Monday, June 20, 2016

Kasus Pidana Penganiayaan



BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yangberlaku juga berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hukum tersebut harus ditegakkan demi terciptanya tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang diamatkan pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea ke-empat yaitu membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tentunya tidak terlepas dari pengaruh perkembangan jaman yang sudah mendunia. Dimana perkembangan yang terjadi sudah mulai merambah banyak aspek kehidupan. Perkembangan jaman sekarang ini tidak hanya membawa pengaruh besar pada Negara Indonesia melainkan juga berdampak pada perkembangan masyarakat, perilaku, maupun pergeseran budaya dalam masyarakat. Terlebih lagi setelah masa reformasi kondisi ekonomi bangsa ini yang semakin terpuruk. Tidak hanya mengalami krisis ekonomi saja namun juga berdampak pada krisis moral. Terjadinya peningkatan kepadatan penduduk, jumlah pengangguran yang semakin bertambah, didukung dengan angka kemiskinan yang tinggi mengakibatkan seseorang dapat berbuat kejahatan. Karena desakan ekonomi, banyak orang yang mengambil jalan pintas dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Masalah ini menyebabkan semakin tingginya angka kriminalitas terutama di daerah urban yang padat penduduk.



Pengertian Hukum pidana ada bermacam macam menurut ahli tapi disini kami hanya memakai pendapat seorang ahli bernama Moeljatno : menurut moeljatno bahwa: Hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1.      Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang,  dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut;
2.      Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan
3.      Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan  apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang - undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya. Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang - undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya. Sedangkan pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya. Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP.

B.            RUMUSAN MASALAH

1.    Dalam beberapa perkara pidana penganiayaan memang tidak mudah untuk menentukan apakah sebuah penganiayaan masuk dalam kategori Penganiayaan Biasa dan Penganiaayaan Ringan.
2.    Terkadang penyidik sering kali bermain-main dan melakukan jual beli pasal dalam sebuah perkara pidana,



C. TUJUAN
1.   Agar kita dapat memahami sebuah proses hukum dalam kasus pidana penganiyayaan tersebut diatas.
2.   Untuk para penyidik agar tidak bermain main atau jual beli pasal dalam menangani sebuah perkara pidana (tidak memihak pada siapa pun).

 





BAB II
PEMBAHASAN
 
A.    Tindak pidana penganiyayaan
Dalam kasus tindak pidana penganiyayaan dapat di bagi menjadi 2 yaitu:(Penganiayaan Biasa Dan Penganiayaan Ringan) –misalnya Peristiwa Penganiayaan dengan korban Cici Paramida yang dilakukan oleh suaminya dan juga salah satu anggota DPR RI dari partai demokrat yang kepalanya dilempar buku oleh George Adicondro dalam sebuah diskusi.
Atas dua peristiwa tersebut jika kita merujuk pada KUHP setidaknya peristiwa tersebut masuk dalam unsur-unsur penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) (Penganiayaan biasa) Jo. 352 ayat (1) KUHP (penganiayaan Ringan).

Dalam beberapa perkara pidana penganiayaan memang tidak mudah untuk menentukan apakah sebuah penganiayaan masuk dalam kategori Penganiayaan Biasa dengan Penganiaayaan Ringan. Hal ini nampaknya perlu kita kaji lebih dalam, menginggat dalam beberapa perkara terkadang Penyidik (Kepolisian) tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh korban. Khususnya berkaitan dengan ditahan atau tidaknya seorang pelaku Penganiayaan, mengingat jika si pelaku dikenakan pasal 351 (1) KUHP maka hal tersebut masuk dalam unsur penganiayaan biasa dimana pelaku harus ditahan, jika pelaku dikenakan pasal 352 (1) KUHP maka hal tersebut masuk dalam unsure penganiayaan ringan sehingga pelaku tidak bisa ditahan. (Lihat ketetuan pasal 21 Ayat (4) KUHAP).

