BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Berdirinya Muhammadiyah
Pada bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November
1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran
sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan
atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar
muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas,
dan berjiwa pembaharu, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota
santri Kauman Yogyakarta. Beliau mendirikan Muhammadiyah sebagai upaya
penyempurnaan pemikiran beliau dalam melaksanakan islam dengan sebenar-benarnya
dan sebaik-baiknya.[1]
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”.
Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan)
dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut
menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan
nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah
umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan
tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang
ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat
menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran
Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan
bangsa Indonesia pada umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas
dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji
Ahmad Dahlan yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah
Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai
menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai
Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah
seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas
Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca
pemikiran-pemikiran para pembaharu Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin
Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan
modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan
bacaan atas karya-karya para pembaharu pemikiran Islam itu telah menanamkan
benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab
Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah
menjadi konservatif.
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk
mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan
dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang
diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu
juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis
di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakurikuler, yang
sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang
dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu
organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby
Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada
mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang
bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh
pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian
diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat istikharah. Artinya, pilihan
untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi
sebagaimana tradisi kyai atau dunia pesantren.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk
mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan (secara
praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah
Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut
merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam
menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam
memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di
beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun
1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”,
yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada
umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung
milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan
agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.[2]
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8
Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi
yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada
tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran
Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh
Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah”
yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18
November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan,
”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912.
Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”. Sedangkan maksudnya
(Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad
Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta,
dan b. memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya.”.[3]
Kelahiran
Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan
langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang
ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang
membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari
kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan,
sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas,
memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun
kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek
tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan
kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang asli yakni Al-Quran
dan Sunnah Nabi yang Shahih, dengan membuka ijtihad.
Mengenai
langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung
Kauman, menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai berikut:”Dalam bidang
tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik,
dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang
mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman
terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan
dalam ber-ijtihad.”.
Adapun
langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan
”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan
pendidikan yang dipelopori Kyai Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu
mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok
generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah
kepribadiannya. Lembaga pendidikan Islam ”modern” bahkan menjadi ciri utama
kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok
pesantren kala itu. Pendidikan Islam “modern” itulah yang di belakang hari
diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan umat Islam secara umum.
Kyai Dahlan
dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas.
Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati,
berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta dalam
kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya tentang
hakikat kehidupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus berpikir praktik.
Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam
kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke
hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran
dan ijtihad.
Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah
karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan
Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2)
Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi
ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh
dan serangan luar
B.
Politik
Hukum Islam Muhammadiyah
1.
Hubungan
Muhammadiyah dan Politik
Politik ialah pengetahuan mengenai
ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat,
dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; cara
bertindak (dalam menghadapi masalah) atau kebijaksanaaan. Muhammadiyah adalah
salah satu nama organisasi masyarakat islam.[4]
Menghubungkan antara politik dengan
Muhammadiyah tidaklah mudah karena seringkali dihadapkan pada parados yang
relatif rumitkerumitan pertana yaitu bagaimana dapat dijelaskan bahwa Muhammadiyah
yang dikenal sebagai gerakan sosial-keagamaan yang bersifat nonpolitik justru
terlibat dalam pergumulan politik. Kesulitan kedua yaitu menyangkut faktor
teologis, alasan-alasan keagamaan yang seperti apa yang menjadi landasan
pemikiran dan panduan bagi Muhammadiyah untuk mengambil bagian dalam kehidupan
politik.
Muhammadiyah tampaknya lebih menempatkan
konsep politik dalam penegertian riel politics, yang disebutnya sebagai
kegiatan politik praktis. Jika dikategorikan secara sederhana terdapat tiga
pola hubungan Muhammadiyah dengan politik.[5]
a.
Hubungan yang
bersifat formal dan langsung
Artinya
Muhammadiyah secara organisasi terlibat langsung dalam partai politik.
b.
Hubungan yang
bersifat personal dan tidak langsung
Ditandai
oleh keterlibatan aktif tokoh-tokoh penting Muhammadiyah yang memperoleh
dukungan luas dari anggota Muhammadiyah dalam membidani kelahiran dan mendukung
keberadaan partai politik tertentu.
c.
Hubungan Netral
yang lebih murni
Hubungan
Muhammadiyah dan politik menjadi lebih tegas ketika organisasi islam ini
mengambil kebijakan untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis dan
menjaga jarak yang sama dengan segenap kekuatan politik manapun dalam asas
netralitas.
2.
