A.
Latar
Belakang Masalah
Sejarah
berbicara kepada kepada kita bahwa Nabi juga seorang kepala negara ketika
beliau berada di Madinah. Di dalam ajaran Islam kita dapatkan prinsip-prinsip
musyawarah, pertanggungjawaban pemerintah, kewajiban taat kepada pemerintah di
dalam hal-hal yang makruf, hukum-hukum di dalam keadaan perang dan damai, serta
perjanjian antarnegara. Dalam sunnah nabi sering kita dapatkan kata-kata amir,
imam, sulthan yang menunjukkan kepada kekuasaan dan pemerintahan.
Negara penting
sekali di dalam rangka melaksanakan hukum-hukum Islam. Bahkan sebagian hukum
Islam tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya negara seperti hukum pidana. Oleh
karena itu, sangatlah penting untuk kita ketahui mengenai masalah-masalah
kenegaraan dalam perspektif Islam.
B.
Permasalahan
1. Bagaimanakah
hukum mendirikan pemerintahan menurut Islam?
2. Apakah
tujuan didirikannya pemerintahan?
C.
Pembahasan
1.
Hukum Mendirikan Pemerintahan menurut Islam.
Pada
dasarnya Islam merupakan sebuah ajaran yang tidak hanya mengajarkan tentang
ajaran keagamaan. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa islam mengharuskan adanya
negara dan pemerintahan. Kewajiban ini menurut Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy
dalam bukunya “Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam” didasarkan kepada empat aspek
yaitu:
(1)
Ijma’ul sahabat.
(2)
Menolak bencana
yang ditimbulkan oleh keadaan yang kacau-balau akibat tidak adanya
pemerintahan.
(3)
Melaksnakan
tugas-tugas keagamaan.
(4)
Mewujudkan
keadilan yang sempurna.
Dalam
hal ini mereka berpendapat bahwasanya ada keterkaitan antara agama dan negara,
Syekh Mahmud Syaltout dalam kitabnya Min Taujihaatil Islam mengungkapkan:
و هكذا يرتبط الدين بالدولة ارتباطا كبيرا فى الإسلام
ارتباطا القاعدة بالبناء.
فالدين أساس الدولة و موجهها و لا يمكن تصور دولة
الإسلام بلا دين كما لا
يمكن تصور الدين الإسلامى فارغا من توجية الجتمو و
سياسة الدولة لأنه
حينئذ لا يكون إسلام.
“tidak mungkin tergambarkan agama Islam tanpa adanya pengarahan dari
masyarakat dan politik negara, karena apabila demikian negara itu tidak
bersifat islami.”
Ibnu Taimiyah mengatakan: “ Negara dan agama sungguh
saling berhubungan, tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa, agama berada
dalam bahaya. Tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah
organisasi yang tiranik.[1]
Abdul Jabbar berkata[2]:
إن الامام مدفوع فيما
يتصل بأمر السياسة إلى أمرين,
أحدهما أمر الدين و
الآخر أمر الدنيا, و فى كل منهما يلزم النظر على وجهين: احدهما ما يعود
بالنفع و الآخر ما يدفع الضرر.
Disamping itu para
sarjana juga mengemukakan pendapat terkait tentang islam dan negara:
a.
Abd. Karim Zaedan menyatakan bahwa pemikiran dan persiapan untuk
terbentuknya Islam dan negara di Madinah itu telah dilakukan oleh nabi SAW
dengan dilangsung-kannya bai’at aqobah II. Di dalam bai’at ke-2
ini Nabi berkata:
تبايعونى فى السمع والطاعة و فى انشاط والكسل و على الأمر بالمعروف
و النهى عن المنكر و أن تقول فى الله لا تخا فون الله لومة لائم و على أن
تنصرونى فتمتعونى إذا قدمت عليكم فما تمنعونى منه أنفسكم و أزواجكم
و أبنائكم و لكم الجنة.
b.
Moh. Yusuf Musa menyatakan bahwa nabi telah memikirkan masalah negara
ketika beliau masih di Mekkah, namun negara pertama yang dibentuk bagi kaum
muslimin adalah Madinah. Yusuf Musa menyatakan:
و مهما يكن فقد قامت الدولة الأولى للعرب و المسلمين
بالمدينة.
c.
Abd. Kadir Audah menyatakan bahwa persiapan untuk mendirikan suatu negara
dimulai di Mekkah, namun dalam hal ini beliau berpendapat bahwasanya yang
dipersiapkan adalah persiapan mental, yaitu sifat-sifat keberanian, kesabaran
dan perorangan. Pendapat ini didasarkan pada surat al-Anbiya’: 105 bahwa Bumi
ini diwariskan kepada hamba-hambanya yang shaleh:
على أن من
الأدلة على هذا الذى نقوله هو من كان فى البيعة العقية
الثانية أو الآخرة و هو بمكة فقد جاء فى شروط هذه البيعة التى
قامت بين الرسول و
بين الأنصار
الأوسى و الخروجى
ذكر
الحرب و نصرتهم على أعدائه مهما يكن من الأمر و ن الواضع
أن هذا معناه أن هذا معناه أن سبحانه و تعالى تأذن
بأن يكون
للمسلمين
دولة.