Contoh:
Pada tanggal 7 Maret 2010, pukul 03.30 WIB ada seseorang perempuan dianiaya oleh mantan suaminya, akibat penganiayaan tersebut si korban mengalami luka dan rasa sakit pada bagian bibir dan mulutnya. Bahwa setelah peristiwa tersebut terjadi Korban pada waktu yang sama melaporkannya kepada pihak kepolisian. Setelah sampai dan melaporkan peristiwa tersebut Si Korban di mintai keterangan (BAP) tentang bagaimana peristiwa tersebut terjadi dan siapa pelakunya, hingga pada akhirnya munculah pertanyaan terakhir dari penyidik , dan si Korban ditanya oleh Penyidik : Apakah setelah peristiwa penganiayaan tersebut terjadi Saksi Korban masih bisa bekerja ? Jawab Korban “ Iya, saya masih bisa bekerja dengan baik. Bahwa denganalasan si korban masih bisa bekerja dengan baik, akhirnya Penyidik berkesimpulanbahwa Pelaku dikenakan pasal 352 ayat (2) KUHP yakni penganiayaan ringan walaupun jika kita lihat secara kasat mata demikian rupa parahnya luka tersebut. Akibat dari penggunaan pasal tersebut akhirnya Pelaku tidak ditahan.

Bahwa selanjutnya setelah proses Pelaporan dan pemeriksaan selesai, ternyata keesokan harinya akibat dari pemukulan tersebut Korban merasakan sakit nyeri yang luar biasa pada bagian mulutnya, sehingga menyebabkan si Korban tidak bisa berfikir dan berkonsentrasi, dan pada hari selanjutnya tanggal 8 Maret 2010 korban tidak bisa masuk kerja. Bahwa selanjutnya Korban kembali mendatangi Penyidik dan meminta supaya pelaku ditahan, mengingat rasa sakit yang dialami oleh Korban luar biasa sakitnya, khususnya dibagian mulut. Atas pernmintaan tersebut Penyidik menolak untuk melakukan penahanan dengan alasan si korban bukan lah penyanyi , sehingga walaupun mulutnya sakit dianggap masih bisa melakukan aktifitas. Namun sebaliknya jikapun luka kecil dijari seorang pemain biola yang hal tersebut menyebabkan si pemain biola tidak bisa bermain biola maka kejahatan tersebut adalan penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) KUHP dan sipelaku bisa ditahan.

Bahwa pandangan tersebut sangatlah konservatif, diskirminatif dan sangat jauh dari rasa keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, mengingat konstruksi hukum yang dibangun oleh penyidik terlalu simplikatif dalam mengartikan sakit yang dapat mengahalangi seseorang untuk bekerja. Bagaimana jika si Korban adalan seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja / pengangguran, ketika dirinya teraniaya dan menimbulkan luka dijarinya sehingga akibat luka dijarinya dia tidak bisa memotong bawang atau cabai apakah sipelaku bisa dikenakan pasal 351 ayat (1) KUHP dan ditahan. Pertanyaan ini sangat penting untuk kita ajukan, mengingat terkadangpenyidik sering kali bermain-main dan melakukan jual beli pasal dalam sebuah perkara, dimana kepada korban dia mengatakan pasal yang dikenakan adalah pasal 352 sehingga pelaku tidak ditahan, sedangkan pada pelaku selalu diancam akan dikenakan pasal 351 ayat (1) KUHP sehingga harus ditahan. Hasilnya tentu saja si pelaku akan mengeluarkan uang bagaimana caranya supaya sipelaku tidak ditahan, sedangkan tanggung jawab Penydidik kepada Korban tidak perlu susah-susah mengingat dari awal penyidik sudah mengelabui korban dengan penggunaan pasal 352 ayat (2) KUHP dimana Pelaku tidak bisa ditahan.



Bahwa jika kita melihat akibat dari pemukulan tersebut tenyata sikorban mengalami sakit nyeri dan tidak bisa bekerja dengan baik, maka secara otomatis unsur-unsur penganiayaan ringan tidak bisa lagi dipertahankan oleh Penyidik dalam perkara tersebut, melainkan masuk dalam peristiwa penganiayaan biasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) KUHP, sehingga sudah seharusnya pelaku penganiayaan tersebut ditahan.

