Monday, June 20, 2016

Ajaran Percobaan Pidana dan Ajaran Perbarengan Pidana



BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering dihadapkan kepada suatu  kebutuhan yang mendesak, kebutuhan pemuas diri dan bahkan kadang-kadang karena keinginan atau desakan untuk mempertahankan status diri. Secara umum kebutuhan setiap manusia itu akan dapat dipenuhi, walaupun tidak seluruhnya, dlam keadaan yang tidk memerlukan desakan dari dalam atau orang lain.terhadap kebutuhan yang mendesak pemenuhannya dan harus dipenuhi dengan segera biasanya sering dilaksanakan tanpa pemikiran matang yang dapat merugikan linkungan atau manusia lain.
Hal seperti itu akan menimbulkan suatu akibat negatif yang tidak seimbang dengan suasana dari kehidupan yang benilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik itu diperlukan suatu pertanggungjawaban dari perilaku yang berbuat sampai da ketidakseimbangan. Dan pertanggungjwaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidakenakan masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Pemberi pelimpahan dilakukan oleh individu atau sekelompok orang yang berwenang untuk itu sebagai tugas yang diberikan masyarakat kepadanya. Sedangkan penerima limpahan dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya pelimpahan itu berupa hukuman yang disebut “dipidanakan”. Jadi bagi seseorang yang dipidanakan berarti dirinya menjalankan suatu hukuman untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya yang dinilai kurang baik dan membahayakan kepentingan umum.
Berat ringannya hukum yang wajib dijalankan oleh seseorang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya tergantung dari penilaian masyarakat atas perbuatan orang itu. Dan penilaian yang diberikan oleh masyarakat terhadap suatu perbuatan baik ata tidak sesuai dengan ukuran rasa keadilan dan kepentingan umum. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam pidana yang menjadi tolak ukurya adalah kepenigan masyarkat secara umum.
  1. Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian ajaran percobaan pidana dan ajaran perbarengan pidana?
b.      Apa saja teori-teori dari percobaan pidana?
c.       Apa saja macam-macam dari ajaran perbarengan pidana?
  1. Tujuan penulisan
a.       Mengetahui apa pengertian ajaran percobaan pidana dan ajaran pebarengan pidana.
b.      Mengetahui teori-teori percobaan pidana.
c.       Mengetahui macam-macam ajaran perbarengan pidana.



  
BAB II
PERCOBAAN
1.      Arti kata percobaan
Pada umumnya kata “percobaan” atau pogging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai
Dalam hukum pidana “percobaan” merupakan suatu pengertian teknik yang agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya ialah, bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal “percobaan” maka sudah tetap, bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak tercapai. Unsur “belum tercapai” tidak ada, dan maka dari itu tidak menjadi persoalan.

2.      Pengertian dalam hukum pidana
Pasal 53 KUHP berbunya sebagai berikut:
a)      Percobaan akan melakukan suatu kejahatan, dikenakan hukuman pidana, apabila kehendak sipelaku sudah nampak dengan permulaan pelaksanaan, dan pelaksanaan ini tidak selesai hanya sebagai akibat dari hal-hal yang tidak tergantung dari kemauan si pelaku.

b)      Maksimum hukuman-hukuman pokok (hoofdstrffen) pada kejahatan yang bersangkutan dikurangi dengan sepertiga.

c)      Apabila suatu kejahatan dapat dikenakan hukuman mati atau  hukuman penjara seumur hidup, maka maksimum hukuman menjadi hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.

d)     Hukuman-hukuman tambahan (bijkomende straffen) bagi “percobaan kejahatan”adalah sama dengan kejahatan yang selesai diperbuat.
Percobaan untuk melakukan suatu “pelanggaran”tidak dikenakan hukuman pidana.[1]
3.      Unsur-unsur percobaan  menurut rumusan pasal 53 ayat 1KUHPid, yaitu:
a.       Adanya niat;
b.      Adanya permulaan pelaksanaan yang menyatakan niat;
c.       Pelaksanaan itu tidak selesai;
d.      Tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri.

