Wednesday, August 19, 2015

Warisan terhadap Istri yang ditalak

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian dan Macam-macam Talak
2.1.1  Pengertian Talak
Talak berasal dari kata ithlaq yang menurut bahasa berarti melepaskan atau meninggalakan.menurut istilah syara’ talak yaitu:
حَلُّ رَبِطَةِ الزَّ وَاجِ وَاِ نْهَا ءُ الْعلَا قَةِ الزَّ وْ جِيَّةِ.[1]
Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri
Al-Jaziry mendefinisikan
اَلطَّلَاقُ اِزَ الَةُ النَّكَحِ اَوْ نُقْصَانَ حَلَّهِ بِلَفْظٍ مَخْصُوْصٍ[2]
“Talak ialah menhilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu”.
Menurut Abu Zakaria Al-Anshori
حَلُّ عَقْدِ النَّكَاحِ بِلَفْظِ الطَّللَاقِ وَنَحْوِه[3]
Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacam-nya”.
Jadi talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi ha-lal bagi suaminya dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hlang hak talak itu, yaitu terja-di dalam talak raj’i.





2.1.2  Macam-Macam Talak [4]
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, maka talak dibagi menjadi tiga macam:
a.     Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah. Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat:
1.   Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila talak dija-tuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli tidak termasuk talak sunni.
2.   Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditala, yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut Ulama Sya-fi’iyah perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci , bukan tiga kali haid. Talak terhadap istri yang telah lepas haid (menopause) atau belum pernah haid, atau sedang hamil, atau talak karena suami meminta tebusan (khulu’) atau ketika istri dalam had semuanya tidak termasuk talak sunni.
3.   Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik di permulaan, di pertengahan maupun di akhir suci ken-dati beberapa saat lalu datang haid.
4.   Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi per-nah digauli, tidak termasuk talak sunni.
b.     Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni, termasuk talak bid’I ialah:
1.   Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi) baik di permulaan haid maupun di pertengahannya.
2.   Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud.
c.   Talak La sunni wala bid’I yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan talak bid’I, yaitu:
1.   Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli
2.   Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri yang telah lepas haid
3.   Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.
Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak  maka talak dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Talak Sharih, yatu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan, tidak mungkin dipahami lagi.
Imam Syafi’I mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak sharih ada tiga, yaitu talak (cerai), firaq (pisah), dan sarah (lepas), ketiga ayat itu disebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak sharih maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.
b.      Talak Kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran atau samar-samar, seperti suami berkata engkau sekarang telah jauh dari diriku, selesikan sendiri segala urusanmu, janganlah engkau mendekati aku lagi,keluarlah engkau dari rumah ini sekaranhg juga, susullah keluargamu sekarang juga.
Tentang kedudukan talak dengan kata-kata kinayah atau sindiran ini sebagaimana dikemukakan oleh Taqiyuddin Al-Husaini, bergantung kepada niat suami. Artinya jika suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak, maka menjadi jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan kata-kata tersebut tidak bermksud menjatuhkan talak maka talak tidak jatuh.
Ditinjau dari segi ada atau tidaknya kemungkinan bekas suami merujuk kembali bekas istri. Maka talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a.    Talak Raj’I, yaitu talak yag dijatuhkan suami terhadap istrinya yang telah pernah digauli, bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Setelah terjadi talak raj’I maka istri wajib beriddah hanya bila kemudian suami hendak kembali kepada bekas istri sebelum berakhir masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut bekas suami tidak menyatakan rujuk terhadap bekas istrinya, maka dengan berakhirnya masa iddah tersebut kedudukan talak menjadi talak ba’in kemudian jika sesudah berakhirnya masa iddah itu suami ingin kembali kepada bekas istrinya maka wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula.
b.   Talak Ba’in, yaitu talak yang tidak member hak merujuk bagi bekas suami terhadap bekas istrinya. Untuk mengembalikan bekas istri ke dalam iktan perkawinan dengan bekas suami harus melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.
Talak Ba’in dibagi menjadi dua:
1.   Talak Ba’in Shugro ialah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan bekas suami terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istri, artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam masa iddahnya maupun sesudah berakhir iddahnya. Termasuk talak ba’in Shugro ialah:
a.    Talak sebelum berkumpul
b.   Talak dengan penggantian harta atau yang disebut Khulu’
c.    Talak karenba aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak karena penganiayaan atau yang semacam.
2.   Talak Ba’in Kubro, ialah talak yang menhilangkan pemilikan bekas suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya, kecuali setelah bekas istri itu kawin dengan laki-laki lain,telah berkumpul dengan suami kedua itu serta telah bercerai secara wajar dan telah selesai menjalankan masa iddahnya. Talak ba’in kubro terjadi pada talak yang ketiga

Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya,talak ada beberapa maca sebagai berikut.
a.       Talak dengan ucapan
b.      Talak dengan tulisan
c.       Talak dengan isyarat
d.      Talak dengan utusan

Ditinjau dari segi masa iddah, ada:
a.   Iddahnya haid atau suci
b.   Iddahnya karena hamil
c.   Iddahnya dengan bulan

Ditinjau dari segi keadaan suami, ada:
a.   Talak mati
b.   Talak hidup

Ditinjau dari segi proses atau prosedur terjadinya, ada :
a.   Tidak langsung oleh suami
b.   Talak tidak langsung lewat qadhi (pengadilan agama)
c.   Talak lewat Hakamain[5]

2.2  Talak yang Menjadi Penghalang untuk Mendapatkan Warisan
Salah satu syarat seseorang mendapatkan warisan adalah adanya hubungan pernikahan (sababiyah)[6]. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 12:
Artinya: “dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Suami istri tersebut dapat saling mewarisi, apabila hubungan perkawinan mereka memenuhi dua syarat[7]:
                                    1.      Perkawinan mereka sah menurut syariat Islam, yakni dengan akad yang memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya.
                                    2.      Masih berlangsung hubungan perkawinan, yakni hubungan perkawinan mereka masih berlangsung sampai saat kematian salah satu pihak suami atau istri, tidak dalam keadaan bercerai.
Termasuk dalam pengertian masih berlangsung perkawinan, yaitu istri yang masih menjalani talak raj’i karena selama istri masih dalam keadaan talaq raj’i, suami dapat kembali rujuk kepada istrinya.
Oleh karena itu, apabila salah seorang suami atau istri dalam masa iddah talaq raj’i meninggal dunia, maka suami atau istri yang masih hidup berhak mendapatkan warisan. Akan tetapi, jika salah seorang di antara mereka meninggal dunia setelah masa iddah talaq raj’i berakhir, maka masing-masing tidak lagi saling mewarisi.
Berbeda halnya dengan suami istri yang masih dalam masa iddah talaq bain, maka antara suami dan istri tersebut tidak saling mewarisi sejak dijatuhkannya talaq bain tersebut.
2.3  Pembagian Waris Terhadap Istri yang Ditalak
2.3.1     Istri yang dicerai dengan talak raj’i
Apabila cerainya adalah talak raj’i: maka ia masih sebagai istri secara hukum syar’i. karena masa iddah itu masih merupakan tanggungan suaminya, apabila perceraian dilakukan atas inisiatif suaminya (bukan karena li’an atau khuluk) tanggungan suami itu berupa nafkah lahiriah papan, sandang dan pangan. Selama masa iddah, wanita tersebut tidak boleh dipinang, apalagi dinikahi orang lain.[8] Apabila suaminya meninggal dunia maka sesungguhnya ia berhak atas warisan dari mantan suaminya berdasarkan firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنۡ أَرَادُوٓاْ إِصۡلَٰحٗاۚ وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٢٨﴾ [سورة البقرة: 228]
Artinya :Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah:228)
Dan firman –Nya:
قال الله تعالى: ﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحۡصُواْ ٱلۡعِدَّةَۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ رَبَّكُمۡۖ لَا تُخۡرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخۡرُجۡنَ إِلَّآ أَن يَأۡتِينَ بِفَٰحِشَةٖ مُّبَيِّنَةٖۚ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدۡ ظَلَمَ نَفۡسَهُۥۚ لَا تَدۡرِي لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحۡدِثُ بَعۡدَ ذَٰلِكَ أَمۡرٗا ١﴾ [سورة الطلاق : 1]
Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertaqwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”. (QS. Ath-Thalaq:1).
2.3.2     Istri yang dicerai dengan talak ba’in, yang dijatuhkan ketika suami dalam keadaan sehat.