Jalan terbaik atas perkara tersebut adalah Korban dapat meminta BAP tambahan yang mana hal tersebut dibenarkan menurut KUHAP. Dalam BAP tambahan Korban bisa kembali menerangkan bahwa selang beberapa hari ternyata luka yang dialami telah mengakibatkan sakit yang luar biasa sehingga Korban tidak bisa bekerja dan harus meliburkan dirinya 2 hari untuk beristirahat.

Jika Pihak penyidik menolak untuk BAP tambahan, maka jalan terbaik adalah mencabut berkas laporan dan memindahkannya ke tingkat yang lebih tinggi lagi dengan alasan penyidik ditempat laporan semula tidak professional. Dalam hal ini, jika pelaporan dilakukan di Polsek maka si pelapor bisa memindahkan laporannya ke Polres,dan kejenjang yang lebih tinggi yaitu Polda dan Mabes Polri, mengingat menurut KUHAP hal tersebut dibenarkan.

B.     Proses Hukum Kasus Pidana Penganiayaan

1.      Pelaporan
Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian.Siapa yang bisa melapor ?
a.       Korban (Terutama untuk delik aduan)
b.      SaksiSiapa saja yang mengetahui bahwa ada tindak kejahatan

2.      Penyidikan
Setelah menerima laporan, Polisi melakukan penyidikan. Penyidikanadalah: serangkaian tindakan penyidik untuk mencari sertamengumpulkan bukti untuk membuat jelas tindak pidana yang terjadi danguna menemukan tersangkanya. Dalam penyidikan, diperlukan kerjasama dari anggota masyarakat yangdiminta sebagai saksi. Seringkali karena tidak terbiasa berhubungandengan aparat penegak hukum, warga yang diminta menjadi saksimemerlukan pendampingan dari paralegal selama proses penyidikanberlangsung.

3.      Penuntutan

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkarake pengadilan negeri yang berwenang. Jaksa Penuntut Umum (JPU) akanmeminta Hakim Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskanperkara.Lalu Jaksa akan membaca dengan tekun dan telitiuntuk merumuskan dokumen tuntutan untuk dilimpahkan ke Pengadilan Negeri yang berwenang.

4.      Persidangan

Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima,memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujurdan tidak memihak. Hakim mengadili kasus di depan sidang pengadilan.Dalam persidangan diperlukan pemantauan dari warga bersama paralegalbaik bila warga masyarakat menjadi korban maupun bila dituduh sebagaitersangka.

5.    Eksekusi Putusan Pengadilan

Bila semua pihak setuju dengan putusan pengadilan, maka putusan akanmemiliki kekuatan hukum tetap, dan disusul dengan pelaksanaaneksekusi.Eksekusi adalah pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah memilikikekuatan hukum tetap. Eksekusi akan dilakukan oleh Jaksa PenuntutUmum.Tapi bila salah satu pihak keberatan dengan putusan tingkat pertama,maka bisa mengajukan banding.Untuk meminta banding/kasasi, diperlukan dasar hukum dan alasan yangkuat. Untuk itu sebaiknya minta nasihat dari pengacara bila inginmengajukan banding atau kasasi.Semua putusan hakim wajib ditulis dan bisa diaksesoleh para pihak dan masyarakat umum



C.    Upaya Hukum Setelah Keluar Putusan Pengadilan Negeri:

1.      Banding
Banding ke Pengadilan Tinggi (di tingkat Propinsi): bila jaksa atau terdakwa ataukedua-duanya keberatan dengan putusan majelis hakim di pengadilan negeri,maka mereka bisa mengajukan banding atas putusan tersebut ke pengadilantinggi.
2.      Kasasi
Kasasi: bila jaksa atau terdakwa atau kedua-duanya tetap keberatan denganputusan Pengadilan Tinggi, maka bisa dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung(di tingkat Nasional)


