Saturday, May 16, 2015

إعمال الكلام أولى من إهماله Kaidah Fikih

BAB II
PENYAJIAN DATA DAN TEORI HUKUM FIQH



إعمال الكلام أولى من إهماله
      “Memfungsikan ucapan lebih baik daripada menghilangkannya” atau “Memberlakukan kalam (ucapan) sesuai tuntutan makna, lebih diprioritaskan daripada men-disfungsikannya”.
      Suatu kalimat adakalanya jelas dan ada kalanya tidak jelas. Untuk kalimat yang jelas tidak ada masalah. Tetapi untuk kalimat yang tidak jelas maksudnya maka kalimat tersebut tidak boleh diabaikan atau lebih baik mengamalkannya.[1]


إعمال الكلام أولى من إهمال
      adalah memfungsikan sebuah ucapan dengan cara memberikan hukum yang sesuai dengan konsekuensi bahasanya.
      Sedangkan  إهمال الكلام  adalah menghilangkannya dengan membuang dan tidak memberikan hukum yang sesuai dengan konsekuensi ucapan tersebut.[2]
      Ucapan yang disampaikan oleh seseorang seringkali memunculkan beragam penafsiran (interpretasi). Tafsir yang beragam dapat  ditimbulkan karena ada tinjauan makna hakiki (denotatif) dan makna majazi (konotatif). Demikian pula dalam upaya implementasinya, ada peluang dua kemungkinan terjadinya penafsiran; adakalanya kalam dapat diterapkan sesuai dengan tuntutan maknanya (i’mal), atau dapat pula di dis-fungsikan tanpa arti sama sekali (ihmal), karena disebabkan beberapa faktor yang melatar belakanginya.[3]

C.    Unsur Pembentuk Kaidah
      Kajian kaidah ini akan mengajak kita untuk beranjak pada pembahasan kaidah lain yang menjadi komponen pembentuknya. Di jabarkan oleh Muhammad Shidqi al-burnu dalam Al-Wajiz, bahwa terdapat beberapa kaidah yang menjadi unsur terbentuknya kaidah ini, yaitu:
  1. Kaidah الاصل فى الكلام الحقيقة   “ketentuan dasar sebuah ucapan adalah pada makna hakikatnya”.
Al-Haqiqah sendiri adalah pemberlakuan lafadz pada makna asli (denotatif), seperti mengartikan kata “harimau” sebagai binatang buas yang dikenal oleh khalayak umum, sedangkan al-Majaz adalah sebaliknya, pemberlakuan lafaz pada selain makna aslinya (konotatif), seperti mengartikan kata”an Nur” sebagai ilmu pengetahuan atau agama islam.
Dalam konteks fiqih , kaidah ini diartikan sebagai pemberlakuan ucapan pelafazh(Mutakallim), baik sebagai pembawa syariat (Syari’), pelaku transaksi, pengucap sumpah, pembicara, dan lain sebagainya pada makna denotatifnya, jika tidak ditemui Qarinah (indikator) yang mengarahkan pada makna konotatifnya.
  1. اذا تعذرت الحقيقة يصار على المجاز  “Jika dirasa sulit untuk mengarahkan ucapan pada makna hakikat (denotatifnya) maka diarahkan pada makna majaz (konotatifnya).
  2. اذا تعذر اعمال الكلام يهمل  “Jika sulit memberlakukan suatu ucapan, maka ucapan tersebut tidak dapat diberlakukan”.
Jika sebuah ucapan sama sekali tidak mungkin untuk diartikan sesuai makna hakiki maupun makna majaznya, maka ucapan itu dianggap sebagai gurauan, sehingga tidak perlu diperhitungkan keberadaannya.


