BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Lembaga Tahkim
Istilah tahkim berasal dari bahasa
Arab artinya menyerahkan putusan kepada seseorang dan menerima putusan itu.
Menurut istilah, tahkim ialah dua orang atau lebih mentahkimkan kepada
seseorang untuk diselesaikan sengketanya dan diterapkan hukum. Syara’ atas
sengketa mereka itu[1].
Kamus bahasa Indonesia mengartikannya: perihal menjadikan hakim; mempergunakan
hakim (dalam persengketaan). Dalam pengertian ini yaitu menunjuk seseorang yang
dianggap memiliki kemampuan dan sifat adil dan bijaksana dalam menyelesaikan
sengketa yang dihadapi dua orang atau lebih.
Hasbi Ash Shiddieqy mendefenisikan:
menyerahkan diri atau urusan kepada seseorang yang dianggap cakap dan pandai
menyelesaikan sesuatu dengan menyenangkan kedua belah pihak.[2]
Penyelesaian sengketa tersebut terjadi di luar lembaga pengadilan. Orang yang
ditunjuk untuk memutus sengketa tersebut disebut hakam atau muhakkam.
kedudukan tahkim adalah lebih rendah dari kedudukan
peradilan. Karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang tak dapat dilakukan
oleh seorang muhakkam. Lantaran itu Abu Yususf tidak membolehkan kita
mengadakan suatu syarat terhadap tahkim itu. Selain daripada itu hukum yang
diberikan oleh muhakkam hanya berlaku bagi orang-orang yang menerima
putusannya. Sedangkan putusan hakim harus berlaku walaupun tidak diterima oleh
orang yang bersangkutan.
Lembaga tahkim seperti ini
sesungguhnya telah dikenal oleh bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Masa itu, apabila
terjadi suatu sengketa, hakamlah yang harus didengar pendapatnya. Dengan
demikian, para pihak yang bersengketa pergi kepada hakam.
Di dalam syari’at Islam, dasar hukum
yang membenarkan lembaga tahkim ialah firman Allah dalam Q.S. al-Nisa (4): 35;
فابعـثوا حكمـا
من اهـلـه و حكمـا من اهـلهـا ، ان يريدا اصلاحـا يوفق الله بينهمـا
Artinya:”Maka angkatlah seorang hakam dari keluarga si lelaki dan
seorang hakam dari keluarga si wanita. Jika keduanya menghendaki perbaikan,
niscaya Allah akan memberi taufik kepada keduanya”.
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i bahwa
Abu Syuraih menerangkan kepada Rasulullah saw. bahwa kaumnya telah berselisih
dalam suatu perkara. Lalu mereka datang kepadanya, dan dia pun memutuskan
perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak. Mendengar itu,
Nabi saw. bersabda: Alangkah baiknya. Demikian pula riwayat menyatakan bahwa
Rasulullah saw. telah menerima putusan sa’ad bin Mu’az terhadap Bani Quraidah
tatkala orang-orang Yahudi sepakat dan rela menerima tahkim dari Sa’ad kepada
mereka.
Ahli fiqh menetapkan bahwa seorang
hakam hendaklah seorang yang mempunyai sifat hakim, yaitu dapat diajukan
sebagai saksi baik laki-laki ataupun perempuan, dan benar-benar mempunyai
keahlian diwaktu dia menjatuhkan putusan. Hendaklah perkara
yang ditahkimkan kepadanya adalah perkara-perkara yang tidak masuk dalam bidang
pidana dan qishash. Karena dalam bidang ini penguasa yang berkewajiban
melaksanakannya dan karena hukum yang diberikan oleh muhakkam tidak melibatkan
kepada orang-orang lain. Mengingat hal ini maka tahkim itu dapat dilaksanakan
dalam segala masalah ijtihadiyah sepeti talak, nikah, kafalah, dan jual beli
Adapun kekuatan hukum keputusan
tahkim terdapat perbedaan pendapat. Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal
berpendapat bahwa putusan yang diberikan oleh hakam harus dijalani oleh pihak
yang bersangkutan, meskipun pihak-pihak yang berperkara boleh menolak tahkim
sebelum hakam mengeluarkan putusannya. Sedang ada pula pendapat menyebutkan
bahwa hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus dituruti oleh pihak yang
berperkara. Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan pendapat Sahnun sebagaimana pula
dalam mazhab Maliki, bahwa masing-masing pihak dapat menarik pentahkimannya
selama belum ada putusan.
Apabila pihak yang perperkara sudah
diputuskan perkaranya oleh seorang hakam, kemudian mengajukan lagi perkaranya
kepada hakam lain dan diberikan putusan yang berlawanan dengan yang pertama
karena hakam tersebut tidak mengetahui adanya putusan sebelumnya, maka perkara
itu harus diselesaikan oleh hakim, dan hakim hendaknya mentanfizkan hukum yang
sesuai dengan pendapatnya. Hakim dapat pula membatalkan putusan itu jika
berlawanan dengan pendapatnya.