D.    YANG HARUS DIPERHATIKAN BILA KITA MENJADI TERSANGKA SEBUAH TINDAKDANA BILA TERJADI PENANGKAPAN:

A.     Pertama, periksa prosedur penangkapan, tanyakan apa kesalahan yang dituduhkan. zanyakan surat perintah penangkapan, dan bacalah surat itudengan teliti. Surat penangkapan dikeluarkan oleh kantor polisi atau jaksauntuk kasus pidana khusus.
B.      Hubungi pengacara/lembaga bantuan hukum. Sekalipun kita memang melakukan apa yang dituduhkan, kita tetap berhak atas bantuan/pendampingan hukum. (daftar LBH/pengacara masyarakat bisa dilihat di kantor LBH atau posko bantuan hukum terdekat).
C.      Proses pemeriksaan: kita boleh menolak memberi kesaksian selama proses pemeriksaan bila belum didampingi oleh pengacara hukum. Surat Perintah Penangkapan, minimal isinya memuat:
1. Identitas lengkap si tersangka
2. Pelanggaran pasal/peraturan yang disangkakan
D.      Lamanya masa penahanan untuk penyidikan dan persidangan Penyidikan/Kepolisian 20 hari dapat ditambah 40 hari Penuntut Umum/Jaksa 20 hari dapat ditambah 40 hari lagi Persidangan tingkat pertama 30 hari dapat ditambah 60 hari lagi Persidangan tingkat banding 30 hari dapat ditambah 60 hari lagi Persidangan tingkat kasasi 50 hari dapat ditambah 60 hari lagi




a.       Hak tersangka:
1.       Persidangan yang adil
2.       Didampingi oleh penasehat hukum
3.      Memperoleh berkas perkara dalam setiap tingkat pemeriksaan
4.      Tidak mengalami kekerasan atau tekanan.

b.      Bagaimana Bila Anda Mengalami Kekerasan Fisik Selama Proses Penyidikan
1.      Segera Hubungi Keluarga Atau
2.      Pengacara Untuk Minta Visum Dokter

c.       Kalau Masa Penahanan Yang Benar Tidak Dipatuhi
Apa yang bisa dilakukan oleh korban atau keluarga dan teman korban?Yang bisa dilakukan adalah mengajukan gugatan praperadilan... Gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tersangka ditahan. Yang jadi tergugat adalah Polisi tempat ia ditahan

Asas Praduga Tidak Bersalah Selama Proses Pidana Berlangsung, Seseorang Dianggap Tidak Bersalah Sampai Pengadilan Dapat Membuktikan SebaliknyaDefinisi:

1.      SAKSI:Orang yang dianggap mengetahui terjadinya tindak pidana atau kasus perdata. Dia diminta oleh polisi untuk menceritakan apa yang dia ketahui tentang kasus tersebut.
2.      TERSANGKA:Orang yang diduga melakukan tindakk pidana namun sesuai asas praduga tak bersalah, sebelum ada keputusan pengadilan maka dia belum dianggap bersalah.
3.      TERDAKWA:Tersangka disebut terdakwa pada saat dia mulai disidangkan dipengadilan.
4.      TERPIDANA:Setelah ada putusan pengadilan maka terdakwa menjadi terpidana, terpidana adalah orang yang telah dinyatakan bersalah dan menjalani hukuman.




Apa Yang Perlu Dilakukan Jika Kita Adalah Korban Tindak Kejahatan ?
a.       melaporkan: bisa dilakukan oleh anda sendiri atau orang yang anda percayai (paralegal/pengacara/LBH/Kepala Desa dan lain-lain). Lapor kepada Kepolisian setempat. Untuk pidana korupsi, anda bisa laporkan langsung ke Kantor Kejaksaan Negeri setempat.
b.      Memantau perkembangan kasus yang sudah anda laporkan. Bagaimana bila terjadi kemandegan dalam penanganan sebuah kasus ? Datangi kantor aparat hukum untuk menanyakan perkembangan kasus dan catat keterangan yang diberikan. Beritahukan kepada paralegal, bila kita menganggap proses hukum berjalan tidak transparan.
c.       Melakukan tindakan tekanan penyelesaian kasus; bekerja sama dengan LSMadvokasi, pengacara masyarakat atau rekan-rekan media massa untuk bersama-sama melakukan pemantauan dan penyebarluasan hasil pemantauan tersebut ke media massa atau cara penyebaran informasi yang lain








BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari kasus pidana penganiayaan tersebut diatas maka disimpulkan sebagai berikut:
1.Bahwa pandangan tersebut sangatlah konservatif, diskirminatif dan sangat jauh dari rasakeadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, mengingat konstruksi hukum yang dibangun oleh penyidik terlalu simplikatif dalam mengartikan sakit yang dapat mengahalangi seseorang untuk bekerja. Bagaimana jika si Korban adalan seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja / pengangguran, ketika dirinya teraniaya dan menimbulkan luka dijarinya sehingga akibat luka dijarinya dia tidak bisa memotong bawang atau cabai apakah sipelaku bisa dikenakan pasal 351 ayat (1) KUHP dan ditahan.
2.  Dalam beberapa perkara pidana penganiayaan memang tidak mudah untuk menentukan apakah sebuah penganiayaan masuk dalam kategori Penganiayaan Biasa dengan Penganiaayaan Ringan. Hal ini nampaknya perlu kita kaji lebih dalam, menginggat dalam beberapa perkara terkadang Penyidik (Kepolisian) tidak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh korban. Khususnya berkaitan dengan ditahan atau tidaknya seorang pelaku Penganiayaan, mengingat jika si pelaku dikenakan pasal 351 (1) KUHP maka hal tersebut masuk dalam unsur penganiayaan biasa dimana pelaku harus ditahan, jika pelaku dikenakan pasal 352 (1) KUHP maka hal tersebut masuk dalam unsure penganiayaan ringan sehingga pelaku tidak bisa ditahan. (Lihat ketetuan pasal 21 Ayat (4) KUHAP).
DAFTAR PUSTAKA

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1988. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : PT Alumni.
Lilik Mulyadi, 2004. Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, Jakarta : PT. Jambatan.
Lilik Mulyadi, 2004. Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, Jakarta : PT. Jambatan.
Barda Nawawi Arief, 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti

Delik Biasa dan Delik Aduan



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pengertian delik dalam hukum pidana istilah delik atau “strafbaarfeit” lazim diterjemahkan sebagai tindak pidana, yaitusuatu perbuatan yang bersifat melawan hukum(wederrechtelijk atau on rechtmatige). Tindak pidanadapat terjadi dengan melakukan suatu perbuatan yangdilarang oleh undang-undang, seperti dalam halpencurian, penipuan, penggelapan, dan pembunuhan.
Di pihak lain, tindakan pidana dapat terjadi jugakarena diabaikannya atau dilalaikannya untukmelakukan suatu perbuatan yang diharuskan olehundang-undang, seperti dalam hal keharusanmenolong seseorang yang jiwanya dalam keadaanterancam atau keharusan memenuhi panggilanpengadilan untuk di dengar kesaksiannya dalamsidang pengadilan
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan delik ?
2.      Apa saja macam-macam delik?
3.      Apa itu tindak pidana aduan?
C.    Tujuan
1.      Agar mahasiswa mengetahui apa itu pengertian delik
2.      Agar mahasiswa mengetahui subyek dan rumusan delik
3.      Agar mahasiswa mengetahui macam-macam delik
4.      Agar mahasiswa mengetahui tindak pidan aduan