D.    Disfungsi Ucapan (Ihmal)
Mendisfungsikan kalam, baik secara konotatif maupun denotatif, dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya:
  1. Sulitnya mendefinisikan makna yang dimaksud
Contoh : seorang  suami yang berkata kepada sang istri yang tidak ada hubungan nasab dengan sang suami “wanita ini adalah anakku” ucapan ini tidak memberi pengaruh sama sekali terhadap tertalaknya sang istri. Hal ini dilatar belakangi sulitnya menangkap makna yang dikehendaki, apalagi realita menunjukan bahwa umur sang istri lebih tua.
  1. Lafadz yang diucapkan bermakna ganda (Musytarak), sementara tak ada peluang untuk mengarahkan pada salah satu makna yang dikandung.
Contoh : Lafz mawla, yang dalam bahasa Arab mempunyai makna ganda ; pertama adalah makna mu’tiq (orang yang memerdekakan budak) dan makna kedua makna mu’taq (budak yang dimerdekakan).
  1. Lafadz yang diucapkan tidak mendapat legitimasi Syara’.
Contoh : suami yang berkata kepada salahsatu diantara dua istrinya “kamu ku talak empat kali” dan sang istri menimpali “bukankah tiga talak sudah cukup bagiku?” setelah itu sang suami menjelaskan bahwa tambahan satu talak itu diperuntukan istri keduanya. Dalam kasus ini, tidak terjadi konsekuensi apapun bagi istri yang kedua (tidak tertalak satu). Sebab syari’at tidak memberi justifikasi pada talak yang lebih dari tiga. Sehingga talak yang keempat tidak berlaku pada istri yang pertama dan tidak menjadi sisa talak yang bisa dialihkan pada istri yang kedua.
  1. Kata –kata yang diungkapkan bertentangan dengan realitas dilapangan praksisi (zahir).
Contoh :  pengakuan (Iqrar) si Doel, bahwa ia telah membunuh si Mandra. Padahal kenyataanya Mandra sendiri jelas-jelas masih hidup. Dengan dmikian si Doel tidak akan mendapat qishos, sebab iqrarnya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
  1. Kata-kata yang dilontarkan tidak sesuai (kontradiktif) dengan ketentuan syariat
       Contoh : pengakuan (iqrar) Heri dihadapan hakim bahwa saudara perempuannyaa Siti telah mendapat jata warisan dari sang ayah, sebanyak dua kali lipat dari bagiannya, padahal dalam pandangan syariat, bagian waris laki-laki adalah dua kali lipat dari perempuan. Dengan demikian pengakuan Heri sangat kontradiktif dengan ketentuan syariat.




BAB III
ANALISIS KASUS

إعمال الكلام أولى من إهماله

Memberlakukan kalam (ucapan) sesuai tuntutan makna, lebih diprioritaskan daripada mendisfungsikannya[4]

*Tujuan dan Arah Maqasid Syar’i:

wa maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun wa hiya: ’an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa ‘aqlahum wa naslahum wa mãlahum
Tujuan syariat Allah SWT bagi makhluk-Nya adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka

A.    Kasus pertama
1.      Contoh Kasus/hukum konkret
      Kita dapat melihat pada seseorang yang memilki dua buah kendang, dimana kendang pertama digunakan untuk hal-hal yang berbau maksiat, Sedangkan kendang yang kedua berguna untuk memfasilitasi hal-hal yang halal, seperti untuk penyemangat perang membela agama dan negara, menandai keberangkatan atau kepulangan jamaah haji, dan lain sebagainya.
2.      Terapan/Aplikasi dalam kasus hukum yang konkret
      “Memberlakukan kalam (ucapan) sesuai tuntutan makna, lebih diprioritaskan daripada mendisfungsikannya.” Jadi disini sebuah wasiat untuh menghibahkan kedua buah kendang adalah harus dilakukan jika terpenuhinya I’mal dengan kendang yang halal saja.
3.      Penyelesaiannya
      Berwasiat untuk menghibahkan kendang miliknya, hanya dapat kita penuhi (I’mal) dengan kendang yang halal. Karena secara lahir, si pemberi mengharapkan pahala atas hibahnya, yang dapat dimanifestasikan dengan menggunakan barang yang sah (halal) diwasiatkan. Dengan kata lain tidak boleh menyia-nyiakan wasiat (kalam)yang telah diamanatkan itu selama masih ada potensi untuk diwujudkan secara prosedural.[5]

