Thursday, May 28, 2015

Jarimah Keluar dari Islam (Riddah)

BAB II
PEMBAHASAN


A.      Pengertian Jarimah Riddah (Keluar dari Islam)
Riddah dari segi bahasa berarti ruju’ (kembali). Menurut istilah riddah adalah orang yang kembali dari agama islam, pelakunya disebut murtad, yakni ia secara berani menyatakan kafir setelah beriman.[1] Nash yang berkaitan dengan murtad dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 217:
y7tRqè=t«ó¡o Ç`tã ̍ök¤9$# ÏQ#tysø9$# 5A$tFÏ% ÏmŠÏù ( ö@è% ×A$tFÏ% ÏmŠÏù ׎Î6x. ( <|¹ur `tã È@Î6y «!$# 7øÿà2ur ¾ÏmÎ/ ÏÉfó¡yJø9$#ur ÏQ#tyÛø9$# ßl#t÷zÎ)ur ¾Ï&Î#÷dr& çm÷YÏB çŽt9ø.r& yYÏã «!$# 4 èpuZ÷GÏÿø9$#ur çŽt9ò2r& z`ÏB È@÷Fs)ø9$# 3 Ÿwur tbqä9#ttƒ öNä3tRqè=ÏG»s)ム4Ó®Lym öNä.rŠãtƒ `tã öNà6ÏZƒÏŠ ÈbÎ) (#qãè»sÜtGó$# 4 `tBur ÷ŠÏs?ötƒ öNä3ZÏB `tã ¾ÏmÏZƒÏŠ ôMßJuŠsù uqèdur ֍Ïù%Ÿ2 y7Í´¯»s9'ré'sù ôMsÜÎ7ym óOßgè=»yJôãr& Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur ( y7Í´¯»s9'ré&ur Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $ygŠÏù šcrà$Î#»yz ÇËÊÐÈ  

Artinya: “ mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(QS. Al-Baqarah 217)[2]

B.       Unsur-Unsur Jarimah Riddah
Unsur-unsur dari riddah adalah:
1.         Keluar dari Islam
2.         Ada itikad tidak baik
Yang dimaksud keluar dari islam disebutkan oleh para Ulama ada tiga macam:[3]
1.         Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan.
Maksudnya melakukan perbuatan yang haram dengan menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya sebagai perbuata tidak wajib, baik dengan sengaja maupun dengan menyepelekan. Misalnya :sujud kepada matahari atau bulan, melemparkan Al-Qur’an, dan berzina dengan menganggap zina bukan suatu perbuatan yang haram.
2.         Murtad dengan ucapan
Maksudnya ucapan yang menunjukkan kekafiran, seperti menyatakan menyatakan bahwa Allah punya anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang.
3.         Murtad dengan itikad.
Maksudnya itikad yang tidak sesuai dengan akidah islam, seperti beritikad langgengnya alam, Allah itu sama dengan makhluk Sesungguhnya itikad tidak menyebabkan seseotramh menjadi kufur sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau perbuatan.


Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW,

انّ اللّه تجا وزعن امّتى ما وسوست او حدّثت به اتفسهاما لم تعمل به اوتكلّم

Artinya: “ Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku bayangan-bayangan yang menggoda dan bergelora dalam jiwanya selama belum diamalkan atau dibicarakan “( HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Jadi, berdasarkan hadits diatas apapun itikad seseorang muslim yang bertentangan dengan ajaran islam tidaklah dianggap menyebabkan keluar dari islam sebelum ia mengucapkan atau mengamalkannya.

C.      Hukuman Jarimah Riddah
Jarimah riddah diancam dengan tiga macam hukuman:
1.         Hukuman Pokok, yaitu hukuman mati
Hukuman mati untuk orang yang keluar dari agama islam (murtad) didasarkan pada Al- Hadis.