Ibn Abi Rabi’, Al-Ghazali dan Ibn Taimiyah adalah
beberapa tokoh Sunni[3]
yang mendukung gagasan kekuasaaan mutlak khalifah dan sakralnya kedudukan
mereka. Al-Ghazali bahkan berpendapat bahwa sumber kekuasan adalah dari Tuhan
dan diberikan kepada sebagian kecil hamba-Nya. Karena kekuasaan khalifah yang
mendapat mandat dari Tuhan tidak boleh diganggu apalagi diturunkan.[4]
Bentuk pemerintahan islam bukan monarki, karena
tidak ada pewarisan kepada putera mahkota juga bukan sistem republic dengan
pilar sitem demokrasi yang kedaulatannya berada ditangan rakyat. Pemerintahan
islam juga bukan kekaisaran yang memberi keistimewaan dalam bidang
pemerintahan,keuangan,dan ekonomi di wilayah pusat. Juga bukan sistem federal
yang membagi wilayah dalam otonomi. Namun sistem pemerintahan dalam islam
adalah khilafah.[5] Ijma’ sahabat pun sepakat
bahwa khilafah adalah negara kesatuan, tidak boleh berbai’at selain kepada
khalifah dan bila dibai’at dua orang khalifah, maka yang pertamalah yang sah.
Agama dan negara mempunyai keterkaitan yang sangat
erat, hubungan antara politik dan dan Islam akan berkembang “normal” apabila keduanya mampu melakukan kedaulatan
berkelanjutan. didukung pula oleh fakta sejarah selama masa Rasulullah dan
khulafa Rasyidin. Selama periode negara Madinah merupakan bukti-bukti yang
kuat, bahwa agama Islam sejak lahirnya selalu berkaitan dengan aspek-aspek
kenegaraan dan kemasyarakatan. Keadaan ini diakui oleh banyak sarjana muslim,
antara lain sebagaimana yang telah disebutkan diatas, dan bahkan juga sarjana
Barat yang nonmuslim seperti Bernard Lewis dan Montgomery Watt.[6]
Berdasarkan uraian diatas, dijelaskan kewajiban
untuk mendirikan pemerintahan. Disamping itu, terdapat pula golongan yang tidak
mewajibkan diadakannya pemerintahan seperti Abu Bakar al-Sham, Hisyam ibnu Aus
al-Fauthy dari golongan Mu’tazilah, sebagian dari golongan Khawarij, yaitu
golongan Najdah pengikut Athiyah ibn Amir.[7]
Alasan yang mereka kemukakan antara lain:
1)
Yang wajib ialah melaksanakan hukum-hukum syara’ oleh karena itu
apabla umat ini telah melaksanakan keadilan dan hukum-hukum Allah tidaklah
perlu kepada kepala negara dan tidak wajib mengangkatnya.
2)
Adanya kemudaratan-kemudaratan bagi umat yang timbul karena adanya
pemerintahan, kemudaratan itu antara lain adanya kepala negara menghilangkan
hal kemerdekaan, karena mengangkat seseorang berkuasa atas seseorang yang
semisalnya berarti kemudaratan bagi orang lain.
Lebih spesifiknya lagi pembentukan pemerintahan
menurut khawarij tidak diwajibkan, hal ini tergantung pada masyarakat
dibutuhkan atau tidak. Menurut Nadjah bin Amr al-Hanafi berpendapat bahwa
pemerintahan itu tidak perlu sama sekali, melainkan harus adanya kesadaran
setiap individu terhadap hak dan kewajiban mereka masing-masing.[8]
Pemikiran politik muktazilah tidak jauh berbeda
dengan khawarij. Mereka berpendapat bahwa pembentukan pemerintah hanya untuk
melaksanakan hukum-hukum, menegakkan penga-dilan, melindungi masyarakat,
memelihara keluarga, mempersen-jatai keluarga, membagi harta ghanimah[9]
dan zakat, melindungi yang dizalimi dan menindak yang menzalimi, dsb. namun
semua itu bersifat tidak wajib jika umat mampu bersifat adil, tolong-menolong,
berbuat kebajikan, dan takwa. Begitu pula dengan mu’awiyah, mereka berpendapat
bahwa pemerintahan sudah merupakan karakter duniawi itu sendiri.[10]
2.
Tujuan Didirikannya Pemerintahan Islam:
1)
Menjamin kemerdekaan dari invasi asing, keamanan, kesejahteraan dalam
negeri, dan menjamin keadilan, persamaan, serta keamanan perseorangan bagi
rakyatnya.
2)
Menciptakan yang sejalan dengan norma-norma yang direncanakan Al-Qur’an
yang memberikan perintah-perintah yang jelas untuk mencapai kehidupan yang
benar-benar berdisiplin.
3)
untuk mengembangkan sistem keadilan sosial yang berkeseimbangan yang
telah diketengahkan Allah dalam Kitab Suci Al-Quran.[11]
4)
Mengupayakan kemajuan bangsa Islam kepada satu standar moralitas, satu
kode prilaku, satu kode agama dan satu sistem politik.
