BAB II
PEMBAHASAN
A. Qiyas
Qiyas
dalam ilmu ushul fiqh biasanya dirumuskan sebagai kiat untuk menetapkan
hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash dengan cara menyamakannya
dengan kasus yang terdapat dalam nash disebabkan persamaan illat dalam
hukum. [1]
Berdasarkan rumusan ini maka dalam menggunaka metode qiyas paling tidak
ada empat unsur yang harus ada, yakni ‘ashl, far’u, hukmu al-‘ashl, dan
illat. Dari keempat unsur itu unsur yang disebut terakhir, illat
sangat penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum dalam kasus
baru sangat tergantung pada ada atau tidaknya illat pada kasus tersebut.
Berbicara
tentang illat perlu ditelusuri pengertiannya dan perbedaannya dengan hikmat.
Dalam ilmu ushul fiqh illat dirumuskan sebgai suatu shifat tertentu
yang jelas dan dapat diketahui secara objektif (zhahir), dapat diketahui
dengan jelas dan ada tolok ukurnya (mundabith), dan sesuai dengan
ketentuan hukum (munasib) yang keberadaannya merupakan penentu adanya hukum.
Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyaratkannya
hukum, dalam wujud kemaslahatan bagi manusia/
Jadi
perbedaan antara keduanya terletak pada peranannya dalam menetukan ada atau
tidaknya hukum. Illat merupakan tujuan yang dekat dan dapat dijadikan
dasar penetapan hukum sedangkan hikmat merupakan tujuan yang jauh dan
tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum. Pernyataan ini dianut oleh Jumhur
ahli ushul fiqh. Berbeda dengan Jumhur ahli ushul fiqh,
al-Shatiby berpendapat bahwa yang dimaksud dengan illat adalah hikmat
itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadah, yang berkatan
dengan ditetapkannya perintah, larangan, atau keizinan, bik keduanya itu zhabir
atau tidak, mundhabith atau tidak. [2]
Jadi baginya illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dan mafsadat itu
sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya hukum dapat ditetapkan berdasarkan
hikmat, tidak berdasarkan illat. Sebenarnya hikmat dan illat
mempunyai hubungan yang erat dalam rangka penerapan hukum. Hikmat merupakan
shifat yang zhahir tetapi tidak mundhabit. Hikmat
itu baru akan menjadi illat, setelah dinyatakan mundhabit. Untuk
itu maka perlu dicari mazhinat-nya, yaitu indilator yang menerangkan
bahwa hikmat itu dapat dinyatakan mundhabit. [3]
Pada
bidang ibadah contohnya yang sering digunakan oleh mayoritas ahli ilmu ushul
fiqh adalah mengenai sholat qashr. Untuk menetapkan boleh atau
tidaknya sholat qashr telah ditetapkan, bahwa safar atau
bepergian merupakan illat dibolehkannya sholat qashr. Sedangkan masyaqqat atau
kesulitannya merupakan hikmat dibolehkannya sholat tersebut. Jadi boleh
atau tidaknya melakukan sholat qashr menurut mereka, tergantung pada ada
atau tidak adanya illat, yakni bepergian sebab bepergian dianggap
sebagai indikator mazhinnat adanya masyaqqat
Sedangkan
dalam bidang muamalah biasanya dikemukakan contoh tentang hak syuf’at yaitu
hak pembelian bagi seseorang yang berserikat dengan penjual dalam sebidang tanah atau
tempat tinggal. Dalam hal ini persekutuan merupakan illat adanya hak syuf’at.
Sedangkan hikmatnya adalah untuk menghindari kesulitan yang timbul
disebabkan masuknya orang lain yang bukan sekutunya. Dengan demikian,
persekutuan dijadikan sebagai illat adanya hak syuf’at, karena
diasumsikan bahwa karena masuknya unsur lain dalam persekutua itu akan terjadi
kesulitan.. pernyataan yang terkahir itu dianggap sebagai mazhinnat.
Bahwa
meskipun contoh diatas mewakili dua aspek ilmu fikih. Ibadah dan
muamalah, namun perlu dibedakan antara illat dalam bidang ibadah dengan illat
dalam bidang muamalah. Illat tidak lebih dari sekedar manfaat, tidak
ada pengaruhnya terhadap istinbath hukum. Dengan kata lain , Illat dalam
bidang ibadah tidak efektif. Karena itu pada dasarnya qiyas dalam bidang
ibadah tidak dapat diberlakukan.
