Monday, August 17, 2015

Hubungan Antara Maqashid al-Syari'ah dengan Beberapa Metode Ijtihad

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Qiyas
Qiyas dalam ilmu ushul fiqh biasanya dirumuskan sebagai kiat untuk menetapkan hukum yang kasusnya tidak terdapat dalam nash dengan cara menyamakannya dengan kasus yang terdapat dalam nash disebabkan persamaan illat dalam hukum. [1] Berdasarkan rumusan ini maka dalam menggunaka metode qiyas paling tidak ada empat unsur yang harus ada, yakni ‘ashl, far’u, hukmu al-‘ashl, dan illat. Dari keempat unsur itu unsur yang disebut terakhir, illat sangat penting dan sangat menentukan ada atau tidak adanya hukum dalam kasus baru sangat tergantung pada ada atau tidaknya illat pada kasus tersebut.
Berbicara tentang illat perlu ditelusuri pengertiannya dan perbedaannya dengan hikmat. Dalam ilmu ushul fiqh illat dirumuskan sebgai suatu shifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara objektif (zhahir), dapat diketahui dengan jelas dan ada tolok ukurnya (mundabith), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) yang keberadaannya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan hikmat adalah yang menjadi tujuan atau maksud disyaratkannya hukum, dalam wujud kemaslahatan bagi manusia/
Jadi perbedaan antara keduanya terletak pada peranannya dalam menetukan ada atau tidaknya hukum. Illat merupakan tujuan yang dekat dan dapat dijadikan dasar penetapan hukum sedangkan hikmat merupakan tujuan yang jauh dan tidak dapat dijadikan dasar penetapan hukum. Pernyataan ini dianut oleh Jumhur ahli ushul fiqh. Berbeda dengan Jumhur ahli ushul fiqh, al-Shatiby berpendapat bahwa yang dimaksud dengan illat adalah hikmat itu sendiri, dalam bentuk mashlahat dan mafsadah, yang berkatan dengan ditetapkannya perintah, larangan, atau keizinan, bik keduanya itu zhabir atau tidak, mundhabith atau tidak. [2] Jadi baginya illat itu tidak lain kecuali adalah mashlahat dan mafsadat itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka baginya hukum dapat ditetapkan berdasarkan hikmat, tidak berdasarkan illat. Sebenarnya hikmat dan illat mempunyai hubungan yang erat dalam rangka penerapan hukum. Hikmat merupakan shifat yang zhahir tetapi tidak mundhabit. Hikmat itu baru akan menjadi illat, setelah dinyatakan mundhabit. Untuk itu maka perlu dicari mazhinat-nya, yaitu indilator yang menerangkan bahwa hikmat itu dapat dinyatakan mundhabit. [3]
Pada bidang ibadah contohnya yang sering digunakan oleh mayoritas ahli ilmu ushul fiqh adalah mengenai sholat qashr. Untuk menetapkan boleh atau tidaknya sholat qashr telah ditetapkan, bahwa safar atau bepergian merupakan illat dibolehkannya sholat qashr. Sedangkan masyaqqat atau kesulitannya merupakan hikmat dibolehkannya sholat tersebut. Jadi boleh atau tidaknya melakukan sholat qashr menurut mereka, tergantung pada ada atau tidak adanya illat, yakni bepergian sebab bepergian dianggap sebagai indikator mazhinnat adanya masyaqqat
Sedangkan dalam bidang muamalah biasanya dikemukakan contoh tentang hak syuf’at yaitu hak pembelian bagi seseorang yang berserikat  dengan penjual dalam sebidang tanah atau tempat tinggal. Dalam hal ini persekutuan merupakan illat adanya hak syuf’at. Sedangkan hikmatnya adalah untuk menghindari kesulitan yang timbul disebabkan masuknya orang lain yang bukan sekutunya. Dengan demikian, persekutuan dijadikan sebagai illat adanya hak syuf’at, karena diasumsikan bahwa karena masuknya unsur lain dalam persekutua itu akan terjadi kesulitan.. pernyataan yang terkahir itu dianggap sebagai mazhinnat.
Bahwa meskipun contoh diatas mewakili dua aspek ilmu fikih. Ibadah dan muamalah, namun perlu dibedakan antara illat dalam bidang ibadah dengan illat dalam bidang muamalah. Illat tidak lebih dari sekedar manfaat, tidak ada pengaruhnya terhadap istinbath hukum. Dengan kata lain , Illat dalam bidang ibadah tidak efektif. Karena itu pada dasarnya qiyas dalam bidang ibadah tidak dapat diberlakukan.
Sedangkan dalam bidang muamalah illat berlaku efektif dalam menetapkan hukum. Hal ini didasarkan pada satu teori, bahwa pada dasarnya aspek muamalah dapat diketahui hikmat dan rahasianya (ma’qullat al-ma’na), sedangkan aspek ibadah tidak demikian. Praktis qiyas merupakan metode yang sering digunakan dalam hukum yang menyangkut bidang mu’amalah itu.
Dalam teori pencarian illat dinyatakan bahwa salah satu syarat diterimanya shifat menjadi illat adalah bahwa shifat tersebut harus munasabat, yakni sesuai dengan mashlahat yang diduga sebagai tujuan disyariatkan hukum itu. Al-Ghazali mencoba membahas persoalan munasabat ini secara khusus dalam kitabnya Syifa’ al-Ghazali. Dalam buku itu ia menyatakan bahwa semua penelitian dalam bidang munasabat bermuara pada upaya memelihara maqashid al-Syariah dalam berbagai unsur dan peringkatannya. [4] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mashlahat yang menjadi tujuan utama disyari’atkan hukum islam, merupakan faktor penentu dalam menetapkan hukum melalui jalur qiyas.

