BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Macam-macam Talak
2.1.1
Pengertian
Talak
Talak
berasal dari kata ithlaq yang menurut bahasa berarti melepaskan atau
meninggalakan.menurut istilah syara’ talak yaitu:
حَلُّ رَبِطَةِ الزَّ وَاجِ وَاِ نْهَا ءُ الْعلَا قَةِ الزَّ وْ
جِيَّةِ.[1]
“Melepas
tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”
Al-Jaziry
mendefinisikan
اَلطَّلَاقُ اِزَ الَةُ النَّكَحِ اَوْ نُقْصَانَ حَلَّهِ بِلَفْظٍ
مَخْصُوْصٍ[2]
“Talak ialah menhilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi
pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu”.
Menurut Abu
Zakaria Al-Anshori
حَلُّ عَقْدِ النَّكَاحِ بِلَفْظِ الطَّللَاقِ وَنَحْوِه[3]
“Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacam-nya”.
Jadi talak itu ialah menghilangkan
ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak
lagi ha-lal bagi suaminya dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti
mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami
yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga
menjadi dua dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hlang hak talak itu,
yaitu terja-di dalam talak raj’i.
2.1.2
Macam-Macam
Talak [4]
Ditinjau
dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi menjadi tiga macam:
a.
Talak
Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah. Dikatakan
talak sunni jika memenuhi empat syarat:
1.
Istri
yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dija-tuhkan terhadap istri yang
belum pernah digauli tidak termasuk talak sunni.
2.
Istri
dapat segera melakukan iddah suci setelah ditala, yaitu dalam keadaan suci dari
haid. Menurut Ulama Sya-fi’iyah perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah
tiga kali suci , bukan tiga kali haid. Talak terhadap istri yang telah lepas
haid (menopause) atau belum pernah haid, atau sedang hamil, atau talak karena
suami meminta tebusan (khulu’) atau ketika istri dalam had semuanya tidak
termasuk talak sunni.
3.
Talak
itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di permulaan, di
pertengahan maupun di akhir suci ken-dati beberapa saat lalu datang haid.
4.
Suami
tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan.
Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid
tetapi per-nah digauli, tidak termasuk talak sunni.
b.
Talak
Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan
tuntunan sunnah tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni, termasuk talak bid’I
ialah:
1.
Talak
yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi) baik di permulaan
haid maupun di pertengahannya.
2.
Talak
yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh
suaminya dalam keadaan suci dimaksud.
c.
Talak
La sunni wala bid’I yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan
talak bid’I, yaitu:
1.
Talak
yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli
2.
Talak
yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri yang telah
lepas haid
3.
Talak
yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan
sebagai ucapan talak maka talak dibagi
menjadi dua, yaitu:
a.
Talak
Sharih, yatu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat
dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin
dipahami lagi.
Imam Syafi’I mengatakan bahwa
kata-kata yang dipergunakan untuk talak sharih ada tiga, yaitu talak (cerai),
firaq (pisah), dan sarah (lepas), ketiga ayat itu disebut dalam Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
Apabila suami menjatuhkan talak
terhadap istrinya dengan talak sharih maka menjadi jatuhlah talak itu dengan
sendirinya, sepanjang ucapannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas
kemauannya sendiri.
b.
Talak
Kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran atau samar-samar,
seperti suami berkata engkau sekarang telah jauh dari diriku, selesikan sendiri
segala urusanmu, janganlah engkau mendekati aku lagi,keluarlah engkau dari
rumah ini sekaranhg juga, susullah keluargamu sekarang juga.
Tentang kedudukan talak dengan
kata-kata kinayah atau sindiran ini sebagaimana dikemukakan oleh Taqiyuddin
Al-Husaini, bergantung kepada niat suami. Artinya jika suami dengan kata-kata
tersebut bermaksud menjatuhkan talak, maka menjadi jatuhlah talak itu, dan jika
suami dengan kata-kata tersebut tidak bermksud menjatuhkan talak maka talak
tidak jatuh.
Ditinjau dari segi ada atau tidaknya
kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri. Maka talak dibagi menjadi
dua macam, yaitu:
a.
Talak
Raj’I, yaitu talak yag dijatuhkan suami terhadap istrinya yang telah pernah digauli,
bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali
dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Setelah terjadi talak raj’I maka
istri wajib beriddah hanya bila kemudian suami hendak kembali kepada bekas
istri sebelum berakhir masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan dengan
menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut bekas suami tidak
menyatakan rujuk terhadap bekas istrinya, maka dengan berakhirnya masa iddah
tersebut kedudukan talak menjadi talak ba’in kemudian jika sesudah berakhirnya
masa iddah itu suami ingin kembali kepada bekas istrinya maka wajib dilakukan
dengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula.
b.
