BAB II
PENYAJIAN DATA DAN TEORI HUKUM FIQH
إعمال الكلام أولى من إهماله
“Memfungsikan
ucapan lebih baik daripada menghilangkannya” atau “Memberlakukan kalam (ucapan)
sesuai tuntutan makna, lebih diprioritaskan daripada men-disfungsikannya”.
Suatu
kalimat adakalanya jelas dan ada kalanya tidak jelas. Untuk kalimat yang jelas
tidak ada masalah. Tetapi untuk kalimat yang tidak jelas maksudnya maka kalimat
tersebut tidak boleh diabaikan atau lebih baik mengamalkannya.[1]
إعمال
الكلام أولى من إهمال
adalah
memfungsikan sebuah ucapan dengan cara memberikan hukum yang sesuai dengan
konsekuensi bahasanya.
Sedangkan
إهمال الكلام
adalah menghilangkannya dengan membuang dan tidak memberikan hukum yang sesuai
dengan konsekuensi ucapan tersebut.[2]
Ucapan
yang disampaikan oleh seseorang seringkali memunculkan beragam penafsiran
(interpretasi). Tafsir yang beragam dapat
ditimbulkan karena ada tinjauan makna hakiki (denotatif) dan
makna majazi (konotatif). Demikian pula dalam upaya implementasinya, ada
peluang dua kemungkinan terjadinya penafsiran; adakalanya kalam dapat
diterapkan sesuai dengan tuntutan maknanya (i’mal), atau dapat pula di
dis-fungsikan tanpa arti sama sekali (ihmal), karena disebabkan beberapa
faktor yang melatar belakanginya.[3]
C. Unsur
Pembentuk Kaidah
Kajian
kaidah ini akan mengajak kita untuk beranjak pada pembahasan kaidah lain yang
menjadi komponen pembentuknya. Di jabarkan oleh Muhammad Shidqi al-burnu dalam Al-Wajiz,
bahwa terdapat beberapa kaidah yang menjadi unsur terbentuknya kaidah ini,
yaitu:
- Kaidah
الاصل فى الكلام الحقيقة “ketentuan dasar
sebuah ucapan adalah pada makna hakikatnya”.
Al-Haqiqah sendiri adalah
pemberlakuan lafadz pada makna asli (denotatif), seperti mengartikan kata
“harimau” sebagai binatang buas yang dikenal oleh khalayak umum, sedangkan al-Majaz
adalah sebaliknya, pemberlakuan lafaz pada selain makna aslinya (konotatif),
seperti mengartikan kata”an Nur” sebagai ilmu pengetahuan atau agama
islam.
Dalam konteks fiqih , kaidah ini
diartikan sebagai pemberlakuan ucapan pelafazh(Mutakallim), baik sebagai
pembawa syariat (Syari’), pelaku transaksi, pengucap sumpah, pembicara, dan
lain sebagainya pada makna denotatifnya, jika tidak ditemui Qarinah (indikator)
yang mengarahkan pada makna konotatifnya.
- اذا تعذرت الحقيقة يصار على المجاز “Jika dirasa sulit untuk mengarahkan
ucapan pada makna hakikat (denotatifnya) maka diarahkan pada makna majaz
(konotatifnya).
- اذا تعذر اعمال الكلام يهمل “Jika sulit memberlakukan suatu
ucapan, maka ucapan tersebut tidak dapat diberlakukan”.
Jika sebuah ucapan sama sekali tidak
mungkin untuk diartikan sesuai makna hakiki maupun makna majaznya, maka ucapan
itu dianggap sebagai gurauan, sehingga tidak perlu diperhitungkan
keberadaannya.
D.
Disfungsi Ucapan (Ihmal)
Mendisfungsikan kalam, baik secara
konotatif maupun denotatif, dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya:
- Sulitnya
mendefinisikan makna yang dimaksud
Contoh : seorang suami yang berkata kepada sang istri yang
tidak ada hubungan nasab dengan sang suami “wanita ini adalah anakku” ucapan
ini tidak memberi pengaruh sama sekali terhadap tertalaknya sang istri. Hal ini
dilatar belakangi sulitnya menangkap makna yang dikehendaki, apalagi realita
menunjukan bahwa umur sang istri lebih tua.
