Monday, June 20, 2016

Macam-Macam Hukuman dalam Tindak Pidana



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya, kehadiran hukum pidana di tengah masyarakat dimaksudkan untuk memberikan rasa aman kepada individu maupun kelompok dalam masyarakat dalam melaksanakan aktifitas kesehariannya. Rasa aman yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perasaan tenang, tanpa ada kekhawatiran akan ancaman ataupun perbuatan yang dapat merugikan antar individu dalam masyarakat. Kerugian sebagaimana dimaksud tidak hanya terkait kerugian sebagaimana yang kita pahami dalam istilah keperdataan, namun juga mencakup  kerugian terhadap jiwa dan raga. Raga  dalam hal ini mencakup tubuh yang juga terkait dengan nyawa seseorang, jiwa dalam hal ini mencakup perasaan atau keadaan psikis.
Maka di makalah ini kami akan membahas “Macam-macam Pidana/Hukuman”. Sebagai salah satu cara untuk mengatur dan memperingatkan masyarakat bahwa setiap tindakan akan dimintai sebuah pertanggung jawaban.

I.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kami buat dalam makalah ini adalah, sebagai berikut :
1.2.1  Bagaimana pembagian pidana/hukuman di Indonesia?
1.2.2 Bagaimana perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan?

1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis dengan tujuan :
1.3.1 Untuk mengetahui pembagian pidana/hukuman di Indonesia.
1.3.2 Untuk mengetahui perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pembagian Pidana di Indonesia
Berdasarkan Pasal 10 KUHPidana terdapat 2 (dua) jenis pidana, yaitu:
1.      Pidana pokok:
a.       Pidana mati;
b.      Pidana penjara;
c.       Pidana kurungan;
d.      Pidana denda;
e.       Pidana tutupan.
2.      Pidana tambahan
a.       Pencabutan hak-hak tertentu;
b.      Perampasan barang-barang tertentu;
c.       Pengumuman putusan hakim.
Adapun mengenai kualifikasi urut-urutan dari jenis-jenis pidana tersebut adalah didasarkan pada berat ringannya pidana yang diaturnya, yang terberat adalah yang disebutkan terlebih dahulu. Keberadaan pidana tambahan adalah sebagai tambahan terhadap pidana-pidana pokok, dan biasanya bersifat fakultatif (artinya dapat dijatuhkan ataupun tidak). Hal ini terkecuali bagi kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHPerdata menjadi bersifat imperatif atau keharusan.
Berikut ini penjelasan tentang jenis-jenis dari pidana tersebut di atas adalah sebagai berikut :
1.      Pidana Pokok
a.       Pidana Mati
Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang diancamkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat[1], misalnya pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHPerdata).
Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 11 KUHPidana yaitu : “Pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat gantunngan  pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri’.
b.      Pidana Penjara
Menurut Andi Hamzah, menegaskan bahwa “Pidana penjara merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan”. Pidana penjara atau pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara tetapi juga berupa pengasingan.[2] Dengan adanya pembatasan ruang gerak tersebut, maka secara otomatis ada beberapa hak-hak kewarganegaraan yang juga ikut terbatasi, seperti hak untuk memilih dan dipilih (dalam kaitannya dengan pemilihan umum).
Hukuman penjara ditujukan kepada penjahat yang menunjukkan watak buruk dan nafsu jahat.[3] Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini diatur dalam Pasal 12 KUHPidana yang berbunyi sebagai berikut:
(i)     Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(ii)   Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
(iii) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahanan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52.
(iv) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
c.       Pidana Kurungan
Pidana kurungan lebih ringan dari hukuman penjara. Sifat pidana kurungan pada dasarnya sama dengan pidana penjara, keduanya merupakan jenis pidana perampasan kemerdekaan. Pidana kurungan membatasi kemerdekaan bergerak dari seorang terpidana dengan mengurung orang tesebut di dalam sebuah lembaga Pemasyarakatan.
Pidana kurungan jangka waktunya lebih ringan dibandingkan dengan pidana penjara, ini ditentukan oleh Pasal 69 ayat (1) KUHPidana, bahwa berat ringannya pidana ditentukan oleh urutan-urutan dalam Pasal 10 KUHPidana yang ternyata pidana kurungan menempati urutan ketiga. Lama hukuman pidana kurungan adalah sekurang-kurangnya  satu hari dan paling lama satu tahun, sebagai mana telah dinyatakan dalam Pasal 18 KUHPidana, bahwa :
“Paling sedikit satu hari dan paling lama setahun, dan jika ada pemberatan karena gabungan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52 dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan. Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan”.
d.      Pidana Denda
Pidana denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadapan kejahatan. Pidana denda adalah kewajiban seseorang yang telah dijatuhi pidana denda tersebut oleh Hakim/Pengadilan untuk membayar sejumlah uang tertentu oleh karena ia telah melakukan suatu perbuatan yang dapat dipidana.
Menurut P.A.F. Lamintang bahwa:[4] Pidana denda dapat dijumpai di dalam Buku I dan Buku II KUHPidana yang telah diancamkan baik bagi kejahatan-kejahatan maupun bagi pelanggaran-pelanggaran.
Oleh karena itu pula pidana denda dapat dipikul oleh orang lain selama terpidana. Walaupun denda dijatuhkan terhadap terpidana pribadi, tidak ada larangan jika denda ini secara sukarela dibayar oleh orang atas nama terpidana.
Mengenai pidana denda diatur dalam pasal 30 KUHPidana yang berbunyi sebagai berikut:
(i)     Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen.
(ii)   Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan.
(iii) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.
(iv) Dalam putusan hakim, lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan demikian; jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh dua sen atau kurungan, di hitung satu hari; jika lebih dari lima rupiah lima puluh sen, tiap-tiap tujuh rupiah lima puluh sen di hitung paling banyak satu hari demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen.
(v)   Jika ada pemberatan pidana denda disebabkan karena perbarengan atau pengulangan, atau karena ketentuan pasal 52, maka pidana kurungan pengganti paling lama delapan bulan.
(vi) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.
Jika si terpidana tidak mampu atau tidak mau membayar denda yang dijatuhkan kepadanya, maka ia mesti menjalani pidana kurungan pengganti. Lamanya hukuman kurungan pengganti itu sekurang-kurangnya satu hari dan setinggi-tingginya enam bulan (Pasal 30 (2) dan (3)).[5]
2.   Pidana Tambahan
Pidana tambahan adalah pidana yang bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan, tidaklah dapat berdiri sendiri kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
a.       Pencabutan hak-hak tertentu.
Hal ini diatur dalam Pasal 35 KUHPidana yang berbunyi:
(1) Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah :
1.      Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;
2.      Hak memasuki Angkatan Bersenjata;
3.      Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.
4.      Hak menjadi penasehat hukum atau penguruss atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5.      Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6.      Hak menjalankan mata pencarian tertentu.
(2)  Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus di tentukan penguasa lain untuk pemecatan itu.
Lamanya pencabutan hak tersebut harus ditetapkan oleh hakim (Pasal 38 KUHPidana)
b.      Perampasan barang tertentu.
Karena putusan suatu perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam Pasal 39 KUHPidana yang berbunyi sebagai berikut:
 (1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
(2)  Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran, dapat juga dijatuhkan putusan perampasan berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.
(3)  Perampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita
c.       Pengumuman putusan hakim,
Pidana tambahan ini dimaksudkan untuk mengumumkan kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terpidana. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya si terpidana. Jadi, cara-cara menjalankan “pengumuman putusan hakim” dimuat dalam putusan (Pasal 43 KUHPidana).

