HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
M.ZAYIN CHUDLORI
082140953521
Materi Kuliah :
1. Pengertian Hukum
Acara PA dan hubungannya dengan Hukum Materiil
2. Sumber-sumber Hukum
Acara PA
3. Macam-macam Perkara
PA
4. Asas –asas Peradilan
Agama
5. Kedudukan dan
Kewenangan PA
6. Pendaftaran
Gugatan/Permohonan
7. Pemeriksaan Perkara
8. Pembuktian
9. Putusan/penetapan
10. Upaya Hukum
11. Eksekusi
12. Advokasi.
Referensi :
1. Peradilan Agama di
Indonesia : H.A.Basiq Djalil
2. Hukum Acara Peradilan
Agama : Raihan A. Rasyid
3. Hukum Acara PA : A.
Manan
4. Kedudukan,Kewenangan
dan Acara Peradilan Agama : Yahya Harahap
5. Hukum Acara Perdata :
Yahya Harahap.
6. UU Kekuasaan
Kehakiman No. 48 Tahun 2009
7. UU Peradilan Agama
No. 7 Tahun 1989 ; UUPA No. 3 Tahun 2006; UUPA No. 50 Tahun 2009
8. UUPerkawinan No. 1
Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975
9. HIR dan RBg
10. Hukum Perdata ( BW)
Buku IV
I.
Pengertian :
a). Hukum Acara disebut juga dengan hukum formil,
yaitu :
“ Hukum yang mengatur cara
menyelesaikan perkara melalui Pengadilan sejak diajukan gugatan sampai dengan
pelaksanaan putusan (eksekusi)”
Atau:
“Hukum yang mengatur cara
mempertahankan hukum materiil”
Atau :
“ Rangkaian peraturan yang
memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan
cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak untuk melaksanakan peraturan
hukum perdata”(Wirjono Projodikuro).
Hukum Acara Perdata (Formal
Civil Law) :
“Peraturan hukum yang
berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata”
Peradilan Agama :
“Salah satu kekuasaan
kehakiman yang bertugas memeriksa, memutus dan menyelesaikan (melaksanakan
putusan) perkara perdata tertentu bagi orang Islam”
Hukum Acara Peradilan Agama
:
“ Hukum yang mengatur
bagaimana cara melaksanakan hukum perdata bagi orang Islam’
b). Hukum Perdata atau
Pidana disebut juga dengan Hukum
Materiil :
“ Hukum yang mengatur
bagaimana seseorang harus bertindak terhadap orang lain, apa yang boleh
dilakukan dan apa yang dilarang untuk dilakukan serta sanksi apa yang harus
diterima bagi orang yang melanggarnya”
1). Hukum Pidana :
“Hukum yang mengatur tindak
pidana (kejahatan/pelanggaran) dan sanksi yang harus diterima bagi
pelanggarnya”
Aspek Perkara Pidana:
1. Perbuatan pidana
sifatnya merugikan negara, kepentingan umum, mengganggu kewibaan pemerintah,
mengganggu ketertiban umum;
2. Inisiatif berperkara
datang dari pihak penguasa negara/pemerintah melalui aparat penegak hukum
seperti Polisi, Jaksa, dan Hakim;
3. Pihak yang mengajukan
perkara ke pengadilan disebut jaksa, polisi yang melakukan penyidikan. Pihak
yang disangka melakukan tindak pidana disebut tersangka atau tertuduh
atau terdakwa;
4. Hakim bertugas
mencari kebenaran sesungguhnya (materiil) secara mutlak dan tuntas;
5. Pemeriksaan perkara
pidana tidak boleh dilakukan perdamaian, kecuali ada alasan di deponir;
6. Pemeriksaan perkara
pidana tidak dikenal sumpah pemutus ( decissoire);
7. Hukuman yang
dibebankan oleh hakim kepada terdakwa berupa hukuman badan, denda dan hak,
yaitu hukuman mati, hukuman penjara, hukuman denda, hukuman pencabutan hak
tertentu.
8. Tidak ada pencabutan
perkara.
2). Hukum Perdata :
“Hukum yang mengatur bagaimana seseorang atau pihak harus bertindak
terhadap seseorang atau pihak lain, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dilakukan serta sanksi bagi yang malanggarnya”
Aspek Perkara Perdata :
1. Timbulnya perkara perdata
karena terjadi pelanggaran terhadap hak seseorang seperti yang diatur dalam
Hukum Perdata. Akibat pelanggaran tersebut
menimbulkan kerugian bagi yang bersangkutan;
2. Inisiatif berperkara
datang dari pihak yang dirugikan. Hakim baru bertidak menyelesaikan sesuai
dengan hukum yang berlaku apabila pihak yang dirugikan mengajukan penyelesaian
(gugatan) kepada pengadilan.
