Saturday, May 16, 2015

Akibat Hukum Cerai Talak dan Cerai Gugat

BAB II
PEMBAHASAN


1.    Akibat Hukum Cerai Talak (Hak Suami)

a.    Talak Raj’i
Talak raj’i tidak melarang mantan suami berkumpul dengan mantan istrinya, sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak (pemilikan) serta tidak mempengaruhi hubungannya yang halal (kecuali persetubuhan).Walaupun antara suami dan istri tidak terjadi perpisahan, talak ini tidak menimbulkan akibat hukum selanjutnya selama masih dalam masa iddah. Semua akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa iddah dan jika tidak ada rujuk. Apabila masa iddah telah habis maka tidak boleh rujuk maka perempuan itu telah tertalak ba’in.[1]
Istri yang tengah menjalani iddah raj’iyah jika ia patuh dan taat kepada suaminya maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian, uang belanja dari mantan suaminya. Tetapi jika dia durhaka tak berhak mendapat apa-apa. Sesuai sabda Rasulullah:
اِنَّمَا النَّفَقَةُ والسُّكْنَى لِلْمَرْ اَةِ اِذَا كَانَ لِجَوْ جِهَا عَلَيْهَا الرُّ جْعَةُ (رواه احمدوالنساعى)
Perempuan yang berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal (rumah) dari mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu berhak merujuk kepadanya. (HR. Ahmad dan An-Nasa’i)[2]
Bila salah seorang meninggal dalam masa iddah, yang lain menjadi ahli warisnya, dan mantan suami tetap wajib memberi nafkah kepadanya selama masa iddah. Ruju’ adalah salah satu hak bagi laki-laki dalam masa iddah. Sesuai firman Allah SWT:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ (البقرة)
Artinya:
wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[142]. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Baqarah 228)[3]
[142] Quru' dapat diartikan suci atau haidh.
[143] Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan Kesejahteraan rumah tangga (Lihat surat An Nisaa' ayat 34).
Karena ruju’ merupakan hak suami maka untuk merujuknya suami tidak perlu saksi dan kerelaan mantan istri serta wali. Namun menghadirkan saksi dalam rujuk hukumnya sunnat. Karena dikhawatirkan apabila kelak istri akan menyangkal rujuknya suami.Rujuk boleh dengan ucapan, seperti “saya ruju’ kamu”. Dan dengan perbuatan seperti : menyetubuhinya, merangsang seperti mencium dan sentuhan-sentuhan birahi. Akan tetapi Imam Syafi’I hanya memperbolehkan rujuk dengan ucapan dan melarang dengan perbuatan.
Ibnu Hazm mengungkapkan : “dengan menyetubuhinya tidak berarti merujuknya sebelum kata ruju’itu diucapkan dan menghadirkan saksi serta mantan istri diberitahu terlebih dahulu sebelum masa iddahnya habis.” Sesuai firman Allah SWT.
#sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& £`èdqä3Å¡øBr'sù >$rã÷èyJÎ/ ÷rr& £`èdqè%Í$sù 7$rã÷èyJÎ/ (#rßÍkô­r&ur ôursŒ 5Aôtã óOä3ZÏiB (#qßJŠÏ%r&ur noy»yg¤±9$# ¬! 4 öNà6Ï9ºsŒ àátãqム¾ÏmÎ/ `tB tb%x. ÚÆÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! %[`tøƒxC ÇËÈ   (الطّلاق)
Artinya:
apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. (Ath-Thalaq 2)[4]
Disini Allah SWT tidak membedakan antara rujuk talak dengan menghadirkan saksi. Karena itu tidak boleh memisahkan satu dari lainnya, seperti menalak tanpa dua orang saksi laki-laki yang adil dan atau rujuk tanpa adanya dua orang saksi yang adil perbuatan seperti ini melanggar hukum Allah SWT.
Hadhanah atau pengasuhan anak pada talak raj’I tetap diasuh oleh kedua orang tuanya baik ayah atau pun ibunya. Karena pada talak ini belum memutuskan hubungan perkawinan secara tegas.
b.   Talak Ba’in Sughra
Talak ba’in sughra ialah memutuskan hubungan perkawinan antara suami dan istri setelah kata talak diucapkan. Karena ikatan perkawinan telah putus, maka istrinya kembali menjadi orang lain bagi suaminya. Oleh karena itu ia tidak boleh berhubungan intim dengannya.