Talak
Ba’in, yaitu talak yang tidak member hak merujuk bagi bekas suami terhadap
bekas istrinya. Untuk mengembalikan bekas istri ke dalam iktan perkawinan
dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan
syarat-syaratnya.
Talak Ba’in dibagi menjadi dua:
1.
Talak
Ba’in Shugro ialah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan bekas suami
terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin
kembali dengan bekas istri, artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah
baru dengan bekas istri, baik dalam masa iddahnya maupun sesudah berakhir
iddahnya. Termasuk talak ba’in Shugro ialah:
a.
Talak
sebelum berkumpul
b.
Talak
dengan penggantian harta atau yang disebut Khulu’
c.
Talak
karenba aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak karena
penganiayaan atau yang semacam.
2.
Talak
Ba’in Kubro, ialah talak yang menhilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas
istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan
bekas istrinya, kecuali setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki
lain,telah berkumpul dengan suami kedua itu serta telah bercerai secara wajar
dan telah selesai menjalankan masa iddahnya. Talak ba’in kubro terjadi pada
talak yang ketiga
Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap
istrinya,talak ada beberapa maca sebagai berikut.
a.
Talak
dengan ucapan
b.
Talak
dengan tulisan
c.
Talak
dengan isyarat
d.
Talak
dengan utusan
Ditinjau dari segi masa iddah, ada:
a. Iddahnya haid atau suci
b. Iddahnya karena hamil
c. Iddahnya dengan bulan
Ditinjau dari
segi keadaan suami, ada:
a. Talak mati
b. Talak hidup
Ditinjau dari
segi proses atau prosedur terjadinya, ada :
a. Tidak langsung oleh suami
b. Talak tidak langsung
lewat qadhi (pengadilan agama)
c. Talak lewat Hakamain[5]
2.2 Talak yang Menjadi Penghalang untuk Mendapatkan Warisan
Salah satu syarat seseorang mendapatkan warisan adalah adanya hubungan
pernikahan (sababiyah)[6].
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 12:
Artinya: “dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.”
Suami istri tersebut dapat saling mewarisi, apabila hubungan
perkawinan mereka memenuhi dua syarat[7]:
1.
Perkawinan
mereka sah menurut syariat Islam, yakni dengan akad yang memenuhi syarat-syarat
dan rukun-rukunnya.
2.
Masih
berlangsung hubungan perkawinan, yakni hubungan perkawinan mereka masih
berlangsung sampai saat kematian salah satu pihak suami atau istri, tidak dalam
keadaan bercerai.
Termasuk
dalam pengertian masih berlangsung perkawinan, yaitu istri yang masih menjalani
talak raj’i karena selama istri masih dalam keadaan talaq raj’i,
suami dapat kembali rujuk kepada istrinya.
Oleh
karena itu, apabila salah seorang suami atau istri dalam masa iddah talaq
raj’i meninggal dunia, maka suami atau istri yang masih hidup berhak
mendapatkan warisan. Akan tetapi, jika salah seorang di antara mereka meninggal
dunia setelah masa iddah talaq raj’i berakhir, maka masing-masing tidak
lagi saling mewarisi.
Berbeda
halnya dengan suami istri yang masih dalam masa iddah talaq bain, maka
antara suami dan istri tersebut tidak saling mewarisi sejak dijatuhkannya talaq
bain tersebut.
2.3 Pembagian Waris Terhadap Istri yang Ditalak
2.3.1
Istri
yang dicerai dengan talak raj’i
Apabila cerainya adalah talak raj’i:
maka ia masih sebagai istri secara hukum syar’i.
karena masa iddah itu masih merupakan tanggungan suaminya, apabila perceraian
dilakukan atas inisiatif suaminya (bukan karena li’an atau khuluk)
tanggungan suami itu berupa nafkah lahiriah papan, sandang dan pangan. Selama
masa iddah, wanita tersebut tidak boleh dipinang, apalagi dinikahi orang lain.[8] Apabila suaminya meninggal dunia maka
sesungguhnya ia berhak atas warisan
dari mantan suaminya berdasarkan firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ
وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن
كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ
بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنۡ أَرَادُوٓاْ إِصۡلَٰحٗاۚ وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي
عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ
عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٢٨﴾ [سورة البقرة: 228]
Artinya :Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika
mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah:228)
Dan firman –Nya:
قال الله تعالى: ﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحۡصُواْ ٱلۡعِدَّةَۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ
رَبَّكُمۡۖ لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ إِلَّآ أَن
يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۚ وَمَن يَتَعَدَّ
حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدۡ ظَلَمَ نَفۡسَهُۥۚ لَا تَدۡرِي لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحۡدِثُ
بَعۡدَ ذَٰلِكَ أَمۡرٗا ١﴾ [سورة الطلاق : 1]
Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya
(yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertaqwalah kepada Allah
Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang
terang. Itulah
hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (QS.
Ath-Thalaq:1).
2.3.2
Istri
yang dicerai dengan talak ba’in, yang dijatuhkan ketika suami dalam
keadaan sehat.
Wanita atau istri yang dicerai atau di talak
oleh suaminya yang meninggal dunia secara mendadak, sedang ia dicerai ba’in:
seperti dicerai talak tiga atau ia (istri) memberikan pengganti kepada suaminya
agar menceraikannya (khulu’), atau ia di masa ‘iddah fasakh
(pembatalan perkawinan) bukan ‘iddah talak, maka ia tidak berhak mendapat
warisan dari mantan suaminya.
Akan tetapi ada satu kondisi di mana istri
yang dicerai secara ba’in mendapat warisan dari mantan suaminya, seperti: apabila suaminya mencerai di saat sakit yang
membawa kematiannya yang bertujuan untuk menghalanginya mendapat-kan warisan. Maka dalam kondisi ini, ia (istri) mendapat warisan darinya
sekalipun sudah habis masa ‘iddah selama ia belum menikah, maka jika ia sudah
menikah maka ia tidak berhak mendapat warisan.
2.3.3
Istri
yang dicerai dengan talak ba’in, yang dijatuhkan ketika suami dalam
keadan sakit.
Tentang talak waktu sakit keras tak ada
hukumnya dalam Al-Qur'an maupun sunnah yang sah. Kecuali dari sahabat
ada diceritakan tentang keputusan Utsman terhadap Abdurrahman bin 'Auf dan
isteri-isteri Ibnu Mikmal. sebagai berikut:
1.
Dari
Rabi'ah bin Abi Abdir-Rahman, ia berkata: Seorang isteri Abdurrahman bin 'Auf
minta thalaq . Maka ia berkata: Kalau engkau sudah bersuci (dari haidh)
kabarkanlah kepadaku,. Setelah itu isterinya kabarkan kepaanya hal sudah
bersihnya, lalu ia thalaq putus atau ia berikan thalaq yang ketinggalan,
padahal ia dalam sakit di waktu itu. Maka Utsman jadikan perempuan itu mendapat
warisan (padahal) sudah habis masa iddahnya. (H.R.Malik).
2.
Dari
'Abdurrahman bin Hurmuz Al-A'raj, bahwasanya Utsman bin'Affan memberi warisan
kepada isteri-isteri Ibnu Mikmal, padahal ia telah ceraikan mereka dalam masa
iddahnya.
3.
Seorang
pernah thalaq isteri-isterinya, dan hartanya ia bagikan diantara anak-anaknya.
Tatkala sampai kabar kepada Umar, ia berkata: hendaklah engkau tarik kembali
isteri-isterimu dan hartamu, atau aku jadikan mereka ahli warismu.
Bahwa perempuan yang dicerai oleh
suaminya di dalam sakit atau hampir mati itu oleh Umar dan Utsman diberi
pusaka. Alasan dari sisi agama pembagian ini belum jelas, tetapi kedua khalifah
bisa jadi mempunyai salah satu pertimbangan berikut:
1.
Merasa
tidak patut seorang perempuan yang telah jadi isteri seseorang, lantas dicerai,
dan tidak berapa lama sesudah itu ditinggal mati, sedang ia tidak dapat pusaka
apa-apa, sebab tidak sedikit pada adatnya, ada usaha atau rembukan si
mati buat mendapatkan harta itu, atau sebagian daripadnya.
2.
Memandang
bahwa si suami ceraikan isteri-isterinya itu karena sengaja tidak
hendak memberi pusaka yang isteri-isteri itu berhak mendapatkannya kalau
mereka belum cerai.
Juga terjadi ketika Utsman bin
'Affan menjatuhkan talak kepada isterinya bernama Ummul-Banin, puteri 'Uyainah
binti Hashn Al-Fazaari, dimana ia turut terkepung di rumahnya. Tatkala Utsman
terbunuh, Ummul-Banin itu datang kepada Ali memberitahukan kejadian tersebut.