- Lafadz
yang diucapkan bermakna ganda (Musytarak), sementara tak ada
peluang untuk mengarahkan pada salah satu makna yang dikandung.
Contoh : Lafz mawla, yang
dalam bahasa Arab mempunyai makna ganda ; pertama adalah makna mu’tiq
(orang yang memerdekakan budak) dan makna kedua makna mu’taq (budak yang
dimerdekakan).
- Lafadz
yang diucapkan tidak mendapat legitimasi Syara’.
Contoh : suami yang berkata kepada
salahsatu diantara dua istrinya “kamu ku talak empat kali” dan sang istri
menimpali “bukankah tiga talak sudah cukup bagiku?” setelah itu sang suami
menjelaskan bahwa tambahan satu talak itu diperuntukan istri keduanya. Dalam
kasus ini, tidak terjadi konsekuensi apapun bagi istri yang kedua (tidak
tertalak satu). Sebab syari’at tidak memberi justifikasi pada talak yang lebih
dari tiga. Sehingga talak yang keempat tidak berlaku pada istri yang pertama
dan tidak menjadi sisa talak yang bisa dialihkan pada istri yang kedua.
- Kata
–kata yang diungkapkan bertentangan dengan realitas dilapangan praksisi (zahir).
Contoh : pengakuan (Iqrar) si Doel, bahwa ia
telah membunuh si Mandra. Padahal kenyataanya Mandra sendiri jelas-jelas masih
hidup. Dengan dmikian si Doel tidak akan mendapat qishos, sebab iqrarnya tidak
sesuai dengan kenyataan yang ada.
- Kata-kata
yang dilontarkan tidak sesuai (kontradiktif) dengan ketentuan syariat
Contoh
: pengakuan (iqrar) Heri dihadapan hakim bahwa saudara perempuannyaa Siti telah
mendapat jata warisan dari sang ayah, sebanyak dua kali lipat dari bagiannya,
padahal dalam pandangan syariat, bagian waris laki-laki adalah dua kali lipat
dari perempuan. Dengan demikian pengakuan Heri sangat kontradiktif dengan
ketentuan syariat.
BAB III
ANALISIS KASUS
إعمال الكلام أولى من إهماله
Memberlakukan kalam (ucapan) sesuai
tuntutan makna, lebih diprioritaskan daripada mendisfungsikannya[4]
*Tujuan dan Arah Maqasid Syar’i:
“wa maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun
wa hiya: ’an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum,
wa ‘aqlahum wa naslahum wa mãlahum”
Tujuan syariat Allah SWT
bagi makhluk-Nya adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal,
keturunan, dan harta mereka
A. Kasus pertama
1. Contoh
Kasus/hukum konkret
Kita dapat melihat pada
seseorang yang memilki dua buah kendang, dimana kendang pertama digunakan untuk
hal-hal yang berbau maksiat, Sedangkan kendang yang kedua berguna untuk
memfasilitasi hal-hal yang halal, seperti untuk penyemangat perang membela
agama dan negara, menandai keberangkatan atau kepulangan jamaah haji, dan lain
sebagainya.
2.
Terapan/Aplikasi
dalam kasus hukum yang konkret
“Memberlakukan kalam (ucapan) sesuai
tuntutan makna, lebih diprioritaskan daripada mendisfungsikannya.” Jadi disini
sebuah wasiat untuh menghibahkan kedua buah kendang adalah harus dilakukan jika
terpenuhinya I’mal dengan kendang yang halal saja.
3.
Penyelesaiannya
Berwasiat untuk menghibahkan kendang
miliknya, hanya dapat kita penuhi (I’mal) dengan kendang yang halal. Karena
secara lahir, si pemberi mengharapkan pahala atas hibahnya, yang dapat
dimanifestasikan dengan menggunakan barang yang sah (halal) diwasiatkan. Dengan
kata lain tidak boleh menyia-nyiakan wasiat (kalam)yang telah diamanatkan itu
selama masih ada potensi untuk diwujudkan secara prosedural.[5]
B.
Kasus
Kedua
1.
Contoh kasus
hukum/hukum konkret
Pada ucapan seorang suami,”Kutalak salah
satu diantara kalian,”dimana ucapan itu ditujukan kepada istri dan hewan
peliharaannya.