Jika salah satu dari keduanya meninggal baik sebelum maupun sesudah masa iddah, yang tidak berhak atas warisan. Akan tetapi pihak perempuan tetap berhak atas sisa mahar yang belum diberikannya.[5] Apabila ia baru menalaknya satu kali, berarti ia masih memiliki sisa dua kali talak setelah rujuk dan jika sudah dua kali talak maka ia berhak atas satu lagi talak setelah rujuk.
Perempuan dalam talak iddah ba’in kalau ia mengandung, maka ia berhak atas tempat tinggal, pakaian, dan nafkah. Sedangkan perempuan dalam talak iddah ba’in yang tidak hamil, baik talak tebus maupun talak tiga hanya berhak mendapatkan tempat tinggal tidak yang lainnya.
Dalam hal hadhanah kedua orang tuanya harus tetap melakukannya terutama ibu yang lebih mempunyai kedekatan dengan anaknya daripada ayahnya. Sementara ayahnya wajib memberi nafkah pada keluarga.
c.    Talak Ba’in Kubra
Hukum talak ba’in kubra yaitu memutuskan hubungan tali perkawinan antara suami dan istri. Akan tetapi tidak menghalalkan bekas suami merujuk kembali bekas istri. Kecuali ia menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya tanpa ada skenario. Perempuan yang menjalani iddah talak ba’in jika tidak hamil,ia hanya berhak memperoleh tempat tinggal (rumah) lainnya tidak. Tetapi jika hamil maka ia juga berhak mendapat nafkah. Sebagaimana firman Allah.
£`èdqãZÅ3ór& ô`ÏB ß]øym OçGYs3y `ÏiB öNä.Ï÷`ãr Ÿwur £`èdr!$ŸÒè? (#qà)ÍhŠŸÒçGÏ9 £`ÍköŽn=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`ÍköŽn=tã 4Ó®Lym z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷Ž| $yès? ßìÅÊ÷ŽäI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ  )الطّلاق)
Artinya:
tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Ath-Thalaq 6)[6]
Perempuan yang menjalani iddah wafat (karena ditinggal mati oleh suaminya) Ia tidak berhak sama sekali nafkah (dan tempat tinggal) dari mantan suaminya, karena ia dan anak yang dikandungnya adalah pewaris yang berhak mendapat harta pusaka dari almarhum suaminya itu. Rasulullah SAW bersabda.
لَيْسَا لِلْ حَامِلِ اَلْمُتَوَقَّى عَنْهَا زَوْجُهَا نَفَقَةٌ (رواه الدَّارقطنى)
Perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya tidak berhak memperoleh nafkah.
Perempuan yang ditalak suaminya sebelum dikumpuli (qabla al dukhul), ia tidak memiliki iddah, tetapi berhak memperoleh mut’ah (pemberian). Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmannya.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ|  WxŠÏHsd ÇÍÒÈ 
) الا حزاب)
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[1225] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.( Al-Ahzab 49 )[7]
[1225] Yang dimaksud dengan mut'ah di sini pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampuri.
Selanjutnya baik mantan istri atau mantan suami harus memperhatikan kesejahteraan anak. Jika anak itu masih dalam kandungan, maka ibunya harus menjaga baik-baik, demikian juga ketika menyusu pada ibunya. Sampai anak itu bisa berdiri maka tanggung jawab nafkah tetap menjadi kewajiban bapaknya. Jika anak tersebut sudah mengerti maka ia dipersilahkan memilih  mengikuti ibu atau bapaknya.
Masa iddah bagi perempuan yang hamil yaitu sampai lahir anak yang dikandungnya itu., baik cerai mati atau cerai hidup. Sedangkan perempuan yang tidak hamil adakalanya cerai mati atau cerai hidup.. Jika cerai mati iddahnya yaitu 4  bulan 10 hari.Jika perempuan diceraikan suaminya dengan cerai hidup kalau ia dalam keadaan haidh iddahnya yaitu tiga kali suci dan jikalau perempuan tersebut tidak haid iddahnya selama tiga bulan.