2.2 Perbedaan Pidana Pokok dan Pidana Tambahan
Menurut Hermin Hadiati bahwa ketentuan pidana tambahan ini berbeda dengan ketentuan bagi penjatuhan pidana pokok, ketentuan tersebut adalah:[6]
1.      Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan di samping pidana pokok. Artinya, pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan sebagai pidana satu-satunya.
2.      Pidana tambahan hanya dapat dijatuhkan apabila di dalam rumusan suatu perbuatan pidana dinyatakan dengan tegas sebagai ancaman, ini berarti bahwa pidana tambahan tidak diancamkan.
3.      Pada setiap jenis perbuatan pidana, akan tetapi hanya diancamkan kepada beberapa perbuatan pidana tertentu.
4.      Walaupun diancamkan secara tegas di dalam perumusan suatu perbuatan pidana tertentu, namun sifat pidana tambahan ini adalah fakultatif. Artinya, diserahkan kepada hakim untuk menjatuhkannya atau tidak.
Perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan adalah sebagai berikut :
a.       Pidana tambahan hanya dapat ditambahkan kepada pidana pokok, kecuali dalam hal perampasan barang-barang tertentu terhadap anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah. (Pidana tambahan ini ditambahkan bukan kepada pidana pokok melainkan pada tindakan).
b.      Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pada pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).
c.       Mulai berlakunya pencabutan hak-hak tertentu tidak dengan suatu tindakan eksekusi melainkan diberlakukan sejak hari putusan hakim dapat dijalankan.




BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
§  Dalam Pasal 10 KUHPidana terdapat 2 (dua) jenis pidana, yaitu:
1.      Pidana pokok:
a.       Pidana mati; penjelasan (Pasal 11 KUHPidana).
b.                         Pidana penjara; penjelasan (Pasal 12 KUHPidana)
c.                          Pidana kurungan; penjelasan (Pasal 18 KUHPidana)
d.                         Pidana denda; penjelasan (Pasal 30 KUHPidana)
e.       Pidana tutupan; hanya digunakan dalam profesi dan tidak terlalu dipakai dalam penjatuhan sanksi hukum
2.      Pidana tambahan
a.       Pencabutan hak-hak tertentu;
b.      Perampasan barang-barang tertentu;
c.       Pengumuman putusan hakim.
d.      Perbedaan pidana pokok dan tambahan, seperti: Pidana tambahan tidak mempunyai keharusan sebagaimana halnya pada pidana pokok, sehingga sifat dari pidana tambahan ini adalah fakultatif (artinya bisa dijatuhkan maupun tidak). (Hal ini dikecualikan terhadap kejahatan sebagaimana tersebut tersebut dalam ketentuan Pasal 250 bis, 261 dan Pasal 275 KUHP menjadi bersifat imperatif atau keharusan).








DAFTAR PUSTAKA

Hardiati Koeswadji, Hermien. 1980. Kejahatan Terhadap Nyawa,Asas-asas kasus dan permasalahannya. Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Hamzah, Andi. 1993. Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Kansil, C.S.T. 2007. Latihan Ujian Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Marpaung, Leaden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika Offset.


[1] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika Offset. 2008), hal. 107.
[2] Andi Hamzah, Sistem Pidana Dan Pemidanaan Di Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita. 1993), hal. 36.
[3] Leden Marpaung, op. cit., hal. 108.
[4] P.A.F Lamintang,, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 711.
[5] C.S.T.Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika Offset. 2007), hal. 253.
[6] Hermien Hardiati Koeswadji, 1980.Kejahatan Terhadap Nyawa,Asas-asas kasus dan permasalahannya. Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga. hal. 56.

No comments:

Post a Comment