5)
Mengembangkan kapasitas individu dan publik, secara spiritual dan
material, serta untuk mendorong kehidupan pragmatis di dunia dan di akhirat.
Peranan negara Islam adalah untuk menyediakan suatu
kondisi yang paling menyenangkan bagi setiap waga negara, kon-sisten dengan
kepentingan-kepentingan masyarakat secara keseluruhan.[12]
Di situlah mereka dapat menyempurnakan, mengem-bangkan peran mereka sebagai
makhluk sosio-politik.[13]
Sebagai-mana Firman Allah SWT:
وابتغ فيما أتك الله الدار الأخرة و لاتنس نصيبك من
الدنيا و أحسن كما أحسن
الله إليك ولا تبغ الفساد فى الأرض إن الله لا يحب
المفسدين.
“dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhira, dan janganlah kamu melupakan keba-hagiaanmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) Bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[14]
D.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa alasan-alasan tentang keharusan adanya pemerintahan
minimal adalah sebagai berikut:
1)
Sunnah Nabi.
2)
Ijma’ para sahabat
dan tabiin.
3)
Qiyas.
4)
Fungsi yang sangat penting sekali dalam melaksanakan tugas-tugas agama,
mengatur dan menertibkan kehidupan bermasyarakat, serta mewujudkan keadilan
yang sempurna.
Demikian pula di dalam menyelenggarakan
pemerintahan, disam-ping manfaat yang besar terdapat pula kemudaratan yang
besar. Hanya saja kemanfaatannya lebih besar dari kemudaratannya. Di dalam hal
ini kita mengambil keputusan sesuai kaidah:
الأخذ بأخف الضرورين.
“mengambil kemudaratan yang lebih ringan di antara
kedua kemudaratan”
E.
Saran
Telah dijelaskan dalam
Al-Qur’an bahwasanya manusia diciptakan sebagai khalifah di muka Bumi, dengan
demikian manusia di amanatkan untuk menjaga Bumi untuk mencapai tujuan yang
dicita-citakan bersama, yaitu menciptakan keadaan damai, aman dan sejahtera.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, hendaklah manusia selain bersifat amanah,
namun juga adil dalam setiap apapun.
F.
Daftar
Pustaka
1.
Djazuli.
2003. Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah.
Jakarta. Kencana Prenada Media Group.
2.
Pulungan,
Suyuti. 1997. Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta. PT
RajaGrafindo Persada.
3.
Kurdi,
Abdulrahman Abdulkadir. 2000. Tatanan sosial Islam: Studi Berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
4.
Al-Maududuri,
Abul A’la. 1995. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam. Bandung.
Mizan.
5.
Iqbal,
Muhammad. 2001. Fiqh Siayasah: Konstektualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta.
Gaya Media Pratama.
6.
Azhary,
Muhammad Thahir. 2003. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini. Jakarta. Kencana Prenada Group.
7.
Jindan,
Khalid Ibrahim. 1995. Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah
Tentang Pemerintahan Islam. Surabaya. Risalah Gusti.
8.
Bakhsh,
Khuda S. 2009. Politics in Islam. Delhi. Qasimjan Street.
9.
Fuller,
Graham E. 2003. The Future of Political Islam. New York. Palgrave
Macmilian.
10.
Jalaluddin,
Ahmad. 2008. As-Siyasah Al-iqtishadiyah fii dhauil Mashlahati As-Syar’iyati.
Malang. UIN-Malang Press.
11.
An-nabhani,
Taqiyuddin. 1996. Nidzamul hukmi fil
islam. Beirut. Darul Ummah
[1]
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah
Tentang Pemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), hlm. 47.
[2]
Ahmad Jalaluddin, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah fii Dhauil Maslahati Syar’iyati,
(Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 130.
[3]
Kaum Sunni adalah kumpulan dari orang-orang yang menganut sunnah nabi Muhammad
SAW seperti yang sudah dilakukan oleh para sahabat di masa lalu.
[4]
Muhammad Iqbal, Fiqh Siayasah: Konstektualisasi Doktrin Politik Islam,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 88.
[5]
Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzamul hukmi fil
islam, (Beirut: Darul Ummah,1996),hlm.20-24
[6]
Muhammad Thahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2003), hlm. 59.
[7]
Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam rambu-rambu
Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hlm. 87
[8]
Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah : Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1997), hlm. 195.
[9]
Harta ghanimah adalah harta yang diambil dari musuh Islam dengan cara perang.
[10]
S. khuda Bakhsin, Politics in Islam, (Delhi: Qasimjan Street, 2009),
hlm. 94.
[11]
Abul A’la Al-Maududuri, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam,
(Bandung: Mizan, 1995), hlm 166.
[12]
Abdulrahman Abdulkadir Kurdi, Tatanan sosial Islam: Studi Berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 125.
[13]
Yakni kepribadian mereka sebagai mukmin dan tanggung jawab mereka sebagai
manusia.
[14]
Q. S. al-Qishash, 28: 77.
No comments:
Post a Comment