2.    Akibat Hukum Cerai Gugat (Hak Istri)

a.    Fasakh
Fasakh artinya putus atau batal yang dimaksud memfasakh akad nikah adalah memutuskan atau membatalkan ikatan hubungan antara suami dan istri. [8] Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungannya perkawinan.
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak Sebab talak ada talak raj’I dan talak ba’in, talak raj’I tidak mengakahiri ikatan suami istri dengan seketika, sedangkan talak ba’in mengakhiri seketika itu juga. Adapun fasakh baik karena hal-hal yang datang belakangan atau karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri pernikahan seketika itu juga.
Pisahnya suami istri yang diakibatkan oleh talak dapat mengurangi jumlah bilangan talak . Jika seorang suami menalak istrinya dengan talak raj’I, kemudian kembali pada masa iddahnya atau akad baru lagi setelah habis masa iddahnya, maka perbuatannya terhitung satu talak, yang berarti dia masih mempunyai kesempatan dua talak lagi.  Sedangkan pisahnya suami istri karena fasakh, hal ini bukan berarti mengurangi bilangan talak, meskipun terjadinya talak karena khiyar balig, kemudian kedua suami istri tersebut menikah dengan akad baru lagi maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak.
Ahli fiqih madzhab Hanafi membuat sebuah rumusan umum untuk membedakan antara pisahnya suami istri akibat talak dan akibat fasakh. Mereka mengatakan bahwa “Pisahnya suami istri karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak, Dan setiap perpisahan suami istri karena istri bukan karena suami dan sama sekali tidak ada pengaruh istri disebut talak, Dan setiap perpisahan suami istri karena istri, bukan karena suami atau karena suami tetapi dengan pengaruh istri disebut fasakh.”
Mengenai masa pelaksanaan terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Imam Syafi’I berkata,”harus menunggu selama tiga hari” sedang Imam Malik berkata,”harus menunggu selama satu bulan, dan Imam Hambali mengatakan,”harus menunggu selama satu tahun.”. Maksudnya adalah selama masa tersebut laki-laki boleh mengambil keputusan akan bercerai atau memberikan nafkah bila istri tidak rela lagi. Kalau si istri mau menunggu dan ia rela dengan ada belanja dari suaminya, maka tidak perlu difasakhkan sebab nafkah adalah haknya.
Kalau fasakh dilakukan sendiri di muka hakim maka berkata : “aku fasakhkan nikahku dari suamiku :….bin….pada hari ini”.setelah fasakh itu dilakukan maka perceraian itu dinamakan talak ba’in. Kalau si suami hendak menikah lagi harus menggunakan akad nikah baru, sedang iddahnya sebagai iddah talak biasa.
Dalam hal hadhanah pada cerai gugat fasakh ini seorang anak akan tetap diasuh oleh ibunya dan mendapatkan nafkah dari bapaknya. Sedangkan untuk waris hanya berlaku jika si suami relah meninggal, dimana sebelumnya istri memfasakh terlebih dahulu.
b. Khuluk
Khuluk dinamakan juga tebusan, karena si istri menebus diri dari suaminya dengan mengembalikan apa yang telah diterimanya. Khuluk menurut istilah syara’ yakni perceraian yang diminyta oleh istri dari suaminya dengan memberikan ganti sebagai tebusannya. Dalam hal akibat khuluk terdapat permasalahan apakah perempuan yang menerima khuluk dapat diikuti dengan talak atau tidak ?
Imam Malik mengatakan bahwa khuluk itu tidak dapat diikuti dengan talak, kecuali jika pembicaraannya bersambung. Sedangkan Imam Hanafi mengatakan dapat diikuti tanpa memisahkan antara penentuan waktunya, yaitu dapat dilakukan dengan segera atau tidak. Perbedaan ini terjadi karena golongan pertama berpendapat bahwa iddah termasuk hukum talak Sedangkan golongan kedua berpendapat termasuk hukum nikah. Oleh karena itu, ia tidak membolehkan seseorang menikahi perempuan yang sedang perempuannya masih dalam masa iddah dari talak ba’in.
Bagi fuqaha yang mengatakan bahwa iddah termasuk dalam hukum pernikahan, mereka berpendapat bahwa khuluk tersebut dapat dikuti dengan talak. Sedangan fuqaha yang tak sependapat mengatakan bahwa khuluk tersebut tak dapat diikuti dengan talak. Persoalan lain adalah, bahwa jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami yang menjatuhkan khuluk tidak dapat merujuk mantan istrinya pada masa iddah, kecuali pendapat yang diriwayatkan oleh Sa’id bin al Musayyab dan Ibnu Syihab keduanya mengatakan bahwa apabila suami mengembalika tebusan tang telah diambil dari istrinya maka ia dapat mempersaksikan rujuknya itu.
Persoalan yang lain adalah jumhur fuqaha telah sepakat bahwa suami dapat menikahi mantan istrinya yang di khuluk pada masa iddahnya dengan persetujuannya Segolongan fuqaha muta’akhirin berpendapat bahwa suami maupun orang lain tidak boleh menikahinya pada masa iddahnya.
Fuqaha berselisih pendapat tentang masa iddah wanita yang dikhuluk apabila terjadi persengketaan antara suami dan istri berkenaan dengan kadar bilangan harta yang dipakai untuk terjadinya khuluk.
Imam Malik berpendapat bahwa yang dijadikan pegangan adalah kata-kata suami jika tak ada saksi . Sedangkan Imam Syafi’I berpendapat bahwa kedua suami istri saling bersumpah dan atas istri dikenakan sebesar mahar misil. Beliau mempersamakan persengketaan antara suami dengan persengketaan antara dua orang yang jual beli. Adapun Imam Malik memandang bahwa istri sebagai pihak tergugat dan suami sebagai pihak penggugat.
Dalam hal hadhanah si suami harus tetap memberikan nafkah kepada si istri guna mencukupi kebutuhan anak yang telah dilahirkan akibat hubungan nikah mereka terdahulu. Sedangkan dalam hal waris tidak berlaku selama si suami masih hidup kecuali jika si suami meninggal setelah dijatuhi khuluk oleh istrinya.