B.  Istihsan
Secara umum istihsan dapat diartikan sebagai upaya untuk mentawaquf-kan prinsip-prinsip umum dalam satu nash disebabkan adanya nash lain yang menghendaki demikian. Sedangkan secara khusus istihsan diartikan berpalingnya mujtahid dari qiyas jali kepada qiyas khafi.Dalam hal ini meskipun qiyas jali itu illatnya dapat diketahui dengan jelas, pengaruhnya kurang efektif. Sedangkan pengaruh itu akan lebih kuat pada qiyas khafi, meskipun tidak begitu tampak. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa istihsan adalah upaya untuk mencari jiwa hukum bedasarkan pada kaidah-kaidah umum (al-Qawaid al-Kulliyyat). Metode ini erat kaitannya dengan maqasid al-syari’ah
Berikut ini dikemukakan beberapa macam istihsan, yang langsung maupun tidak langsung, berkaitan dengan teori maqasid al-syariat.
1.      Istihsan bi al-nash, yakni istihsan yang berdasarkan pada nash lain yang menghendaki tidak berlakuknya dalil yang pertama. Dalil yang pertama bersifat khusus, sedangkan dalil yang kedua bersifat umum. Jadi lebih bersifat pengecualian. Sebagai contoh dapat dikemukakan jual beli salam. Pada dasarnya jual beli itu dilarang berdasarkan hadis nabi. Yang artinya “Janganlah kamu Menjual Sesuatu yang bukan milikmu”. Akan tetapi nabi sendiri yang mengecualikan ketentuan itu untuk kasus jual beli salam. Adapun hikmat dibenarkan jual beli tersebut adalah untuk membantu pedagang yang tidak punya modal yang cukup, sehingga ia memperoleh modal tambahan dari calon pembeli. Hal ini pada gilirannya akan memelihara harta pedagang tersebut, sekaligus mengembangkannya lebih dari itu akad seperti ini mencerminkan kemudahan bermuamalah. Memelihara harta dalam berbagai peringkat kebutuhannya termasuk ruang lingkup maqasid al-Syari’at.
2.      Istihsan bi al-Mashlahat yaitu istihsan yang didasarkan pada mashlahat dalam berbagai peringkatmya, padahal qiyas sendiri tidak menghendaki demikian. Ada kalanya mashlahat itu masuk peringkat daruriyyat dan ada kalanya masuk peringkat hajiyyat. Sebenarnya berbicara tentang istihsan, maka sudah diipastikan bahwa tujuannya adalah untuk memperoleh kemashlahatan yang dimaksud adakalanya ditentukan nash dan adakalanya tidak. Dalam hal yang disebut terakhir, maka peranan mujtahid sangat penting untuk mengidentifikasi jenis kemaslahatan sekaligus memperhatikan peringkat kemaslahatannya.