2.
Terapan/aplikasi
dalam kasus hukum yang aktual
“Memberlakukan kalam (ucapan) sesuai
tuntutan makna, lebih diprioritaskan daripada mendisfungsikannya.”.Jadi, ucapan
seorang suami itu jelas ditujukan kepada istri Karena talak pada binatang itu
jelas tidak sah, maka hukum talak akan berlaku.
3.
Penyelesaian
Ucapan itu diarahkan pada objek yang
secara syar’i dapat ditalak, yaitu sang istri. Jadi tidak lantas ucapan
tersebut tidak diberlakukan (ihmal) sama sekali. Pernyataan talaknya harus
diarahkan pada istrinya yaitu sebagai objek yang sah untuk dikenai hukum talak.
Yang layak dicatat, kaidah ini berlaku
apabila fungsionalisasi dan disfungsionalisasi tersebut berada pada tingkatan
yang sederajat atau seimbang ditinjau dari aspek lafaznya.[6]
Sehingga apabila fungsionalisasi ucapan sifatnya abstrak, yakni proses
I’mal-nya sangat sulit dipahami atau diimplementasikan bahkan menjadi semacam
teka-teki maka lebih baik kalam tersebut didisfungsikan. Sebagaimana ungkapan
seorang bapak “kunikahkan dirimu dengan Diana” tanpa ditambahi kata keterangan
“Diana anakku”, misalnya ucapan semacam ini tidak dianggap sah, andaikan dalam
realitanya, gadis yang bernama Diana berjumlah banyak, bukan hanya anaknya
saja.
*Kaidah
senada
“Ta’sis
(penguatan dasar) lebih diutamakan daripada ta’kid (penguatan)”[7]
Contohnya:
Seorang
suami yang mengatakan pada istrinya “kamu kucerai!” dimana ucapan ini diulang
sampai tiga kali, tanpa ada maksud bahwa ucapan yang kedua dan ketiga hanya
sebagai penguat yang pertama. Maka sang istri tertalak tiga, karena
masing-masing pengulangan membuahkan satu talak. Dengan kata lain, kata cerai
yang kedua dan ketiga tidak hanya memperkuat kata cerai yang pertama saja
Dengan
demikian kaidah ini memberi pengertian bahwa bila ada suatu ucapan yang
mempunyai makna tersendiri dan sekaligus memungkinkan untuk menjadi penguat
makna ucapan sebelumnya, maka yang lebih diutamakan adalah menjadikannya
sebagai kata yang memilki makna tersendiri.
Ketentuan
diatas dapat diberlakukan jika sesuai dengan kriteria berikut ini.
1.
masing-masing
kalimat dipisahkan oleh kata-kata lain , atau dipisahkan oleh diam yang agak
lama.sehingga ucapan kedua dan ketiga memiliki kekuatan makna tersendiri.
2.
Masing-masing
kalimat tersebut tidak ada pemisah. Namun sang suami bermaksud menjadikan
kalimat kedua dan ketiga sebagai permulaan. Namun apabila ada niat khusus untuk
menjadikan kalimat kedua dan ketiga sebagai penguat kalimat pertama maka yang
terjadi dalam contoh ini adalah jatuhnya talak satu kali.
3.
Sang suami
memutlakan tujuannya, karena jika dihubungkan dengan peristiwa ini, secara
lahiriah suami mengucapkan kalimat talaknya tiga kali.
BAB IV
PENUTUP
*. Kesimpulan:
A.
Teks
Kaidah
إعمال الكلام أولى من إهماله
“Memfungsikan ucapan lebih baik daripada
menghilangkannya” atau “Memberlakukan kalam (ucapan) sesuai tuntutan makna,
lebih diprioritaskan daripada men-disfungsikannya”.
Suatu
kalimat adakalanya jelas dan ada kalanya tidak jelas. Untuk kalimat yang jelas
tidak ada masalah. Tetapi untuk kalimat yang tidak jelas maksudnya maka kalimat
tersebut tidak boleh diabaikan atau lebih baik mengamalkannya.
إعمال
الكلام أولى من إهمال
adalah
memfungsikan sebuah ucapan dengan cara memberikan hukum yang sesuai dengan
konsekuensi bahasanya.