Maka Ali menetapkan untuk bagian pusaka harta Utsaman. Dan Ali berkata:
"(Utsman) telah meninggalkannya (Ummul-Banin) tetapi tatkala maut
menjelang, bahkan ia mentalaknya." Dengan alasan ini lalu para ahli fiiqih
berselisih pendapat tentang talak yang dijatuhkan pada waktu sakit keras
menjelang maut.[9]
2.3.4
Pendapat Ulama dan Imam Madzhab
2.3.4.1 Golongan Hanaf:
"Jika suami sedang sakit lalu
mentalak ba'in isteri, kemudian tak lama sesudah itu ia mati karena
sakitnya tadi, maka bekas isterinya mendapatkan hak warisnya." Tetapi
kalau ia mati sesudah habisnya iddah, maka bekas isteri tidak
mendapatkan bagian warisan.(Ini disebut talak pelarian (talaqul faar).
Talak bentuk I.
Jika pada saat itu suami menyuruh
atau berkata kepada isterinya: "Sekarang pilihlah! Bersuamikan aku atau
cerai, lalu isterinya minta cerai (Khulu') kepadanya. Kemudian setelah
itu suaminya mati dalam masa iddah, maka bekas isterinya tidak dapat
mewaris hartanya. (tidak mengandung unsur pelarian), karena isterinyalah yang
meminta atau memilih diberikan talak, dan masalah ini hukumnya sama dengan orang
yang menjatuhkan talak ba'in kepada isterinya, sedangkan ia dalam
pengepungan musuh atau dalam barisan peperangan. Talak bentuk II.
2.3.4.2
Maliki
"Bekas isteri seperti ini tetap
mendapat warisan bekas suaminya, baik dalam masa iddah maupun tidak. baik sudah
kawin lagi dengan orang lain ataupun belum."
2.3.4.3
Syafi'i
:
"Tidak berhak mewarisi lagi”. [10]
2.3.4.4
Umar
dan 'Aisyah:
"Bekas isteri tetap mendapat
pusaka selama dalam iddah, karena iddah itu termasuk dalam hukum perkawinan dan
kareana diqiaskan dengan talak raj'i."
2.3.4.5
Ibnu
Hazm :
"Talak orang sakit sama
hukumnya dengan talak orang sehat. Tidak ada perbedaan apakah mati karena
sakitnya itu atau tidak, jika yang sakit jatuhkan talak tiga kali atau ketiga
kalinya atau sebelum bersetubuh lalu ia mati atau bekas isterinya mati sebelum
iddah habis atau sesudah habis iddah, atau dalm talak raj'i sedang bekas suami
tidak merujuknya sampai ia mati atau bekas isterinya mati sesudah
iddahnya habis, maka bekas isteri sama sekali tidak mendapat hak waris. Begitu
pula bekas suaminya."
2.3.4.6
Imam
Ahmad bin Hambal :
“istri yang telah dicerai tetap
mendapat waris dari suaminya yang dalam keadaan sakit yang menyebabkan wafatnya
meskipun sebelum itu ia tidak digauli (disetubuhi) atau suami istri itu tidak
pernah berduaan lagi, asalkan istri tidak kawin lagi dengan laki-laki lain.”[11]
Dalam Bidayatul Mujtahid
dikatakan bahwa perbedaan pendapat di atas adalah karena adanya perbedaan
tentang wajib-tidaknya menggunakan saddud-dzaraa'i.
Ini karena talak yang dijatuhkan
orang yang sedang sakit diprasangkai untuk menghalangi bagian pusaka yang
seharusnya didapat oleh isteri kalau akad perkawinannya masih utuh. Bagi yang
berpendapat bahwa saddud-dzaraa'i dapat dipakai ia mengharuskan
pemberian pusaka kepada bekas isterinya.
Dan bagi yang tidak menggunakan
saddud-dzaraa'i, tetapi melihat adanya talak, ia tidak memberikan pusaka
kepada bekas isterinya itu. Karena itu lalu golongan ini berpendapat: "
Jika talak telah sah, segal akibatnya berlaku seluruhnya." Bekas suami
juga tidak mewarisi pusaka, jika yang mati itu bekas isterinya. Tetapi jika
talaknya tidak sah, maka isteri tetap mendaptkan bgiannya yang ditetapkan oleh
agama.
BAB III
KESIMPULAN
Talak
adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan
perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya dan ini terjadi dalam hal
talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah
berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak
yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua dari dua menjadi satu, dan dari
satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i.