Kompilasi Hukum Islam[9]

BAB XVII
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Akibat Talak
149.  Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecualibekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskah dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telahdi jatuhi talak ba1in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. memeberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
150. Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah.
151. Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
152. Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.
Bagian Kelima
Akibat Khuluk
161, Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk




BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan makalah diatas dapat ditarik sebuah jawaban tentang akibat hukum cerai talak dan cerai gugat.
Cerai Talak (Hak Suami)
1.      Talak Raj’I suami dapat langsung rujuk ketika dalam masa iddah dan akad baru jika masa iddah telah habis.
2.      Talak Ba’in Sughra suami menggunakan akad nikah baru ketika masa iddah telah habis
3.      Talak Ba’in Kubra suami tidak boleh menikah dengan mantan istri sebelum istrinya dinikahi oleh pria lain dan kemudian diceraikan tanpa ada skenario.
Cerai Gugat (Hak Istri)
1.      Fasakh mengakhiri ikatan perkawinan suami istri seketika itu juga dan tidak mengurangi bilangan talak
2.      Khuluk perceraian dengan jalan ini mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.


B.  Saran
Dalam Makalah ini menjelaskan secara komprehensif akibat hukum cerai talak dan cerai gugat dalam perkawinan islam. Sangat dianjurkan bagi mahasiswa jurusan hukum islam atau hukum baik di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) atau Perguruan Tinggi (PT) untuk membaca intisari dalam makalah ini. Penyusun menyadari bahwa substansi dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, Maka dari itu penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun.



DAFTAR PUSTAKA


Ghazaly, Abd. Rahman.2003.Fiqh Munakahat.Jakarta : Prenada Media
Abidin, Slamet dan Aminuddin. 1999. Fiqih Munakahat II. Bandung: CV. Pustaka Setia
Al-Quran dan Terjemahnya Kementerian Agama Republik Indonesia
Sulaiman Rasyid. 1976. Fiqh Islam.Jakarta: At-Tahiriyah
Ibnu Rusydi. 1970. Bidayaatul Mujtahid, Beirut : Darul Fikri
Departemen Agama RI,. Kompilasi Hukum Islam. 1991




[1] Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat.(Jakarta : Prenada Media, 2003) hal. 265
[2] HR. Ahmad dan An-Nasa’i
[3] QS. Al-Baqarah 228
[4] QS. Ath-Thalaq 2
[5] Abidin, Slamet dan Aminuddin.Fiqih Munakahat II.(Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999) hal.70
[6] QS. Ath-Thalaq 6
[7] QS. Al-Ahzab 49
[8] Slamet Abidin dan Aminuddin. Fiqh Munakahat II. (Bandung : Pustaka Setia, 1999). Hal 73
[9]  Departemen Agama RI Kompilasi Hukum Islam

No comments:

Post a Comment