C.  Al-Mashlahat al-Mursalat
Sebagaimana metode ijtihad lainnya, al-mashlahat al-mursalat juga merupakan metode penetapan hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis. Hanya saja metode ini lebih menenkankan pada aspek maslahat secara langsung. Sehubungan dengan metode ini, dalam ilmu ushul fiqh dikenal ada tiga macam mashlahat, yaitu: maslahat mu’tabarat, maslahat mulghat, dan maslahat mursalat. Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Sedangkan Maslahat yang kedua adalah yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum islam tersebut.. Diantara kedua maslahat tersebut,ada yang disebut maslahat mursalat, yakni maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan dengan keduanya. [5] Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah istishlah.
Mayoritas ahli ushul fiqh menerima metode maslahat mursalat. Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa syarat. Imam Malik memberikan persyaratan sebagai berikut: [6] Pertama mashlahat tersebut bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan (munasib) dengan kasus hukum yang ditetapkan. Kedua, maslahat tersebut harus bertujuan memelihara sesuatu yang daruri dan menghilangkan kesulitan (raf’u al_haraj) dengan cara menghilangkan masyaqqat dan madharrat. Ketiga maslahat tersebut harus sesuai dengan maksud disyariatkan hukum (maqasid al-syari’ah) dan tidak bertentangan dengan dalil syara’ yang qath’i.
Berdasarkan persyaratan diatas, mashlahat yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh diatas, dapat dipahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode maslahat mursalat dengan maqasid al-syari’ah. Ungkapan Imam Malik bahwa maslahat itu harus sesuai dengan tujuan disyariatkannya hukum dan diarahkan pada upaya menghilangkan kesulitan jelas memperkuat asumsi ini.