Wanita atau istri yang dicerai atau di talak oleh suaminya yang meninggal dunia secara mendadak, sedang ia dicerai ba’in: seperti dicerai talak tiga atau ia (istri) memberikan pengganti kepada suaminya agar menceraikannya (khulu’), atau ia di masa ‘iddah fasakh (pembatalan perkawinan) bukan ‘iddah talak, maka ia tidak berhak mendapat warisan dari mantan suaminya.
Akan tetapi ada satu kondisi di mana istri yang dicerai secara ba’in mendapat warisan dari mantan suaminya, seperti:  apabila suaminya mencerai di saat sakit yang membawa kematiannya yang bertujuan untuk menghalanginya mendapat-kan warisan. Maka dalam kondisi ini, ia (istri) mendapat warisan darinya sekalipun sudah habis masa ‘iddah selama ia belum menikah, maka jika ia sudah menikah maka ia tidak berhak mendapat warisan.
2.3.3     Istri yang dicerai dengan talak ba’in, yang dijatuhkan ketika suami dalam keadan sakit.
Tentang talak waktu sakit keras tak ada hukumnya dalam Al-Qur'an maupun sunnah yang sah. Kecuali dari sahabat ada diceritakan tentang keputusan Utsman terhadap Abdurrahman bin 'Auf dan isteri-isteri Ibnu Mikmal. sebagai berikut:
                                                               1.         Dari Rabi'ah bin Abi Abdir-Rahman, ia berkata: Seorang isteri Abdurrahman bin 'Auf minta thalaq . Maka ia berkata: Kalau engkau sudah bersuci (dari haidh) kabarkanlah kepadaku,. Setelah itu isterinya kabarkan kepaanya hal sudah bersihnya, lalu ia thalaq putus atau ia berikan thalaq yang ketinggalan, padahal ia dalam sakit di waktu itu. Maka Utsman jadikan perempuan itu mendapat warisan (padahal) sudah habis masa iddahnya. (H.R.Malik).
                                                               2.         Dari 'Abdurrahman bin Hurmuz Al-A'raj, bahwasanya Utsman bin'Affan memberi warisan kepada isteri-isteri Ibnu Mikmal, padahal ia telah ceraikan mereka dalam masa iddahnya.
                                                               3.         Seorang pernah thalaq isteri-isterinya, dan hartanya ia bagikan diantara anak-anaknya. Tatkala sampai kabar kepada Umar, ia berkata: hendaklah engkau tarik kembali isteri-isterimu dan hartamu, atau aku jadikan mereka ahli warismu.
Bahwa perempuan yang dicerai oleh suaminya di dalam sakit atau hampir mati itu oleh Umar dan Utsman diberi pusaka. Alasan dari sisi agama pembagian ini belum jelas, tetapi kedua khalifah bisa jadi mempunyai salah satu pertimbangan berikut:
                                                               1.         Merasa tidak patut seorang perempuan yang telah jadi isteri seseorang, lantas dicerai, dan tidak berapa lama sesudah itu ditinggal mati, sedang ia tidak dapat pusaka apa-apa, sebab tidak sedikit pada adatnya, ada usaha atau rembukan si mati buat mendapatkan harta itu, atau sebagian daripadnya.
                                                               2.         Memandang bahwa si suami ceraikan isteri-isterinya itu karena  sengaja tidak hendak memberi pusaka yang isteri-isteri itu berhak mendapatkannya kalau mereka belum cerai.
Juga terjadi ketika Utsman bin 'Affan menjatuhkan talak kepada isterinya bernama Ummul-Banin, puteri 'Uyainah binti Hashn Al-Fazaari, dimana ia turut terkepung di rumahnya. Tatkala Utsman terbunuh, Ummul-Banin itu datang kepada Ali memberitahukan kejadian tersebut. Maka Ali menetapkan untuk bagian pusaka harta Utsaman. Dan Ali berkata: "(Utsman) telah meninggalkannya (Ummul-Banin) tetapi tatkala maut menjelang, bahkan ia mentalaknya." Dengan alasan ini lalu para ahli fiiqih berselisih pendapat tentang talak yang dijatuhkan pada waktu sakit keras menjelang maut.[9]