Teologi Politik
Muhammadiyah
Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912
meneguhkan diri sebagai gerakan sosial keagamaan yang non politik dan tidak
memiliki perhatian khusus untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan
dalam bidang politik. Kendati dikenal luas sebagai gerakan islam modernis
tampaknya kurang memiliki perhatian pada perkembanagan pemikiran yang bersifat
teologis. Meskipun diantara tokohnya mnulis karya –karya yang bersentuhan
dengan masalah politik.
Dalam rangka menhahadapi dinamika
kehidupan bangsa yang makin pesat dan kehadiran fajar baru abad ke 21 yang
kompleks. Muhammadiyah kiranya perlu memperkaya diri dengan pemikiran-pemikiran
agama yang fundamental. Pemikiran-pemikiran baru itu antara lain dalam bidang
politik sebagai bagian dari paket pengembangan pemikiran islam dalam
Muhammadiyah, sebutlah berupa konsep teologi Muhammadiyah. dengan teologi
politik Muhammadiyah yang mengandung pemikiran-pemikiran agama yang fundamental
dan sistematik mengenai politik, Muhammadiyah dapat memberikan arah bagi
pembentukan perilaku politik para anggotanya, selain sebagai media konseptual
dalam berkomunikasi dengan berbagai pihak di tengah lalu lintas pemikiran
kebangsaan yang makin beragam.
Pengembangan teologis semacam ini tidak
perlu menimbulkan kekhawatiran akan membelokkan Muhammadiyah dari orientasi
gerakan amaliah yang ditekuninya selama ini kearah orientasi pemikiran
semata-mata., tetapi justru untuk makin memperkaya dan dapat dijadikan landasan
yang kokoh bagi banginan praksis sosial-kemasyarakatan yang dilakukan oleh
organisasi islam modernis ini.
3.
Budaya Politik
Muhammadiyah
Muhamamdiyah pada bagian umum sejarah
dilaluinya menunjukkan sikap dan perilaku politik yang akomodatif,[6]
artinya relatif lentur dalam menghadapi perkembanagn politik dan kebijkan
pemerintah tanpa harus tercerabut dari prinsip-prinsip dan idealisasi sebagai
gerakan islam amar ma’ruf nahi munkar.Sikap dan perilaku politik yang cenderung
akomodatif ini ternyata tidaklah berwarna hitam-putih, karena dalam
bagian-bagian lain dari sejarah yang dialaminya juga berani mengambil sikap
kritis dan tegas dalam menyikapi perkembanagn politik dan kebijakan pemerintah
yang dianggap bertentangan dengan misi gerakan dan kepentingan masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu dapat dikatakan sikap politik Muhammadiyah yang
akomodatif tidak lain sebaga ekspresi kelenturan politik untuk tidak terjebak
pada format luar dan denga artikulasi yang konfrontatif sejauh tidaak
bertentangan dengan kebenaran dan dapat mewujudkan misi dakwah
4.
Peran Politik
Muhammadiyah [7]
Dalam menghadapi dinamika perkembangan
baru kehidupan politik nasional dalam bermasyarakat, berbangasa, dan
bernegarapada saat ini dan ke depan, Muhammadiyah dengan tetap istiqamah
sebagai gerakan islam yang tidak berpolitik praktis dan tidak menjadi prtai
politik seyogianya melakukan peran-peran politik yang signifikan di wilayah
fungsi kelompok kepentingan. Sikap konservatif untuk tetap berpijak pada
khittah dan kepribadian Muhammadiyah, tidak menjadikan anggotanya menunjukkan
perilaku anti terhadap politik
5.
Muhammadiyah
dalam dinamika politik baru
Muhammadiyah dituntut untuk menyusun
agenda-agenda strategis mengenai politik baik pada tingkat pemikiran maupun
operasional dalam posisi sebagai kelompok kepentingan melalui berbagai
artikulasi politik yang bervariasi.[8]
Agenda-agenda politik strategis yang dicanangkan itu merupakan wujud
pertanggungjawaban Muhammadiyah secara proaktif dalam ikut serta membangun
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara ke arah yang makin demokratis serta
menuju cita-cita kemerdekaan tahun 1945. Dalam konteks keagamaan, keterlibatan
Muhammadiyah dalam kehidupan politik itu merupakan perwujudan dari dakwah islam
amar makruf nahi munkar menuju pembentukan masyarakat madani.
Muhammadiyah dengan dinamika politik
hukum islam baru, melakukan rekonstruksi hukum islam melalui majelis tarjihnya.