D.  Saddu al_Zari’at
Saddu al-Zari’at diartikan sebagai upaya mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap satu kasus hukum yang pada dasarnya mubah . Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau tindakan lain yang dilarang. [7] Kelihatannya metode ini lebih bersifat preventif artinya segala sesuatu yang mubah tetapi membawa kepada perbuatan yang haram maka hukumnya menjadi haram.
Diantara kasus yang ditetapkan berdasarkan metode ini adalah kasus pemberian hadiah kepada Hakim, seorang Hakim dilarang menerima hadiah dari para pihak yang sedang berprkara, sebelum perkara itu diputuskan, karena dikhawatirkan akan membawa ketidakadilan dalam menetapkan hukum mengenai kasus yang sedang ditangani. Pada dasarnya menerima pemberian adslah boleh, tetapi dalam kasus ini harus dilarang. [8] Para Ahli ushul fiqh membagi saddu al-Zaria’at menjadi empat kategori. Adapun pembagian itu adalah sebagai berikut:
1.      Zari’at yang secara pasti akan membwa mafsadat, seperti menggali sumur di jalan umum yang gelap. Terhadap zari’at semacam ini para ahli ushul fiqh sepakat melarangnya.
2.      Zaria’at yang jarang membawa mafsaddat, seperti menanam dan membudidyakan pohon anggur, Meskipun buah anggur kemungkinan dibuat minuman keras. Namun, hal itu termasuk jarang. Karena itu menurut ahli ushul fiqh menanam anggur itu tidak perlu dilarang.
3.      Zari’at yang berdasarkan dugaan yang kuat dan membawa kepada mafsadat, seperti menjual buah anggur pada orang atau persahaan yang biasa memproduksi minuman keras. Zari’at ini harus dilarang.
4.      Zaria’at yang seringkali membawa mafsadat, namun kekhawatiran terjadinya tidak sampai pada dugaan yang kuat,melainkan atas dasar asumsi biasa. Misalnya transaksi jual beli secara kredit diasumsikan dalam transaksi tersebut akan membawa mafsadat terutama bagi debitur. Mengenai zari’at seperi ini para ahli ushul fiqh berbeda pendapat. Ada yang berpendapat perbuatan itu harus dilarang dan ada pula yang berpendapat sebaliknya.
Terlepas dari kategori mana zari’at yang harus dilarang yang jelas dapat dipahami, bahwa metode saddu al-Zari’at secara langsung berhubungan dengan memelihara kemaslahatan dan sekaligus menghindari mafsadat. Memelihara maslahat dalam berbagai peringkatnya termasuk tujuan disyariatkan hukum dalam islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode saddu al-zari’at berhubungan erat dengan teori maqasid al-Syari’ah.
Itulah gambaran ringkas kerangka teori tentang ijtihad dan hubungannya dengan maqashid al-Syari’ah. Ijtihad dapat dikatakan sebagai metode dalam penetapan hukum islam. Sebagai metode tentu mempunya kelebihan dan kekurangan begitu pula halnya dengan teori maqashid al-syari’ah. Teori ini dikembangkan oleh al-Syatibi dari kalangan Malikiyah. Kelebihan dari teori ini adalah adanya usaha untuk menelusuri aspek mashlahat dalam bidang hukum, sehingga kita dapat melacak tujuan Allah menetapkan suatu hukum tertentu. Namun, tidak berarti bahwa teori ini tidak dapat diganggu gugat lagi.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
mashlahat yang menjadi tujuan utama disyari’atkan hukum islam, merupakan faktor penentu dalam menetapkan hukum melalui jalur qiyas.
istihsan adalah upaya untuk mencari jiwa hukum bedasarkan pada kaidah-kaidah umum (al-Qawaid al-Kulliyyat). Metode ini erat kaitannya dengan maqasid al-syari’ah
mashlahat yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh diatas, dapat dipahami bahwa betapa eratnya hubungan antara metode maslahat mursalat dengan maqasid al-syari’ah.
Memelihara maslahat dalam berbagai peringkatnya termasuk tujuan disyariatkan hukum dalam islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode saddu al-zari’at berhubungan erat dengan teori maqasid al-Syari’ah.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Baghdadi.1986. Qawa’id al-Ushul wa ma’qid al-Fushul. Beirut: Alam al-Kutub
Al-Ghazali. 1971. Syifa’ al-Ghalil fi bayani al-syibb wa al-mukhil wa ala-masalik al-ta’lil. Baghdad: Mathba’at al-Irsyad
Al-Qayyim, Ibn. tth. I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabbil al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr
Al-Syatibi. tth.  Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam Jilid I. tt: Dar al Fikr
Al-Syatibi. tth.  al I’tisbam, Kairo: al-Makatabat al-Tijariyyat al-Kubro
Al-Syaukani. Tth. Irsyad al-Fubul ila Tahqiq al-Haqqi min ‘Ilmi al-Ushul, Surabaya, Maktabat Ahmad ibn Sa’ad ibn Nabhan
Khallaf, Abd al-Wahhab. 1972. ilmu Ushul  al-fiqh, Jakarta: Al-Majlis al-A’la al Indunisi li al-Da’wat al islamiyyat
Khallaf, Abd al-Wahhab. 1972. Mashadir al-Tasyri’ al-Islami fi ma la nashsha fih, Kuwait: Dar al-Qalam




[1] Abd al-Wahhab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islami fi ma la nashsha fih, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972), hlm. 19
[2] Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, (tt: Dar al Fikr: tth), jilid I, hlm. 185
[3] Al-Baghdadi, Qawa’id al-Ushul wa ma’qid al-Fushul, (Beirut: Alam al-Kutub, 1986), hlm. 34
[4] Al-Ghazali, Syifa’ al-Ghalil fi bayani al-syibb wa al-mukhil wa ala-masalik al-ta’lil (Baghdad: Mathba’at al-Irsyad, 1971), hlm. 159-163
[5] Abd al-Wahhab Khallaf, ilmu Ushul  al-fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-A’la al Indunisi li al-Da’wat al islamiyyat, 1972), hlm. 84
[6] Al-Syatibi, al I’tisbam, (Kairo: al-Makatabat al-Tijariyyat al-Kubro,tt.h.), Jilid II, hlm. 364-367
[7] Al-Syaukani, Irsyad al-Fubul ila Tahqiq al-Haqqi min ‘Ilmi al-Ushul, (Surabaya, Maktabat Ahmad ibn Sa’ad ibn Nabhan, tth),), hlm.246
[8] Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabbil al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, tth,), Jilid III, hlm. 142

No comments:

Post a Comment