2.3.4     Pendapat Ulama dan  Imam Madzhab

2.3.4.1  Golongan Hanaf:

"Jika suami sedang sakit lalu mentalak ba'in isteri, kemudian tak lama sesudah itu ia mati karena sakitnya tadi, maka bekas isterinya mendapatkan hak warisnya." Tetapi kalau ia mati sesudah habisnya iddah, maka bekas isteri tidak mendapatkan bagian warisan.(Ini disebut talak pelarian (talaqul faar). Talak bentuk I.
Jika pada saat itu suami menyuruh atau berkata kepada isterinya: "Sekarang pilihlah! Bersuamikan aku atau cerai, lalu isterinya minta cerai (Khulu') kepadanya. Kemudian setelah itu suaminya mati dalam masa iddah, maka bekas isterinya tidak dapat mewaris hartanya. (tidak mengandung unsur pelarian), karena isterinyalah yang meminta atau memilih diberikan talak, dan masalah ini hukumnya sama dengan orang yang menjatuhkan talak ba'in kepada isterinya, sedangkan ia dalam pengepungan musuh atau dalam barisan peperangan. Talak bentuk II.
2.3.4.2        Maliki
"Bekas isteri seperti ini tetap mendapat warisan bekas suaminya, baik dalam masa iddah maupun tidak. baik sudah kawin lagi dengan orang lain ataupun belum."
2.3.4.3        Syafi'i :
"Tidak berhak mewarisi lagi”. [10]
2.3.4.4        Umar dan 'Aisyah:
"Bekas isteri tetap mendapat pusaka selama dalam iddah, karena iddah itu termasuk dalam hukum perkawinan dan kareana diqiaskan dengan talak raj'i."
2.3.4.5        Ibnu Hazm :
"Talak orang sakit sama hukumnya dengan talak orang sehat. Tidak ada perbedaan apakah mati karena sakitnya itu atau tidak, jika yang sakit jatuhkan talak tiga kali atau ketiga kalinya atau sebelum bersetubuh lalu ia mati atau bekas isterinya mati sebelum iddah habis atau sesudah habis iddah, atau dalm talak raj'i sedang bekas suami tidak merujuknya  sampai ia mati atau bekas isterinya mati sesudah iddahnya habis, maka bekas isteri sama sekali tidak mendapat hak waris. Begitu pula bekas suaminya."
2.3.4.6        Imam Ahmad bin Hambal :
“istri yang telah dicerai tetap mendapat waris dari suaminya yang dalam keadaan sakit yang menyebabkan wafatnya meskipun sebelum itu ia tidak digauli (disetubuhi) atau suami istri itu tidak pernah berduaan lagi, asalkan istri tidak kawin lagi dengan laki-laki lain.”[11]
Dalam Bidayatul Mujtahid dikatakan bahwa perbedaan pendapat di atas adalah karena adanya perbedaan tentang wajib-tidaknya menggunakan saddud-dzaraa'i.
Ini karena talak yang dijatuhkan orang yang sedang sakit diprasangkai untuk menghalangi bagian pusaka yang seharusnya didapat oleh isteri kalau akad perkawinannya masih utuh. Bagi yang berpendapat bahwa saddud-dzaraa'i dapat dipakai ia mengharuskan pemberian pusaka kepada bekas isterinya.
Dan bagi yang tidak menggunakan saddud-dzaraa'i, tetapi melihat adanya talak, ia tidak memberikan pusaka kepada bekas isterinya itu. Karena itu lalu golongan ini berpendapat: " Jika talak telah sah, segal akibatnya berlaku seluruhnya." Bekas suami juga tidak mewarisi pusaka, jika yang mati itu bekas isterinya. Tetapi jika talaknya tidak sah, maka isteri tetap mendaptkan bgiannya yang ditetapkan oleh agama.