BAB II
PEMBAHASAN
a.    Pengertian Delik
Hukum pidana Belanda memakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga delict yang berasal dari bahasa latin delictum[1]. Perbuatan pidana atau delik ialah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum dan barangsiapa yang melanggar larangan tersebut dikenakan sanksi pidana.Selain itu perbuatan pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diacam pidana, perlu diingat bahwa larangan ditujukan pada orang yang menimbulkan perbuatan pidana itu.
Menurut Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan menurut Prof. Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak senganja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dapat dihukum.
Berdasarkan Prof. Simons maka delik memuat beberapa unsur yaitu:
·         Suatu perbuatan manusia
·         Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang
·         Perbuatan.itu.dilakukan.oleh.seseorang.yang.dapat.dipertanggung jawabka
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) KUHP maka seseorang dapat dihukum bila memenuhi hal-hal sebagai berikut:
·         Ada suatu norma pidana tertentu
·         Norma pidana tersebut berdasarkan Undang-undang
·          Norma pidana itu harus telah berlaku sebelum perbuatan itu terjadi.5
Dengan kata lain tidak seorangpun dapat dihukum kecuali telah ditentukan suatu hukuman berdasarkan Undang-undang terhadap perbuatan itu.Menurut Moeljatno, kata “perbuatan” dalam “perbuatan pidana” mempunyai arti yang abstrak yaitu merupakan suatu pengertian yang menunjuk pada dua kejadian yang kongkrit yakni adanya kejadian tertentu dan adanya orang yang berbuat sehingga menimbulkan kejadian.
b.      Macam-Macam Delik
1)      Delik Kejahatan dan Pelanggaran
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP dibagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen).Pembagian tersebut didasarkan atas perbedaan prinsipil.Pembagian kejahatan disusun dalam Buku II KUHP dan pelanggaran disusun dalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas.
Kejahatan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum, sedangkan pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa Negara[2].Ada tiga macam kejahatan yang dikenal dalam KUHP yakni:
·         kejahatan terhadap Negara. Sebagai contohnya adalah Penyerangan terhadap Presiden atau Wakil Presiden yang terdapat pada pasal 104 KUHP, Penganiayaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden pada pasal 131 KUHP, Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden pada pasal 134 KUHP.
·         kejahatan terhadap harta benda misalnya pencurian pada pasal 362 s/d 367 KUHP, pemerasan pada pasal 368 s/d 371 KUHP, penipuan pada pasal 406 s/d 412 KUHP. Menurut undang-undang pencurian itu dibedakan atas lima macam pencurian yaitu:(a) pencurian biasa pada apsal 362 KUHP, (b) pencurian dengan pemberatan pada pasal 363 KUHP, (c) pencurian dengan kekerasan pada pasal 365 KUHP, (d) pencurian ringan pada pasal 364 KUHP, (e) pencurian dalam kalangan keluarga pada pasal 367 KUHP.
·         kejahatan terhadap badan dan nyawa orang semisal penganiayaan dan pembunuhan.
Pelanggaran yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian.11 Pelanggaran dibagi tiga macam yakni: Pelanggaran tentang keamanan umum bagi orang, barang dan kesehatan umum. Misalnya, kenakalan yang artinya semua perbuatan orang bertentangan dengan ketertiban umum ditujukan pada orang atau binatang atau baarang yang dapat menimbulkan bahaya atau kerugian atau kerusuhan yang tidak dapat dikenakan dalam pasal khusus dalam KUHP.
Perbedaan kejahatan dan pelanggaran:
·         Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja
·         Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghhadapi pelanggaran hal itu tidak usah.
·          Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana (Pasal 54).
·         Tenggang kadaluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran pidana satu tahun, sedangkan kejahatan dua tahun.
2)      Delik Dolus dan Culpa
Delik dolus ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja.Contohnya terdapat pada pasal 338 KUHP yang berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.Selain pada pasal 338 KUHP, terdapat pula contoh delik dolus lainnya yaitu, pasal 354 KUHPdan pasal 187 KUHP.
Delik culpa ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan (kelalaian)[3].Contoh delik culpa yaitu pasal 359 KUHP yang berbunyi “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.[4]
Culpa dibedakan menjadi culpa dengan kesadaran dan culpa tanpa kesadaran. Culpa kesadaraan terjadi ketika si pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbul suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, agan tepat timbul masalah. Sedangkan culpa tanpa kesadaran terjadi ketika si pelaku tidan menduga akan timbul suatu akibat, yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, sedang ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya akibat.
Tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab selalu dianggap dilakukan dengan kesengajaan atau kealpaan.19 Kesengajaan dan kealpaan adalah bentuk-bentuk kesalahan.Tidak adanya salamh satu dari keduanya tersebut berarti tidak ada kesalahan.