Sebenarnya unsur “tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata karena kehendaknya sendiri” bukan merupakan unsur percobaan. Jika ini lebih merupakan alasan penghapus pidana. Pelaksanaan tidak selesai semata-mata karena kehendaknya sendiri, maka yang bersangkutan tidak dapat dipidana.[2]
Teori Objektif dan Subjektif tentang Percobaan
Dari aspek teoritis yang menayakan tentang meupakan dasar pikiran suatu percobaan untuk melakukan tindak pidana, jadi perbuatan itu belum merupakan suatu delik selesai, yang sudah dipandang perlu dipidana.
Untuk menjawab pertanyyan tersebut dalam hukum ilmu pidana dikenal teori-teori tentang dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana yang terdiri dari atas teori percobaan objektif, dengan pendukungnya yang terkenal adalah D. Simons, dan teori percobaan subjektif, dengan pendukungnya antara lain adalah G. A. Van Hamel.
Menurut teori percobaan yang objektif, dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana adalah bahwa perbuatan itu telah membahayakan suatu kepentingan hukum. Dan menurut teori percobaan Subjektif, dasar dapat dipidananya adalah watak yang berbahaya bagi si pelaku.
Masing-masing teori ini membawa konsekuensi yang berbeda mengenai batas permulaan pelaksanaan dan percobaan yang tidak mampu. Konsekuensi yang berkenaan dengan batas permulaan pelaksanaan akan dibahas dalam sub bab berikut. Sehingga yang akan dibahas disini adalah berkenaan dengan percobaan yang tidak mampu.