3. Pihak yang mengajukan
perkara ke pengadilan disebut penggugat, sedang pihak yang digugat (lawan)
disebut tergugat;
4. Hakim bertugas
mencari kebenaran sesungguhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut oleh
pihak-pihak. Hakim tidak boleh memeriksa/memutus melebihi dari apa yang diminta;
5. Pemeriksaan perkara
perdata di muka persidangan selama belum diputus oleh hakim selalu dapat
ditawarkan perdamaian untuk mengakhiri perkara;
6. Pemeriksaan perkara perdata
dikenal sumpah pemutus (decissoire);
7. Hukuman bagi
pelanggar perkara perdata dibebankan oleh hakim kepada pihak yang kalah berupa
kewajiban untuk memenuhi suatu prestasi.
8. Boleh dilakukan
pencambutan perkara dalam persidangan.
Hubungan antara Hukum Acara (formil) dengan Hukum
Materiil :
“Keduanya mempunyai hubungan yang erat. Hukum materiil tidak bisa
diterapkan secara benar tanpa hukum formil. Demikian halnya, hukum formil tidak
punya arti tanpa adanya hukum materiil”
II.
Sumber Hukum Acara Peradilan Agama :
“Hukum acara yang berlaku pada
Pengadilan dilingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
undang-undang ini. ( UUPA No.7/1989, pasal 54).
Hukum Acara Perdata
Peradilan Umum :
1. HIR ( Het Herziene
Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang di
Baharui);
2. RBg ( Rechts
Reglement Buitengewestenn) atau disebut jugaReglemen untuk daerah sebrang (
luar Jawa- Madura ).
3. Rsv atau B.Rv ( Reglement
op de Burgerlijke Rechtsvordering), zaman Belanda berlaku untuk Raad van
Justitie.
4. BW (Burgelijke
Wetboek) atau disebut KUH Perdata khususnya Buku IV tentang pembuktian;
5. UU Nomor 2 tahun
1986, tentang Peradilan Umum.
Hukum Acara yang berlaku bagi lingkungan Peradilan
Umum dan Peradilan Agama :
1. UU Nomor 48 tahun
2009, tentang Kekuasaan Kehakiman;
2. UU Nomor 14 tahun
1985, tentang Mahkamah Agung
3. UU Nomor 1 tahun 1974
dan PP Nomor 9 tahun 1975, tentang Perkawinan dan Pelaksanaannya.
Hukum Acara yang berlaku bagi lingkungan Peradilan
Agama :
1. UU Nomor 7 tahun 1989,
diubah dengan UU Nomor 3 tahun 2006, diubah dengan UU No 50 tahun 2009,tentang
Peradilan Agama;
2. SK,SE Mahkamah Agung;
3. Kitab-kitab fiqih
III.
MACAM PERKARA PA
1. Perkara Gugatan ( Jurisdictio
Countiosa ) :
a. Perkara sengketa yang
melibatkan dua orang/pihak atau lebih, pihak penggugat dan pihak tergugat;
b. Hakim memeriksa dan
memutus terbatas pada apa yang digugat;
c. Hakim menerapkan
perundang-undangan yang berlaku;
d. Putusan hakim hanya
mengikat bagi pihak-pihak yang bersengketa
e. Produk hukumnya
berupa menghukum pihak yang kalah ( Condemnatoire ) yaitu memerintahkan
untuk melakukan atau meninggalkan.
f. Putusan hakim dapat
dilakukan upaya hukum ( banding, kasasi atau peninjauan kembali).
2. Perkara Permohonan
( Jurisdictio Voluntaria ) :
a. Perkara yang hanya
melibatkan satu pihak ( pemohon ) dan tidak ada sengketa;
b. Hakim dapat
menetapkan lebih dari apa yang dimohon;
c. Hakim lebih bebas
menggunakan kebijakan;
d. Ketetapan hakim dapat
mengikat pada orang lain;
e. Produk hukumnya
berupa penetapan (Diclaratoire)yaitu pernyataan hukum;
f. Penetapan hakim tidak
bisa dilakukan upaya hukum.
IV.
ASAS-ASAS PERADILAN AGAMA
1. Asas Umum :
a. Asas Kebebasan :
Pengadilan (hakim) dalam
menjalankan tugasnya (memeriksa dan mengadili/ memutus perkara) tidak
dipengaruhi atau diintervensi oleh siapapun. Hakim harus bersifat independen.