وعن ابن عبِّاس رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم من بدّل دينه فاقتلوه (رواه البخارى)

Artinya: Dari ibnu Abbas ra, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah SAW: “ Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia “. (HR. Bukhari)[4]
Di dalam Al-Qur’an memang tidak menjelaskan hukuman bagi orang yang murtad di dunia,hanya hukuman di akhirat saja. Syaikh Mahmud Syaltut menyatakan bahwa orang murtad itu sanksinya diserahkan kepada Allah SWT. Alasannya karena firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 217 hanya menunjukkan kesia-siaan amal kebaikan orang murtad dan sanksi akhirat yaitu kekal di neraka. Alasan lainnya adalah kekafiran sendiri tidak menyebabkan bolehnya orang dihukum mati, sebab membolehkan hukuman mati bagi orang yang kafir itu adalah karena memerangi dan memusuhi orang islam [5]
Mohammad Hashim Kamali juga mempertanyakan masalah hukuman hadd bagi pelaku murtad ini dengan menyatakan bahwa karena dalam Al-Qur’an hukuman pidana bagi pelakunya tidak dinyatakan, maka sebenarnya sanksi atas perbuatan ini masuk dalam jenis ta’zir, bukan hudud.
Sebelum dilaksanakan hukuman, orang yang murtad itu harus diberi kesempatan untuk bertobat. Waktu yang disediakan baginya untuk bertobat itu adalah 3 hari 3 malam, menurut Imam Malik. Menurut Imam Abu Hanifah ketentuan batas waktu untuk bertobat itu harus diserahkan kepada Ulul Amri, dan batas itu selambt-lambatnya 3 hari 3 malam.
Tobatnya orang yang murtad cukup dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Selain itu, ia pun mengakui bahwa apa yang dilakukannya ketika murtad bertentangan dengan agama Islam.
2.         Hukuman Pengganti
Diberikan apabila hukuman pokok tidak dapat diterapkan. Hukuman pengganti ini berupa ta’zir.
3.         Hukuman Tambahan yaitu penyitaan harta
Perampasan harta merupakan hukuman tambahan. Mengenai realisasi hukuman ini para ulama berbeda pendapat. Menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan pendapat yang kuat (rajih) dalam Mazhab Hambali, semua harta yang dimiliki oleh orang murtad harus disita oleh negara. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi dan sebagian fuqaha Mazhab Hambali, harta yang disita hanyalah harta yang diperolehnya setelah ia murtad. Adapun harta yang diperoleh sebelum ia murtad tidak boleh disita, melainkan diberikan kepada keluarga (ahli waris) yang beragama islam.[6] Faktor penyebab perbedaan mereka adalah perbedaan penafsiran mereka terhadap hadis yang artinya “ Orang kafir tidak dapat mewarisi harta pusaka orang muslim dan orang muslim tidak dapat mewarisi harta pusaka orang kafir” (HR. Muslim dari Usamah bin Zayd)
Alasan Imam Malik, Imam syafi’I dan Imam Ahmad sehubungan dengan ketidakbolehan harta orang muslim diwariskan kepada ahli warisnya yang non muslim adalah karena ia termasuk kafir, sedangkan ahli warisnya muslim. Sedangkan alasan Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya sehubungan dengan kebolehan harta orang murtad diwariskan kepada ahli warisnya yang muslim adalah karena harta orang murtad itu disamakan dengan harta orang yang meninggal.




BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
Riddah adalah orang yang kembali dari agama islam, pelakunya disebut murtad, yakni ia secara berani menyatakan kafir setelah beriman.
Unsur-unsur Riddah:
1.        Keluar dari islam
2.        Ada itikad tidak baik
Hukuman Jarimah Riddah:
1.        Hukuman pokok
2.        Hukuman pengganti
3.        Hukuman tambahan

B.       Saran
Makalah ini menjelaskan tentang jarimah riddah dalam hukum pidana islam secara komprehensif. Makalah ini sesuai untuk dibaca oleh mahasiswa baik jurusan hukum maupun jurusan hukum islam, karena memuat materi yang menjadi basic pembelajarannya yang telah disesuaikan dengan pakemnya masing-masing.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Kahlani, Muhammad Ibn Isma’il. 1960.  Subul Al-Salam Cet. IV . Mathba’ah Mushthafa Al-Baby Al-Halaby
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: CV. Karya Utama
Djazuli. 1997. Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Imam Bukhari. Tt. Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr
Munajat, Makhrus. 2004. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Yogyakarta: Logung Pustaka
Muslich, Ahmad Wardi. 2004. Pengantar dan Asas hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda. Jakarta: Gema Insani Press




[1] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hal. 126
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: CV. Karya Utama Surabaya, 2005).
[3] A. Djazuli, Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 114-115
[4] Muhammad Ibn Isma’il Al-Kahlani, Subul Al-Salam, (Mathba’ah Mushthafa Al-Baby Al-Halaby, Cet. IV, 1960), Juz III hal. 265
[5] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam : Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda, ( Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hal. 32
[6] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 152

No comments:

Post a Comment