Kedudukan tahkim dibanding dengan
qadha’ berada pada tingkat bawah. Mengingat tahkim ini terjadi atas kesepakatan
secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. Putusan seorang hakam dapat
diterima oleh para pihak, dan dapat pula menolaknya. Berbeda dengan keputusan
qadha’, senang atau tidak senang kepada keputusan qadha’ tersebut, harus
diterima dan ditaati.
2.2
Bidang-Bidang
Tahkim
Di dalam Al Mughni, Ibnu Qudamabh
menerangkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh hakam berlaku dalam segala rupa
perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qadzaf, qishash. Dalam hal ini
termasuk wewenang penguasa. Pengikut-pengikut Asy Syafi’I mempunyai dua
pendapat dalam masalah ini
Ibnu Farhun dalam At Tabshirah
mengatakan bahwa putusan hakam itu berlaku dalam bidang-bidang harta tidak
berlaku dalam bidang pidana, li’an, qishash, qadzaf, talak, atau menetukan
keturunan. Pihak-pihak yang mentahkimkan itu boleh ,menolak putusan hakam,
sebelum hakam itu mengeluarkan putusannya. Hakam itu dipandang sebagai muqallid
yang dituruti poleh kedua belah pihak. Karenanya mereka boleh memakzulkan
(memecat) Muklladnya sebelum mukalld itu menjatuhkan hukuman. Tetapi apabila
mukallad sudah mengambil putusannya, maka putusannya itu berlaku tidak dapat
dibatalkan lagi.
Sebagian ulama berpendapat , bahwa
tidak perlu adanya kerelaan dari belah pihak sampai pada ketika melaksanakan
hukum. Apabila kedua-duanya telah mengemukakan keterangan mereka masing-masing
pada seorang hakam, kemudian salah seorang ingin menarik kembali pentahkimnya
sebelum memutuskan hukum maka hakam itu dapat terus memutuskan hukum dan sah
hukumnya.
Menurut Pendapat Sahnun,
masing-masing pihak dapat menarik pentahkimannnya, selama belum ada putusan.
Menurut pendapat yang rajah dalam mazhab Malik tidak disyaratkan terus-menerus
adanya kerelaandari kedua belah pihak sampai kepada diberikan hukum. Tetapi
apabila kedua-duanya menarik pentahkimannya sebelum hukum ditetapkan maka
penarikan itu dibenarkan dan tak dapat lagi muhakkam memutuskan perkara
tersebut. Hakam boleh mendengar keterangan saksi dan dapat pula memutuskan
perkara dengan nukul , juga dengan ikrar, karena itu sesuai dengan ketentuan
syara’
Apabila pihak yang dikalahkan
mengingkari ikrar padahal keterangan cukup, kemudian dia mengajukan perkaranya
kepada hakim, maka hakim boleh menerima apa yang telah ditetapkan oleh hakam
selama orang yang berperkara itu masih dalam mentahkimkan diri kepada sesudah
dia tidak berhak lagi memutuskan perkara, oleh hakim tidak harus didengar
perkataan hakam itu.
Putusan yang diberikan oleh hakam
harus dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan, Menurut Ahmad dan Abu
Hanifahdab menurut suatu riwayat dar Asy Syafi’I. Tetapi menurut riwayat yang
lain hukum yang diberikan oleh hakam itu tak harus dituruti oleh yang
bersangkutan.
Apabila seorang hakam telah
memberikan putusan, kemudian mereka pergi lari mengajukan pergi mengajukan perkaranya
kepada hakam lain, lalu hakam yang lain ini memberikan putusan pula dengan
tidak mengetahui adanya putusan yang pertama, maka apabila urusan itu diajukan
pada hakim, hendaklah haki menerapkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya.
Apabila suatu perkara sudah diputuskan oleh seorang hakam, kemudian diajukan
kepada hakim, maka hakim boleh membenarkan putusan itu jika sesuai dengan
mazhabnya. Dan boleh dia membatalkan putusannya jika berlawanan dengan
mazhabnya.
2.3 Institusi Tahkim dalam Perundang-undangan di Indonesia
Memperhatikan penjelasan di atas,
institusi tahkim dapat dipersamakan dengan lembaga arbitrase atau lembaga
alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia. Arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.[3]
Di Indonesia, arbitrase ini
diwujudkan dalam bentuk lembaga. Lembaga arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam pasal 1 angka 8
disebutkan: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan
hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.