Kebebasan hakim meliputi:
l). Bebas dari campur tangan pihak
kekuasaan lain;
2). Bebas dari paksaan dan
rekomendasi yang datang dari pihak
extra judicial;
3). Bebas melaksanakan judicial,
yang dibatasi dengan mengacu
pada :
a). Menerapkan hukum yang
bersumber dari peraturan
perundang- undangan yang
tepat dan benar;
b). Menafsirkan hukum yang
tepat melalui cara-cara pendekatan
penafsiran yang
dibenarkan, yaitu penafsiran sistematik,
sosilogik, analogik,
linguestik atau a-contrario;
c). Mencari dan menemukan
hukum (rechts vinding), dasar-dasar
dan asas-asas hukum melalui ilmu hukum, norma
hukum
tidak tertulis, yurisprodensi, maupun
melalui pendekatan
realisme ( nilai-nilai
ekonomi, agama kepatutan dan
kelaziman).
Dasar pijakan : - Pasal 3UU Nomor : 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman
-
Pasal 53 (4) UU nomor 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama
-
Pasal 5 (2), 12 ,20 UU Nomor 3 tahun 2006 tetang
Peradilan Agama
b. Asas Wajib
Mendamaikan (dalam perkara perdata) :
1). Penyelesaian perkara
dengan perdamaian lebih utama dari pada
melalui putusan hakim.
2). Hakim, setidaknya diawal
persidangan, wajib (imperatif)
berusaha mendamaikan masing-masing pihak
yang bersengketa
(HIR ps. 130-131, RBg.ps. 154 ayat 1)
3). Upaya mendamaikan secara
formal dilakukan melalui mediasi.
4). Dalam perkara perceraian,
usaha mendamaikan dilakukan setiap
kali sidang pemeriksaan selama perkara sebelum
diputus (UUNo
1/1974 ps. 39; PP No.9/1975,ps 31 ayat 1-2;
UUPA No. 7/1989
ps 82-83)
5). Bila terjadi perdamaian,
hakim membuat Akta perdamaian dan
putusan damai tidak dapat diajukan banding
atau diajukan
kembali dalam perkara yang sama.
6). Akibat hukum adanya
pelanggaran asas ini, putusan hakim dapat
dibatalkan (batal demi hukum).
c.
Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan:
Peradilan harus memenuhi harapan
dari pencari keadilan yang
selalu mengehendaki peradilan
yang cepat, tepat, adil dan biaya
ringan ( UUKK No. 48/2009, ps 2
ayat 4; UUPA No 7/1989 ps 57
ayat 3, beserta penjelasannya)
-
Sederhana :
Tidak memerlukan periksaan yang berbelit-belit
-
Cepat
: Tidak memerlukan waktu yang terlalu lama
-
Tepat
: Tidak mengurangi pembuktian untuk memperoleh keadilan/kebenaran
-
Biaya Ringan : Sesuai dengan jangkauan masyarakat
d. Asas Persidangan
Terbuka untuk Umum :
1). Pada prinsipnya
pemeriksaan dalam persidangan harus terbuka.
Semua orang boleh menyaksikan proses jalannya
persidangan
(fair trail), dengan tujuan :
Terhindar dari persidangan dan
putusan yang tersembunyi (UUKK No.
48/2009, ps 13; UUPA
No.7/1989, ps 59 ayat 1-2)
2). Penerapan asas terbuka ini
dikecualikan perkara perceraian ( Lex
spicialis drogat lex generalis), (UUPA No 7/1989, ps 80 ayat 2, ps 81
ayat 1; PP No 9/1975, ps.33, ps 34, ayat 1).
3) Pemberlakuan sidang
tertutup dalam perkara perceraian
dilakukan apabila pemeriksaan telah
memasuki pokok perkara, dengan
ketentuan :
- Sidang
tertutup dalam masalah perceraian bersifat imperatif
untuk menjaga privatisasi
-
Putusan hakim tetap diucapkan dalam sidang terbuka yang
bersifat imperatif
4). Akibat hukum adanya pelanggaran ini, putusan
hakim batal
demi hukum ( UUKK No. 48 ayat 3; UUPA No.
7/1989, ps 59
ayat 2.)
5). Penerapan asas ini harus
mempertimbangkan ketertiban,
keamanan dan kelancaran jalannya
persidangan.
e. Asas Legalitas:
1). Asas legalitas mempunyai arti :
- Mengadili perkara menurut
hukum yang berlaku.
- Mengadili dengan tidak
membeda-bedakan orang ( UUKK No.
49/2009, ps.4 ayat 1; UUPA
No. 7/1989 ps 58 ayat 1).
2). Asas legalitas ini mengandung
prinsip Equality :
- Persamaan hak dan derajat dalam
proses pemeriksaan
persidangan pengadilan (equal
before the law)
- Persamaan hak perlindungan
oleh hukum (equal protection on
the law)
- Persamaan hak mendapatkan
perlakuan di bawah hukum ( equal
justice under the law).