Majelis tarjih adalah suatu majelis yang mengurus terkait persolan hukum islam
di dalam organisasi ini. Kitab-kitab yang banyak digunakan diantaranya Kitab
Karangan Ulama modern Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida, dll. Semua
problematika yang erat kaitannya dengan hukum islam diselesaikan melalui
ijtihad para ulama.
Partai Politik menjadi salah satu jalur untuk
penerapan kebijakan hukum islam Muhammadiyah, Partai Amanat Nasional (PAN) yang
didirikan oleh Prof. Dr. H. Amien Rais dijadikan sebagai agen untuk
menyampaikan pendapat terkait hukum islam. Hukum islam banyak ragam dan
jenisnya. Terkadang antara umat islam yang satu dengan yang lain terjadi
pertentangan. Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi lembaga
akhir yang akan menyelesaikan problem hukum islam ketika antara ormas islam
berbeda pendapat mengenai suatu hal.
Struktur
Organisasi Muhammadiyah[9]
- Pimpinan Pusat
- Pimpinaan Wilayah
- Pimpinaan Daerah
- Pimpinan Cabang
- Pimpinan Ranting
- Jama'ah Muhammadiyah
· Majelis Tarjih dan Tajdid
· Majelis Tabligh
· Majelis Pendidikan Tinggi
· Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
· Majelis Pendidikan Kader
· Majelis Pelayanan Sosial
· Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan
· Majelis Pemberdayaan Masyarakat
· Majelis Pembina Kesehatan Umum
· Majelis Pustaka dan Informasi
· Majelis Lingkungan Hidup
· Majelis Hukum Dan Hak Asasi Manusia
· Majelis Wakaf dan Kehartabendaan
· Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
· Lembaga Pembina dan Pengawasan Keuangan
· Lembaga Penelitian dan Pengembangan
· Lembaga Penanganan Bencana
· Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqqoh
· Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
· Lembaga Seni Budaya dan Olahraga
· Lembaga Hubungan dan Kerjasama
International
- Aisyiyah
- Pemuda Muhammadiyah
- Nasyiyatul Aisyiyah
- Ikatan Pelajar Muhammadiyah
- Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
- Hizbul Wathan
- Tapak Suci
C. Metode Penetapan Hukum Islam
Muhammadiyah
Metode penetapan hukum islam
Muhammadiyah tidak terikat pada mazhab tertentu, baik dalam merumuskan
ketentuan-ketentuan agama maupun menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk
menetapkan hukum baru Muhammadiyah mendirikan Majlis Tarjih pada tahun 1927 M
melalui kongres di Pekalongan.
Pasca dibentuk langkah
petama yang dilakukan Majlis Tarjih yaitu mengkaji mabadi khomsah (masalah
lima) yaitu:[10]
1.
Pengertian
Agama (Islam) atau al Din , yaitu :Apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an
dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan
larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.
2.
Pengertian
Dunia (al Dunya ): Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rosulullah saw :
" Kamu lebih mengerti urusan duniamu " ialah :segala perkara yang
tidak menjadi tugas diutusnya para nabi ( yaitu
perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada
kebijaksanaan manusia)
3.
Pengertian
Al Ibadah, ialah : Bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah,dengan jalan
mentaati segala perintah-perintahnya, menjahuhi larangan-larangan-nya dan
mengamalkan segala yang diijinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang
khusus ; ibadah yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah, sedangkan
ibadah yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan
perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.
4.
Pengertian
Sabilillah, ialah : Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada
keridloaan Allah, berupa segala amalan yang diijinkan Allah untuk memuliakan
kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya
5.
Pengertian
Qiyas,( Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaannya)
Karena Majelis Tarjih masih
membahas masalah lima yang bersifat umum, maka pada tahun 1986 dibentuk Majelis
Tarjih baru setelah muktamar Muhammadiyah di Solo Jawa Tengah. Terbentuklah
enam belas point yang menjadi pegangan Muhammadiyah dalam istibath hukum islam,
diantaranya:
1.
Dalam beristidlal, dasar utamanya adalah
al Qur’an dan al Sunnah al Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah
terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang
tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad
, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya
secara langsung. Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam
bentuk ijtihad : Pertama Ijtihad Bayani : yaitu menjelaskan teks Al Quran dan
hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai makna ganda, atau kelihatan
bertentangan, atau sejenisnya, kemudian dilakukan jalan tarjih. Kedua Ijtihad
Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang
tidak dijelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist. Ketiga Ijtihad Istishlahi :
yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan
illat , demi untuk kemaslahatan masyarakat[11]
2.
Dalam
memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam
menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian
pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat.
3.