B.     Kasus Kedua
1.      Contoh kasus hukum/hukum konkret
      Pada ucapan seorang suami,”Kutalak salah satu diantara kalian,”dimana ucapan itu ditujukan kepada istri dan hewan peliharaannya.
2.      Terapan/aplikasi dalam kasus hukum yang aktual
      “Memberlakukan kalam (ucapan) sesuai tuntutan makna, lebih diprioritaskan daripada mendisfungsikannya.”.Jadi, ucapan seorang suami itu jelas ditujukan kepada istri Karena talak pada binatang itu jelas tidak sah, maka hukum talak akan berlaku.
3.      Penyelesaian
      Ucapan itu diarahkan pada objek yang secara syar’i dapat ditalak, yaitu sang istri. Jadi tidak lantas ucapan tersebut tidak diberlakukan (ihmal) sama sekali. Pernyataan talaknya harus diarahkan pada istrinya yaitu sebagai objek yang sah untuk dikenai hukum talak.

      Yang layak dicatat, kaidah ini berlaku apabila fungsionalisasi dan disfungsionalisasi tersebut berada pada tingkatan yang sederajat atau seimbang ditinjau dari aspek lafaznya.[6] Sehingga apabila fungsionalisasi ucapan sifatnya abstrak, yakni proses I’mal-nya sangat sulit dipahami atau diimplementasikan bahkan menjadi semacam teka-teki maka lebih baik kalam tersebut didisfungsikan. Sebagaimana ungkapan seorang bapak “kunikahkan dirimu dengan Diana” tanpa ditambahi kata keterangan “Diana anakku”, misalnya ucapan semacam ini tidak dianggap sah, andaikan dalam realitanya, gadis yang bernama Diana berjumlah banyak, bukan hanya anaknya saja.

*Kaidah senada

“Ta’sis (penguatan dasar) lebih diutamakan daripada ta’kid (penguatan)”[7]

Contohnya:
Seorang suami yang mengatakan pada istrinya “kamu kucerai!” dimana ucapan ini diulang sampai tiga kali, tanpa ada maksud bahwa ucapan yang kedua dan ketiga hanya sebagai penguat yang pertama. Maka sang istri tertalak tiga, karena masing-masing pengulangan membuahkan satu talak. Dengan kata lain, kata cerai yang kedua dan ketiga tidak hanya memperkuat kata cerai yang pertama saja
Dengan demikian kaidah ini memberi pengertian bahwa bila ada suatu ucapan yang mempunyai makna tersendiri dan sekaligus memungkinkan untuk menjadi penguat makna ucapan sebelumnya, maka yang lebih diutamakan adalah menjadikannya sebagai kata yang memilki makna tersendiri.
Ketentuan diatas dapat diberlakukan jika sesuai dengan kriteria berikut ini.
1.      masing-masing kalimat dipisahkan oleh kata-kata lain , atau dipisahkan oleh diam yang agak lama.sehingga ucapan kedua dan ketiga memiliki kekuatan makna tersendiri.
2.      Masing-masing kalimat tersebut tidak ada pemisah. Namun sang suami bermaksud menjadikan kalimat kedua dan ketiga sebagai permulaan. Namun apabila ada niat khusus untuk menjadikan kalimat kedua dan ketiga sebagai penguat kalimat pertama maka yang terjadi dalam contoh ini adalah jatuhnya talak satu kali.
3.      Sang suami memutlakan tujuannya, karena jika dihubungkan dengan peristiwa ini, secara lahiriah suami mengucapkan kalimat talaknya tiga kali.

  

BAB IV
PENUTUP

*.   Kesimpulan:
A.    Teks Kaidah

إعمال الكلام أولى من إهماله

      Memfungsikan ucapan lebih baik daripada menghilangkannya” atau “Memberlakukan kalam (ucapan) sesuai tuntutan makna, lebih diprioritaskan daripada men-disfungsikannya”.
      Suatu kalimat adakalanya jelas dan ada kalanya tidak jelas. Untuk kalimat yang jelas tidak ada masalah. Tetapi untuk kalimat yang tidak jelas maksudnya maka kalimat tersebut tidak boleh diabaikan atau lebih baik mengamalkannya.
B.     Makna kaidah