Sedangkan
dalam bidang muamalah illat berlaku efektif dalam menetapkan hukum. Hal
ini didasarkan pada satu teori, bahwa pada dasarnya aspek muamalah dapat
diketahui hikmat dan rahasianya (ma’qullat al-ma’na), sedangkan
aspek ibadah tidak demikian. Praktis qiyas merupakan metode yang sering
digunakan dalam hukum yang menyangkut bidang mu’amalah itu.
Dalam
teori pencarian illat dinyatakan bahwa salah satu syarat diterimanya shifat
menjadi illat adalah bahwa shifat tersebut harus munasabat,
yakni sesuai dengan mashlahat yang diduga sebagai tujuan disyariatkan
hukum itu. Al-Ghazali mencoba membahas persoalan munasabat ini secara
khusus dalam kitabnya Syifa’ al-Ghazali. Dalam buku itu ia menyatakan
bahwa semua penelitian dalam bidang munasabat bermuara pada upaya
memelihara maqashid al-Syariah dalam berbagai unsur dan peringkatannya. [4]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang menjadi tujuan
utama disyari’atkan hukum islam, merupakan faktor penentu dalam menetapkan
hukum melalui jalur qiyas.
B.
Istihsan
Secara
umum istihsan dapat diartikan sebagai upaya untuk mentawaquf-kan
prinsip-prinsip umum dalam satu nash disebabkan adanya nash lain yang
menghendaki demikian. Sedangkan secara khusus istihsan diartikan
berpalingnya mujtahid dari qiyas jali kepada qiyas khafi.Dalam
hal ini meskipun qiyas jali itu illatnya dapat diketahui dengan jelas,
pengaruhnya kurang efektif. Sedangkan pengaruh itu akan lebih kuat pada qiyas
khafi, meskipun tidak begitu tampak. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa
istihsan adalah upaya untuk mencari jiwa hukum bedasarkan pada kaidah-kaidah
umum (al-Qawaid al-Kulliyyat). Metode ini erat kaitannya dengan maqasid
al-syari’ah
Berikut
ini dikemukakan beberapa macam istihsan, yang langsung maupun tidak
langsung, berkaitan dengan teori maqasid al-syariat.
1. Istihsan bi al-nash, yakni
istihsan yang berdasarkan pada nash lain yang menghendaki tidak
berlakuknya dalil yang pertama. Dalil yang pertama bersifat khusus, sedangkan
dalil yang kedua bersifat umum. Jadi lebih bersifat pengecualian. Sebagai
contoh dapat dikemukakan jual beli salam. Pada dasarnya jual beli itu
dilarang berdasarkan hadis nabi. Yang artinya “Janganlah kamu Menjual Sesuatu
yang bukan milikmu”. Akan tetapi nabi sendiri yang mengecualikan ketentuan itu
untuk kasus jual beli salam. Adapun hikmat dibenarkan jual beli tersebut
adalah untuk membantu pedagang yang tidak punya modal yang cukup, sehingga ia
memperoleh modal tambahan dari calon pembeli. Hal ini pada gilirannya akan
memelihara harta pedagang tersebut, sekaligus mengembangkannya lebih dari itu
akad seperti ini mencerminkan kemudahan bermuamalah. Memelihara harta dalam
berbagai peringkat kebutuhannya termasuk ruang lingkup maqasid al-Syari’at.
2. Istihsan bi al-Mashlahat
yaitu istihsan yang didasarkan pada mashlahat dalam berbagai
peringkatmya, padahal qiyas sendiri tidak menghendaki demikian. Ada kalanya
mashlahat itu masuk peringkat daruriyyat dan ada kalanya masuk peringkat
hajiyyat. Sebenarnya berbicara tentang istihsan, maka sudah diipastikan
bahwa tujuannya adalah untuk memperoleh kemashlahatan yang dimaksud adakalanya
ditentukan nash dan adakalanya tidak. Dalam hal yang disebut terakhir, maka
peranan mujtahid sangat penting untuk mengidentifikasi jenis kemaslahatan
sekaligus memperhatikan peringkat kemaslahatannya.