Sedangkan إهمال
الكلام adalah
menghilangkannya dengan membuang dan tidak memberikan hukum yang sesuai dengan
konsekuensi ucapan tersebut.
C.
Unsur Pembentuk Kaidah
Kajian
kaidah ini akan mengajak kita untuk beranjak pada pembahasan kaidah lain yang
menjadi komponen pembentuknya. Di jabarkan oleh Muhammad Shidqi al-burnu dalam Al-Wajiz,
bahwa terdapat beberapa kaidah yang menjadi unsur terbentuknya kaidah ini,
yaitu:
1. Kaidah الاصل
فى الكلام الحقيقة “ketentuan dasar sebuah ucapan adalah pada
makna hakikatnya”.
- اذا تعذرت الحقيقة يصار على المجاز “Jika dirasa sulit untuk mengarahkan
ucapan pada makna hakikat (denotatifnya) maka diarahkan pada makna majaz (konotatifnya).
- اذا تعذر اعمال الكلام يهمل “Jika sulit memberlakukan suatu
ucapan, maka ucapan tersebut tidak dapat diberlakukan”.
D. Disfungsi
Ucapan (Ihmal)
Mendisfungsikan kalam, baik secara
konotatif maupun denotatif, dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya:
1. Sulitnya
mendefinisikan makna yang dimaksud
2. Lafadz
yang diucapkan bermakna ganda (Musytarak), sementara tak ada peluang
untuk mengarahkan pada salah satu makna yang dikandung.
3. Lafadz
yang diucapkan tidak mendapat legitimasi Syara’.
4. Kata –kata
yang diungkapkan bertentangan dengan realitas dilapangan praksisi (zahir).
5. Kata-kata
yang dilontarkan tidak sesuai (kontradiktif) dengan ketentuan syariat
DAFTAR PUSTAKA
Haq, Abdul dkk.2006.Formulasi
Nalar Fiqh.Surabaya:Khalista
Usman, Mukhlis.1997.Kaidah-Kaidah
Istinbath Hukum Islam:Kaidah-Kaidah
Ushuliyah
dan Fiqhiyah.Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada
As-Suyuthi, Jalaluddin
Abdurrahman.TT. al-Asyba’Wan Nadhoir.Indonesia:
Syirkah
Nur Asia
Abu al-Faidl
Muhammad Yasin bin’Isa al-Fadany,1997.al-Fawa’id al-Jamiyyah,
Beirut Libanon:Dar Fikr
Abdullah bin
Sa’id Muhammad ‘Abbady Al-Hadlramy.1410 H al-Lahji, Idlah al-
Qawa’id Fiqhiyah, Surabaya:dar
al-Rahman
Djazuli.2011. Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum
Islam dalam
Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis .Jakarta:
Kencana
Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif,2009. Al-Qawaid
Al-fiqhiyah
Kaedah-Kaedah
Praktis Memahami Fiqih Islami, Pustaka al-Furqon
[1]
. Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis. Ed. 1. Cet. 4. (Jakarta: Kencana, 2011). hlm. 91.
[2] Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Al-Qawaid
Al-fiqhiyah Kaedah-Kaedah Praktis
Memahami Fiqih Islami, (t.t Pustaka al-Furqon, 2009). hlm. 87
[3]
Abdul Haq dkk, Formulasi nalar fiqh, cet. II, (Surabaya: Khalista,
2006), hlm. 116
[4] As-Suyuthi, Jalaluddin
Abdurrahman,al-Asyba’ Wan Nadhoir, (Indonesia: Syirkah Nur Asia,TT),
h.89
[5] Abu al-Faidl Muhammad Yasin bin’Isa al-Fadany,al-Fawa’id
al-Jamiyyah, (Beirut Libanon:Dar Fikr, 1997 ), h.430
[6] Abdullah bin Sa’id Muhammad ‘Abbady
Al-Hadlramy. al-Lahji, Idlah al-Qawa’id Fiqhiyah, (Surabaya:dar
al-Rahman, 1410 H) h.67
[7] As-Suyuthi, Jalaluddin
Abdurrahman,al-Asyba’ Wan Nadhoir, h.93
No comments:
Post a Comment