إعمال الكلام أولى من إهمال
      adalah memfungsikan sebuah ucapan dengan cara memberikan hukum yang sesuai dengan konsekuensi bahasanya.
      Sedangkan  إهمال الكلام  adalah menghilangkannya dengan membuang dan tidak memberikan hukum yang sesuai dengan konsekuensi ucapan tersebut.
C.    Unsur Pembentuk Kaidah
      Kajian kaidah ini akan mengajak kita untuk beranjak pada pembahasan kaidah lain yang menjadi komponen pembentuknya. Di jabarkan oleh Muhammad Shidqi al-burnu dalam Al-Wajiz, bahwa terdapat beberapa kaidah yang menjadi unsur terbentuknya kaidah ini, yaitu:
1.      Kaidah الاصل فى الكلام الحقيقة   “ketentuan dasar sebuah ucapan adalah pada makna hakikatnya”.
  1. اذا تعذرت الحقيقة يصار على المجاز  “Jika dirasa sulit untuk mengarahkan ucapan pada makna hakikat (denotatifnya) maka diarahkan pada makna majaz (konotatifnya).
  2. اذا تعذر اعمال الكلام يهمل  “Jika sulit memberlakukan suatu ucapan, maka ucapan tersebut tidak dapat diberlakukan”.
D.    Disfungsi Ucapan (Ihmal)
Mendisfungsikan kalam, baik secara konotatif maupun denotatif, dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya:
1.      Sulitnya mendefinisikan makna yang dimaksud
2.      Lafadz yang diucapkan bermakna ganda (Musytarak), sementara tak ada peluang untuk mengarahkan pada salah satu makna yang dikandung.
3.      Lafadz yang diucapkan tidak mendapat legitimasi Syara’.
4.      Kata –kata yang diungkapkan bertentangan dengan realitas dilapangan praksisi (zahir).
5.      Kata-kata yang dilontarkan tidak sesuai (kontradiktif) dengan ketentuan syariat
      


DAFTAR PUSTAKA

Haq, Abdul dkk.2006.Formulasi Nalar Fiqh.Surabaya:Khalista

Usman, Mukhlis.1997.Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam:Kaidah-Kaidah
      Ushuliyah dan Fiqhiyah.Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada

As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman.TT. al-Asyba’Wan Nadhoir.Indonesia:
      Syirkah Nur Asia

Abu al-Faidl Muhammad Yasin bin’Isa al-Fadany,1997.al-Fawa’id al-Jamiyyah,
       Beirut Libanon:Dar Fikr

Abdullah bin Sa’id Muhammad ‘Abbady Al-Hadlramy.1410 H al-Lahji, Idlah al-
       Qawa’id Fiqhiyah, Surabaya:dar al-Rahman

Djazuli.2011. Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
       Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis .Jakarta: Kencana

Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif,2009. Al-Qawaid  Al-fiqhiyah
       Kaedah-Kaedah Praktis  Memahami Fiqih Islami, Pustaka al-Furqon




[1] . Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Ed. 1. Cet. 4. (Jakarta: Kencana, 2011). hlm. 91.

[2] Abu Yusuf, Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Al-Qawaid  Al-fiqhiyah Kaedah-Kaedah Praktis  Memahami Fiqih Islami, (t.t Pustaka al-Furqon, 2009). hlm. 87

[3] Abdul Haq dkk, Formulasi nalar fiqh, cet. II, (Surabaya: Khalista, 2006), hlm. 116
[4] As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman,al-Asyba’ Wan Nadhoir, (Indonesia: Syirkah Nur Asia,TT), h.89

[5]  Abu al-Faidl Muhammad Yasin bin’Isa al-Fadany,al-Fawa’id al-Jamiyyah, (Beirut Libanon:Dar Fikr, 1997 ), h.430

[6] Abdullah bin Sa’id Muhammad ‘Abbady Al-Hadlramy. al-Lahji, Idlah al-Qawa’id Fiqhiyah, (Surabaya:dar al-Rahman, 1410 H) h.67
[7] As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman,al-Asyba’ Wan Nadhoir, h.93

No comments:

Post a Comment