C.
Al-Mashlahat
al-Mursalat
Sebagaimana
metode ijtihad lainnya, al-mashlahat al-mursalat juga merupakan metode
penetapan hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan
Hadis. Hanya saja metode ini lebih menenkankan pada aspek maslahat
secara langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu ushul fiqh
dikenal ada tiga macam mashlahat, yaitu: maslahat mu’tabarat, maslahat
mulghat, dan maslahat mursalat. Maslahat yang pertama adalah maslahat yang
diungkapkan secara langsung, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Sedangkan
Maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub
dalam kedua sumber hukum islam tersebut.. Diantara kedua maslahat tersebut,ada
yang disebut maslahat mursalat, yakni maslahat yang tidak ditetapkan
oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya. [5]
Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istishlah.
Mayoritas
ahli ushul fiqh menerima metode maslahat mursalat. Untuk
menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Imam Malik
memberikan persyaratan sebagai berikut: [6]
Pertama mashlahat tersebut bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan (munasib)
dengan kasus hukum yang ditetapkan. Kedua, maslahat tersebut harus bertujuan
memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan kesulitan (raf’u
al_haraj) dengan cara menghilangkan masyaqqat dan madharrat. Ketiga
maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud disyariatkan hukum (maqasid
al-syari’ah) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.
Berdasarkan
persyaratan diatas, mashlahat yang dikemukakan oleh para ahli ushul
fiqh diatas, dapat dipahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode maslahat
mursalat dengan maqasid al-syari’ah. Ungkapan Imam Malik bahwa
maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkannya hukum dan diarahkan
pada upaya menghilangkan kesulitan jelas memperkuat asumsi ini.
D.
Saddu
al_Zari’at
Saddu
al-Zari’at diartikan sebagai upaya mujtahid untuk menetapkan
larangan terhadap satu kasus hukum yang pada dasarnya mubah . Larangan
itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau tindakan lain yang dilarang. [7]
Kelihatannya metode ini lebih bersifat preventif artinya segala sesuatu yang mubah
tetapi membawa kepada perbuatan yang haram maka hukumnya menjadi haram.
Diantara
kasus yang ditetapkan berdasarkan metode ini adalah kasus pemberian hadiah
kepada Hakim, seorang Hakim dilarang menerima hadiah dari para pihak yang
sedang berprkara, sebelum perkara itu diputuskan, karena dikhawatirkan akan
membawa ketidakadilan dalam menetapkan hukum mengenai kasus yang sedang
ditangani. Pada dasarnya menerima pemberian adslah boleh, tetapi dalam kasus
ini harus dilarang. [8]
Para Ahli ushul fiqh membagi saddu al-Zaria’at menjadi empat
kategori. Adapun pembagian itu adalah sebagai berikut:
1. Zari’at yang secara pasti akan
membwa mafsadat, seperti menggali sumur di jalan umum yang gelap.
Terhadap zari’at semacam ini para ahli ushul fiqh sepakat
melarangnya.
2. Zaria’at yang jarang membawa mafsaddat,
seperti menanam dan membudidyakan pohon anggur, Meskipun buah anggur
kemungkinan dibuat minuman keras. Namun, hal itu termasuk jarang. Karena itu
menurut ahli ushul fiqh menanam anggur itu tidak perlu dilarang.
3. Zari’at yang berdasarkan dugaan
yang kuat dan membawa kepada mafsadat, seperti menjual buah anggur pada
orang atau persahaan yang biasa memproduksi minuman keras. Zari’at ini
harus dilarang.
4.
Zaria’at yang
seringkali membawa mafsadat, namun kekhawatiran terjadinya tidak sampai
pada dugaan yang kuat,melainkan atas dasar asumsi biasa. Misalnya transaksi
jual beli secara kredit diasumsikan dalam transaksi tersebut akan membawa mafsadat
terutama bagi debitur. Mengenai zari’at seperi ini para ahli ushul
fiqh berbeda pendapat. Ada yang berpendapat perbuatan itu harus dilarang
dan ada pula yang berpendapat sebaliknya.