Lebih spesifiknya lagi, macam-macam talak dapat diklasifikasikan
berdasarkan segi waktu dijatuhkannya talak (Talak Sunni, Talak Bid’I, dan Talak
La sunni wala bid’I), segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan
sebagai ucapan talak (Talak Sharih, Talak Kinayah, Talak Raj’I, dan Talak Ba’in),
segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya (Talak dengan ucapan,
Talak dengan tulisan, Talak dengan isyarat, dan Talak dengan utusan), segi masa
iddah (Iddahnya haid atau suci, Iddahnya karena hamil, dan Iddahnya dengan
bulan), segi keadaan suami (Talak mati dan Talak hidup), segi proses atau
prosedur terjadinya (Tidak langsung oleh suami, Talak tidak langsung lewat qadhi,
dan Talak lewat Hakim).
Apabila salah seorang suami atau istri dalam masa iddah talaq
raj’i meninggal dunia, maka suami atau istri yang masih hidup berhak
mendapatkan warisan. Akan tetapi, jika salah seorang di antara mereka meninggal
dunia setelah masa iddah talaq raj’i berakhir, maka masing-masing tidak
lagi saling mewarisi. Berbeda halnya dengan suami istri yang masih dalam masa iddah
talaq bain, maka antara suami dan istri tersebut tidak saling mewarisi
sejak dijatuhkannya talaq bain tersebut.
Bahwa perempuan yang dicerai oleh suaminya di dalam sakit atau
hampir mati itu oleh Umar dan Utsman diberi pusaka. Alasan dari sisi agama
pembagian ini belum jelas, tetapi kedua khalifah bisa jadi mempunyai salah satu
pertimbangan berikut:
1.
Merasa
tidak patut seorang perempuan yang telah jadi isteri seseorang, lantas dicerai,
dan tidak berapa lama sesudah itu ditinggal mati, sedang ia tidak dapat pusaka
apa-apa, sebab tidak sedikit pada adatnya, ada usaha atau rembukan si
mati buat mendapatkan harta itu, atau sebagian daripadnya.
2.
Memandang
bahwa si suami ceraikan isteri-isterinya itu karena sengaja tidak
hendak memberi pusaka yang isteri-isteri itu berhak mendapatkannya kalau
mereka belum cerai.
Sebagaimana
Firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 12:
Artinya: “dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu
mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya.
Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik
laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis
saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun.”
DAFTAR PUSTAKA
Ghazaly, Abd.
Rahman.2003. Fiqh Munakahat.Jakarta:Prenada Media
Abidin, Slamet dan Aminuddin.1999. Fiqh Munakahat II.
Bandung : CV.
Pustaka Setia
Ramulyo, Moch. Idris. 1999. Hukum Perkawinan Islam.Jakarta :
Bumi
Aksara
Iskandar, Slamet.tt.Fikih Munakahat.Semarang : Fak. Tarbiyah
IAIN
Walisongo
Ramulyo, M.
Idris. 1994. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(BW). Jakarta. Sinar Grafika.
Nasution, Amin
Husein. 2012. Hukum Kewarisan: Suatu Analisis
Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.
Faridl, Miftah.
2004. 150 Massalah Nikah dan Keluarga. Jakarta. Gema
Insani.
Rusyd, Ibnu
1989.Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid. Beirut.
Dar Al-jiil.
Adhim, Aziz
Salim Basyarahil dan Fauzhil 1999. Janda. Jakarta. Gema
Insani Press.
http://www.jadipintar.com/2013/08/hak-warisan-bagi-isteri-yang
dicerai.html diakses pada
hari Kamis, 29 Agustus 2013
[1]
Sayyid Sabiq , hal 206
[2] Al
Jaziry Hal 249
[3]
Zakaria Al-Anshori Hal. 72
[4]
Ilmu Fiqh II , hal.227
[5]
Iskandar, Slamet. Fikih Munkahat. Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.tt hal.
51
[6] M.
Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan
Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar
Grafika, 1994), hlm. 108
[7]
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran
Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2012), hlm. 75-76
[8]
Miftah Faridl, 150 Massalah Nikah dan
Keluarga, (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm. 150
[9]
http://www.jadipintar.com/2013/08/hak-warisan-bagi-isteri-yang-dicerai.html
diakses pada hari Kamis, 29 Agustus 2013
[10]
1Ibnu Rusyd, Bidayah
al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz 2, Beirut: Dar Al-jiil, 1409
H/1989, hlm. 62
[11]
Aziz Salim Basyarahil dan Fauzhil Adhim, Janda, (Jakarta : Gema Insani
Press. 1999) hlm. 139
good . .
ReplyDeleteSemoga memberikan manfaat bagi pembaca
ReplyDelete