Tidak
mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab,
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai
dengan jiwa Al Qur’an dan as-Sunnah,
atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
4.
Berprinsip
terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih yang paling
benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling
kuat, yang didapat ketika keputusan diambil, dan koreksi dari siapapun akan
diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan
demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
5.
Di
dalam masalah aqidah ( Tauhid ), hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir.
6.
Tidak
menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. ( Ijma’ dari segi kekuatan
hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat
untuk membuat standarisasi penulisan Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua :
ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi
menjadi dua : pertama : ijma’ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua
; Ijma’ setelah sahabat).
7.
Terhadap
dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u wa al
taufiq “. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih.
8.
Menggunakan
asas “ saddu al-dara’I “ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. (
Saddu al dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena
akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang.
9.
Men-ta’lil
dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al Qur’an dan al
Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu
yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku
“ ( Ta’lil Nash adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan
pada illah yang terkandung dalam nash.
10.
Pengunaaan
dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum, dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan
bulat, serta tidak terpisah.
11.
Dalil-dalil
umum Al Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah.
12.
Dalam
mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip
Taysir
13.
Dalam
bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al Qur’an dan al
Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui
latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui, akal bersifat nisbi,
sehingga prinsip mendahulukan nash dari pada akal memiliki kelenturan dalam
menghadapai situsi dan kondisi.
14.
Dalam
hal-hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak termasuk tugas para
nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.
15.
Untuk
memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
16.
Dalam
memahani nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan
takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada
tanggal (8 Dzulhijjah 1330 H) atau (18 November 1912) lahirlah Muhammadiyah. Sebuah
organisasi islam modernis yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atau
Muhammad Darwis dari kota Kauman Yogyakarta. Seiring perjalanan waktu
Muhammadiyah telah berkembang menjadi ormas islam yang besar.
Muhammadiyah
dan Partai politik adalah dua hal yang berbeda, Muhammadiyah adalah organisasi
yang yang bergerak di bidang sosial keagamaan sedangkan Parpol adalah organisasi
yang bergerak di bidang poltik praktis. Akan tetapi meskipun berbeda keduanya
memiliki hubungan yang erat satu sama lain.
Metode
penetapan Hukum Islam Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih yang merupakan suatu
majelis dalam oragnisasi ini. Dalam Berijtihad Majlis Tarjih menggunakan tiga
bentuk Ijtihad, yaitu: Ijtihad Bayani, Ijtihad Qiyasi, dan Ijtihad Istishlahi
B. Saran
Makalah ini menjelaskan tentang politik
hukum islam Muhammadiyah dan metode istinbath hukum islam Muhammadiyah secara
komprehensif Makalah ini sesuai untuk dibaca oleh mahasiswa baik jurusan hukum
maupun jurusan hukum islam, karena memuat materi yang menjadi basic
pembelajarannya yang telah disesuaikan dengan pakemnya masing-masing.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrohman,
Asjmuni, 2002. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Arifin,
MT.1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: PT Dunia Pustaka
Jaya
Mudzhar, H.M.
Atto’. 2006. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta:
Titian Ilahi Press
Nashir,
Haedar. 2006. Dinamika Politik Muhammadiyah. Malang:UMM Press
Tt. Manhaj
Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah kerjasama dengan
Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah
Tim Pembina
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. 1990. Muhammadiyah: Sejarah, Pendidikan, dan
Amal Usaha. Malang:UMM Press
Thohari,
Hajriyanto Y. 2005. Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Modernis.
Jakarta: PSAP Muhammadiyah
Kamus Besar Bahasa Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia
Draf
Kepengurusan PP Muhammadiyah Republik Indonesia
[1] Tim Pembina Al-Islam dan
Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah: Sejarah, Pemikiran, dan amal usaha, Malang: UMM
Press, 1990), hal. 3
[2] http://suara-muhammadiyah.com/ diunduh pada tanggal 30 Mei 2014 pukul 08.00 wib
[6] Arifin, MT, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah,
(Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1987), hal 35-38
[7] Nashir DR. Haedar, Manhaj Gerakan Muhammadiyah
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah kerjasama dengan Majelis Pendidikan Kader PP
Muhammadiyah), hal 28-33
[8] Hajriyanto Y. Thohari, Muhammadiyah dan Pergulatan
Politik Islam Modernis,(Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), hal. 162
[10] Asjmuni Abdurrohman,
Manhaj Tarjih muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002, cet. I).
[11] H.M. Atto’ Mudzhar,
Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi
Press,2006), hal. 48-51
No comments:
Post a Comment