Terlepas dari kategori mana zari’at
yang harus dilarang yang jelas dapat dipahami, bahwa metode saddu
al-Zari’at secara langsung berhubungan dengan memelihara kemaslahatan dan
sekaligus menghindari mafsadat. Memelihara maslahat dalam berbagai
peringkatnya termasuk tujuan disyariatkan hukum dalam islam. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa metode saddu al-zari’at berhubungan erat dengan
teori maqasid al-Syari’ah.
Itulah gambaran ringkas kerangka
teori tentang ijtihad dan hubungannya dengan maqashid al-Syari’ah. Ijtihad
dapat dikatakan sebagai metode dalam penetapan hukum islam. Sebagai metode
tentu mempunya kelebihan dan kekurangan begitu pula halnya dengan teori maqashid
al-syari’ah. Teori ini dikembangkan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah.
Kelebihan dari teori ini adalah adanya usaha untuk menelusuri aspek mashlahat
dalam bidang hukum, sehingga kita dapat melacak tujuan Allah menetapkan suatu
hukum tertentu. Namun, tidak berarti bahwa teori ini tidak dapat diganggu gugat
lagi.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
mashlahat
yang menjadi tujuan utama disyari’atkan hukum islam, merupakan faktor penentu
dalam menetapkan hukum melalui jalur qiyas.
istihsan
adalah upaya untuk mencari jiwa hukum bedasarkan pada kaidah-kaidah umum (al-Qawaid
al-Kulliyyat). Metode ini erat kaitannya dengan maqasid al-syari’ah
mashlahat
yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh diatas, dapat dipahami bahwa
betapa eratnya hubungan antara metode maslahat mursalat dengan maqasid
al-syari’ah.
Memelihara maslahat dalam berbagai
peringkatnya termasuk tujuan disyariatkan hukum dalam islam. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa metode saddu al-zari’at berhubungan erat dengan
teori maqasid al-Syari’ah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Baghdadi.1986. Qawa’id
al-Ushul wa ma’qid al-Fushul. Beirut: Alam al-Kutub
Al-Ghazali. 1971. Syifa’
al-Ghalil fi bayani al-syibb wa al-mukhil wa ala-masalik al-ta’lil. Baghdad:
Mathba’at al-Irsyad
Al-Qayyim, Ibn. tth. I’lam
al-Muwaqi’in ‘an Rabbil al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr
Al-Syatibi. tth. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam Jilid I. tt:
Dar al Fikr
Al-Syatibi. tth. al I’tisbam, Kairo: al-Makatabat
al-Tijariyyat al-Kubro
Al-Syaukani. Tth. Irsyad
al-Fubul ila Tahqiq al-Haqqi min ‘Ilmi al-Ushul, Surabaya, Maktabat Ahmad
ibn Sa’ad ibn Nabhan
Khallaf, Abd al-Wahhab. 1972. ilmu
Ushul al-fiqh, Jakarta: Al-Majlis
al-A’la al Indunisi li al-Da’wat al islamiyyat
Khallaf, Abd al-Wahhab. 1972. Mashadir
al-Tasyri’ al-Islami fi ma la nashsha fih, Kuwait: Dar al-Qalam
[1] Abd al-Wahhab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’
al-Islami fi ma la nashsha fih, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), hlm. 19
[2] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,
(tt: Dar al Fikr: tth), jilid I, hlm. 185
[3] Al-Baghdadi, Qawa’id al-Ushul wa ma’qid al-Fushul,
(Beirut: Alam al-Kutub, 1986), hlm. 34
[4] Al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil fi bayani al-syibb wa
al-mukhil wa ala-masalik al-ta’lil (Baghdad: Mathba’at al-Irsyad, 1971),
hlm. 159-163
[5] Abd al-Wahhab Khallaf, ilmu Ushul al-fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-A’la al
Indunisi li al-Da’wat al islamiyyat, 1972), hlm. 84
[6] Al-Syatibi, al I’tisbam, (Kairo: al-Makatabat
al-Tijariyyat al-Kubro,tt.h.), Jilid II, hlm. 364-367
[7] Al-Syaukani, Irsyad al-Fubul ila Tahqiq al-Haqqi
min ‘Ilmi al-Ushul, (Surabaya, Maktabat Ahmad ibn Sa’ad ibn Nabhan, tth),),
hlm.246
[8] Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabbil
al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, tth,), Jilid III, hlm. 142
No comments:
Post a Comment