Kehendak Melakukan Tindak  Pidana
Diatas telah dikemukakan bahwa pasal 53 KUHP menentukan syarat-syarat untuk menegakkan hukuman pidana pada percobaan tindak pidana. Syarat pertama adalah kehendak (voornemen) melakukan tindak pidana.
Perkataan voornemen atau “kehendak” berarti adanya suatu tujuan yang diarah kepada sesuatu. Maka akan timbul persoalan, apakah bagi tindak pidana yang berunsur kesengajaan, percobaan, atau poging hanya dikenakan hukuman pidana apabila kesengajaannya bermacam tujuan.[3]
Permulaan Pelaksanaan Tindak Pidana
Ini adalah syarat kedua untuk mempidanakan percobaan tindak pidana yang merupakan soal yang paling sulit dalam hal percobaan tindak pidana.
Dengan diisyaratkan permulaan pelaksanaan tindak pidana, maka timbul penggolongan semua perbuatan yang belum merupakan penyelesaian tindak pidana menjadi dua golongan, yaitu ke-1 golongan pelaksanaan tindak pidana (uitveorings-handeling), dan ke-2 golongan persiapan tindak pidana (voorbereidings-handeling) dengan pengertian, bahwa hanya perbuatan pelaksanaan tindak pidana dapat merupakan percobaan yang dapat dikenakan hukuman pidana.
Pelaksanaan Tidak Selesai
Tidak selesainya pelaksanaan menyebabkan perbuatan suatu percobaan. Justru karena tidak selesainya pelaksanaan sehingga perbuatan itu diklasifikasi sebagai percobaan.
Tidak selesainya pelaksanaan itu dapat terjadi karena berbagai sebab, baik oleh sebab yang di luar kehendak si pelaku maupun oleh kehendak dari si pelaku sendiri.
Perlu pula dikemukakan bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu yang percobaannya sudah ditentukan sebagai delik selesai oleh pembentuk undang-undang, malahan ada perbuatan yang persiapannya sudah ditentukan sebagai delik selesai oleh pembentuk undang-undang.
Tidak Selesainya Pelaksanaan Bukan Semata-mata Karena Kehendaknya Sendiri
Hal yang disebutkan pada angka 4 ini, sebenarnya bukan syarat untuk dipidananya percobaan melakukan kejahatan melainkan merupakan alasan pengecualian pidana.
Dengan demikian, yang menjadi syarat-syarat untuk dapat dipiananya percobaan tindak pidana (kejahatan) adalah;
1.   Adanya niat untuk melakukan kejahatan;
2.   Niat itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan;
3.   Pelaksanaan itu tidak selesai.
Percobaan yang Tidak Mampu
Dalam KUHPid tidak diatur mengenai percobaan yang tidak mampu ini. Tetapi dalam doktrin telah diadakan rincian antara:
1.      Percobaan yang alatnya tidak mampu, yang terdiri atas:
a.       Alat yang absolut tidak mampu;
b.      Alat yang relatif tidak mampu.
2.      Percobaan yang objeknya tidak mampu, yang terdiri atas:
a.       Objek yang absolut tidak mampu;
b.      Objek yang relatif tidak mampu.
Dari sudut pandang teori percobaan objektif, dalam hal alat absolut tidak mampu dan objek absolut tidak mampu, pelakunya tidak dapat dipidanakan karena tidak ada suatu kepentingan hukum yang telah dapat dipidanakan karena tidak ada suatu kepentingan hukum yang telah dibahayakan.
Dari sudut pandang teori percobaan subjektif, baik alat tidak mampu secara absolut dan relatif maupun objek tidak mampu secara absolut dan relatif, pelakunya tetap dapat dipidana karena percobaan tindak pidana. Hal ini disebabkan dasar dapat dipidananya percobaan tindak pidana adalah watak yang berbahaya dari si pelaku, sedangkan dalam hal ini pelaku telah melakukan perbuatan yang menunjukkan wataknya yang berbahaya. Tidak terjadinya suatu akibat yang dikehendaki oleh si pelaku, hanyalah soal kebetulan saja yang tidak memengaruhi hal perlu dipidananya si pelaku.
A.      Pengertian Perbarengan Tindak Pidana
Perbarengan (Belanda: samenloop; Latin: concursus) tindak pidana adalah peristiwa dimana seseorang melakukan perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan pidana, dan beberapa tindak pidana itu diadili sekaligus. Ada beberapa ketentuan pidana atau melakukan beberapa perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan pidana.[4]
Pengaturan perbarengan tindak pidana berkaitan dengan pidana yang akan dikenakan.
B.     Macam-Macam Perbarengan
Tiga macam perbarengan dalam KUHPid :[5]
1.      Pembarengan peraturan
Dalam pasal 63 ayat 1 dan 2 KUHPid disebut tentang “suatu perbuatan masuk dalam lebih dari sautu aturan pidana”.
Jenis pembarengan ini dinamakan pembarengan peraturan. Dalam bahasa belanda ini di namakan eendaadese samenloop, yaitu pembarengan dalam satu perbuatan, karena dalam suatu perbuatan saja tetapi suatu perbuatan itu melanggar beberapa ketentuan pidana.
2.      Perbuatan berlanjut
Dalam pasal 64 ayat 1 disebutkan tentang “beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedimikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut”
3.      Pembarengan perbuatan
Dalam pasal 65 pasal 1 KUHPid disebutkan tentang “beberapa perbuatan yang harus di pandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri”.
Jenis pembarengan ini dinamakan pembarengan perbuatan. Dalam bahasa belanda ini dinamakan meerdaandse samenloop, yaitu pemberangan pembarengan perbuatan, karena ada beberapa perbuatan yang diulakukan.
Dalam bahasa latin dinamakan concursus realis, karena perbarengan itu merupakan kenyataan (realis) bukan sekadar ada dalam pikiran (idealis) saja.
Gabungan perbuatan yang dapat dihukum mempunyai tiga bentuk,concursus ini diatur dalam title VI KUHP,adalah sebagai berikut :[6] 
1. concursus idealis (pasal 62 KUHP)
2. perbuatan berlanjut (delik berlanjut pasal 64 KUHP)
3. concursus realis (pasal 65 s/d 71 KUHP)
KUHP mengatur perbarengan tindak pidana bab 4 pasal 63-71. Dalam rumusan pasal maupun bab IX KUHP tidak memberikan definisi perbarengan tindak pidana ini.
A.    Concursus idealis (pasal 63 KUHP)
Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari satu aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang di pakai concursus idealis adalah system absorbs, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat. Misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum. Makan pelaku dapat di ancam dengan pidana penjara 12 tahun menurut  pasal 285. Dengan absorpsi maka di ambil yang terberat yaitu 12 tahun penjara.
B.     Perbuatan Berlanjut (pasal 64 KUHP)
Perbuatan berlanjut terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan (kejahatan atau pelanggaran), dan perbuatan-perbuatan itu ada hubungan demikian rupa. Sehingga harus dipandang sebagai satu peerbuatan berlanjut.
Dalam MvT (Memorie Van Toelichting ) kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedimikian rupa sehingga harus di pandang sebagai satu perbuatan berlanjut” .
1.      Harus ada keputusan kehendak ;
2.      Masing-masing perbuatan harus sejenis ;
3.      Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.