3)       Delik Commissionis dan Delik Ommisionis
Delik Commissionis adalah perbuatan melakukan sesuatu yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362), menggelapkan (Pasal 372), menipu (Pasal 378).Delik commisionis pada umumnya terjadi di tempat dan waktu pembuat (dader) mewujudkan segala unsur perbuatan dan unsure pertanggungjawaban pidana.
Delik Ommisionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan pasif yakni, tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan.Contoh delik ommisionis terdapat dalam BAB V pasal 164 KUHP tentang kejahatan terhadap ketertiban umum.
4)      Delik Formil dan Delik Materiil
Delik Formil ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan kelakuan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang, seperti pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Delik Materiil ialah rumusan undang-undang yang menitikberatkan akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, seperti pasal 35 KUHP tentang penganiayaan.23 Kadang-kadang suatu delik diragukan sebagai delik formil ataukah materiil, seperti tersebut dalam pasal 279 KUHP tentang larangan bigami.
5)      Delik Biasa dan Delik Berkualifikasi
Delik biasa yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan atau juga mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang meringankan. 24 Contohnya pasal 341 lebih ringan daripada pasal 342, pasal 338 lebih ringan daripada pasal 340 dan 339, pasal 308 lebih ringan daripada pasal 305 dan 306.
Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur bentuk pokok yang disertai satu atau lebih unsur yang memberatkan.Misalnya pencurian dengan membongkar, penganiayaan yang mengakibatkan kematian, pembunuhan berencana. Dalam pasal 365 terhadap pasal 362, pasal 374 terhadap pasal 372.
6)      Delik Murni dan Delik Aduan
Delik murni yaitu delik yang tanpa permintaan menuntut, Negara akan segara bertindak untuk melakukan pemeriksaan. Berdasarkan pasal 180 KUHAP setiap orang yang melihat, mengalami, mengetahui, menyaksikan, menjadi korban PNS dalam melakukan tugasnya berhak melaporkan.
Delik aduan adalah delik yang proses penuntutannya berdasarkan pengaduan korban. Delik aduan dibagi menjadi dua yaitu yang pertama murni dan yang kedua relatif.
7)      Delik Selesai dan Delik Berlanjut
Delik selesai yaitu delik yang terdiri atas kelakuan untuk berbuat atau tidak berbuat dan delik telah selesai ketika dilakukan, seperti kejahatan tentang pengahasutan, pembunuhan, pembakaran ataupun pasal 330 KUHP yang berbunyi:
·         Barang siapa dengan sengaja menarik orang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
·         Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur 12 tahun, dijatuhkan hukuman pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Berdasarkan bunyi ayat (2) pasal ini, maka unsur kekerasan atau ancaman kekerasan merupakan hal yang memperberat pidana.Jadi, delik aslinya yang tercantum di ayat satu tidak perlu ada unsur kekerasan atau ancaman kekerasan[5].
Delik berlanjut yaitu delik yang terdiri atas melangsungkan atau membiarkan suatu keadaan yang terlarang, walaupun keadaan itu pada mulanya ditimbulkan untuk sekali perbuatan. Contohnya, terdapat dalam pasal 221 tentang menyembunyikan orang jahat, pasal 333 tentang meneruskan kemerdekaan orang, pasal 250 tentang mempunyai persediaan bahan untuk memalsukan mata uang
c.       Tindak Pidana Aduan / Delik Aduan
            Dalam hukum pidana (publik) di kenal prinsip atau asas bahwa :- Hak menuntut suatu tindak pidana terletak pada suatu instansi yang berwenang ( penuntut umum ).