Selain lembaga arbitrase,
undang-undang ini membenarkan pula penyelesaian kasus melalui lembaga
alternatif penyelesaian kasus, sebagaimana ditunjuk dalam angka 10 pasal 1,
berbunyi: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli”.
Kedua lembaga ini pada prinsipnya
tidak jauh beda. Keduanya merupakan jalan penyelesaian sengketa keperdataan
yang terjadi di luar pengadilan. Perbedaannya adalah, penyelesaian sengketa
melalui lembaga arbitrase harus terlebih dahulu dinyatakan dalam sebuah
perjanjian sebelum terjadinya sengketa. Sementara penyelesaian melalui lembaga
alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan setelah terjadinya sengketa
melalui kesepakatan kedua belah pihak. Baik putusan arbitrase maupun
kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui lembaga alternatif
penyelesaian sengketa adalah putusan final dan mengikat para pihak untuk
dilaksanakan dengan iktikad baik serta wajib didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri setempat dalam waktu paling lama 30 hari sejak pengucapan
putusan/penandatanganan kesepakatan tersebut.
Keberadaan lembaga arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa sebagai media penyelesaian sengketa
keperdataan di luar pengadilan telah dilegislasi oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat
(1) disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara atas dasar perdamaian
atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Hanya saja, putusan arbitrase
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin eksekusi dari
pengadilan. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan mengingat para pihak.
Satu-satunya jalan menolak putusan arbitrase apabila alasannya terpenuhi adalah
mengajukan permohonan banding kepada Mahkamah Agung yang memutus untuk tingkat
pertama dan terakhir.
Sebagaimana konsep sebagian fuqaha
tentang tahkim, perkara-perkara yang dapat diselesaikan melalui lembaga
arbitrase dan alternatif penyelsaian sengketa ini hanya sengketa keperdataan
misalnya dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase pada sengketa atau perkara pidana yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Guna menjamin obyektifitas dan
proporsionalitas putusan arbitrase, seseorang yang dapat diangkat menjadi
arbiter harus memenuhi syarat-syarat:
1. cakap melakukan tindakan hukum
2. berumur minimal 35 tahun
3. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
dengan derajat kedua dengan salah satu pihay bersengketa
4. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas
putusan arbitrase, dan
5. memiliki pengalaman dan menguasai secara aktif di bidangnya paling
sedikit 15 tahun.
Dalam kaitan ini, hakim, jaksa,
panitera, dan pejabat peradilan lainnya tidak diperkenankan diangkat sebagai
arbiter. Hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya obyektifitas dalam
pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Perlu ditambahkan, bahwa persyaratan
jenis kelamin untuk dapat diangkat arbiter tidak disebutkan dalam undang-undang
arbitrase. Ini menunjukkan bahwa wanita dan laki-laki dapat diangkat arbiter
sepanjang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas. Ketentuan tersebut
berbeda dengan apa yang disebutkan dalam pasal 617 ayat (2) Regleman Acara
Perdata yang melarang wanita sebagai arbiter.
Ditinjau dari segi jenisnya bahwa
tahkim atau arbitrase dapat terbagi menjadi tiga jenis, diantaranya adalah:
1. Arbitrase
Nasional (umum)
Arbitrase nasional adalah arbitrase yang bersifat umum dan dapat
digunakan untuk menyelesaikan berbagai jenis konflik akibat semua jenis kontrak
perdata dan tunduk pada hukum nasional dalam suatu negara. Indonesia telah
mensahkan atau memiliki sebuah lembaga arbitrase nasional yang bernama
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI dibentuk berdasarkan UURI No.
30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. BANI
dapat menyelesaikan konflik yang berdasarkan kontrak dan tunduk pada Hukum
Nasional Indonesia. BANI sendiri berdiri tepat pada tanggal 3 Desember 1977
yang bergerak di bidang komersial meliputi bidang perdata, perdagangan,
industri, keuangan bahkan politik. Pendirinya adalah R. Subekti (Ketua MA), H.
Priyatna, Haryono Tjitrosoebono (Ketua Ikatan Advokat Indonesia), dan Suswanto
Sukendar (Ketua KADIN).