BAB III
KESIMPULAN
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua dari dua menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak raj’i.
Lebih spesifiknya lagi, macam-macam talak dapat diklasifikasikan berdasarkan segi waktu dijatuhkannya talak (Talak Sunni, Talak Bid’I, dan Talak La sunni wala bid’I), segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak (Talak Sharih, Talak Kinayah, Talak Raj’I, dan Talak Ba’in), segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya (Talak dengan ucapan, Talak dengan tulisan, Talak dengan isyarat, dan Talak dengan utusan), segi masa iddah (Iddahnya haid atau suci, Iddahnya karena hamil, dan Iddahnya dengan bulan), segi keadaan suami (Talak mati dan Talak hidup), segi proses atau prosedur terjadinya (Tidak langsung oleh suami, Talak tidak langsung lewat qadhi, dan Talak lewat Hakim).
Apabila salah seorang suami atau istri dalam masa iddah talaq raj’i meninggal dunia, maka suami atau istri yang masih hidup berhak mendapatkan warisan. Akan tetapi, jika salah seorang di antara mereka meninggal dunia setelah masa iddah talaq raj’i berakhir, maka masing-masing tidak lagi saling mewarisi. Berbeda halnya dengan suami istri yang masih dalam masa iddah talaq bain, maka antara suami dan istri tersebut tidak saling mewarisi sejak dijatuhkannya talaq bain tersebut.
Bahwa perempuan yang dicerai oleh suaminya di dalam sakit atau hampir mati itu oleh Umar dan Utsman diberi pusaka. Alasan dari sisi agama pembagian ini belum jelas, tetapi kedua khalifah bisa jadi mempunyai salah satu pertimbangan berikut:
               1.         Merasa tidak patut seorang perempuan yang telah jadi isteri seseorang, lantas dicerai, dan tidak berapa lama sesudah itu ditinggal mati, sedang ia tidak dapat pusaka apa-apa, sebab tidak sedikit pada adatnya, ada usaha atau rembukan si mati buat mendapatkan harta itu, atau sebagian daripadnya.
               2.         Memandang bahwa si suami ceraikan isteri-isterinya itu karena  sengaja tidak hendak memberi pusaka yang isteri-isteri itu berhak mendapatkannya kalau mereka belum cerai.
Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 12:
Artinya: “dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”


DAFTAR PUSTAKA

Ghazaly, Abd. Rahman.2003. Fiqh Munakahat.Jakarta:Prenada Media

Abidin, Slamet dan Aminuddin.1999. Fiqh Munakahat II. Bandung : CV.
Pustaka Setia

Ramulyo, Moch. Idris. 1999. Hukum Perkawinan Islam.Jakarta : Bumi
Aksara

Iskandar, Slamet.tt.Fikih Munakahat.Semarang : Fak. Tarbiyah IAIN
Walisongo

Ramulyo, M. Idris. 1994. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan
Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW). Jakarta. Sinar Grafika.

Nasution, Amin Husein. 2012. Hukum Kewarisan: Suatu Analisis
Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Faridl, Miftah. 2004. 150 Massalah Nikah dan Keluarga. Jakarta. Gema
Insani.

Rusyd, Ibnu 1989.Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid. Beirut.
Dar Al-jiil.

Adhim, Aziz Salim Basyarahil dan Fauzhil 1999. Janda. Jakarta. Gema
 Insani Press.




[1] Sayyid Sabiq , hal 206
[2] Al Jaziry Hal 249
[3] Zakaria Al-Anshori Hal. 72
[4] Ilmu Fiqh II , hal.227
[5] Iskandar, Slamet. Fikih Munkahat. Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.tt hal. 51
[6] M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dengan Kewarisan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm. 108
[7] Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 75-76
[8] Miftah Faridl,  150 Massalah Nikah dan Keluarga, (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm. 150
[10] 1Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid Wa Nihayah al Muqtasid, Juz 2, Beirut: Dar Al-jiil, 1409 H/1989, hlm. 62
[11] Aziz Salim Basyarahil dan Fauzhil Adhim, Janda, (Jakarta : Gema Insani Press. 1999) hlm. 139

2 comments: