, yang di adili pada saat
yang berlainan, berlaku pasal 71 yang berbunyi : “jika seseorang setelah di
jatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan
atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang
terdahulu di terhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan
aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara di adili yang sama.”
1. Gabungan Satu
Perbuatan (Concursus Idealis)
Mulyanto dalam KUHP
terjemahan beliau memakai istilah
perbarengan peraturan. Istilah tersebut merupakan terjemahan dari samenloop van strafepalingen. Dalam
jenis gabungan satu perbuatan menimbulkan persoalan dalam ilmu pengetahuan
hokum pidana maupun dalam praktik pengadilan, hingga kini masih belum
dipecahkan secara tuntas. Meskipun beberapa putusanpengadilan negeri
(yurispudensi) memberikan pedoman kea rah pemecahan, tetapi hal tersebut masih
bersifat kasuistis.
Mengenai jumlah
dan jenis hukuman memang dalam praktik pengadilan tidak dihadapi kesulitan,
berhubung pengadilan jarang menjatuhkan hukuman terberat, meskipun terhukum
telah melakukan beberapa perbuatan yang dapat dihukum dalam bentuk gabungan.
Gabungan satu perbuatan atau concursus
idealis diatur dalam pasal 63 ayat 1
KUHP yang berbunyi: “Apabila satu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan
pidana, maka hanya diperlukan satu ketentuan pidana saja, dalam hal hukumnya
berlainan, dipergunakan satu ketentuan pidana dengan hukuman pokoknya yang
terberat.”
Ketentuan dalam
pasal 63 ayat 1 KUHP tersebut memperlakukan asas aborsi yang murni. Dasar
ketentuan tersebut adalah bahwa ternya seseorang yang melakukan sesuatu tindak
pidana yang diancam dengan hukuman yang berat, akan lebih berani melakukan
sesuatu tindak pidana yang diancam dengan hukuman yang ringan. Karenanya
terhadap gabungan satu perbuatan itu harus dihjatuhkan hukuman uyang terberat
diantara hukuman yang diancamkan.
Timbul suatu
pertanyaan apa yang dimaksud apa yang dimaksud dengan satu perbuatan? Semula
satu perbuatan itu diartikan secara materil sehingga satu perbuatan itu
ditafsirkan sebagai “satu gerakan badan” (tindakan secara fisik). Misalnya
seseorang mengendarai mobil pada malam hari tanpa lampu dan tanpa Suatu Izin
Mengeemudi (SIM).
Apabila kasus
ini diterapkan dalam teori tersebut diatas, maka terdapat satu gerakan badan
atau satu tindakan fisik, hingga kasus ini merupakan gabungan dari satu
perbuatan sebagaimana termuat dalam arrest H.R tanggal 26 Mei 1930. Terhadap
pendirian tersebut timbul suatu keberatan, karena seakan-akan berlakunya KUHP
dibatasi secar tidak wajar. Pendirian tersebut
tidak memungkin menjatuhkan hukuman yang tepat terhadap masing-masing
perbuatan yang saling berbeda, meskipun satu sama lain yang berhubungan, berhubung
perbuatan yang terberat seakan-akan menelan perbuatan yang lainnya karena
terjadi satu gerakan badan.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Dalam hukum pidana “percobaan” merupakan suatu pengertian teknik
yang agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya
ialah, bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal “percobaan” maka sudah
tetap, bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak tercapai. Unsur “belum tercapai”
tidak ada, dan maka dari itu tidak menjadi persoalan.
Perbarengan
(Belanda: samenloop; Latin: concursus) tindak pidana adalah
peristiwa dimana seseorang melakukan perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang
melanggar beberapa ketentuan pidana, dan beberapa tindak pidana itu diadili
sekaligus. Ada beberapa ketentuan pidana atau melakukan beberapa perbuatan yang
melanggar beberapa ketentuan pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainudin. 2012. Hukum Pidana Islam. Jakarta. Sinar Grafika.
Maramis, Frans. 2012. Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia. Jakarta.
Moeljatno. 1987. Azaz-azaz Hukum Pidana. Jakarta. Bina
aksara.
Prasetyo, Teguh. 2010. Hukum Pidana. Jakarta.
Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana Edisi 1, Cet. 3.
Jakarta. Rajawali pers.
Projodikoro, Wirjono. 1986. Asas-asas Hukum Di Indonesia. Bandung. Eresco.
No comments:
Post a Comment