2. Arbitrase
khusus
Arbitrase khusus adalah arbitrase yang menyelesaikan konflik secara
khusus dalam bidang tertentu seperti bidang ekonomi syariah atau
keuangan, industri, olahraga dan sebagainya. Arbitrase khusus lebih spesifik
pada arbitrase syariah yang menyelesaikan sengketa dalam bidang ekonomi syariah
yang meliputi kegiatan ekonomi seperti bank syariah, asuransi syariah,
reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pembiayaan syariah,
pegadaian syariah, bisnis syariah dan sebagainya. Majelis Ulama Indonesia
mendirikan sebuah badan arbitrase muamalat indonesia (BAMUI) pada tanggal 21
oktober 1993. Kemudian berdasarkan keputusan MUI nomor
kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 desember 2003 BAMUI resmi dirubah menjadi
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang merupakan badan yang berada
dibawah MUI. Dan keputusan BASYARNAS tidak dilaksanakan secara sukarela
melainkan berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan Agama
3. Arbitrase
internasional
Arbitrase untuk menyelesaikan konflik yang berdsarkan kontrak
internasional dan tunduk pada hukum internasional. Yaitu proses penyelesaian
sengketa dengan menggunakan arbitrase di luar wilayah RI, dengan alasan untuk
menghindari ketidakpastian yang berkaitan dengan proses pengadilan (litigasi)di
pengadilan nasional
Contoh penggunaan arbitrase internasional adalah kasus kontrak
antara pemertintah RI dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Ketika terjadi
perselisihan mengenai kontrak tersebut, pemerintha meminta UNCITRAL untuk
menyelesaikan konflik tersebut, arbitrer UNCITRAL kemudian memutuskan NNT
melakukan one prestasi.
Sementara dalam keberadaan berlakunya masa keputusan
arbitrase terdiri dari dua macam yakni :
a. Arbitrase
ad hoc atau arbitrase sementara
Arbitrase ad hoc merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus
utuk dapat menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu
sifat dari arbitrase ad hoc bersifat insidentil, dimana kedudukan dan
keberadaannya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu,
apabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara maka keberadaan
dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase
ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis
arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak.
Penggunaan arbitrase Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausal arbitrase.
b. Arbitrase
institusional,
Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga atau badan
arbitrase yang bersifat permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase
berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Sehingga arbitrase
institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar, meskipun
perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Saat ini lembaga tersebut dikenal dengan berbagai aturan arbitrase
yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI) di Indonesia, atau yang internasional seperti The Rules of
Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The
Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment
Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan
sistem arbitrase sendiri-sendiri. BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia)
memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut: "Semua sengketa yang
timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI,
yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai
keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir". Standar klausul arbitrase
UNCITRAL (United Nation Comission of International Trade Law) adalah sebagai
berikut: "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau
sehubungan dengan perjanjian ini, atau prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya
perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan
UNCITRAL.”
Sementara di Indonesia sendiri terdapat dua lembaga arbitrase yang
memberikan jasa arbitrase yaitu: Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
BAB
III
KESIMPULAN
Lembaga
tahkim adalah sebuah lembaga yang melayani dan menangani dalam menyelesaikan
sengketa yang dihadapi dua orang atau lebih
dengan
menunjuk seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan sifat adil
dan bijaksana.
Di dalam Al
Mughni, Ibnu Qudamabh menerangkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh hakam
berlaku dalam segala rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an,
qadzaf, qishash. Dalam hal ini termasuk wewenang penguasa. Pengikut-pengikut
Asy Syafi’I mempunyai dua pendapat dalam masalah ini.
Ibnu Farhun
dalam At Tabshirah mengatakan bahwa putusan hakam itu berlaku dalam
bidang-bidang harta tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an, qishash, qadzaf,
talak, atau menetukan keturunan. Pihak-pihak yang mentah-kimkan itu boleh, menolak
putusan hakam, sebelum hakam itu mengeluarkan putusannya.
Apabila suatu
perkara sudah diputuskan oleh seorang hakam, kemudian diajukan kepada hakim,
maka hakim boleh membenarkan putusan itu jika sesuai dengan mazhabnya. Dan
boleh dia membatalkan putusannya jika berlawanan dengan mazhabnya.
Di
Indonesia, lembaga Tahkim ini dikenal dengan arbitrase. Lembaga arbitrase
menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, dalam pasal 1 angka 8 disebutkan: “Lembaga Arbitrase adalah badan
yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa”.
DAFTAR
PUSTAKA
Adollf, Haula. 1994. Hukum Arbitrase Komersial internasional.
Jakarta. Raja Grafindo Persada.
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1970. Sejarah Peradilan Islam.
Jakarta. Bulan Bintang.
______________________. 1997. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang.
PT Pustaka Rizki Putra.
______________________. 1964. Peradilan dan Hukum Acara Islam.
Yogyakarta. Al- Ma’arif.
Noeh, Zaini Ahmad. 1980. Sebuah Perspektif Sebuah Lembaga Islam
di Indonesia. Bandung. Al-Maarif.
Zuhri, Saifuddin. 1979. Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia. Bandung. PT Al-Maarif.
[1]
Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
(Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997) hlm. 81
[2] ____________________________, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta:
Bulan Bintang, 1970), hlm. 59
[3] Undang-undang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 1999
(Cet. I: Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 3
No comments:
Post a Comment