C.     Concursus Realis (Pasal 65 KUHP)
Concursus realis terjadi apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu berhubungan).
System pemberian pidana concursus realis ada beberapa macam, yaitu
1.      Apabila berupa terjadi perbuatan kejahatan yang di ancan dengan pidana pokok sejenis, maka hanya dekenakan pidana dengan ketentuan bahwa jumlah maksimum pidana tidak boleh melebihi dari maksimum terberat ditambah sepertiga. Misal A melakukan tiga kejahatan yang masing-masing di ancam pidana penjara 4 tahun, 5 tahun, dan 9 tahun, maka yang berlaku adalah 9 tahun di tambah (1/3 X 9) tahun = 12 tahun penjara . jika A melakukan dua kejahatan yang di ancam dengan pidana 1 tahun dan 9 tahun, maka berlaku 1 tahun  +9 tahun = 10 penjara. Tidak di kenakan 9 tahun (1/3 X 9) tahun , karena 12 tahun melebihi jumlah maksimum pidana 10 tahun.

2.      Apabila berupa kejahatan yang di ancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis, maka semua jenis ancama pidana untuk tiap-tiap di jatuhkan, tetapi jumlahnya tidak melebihi maksimum pidana terberat ditambah sepertiga. System ini dinamakan sitem komulasi diperlunak.

3.      Apabila concursus realis berupa pelanggaran maka menggunakan komulasi, yaitu jumlah semua pidana yang di ancamkan. Namun jumlah semua pidana di batasi sampai maksimum 1 tahun 4 bulan kurungan.

4.      Apabila concursus realis berupa kejahatan-kejahatan ringan yaitu pasal 302 ayat(1) penganiyaan ringan terhadap  hewan, pasal 352(penganiyaan ringan), pasal 364 (pencurian ringan), pasal 379 (penipuan ringan), dan pasal 482 (penadahan ringan), maka berlaku system komulasi dengan pembatasan maksimum pidana penjara 8 bulan.