Permintaan dari korban tidak di mempengaruhi apa". sebab KUHP di tunjukan kepada umum tidak pada   perorangan, namun demikian terhadap prinsip ini KUHP sendiri mengatur penyimpangan karena terhadap     apa beberapa kejahatan tertentu dalam KUHP kejahatan tsb baru bisa dilakukan penuntutan kalau ada permintaan ( pengaduan ) dari si koban.
              Apa dasar pembuat UU sehingga mengatur pasal" tentang Delik Aduan terhadap kejahatan tertentu masuk delik aduan ? - Karena berhubungan dengan  kepribadian seseorang / kepentingan pribadi perorangan beberapa jenis tindak pidana tertentu akan lebih di rugikan daripada kepentingan umum, apabila dilakukan penuntutan
Delik aduan berlawanan dengan delik biasa.delik aduan bisa di tuntut apabila sikorban mengadu.
Delik auan ada 2 macm :
·         Delik aduan yang bersifat mutlak
Tindak pidana yanag pada umumnya, penuntutnya didasarkan atas dasar pengaduan. Tanpa ada pengaduan terhadap tindak pidana itu tidak dapat melakukan penuntutan dalam KUHP ada beberapa pasal tindak pidana yang termasuk dalam kategori tindak pidana aduan yang bersifat mutlak :
pasal tentang penghinaan ( 310, 315, 311, 319 )
pasal tentang kejahatan susila ( 284, 287, 293 )
pasal tentang pembukaan rahasia ( 322, 323 )
pasal tentang pengancaman ( 369 )
·         Delik Aduan yang bersifat relatif
beberapa jenis tindak pidana tertentu yang pada umumnya penuntutannya tidak dibutuhkan pengaduan akan tetapi, tindak pidana itu menjadi yang membutuhkan karena antara pelaku dan korban ada hubungan keluarga. Dalam KUHP ada beberapa pasal yang mengatur tentang tindak pidana aduan yang bersifat relaitf antara lain:
pasal dalam keluarga ( 367 )
pasal penggelapan dalam keluarga ( 372, 367 )
pasal penipuan dalam keluarga ( 378, 364 )
 Sifat-sifat dalam tindak pidana aduan  :
·         Pengaduan tidak berpisah-pisah dalam tindak pidana aduan yang bersifat mutlak
·         tindak pidana aduan relaitf, pengaduannya dapat berpisah-pisah. Apabila diadakan pengaduan , maka pengaduan ditunjukan terhadap peserta dalam tindak pidana tersebut.
Perbedaan sifat pengaduan tindak pidana mutlak dan relatif :
·         Dalam tindak pidana aduan mutlak, pengaduan nya ditunjukan dalam perbuatannya, sedangkan
·         Dalam tindak pidana aduan relatif, pengaduannya ditunjukan terhadap orang tertentu dalam perbuatannya.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain. Sedangkan menurut Prof. Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak senganja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang dapat dihukum.
Delik biasa yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan atau juga mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang meringankan. 24 Contohnya pasal 341 lebih ringan daripada pasal 342, pasal 338 lebih ringan daripada pasal 340 dan 339, pasal 308 lebih ringan daripada pasal 305 dan 306.
Delik aduan adalah delik yang proses penuntutannya berdasarkan pengaduan korban. Delik aduan dibagi menjadi dua yaitu yang pertama murni dan yang kedua relatif.



DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi,2008,Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta
----------------,2009,Delik-delik Tertentu di dalam KUHP, Jakarta; Sinar Grafika
Moeljatno,2008, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jakarta; Rineka Cipta
Poernomo, Bambang, 1985, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia
Seno, Oemar, 1981, Hukum Acara Pidana Dalam Prospeksi, Jakarta: Sapdodadi




           


[1]Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta; Rineka Cipta, 2008), hal. 86
[2]Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Yogyakarta; Ghalia Indonesia, 1982), hal. 96
[3]Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, hal. 100
[4]Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hal. 127
[5]Andi Hamzah, Delik-delik Tertentu di dalam KUHP, (Jakarta; Sinar Grafika, 2009), hal. 27