5.      Untuk concursus realis baik kejahatan ataupun pelanggaran, yang di adili pada saat yang berlainan, berlaku pasal 71 yang berbunyi : “jika seseorang setelah di jatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi, karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang terdahulu di terhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai perkara-perkara di adili yang sama.”
1. Gabungan Satu Perbuatan (Concursus Idealis)
                        Mulyanto dalam KUHP terjemahan  beliau memakai istilah perbarengan peraturan. Istilah tersebut merupakan terjemahan dari samenloop van strafepalingen. Dalam jenis gabungan satu perbuatan menimbulkan persoalan dalam ilmu pengetahuan hokum pidana maupun dalam praktik pengadilan, hingga kini masih belum dipecahkan secara tuntas. Meskipun beberapa putusanpengadilan negeri (yurispudensi) memberikan pedoman kea rah pemecahan, tetapi hal tersebut masih bersifat kasuistis.
Mengenai jumlah dan jenis hukuman memang dalam praktik pengadilan tidak dihadapi kesulitan, berhubung pengadilan jarang menjatuhkan hukuman terberat, meskipun terhukum telah melakukan beberapa perbuatan yang dapat dihukum dalam bentuk gabungan. Gabungan satu perbuatan atau concursus idealis  diatur dalam pasal 63 ayat 1 KUHP yang berbunyi: “Apabila satu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan pidana, maka hanya diperlukan satu ketentuan pidana saja, dalam hal hukumnya berlainan, dipergunakan satu ketentuan pidana dengan hukuman pokoknya yang terberat.”
Ketentuan dalam pasal 63 ayat 1 KUHP tersebut memperlakukan asas aborsi yang murni. Dasar ketentuan tersebut adalah bahwa ternya seseorang yang melakukan sesuatu tindak pidana yang diancam dengan hukuman yang berat, akan lebih berani melakukan sesuatu tindak pidana yang diancam dengan hukuman yang ringan. Karenanya terhadap gabungan satu perbuatan itu harus dihjatuhkan hukuman uyang terberat diantara hukuman yang diancamkan.
Timbul suatu pertanyaan apa yang dimaksud apa yang dimaksud dengan satu perbuatan? Semula satu perbuatan itu diartikan secara materil sehingga satu perbuatan itu ditafsirkan sebagai “satu gerakan badan” (tindakan secara fisik). Misalnya seseorang mengendarai mobil pada malam hari tanpa lampu dan tanpa Suatu Izin Mengeemudi (SIM).
Apabila kasus ini diterapkan dalam teori tersebut diatas, maka terdapat satu gerakan badan atau satu tindakan fisik, hingga kasus ini merupakan gabungan dari satu perbuatan sebagaimana termuat dalam arrest H.R tanggal 26 Mei 1930. Terhadap pendirian tersebut timbul suatu keberatan, karena seakan-akan berlakunya KUHP dibatasi secar tidak wajar. Pendirian tersebut  tidak memungkin menjatuhkan hukuman yang tepat terhadap masing-masing perbuatan yang saling berbeda, meskipun satu sama lain yang berhubungan, berhubung perbuatan yang terberat seakan-akan menelan perbuatan yang lainnya karena terjadi satu gerakan badan.


BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Dalam hukum pidana “percobaan” merupakan suatu pengertian teknik yang agak banyak segi atau aspeknya. Perbedaan dengan arti kata pada umumnya ialah, bahwa apabila dalam hukum pidana dibicarakan hal “percobaan” maka sudah tetap, bahwa tujuan yang dikejar adalah tidak tercapai. Unsur “belum tercapai” tidak ada, dan maka dari itu tidak menjadi persoalan.
Perbarengan (Belanda: samenloop; Latin: concursus) tindak pidana adalah peristiwa dimana seseorang melakukan perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan pidana, dan beberapa tindak pidana itu diadili sekaligus. Ada beberapa ketentuan pidana atau melakukan beberapa perbuatan yang melanggar beberapa ketentuan pidana.



DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin. 2012. Hukum Pidana Islam. Jakarta. Sinar Grafika.
Maramis, Frans. 2012. Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia. Jakarta.
Moeljatno. 1987. Azaz-azaz Hukum Pidana. Jakarta. Bina aksara.
Prasetyo, Teguh. 2010. Hukum Pidana. Jakarta.
Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana Edisi 1, Cet. 3. Jakarta. Rajawali pers.
Projodikoro, Wirjono. 1986. Asas-asas Hukum Di Indonesia. Bandung. Eresco.



[1] Tim Penerjemah BPHN, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 33-34
[2] Lamintang dan samosir, op.cit., hlm 36
[3] Ibid
[4] Maramis, Frans. 2012. Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia. Jakarta. Hlm. 225

[5] Ibid, hlm 226
[6] Prodjodikoro, op.cit., hlm 99

No comments:

Post a Comment