3).
Penerapan asas ini mendukung penegakan
hukum ( law
enforcement).
f. Asas Aktif Memberi Bantuan Hukum (formal)
:
1). Dalam menjalankan peradilan
cepat, sederhana dan biaya ringan,
hakim dalam memimpin sidang
wajib mengarahkan dan
mengatur jalannya sidang menuju pada tertib sidang
2). Hakim bersifat aktif membantu
kesulitan pihak-pihak yang
berperkara sepanjang menyangkut
hukum acara ( HIR,ps 119,
RBg.ps 143; UUKKNo. 49/2009,ps
4 ayat 2; UUPA No. 7/1989,
ps 58 ayat 2)
3). Memberi bantuan dalam bidang
formal meliputi :
a). Membuat surat
gugatan/permohonan bagi yang buta huruf
(HIR, ps 120)
b). Memberi pengarahan
tata-cara izin Prodeo (HIR, ps 237-245)
c). Menyarankan penyempurnaan
surat kuasa. Syarat formal
keabsahan surat kuasa :
- Harus berbentuk tertulis: - Akta di bawah
tangan – Akta
dibuat oleh Panitera
dilegalisir oleh Ketua Pengadilan/Hakim
– Akkta Otentik yang dibuat
oleh Notaris.
-
Harus menyebut nama pihak yang berperkara
-
Harus menegaskan hal yang disengketakan
-
Harus merinci batas-batas tindakan yang dapat dilakukan oleh
penerima kuasa.
d).
Menganjurkan perbaikan surat gugatan.Kesalahan gugatan bisa
terjadi :
-
Gugatan tidak jelas ( Obscurlible )
-
Salah 0rang /subyek hukum ( error in person)
- Antara positum
dan petitum tidak
sesuai
e). Memberi penjelasan alat bukti yang sah/
syarat sah menjadi
saksi ( HIR,ps 145-146)
f).
Memberi penjelasan cara mengajukan bantahan dan
jawaban(eksepsi). Bantahan dapat berupa : eksepsi obcsurlibel,
Error in persona, Nebis in
Idem atau menyangkut kompetensi
dll.
g). Memanggil saksi secara resmi.
Saksi tidak boleh datang sendiri
kecuali ada panggilan/perintah
hakim
h). Memberi penjelasan upaya hukum
:
- Tentang batas waktu
Banding/Kasasi yaitu 14 hari kerja setelah
putusan diucapkan atau
putusan diterima
- Tentang cara membuat memori/risalah Banding
atau Kasasi/PK
i). Memberi penjelasan tata cara membuat
Verzet atas Verstek dan
Rekonpensi
j). Mengarahkan dan membantu
menformulasikan Akta perdamaian
2. Asas Khusus :
Asas Personalitas Ke-Islam-an:
1). Pengadilan Agama berwenang
mengadili Rakyat Indonesia yang
beragama Islam
2). Pengadilan Agama berwenang
mengadili perkara perdata tertentu
berdasarkan hukum Islam (kewenangan
mutlak/absolut
competentie) (UUPA No. 3/2006 ps.49 beserta
penjelasnnya)
3). Dalam perkara perkawinan, dilihat
pada saat melaksanakan ikatan
hubungan perkawinan dan
dasarhukum yang dipakai ( hukum
Islam)
4). Dalam perkara ekonomi, dilihat
hukum yang dipakai pada waktu
dilakukan ikatan perjanjian
5). Dalam perkara wakaf, zakat, dan
waris, dilihat ke-Islam-an pada
waktu kematian atau terjadi
pemindahan harta.
IV.KEDUDUKAN DAN KEKUASAAN PA
A. Kedudukan PA.
Ø PA adalah peradilan
tingkat pertama yang berkedudukan di Kota/Kabupaten.
Ø PTA adalah peradilan
tingkat banding yang berkedudukan Ibu Kota Provinsi
B. Kewenangan Relatif ( Relative
Competentie )
Ø Pengadilan Agama
berwenang mengadili perkara sesuai dengan wilayah kekuasaannya (Kabupaten/Kota)
Ø Pengadilan Tinggi
Agama berwenang mengadili perkara sesuai dengan wilayah kekuasaannya (provinsi)
(UUPA No.3/2006, ps. 4)
Ø Apabila terjadi
sengketa mengenai kewenangan relatif antar PA dalam satu wilayah PTA,
penyelesaiannya menjadi wewenang PTA
Ø Apabila terjadi
sengketa mengenai kewenangan relatif antar PA dalam wilayah kekuasaan PTA yang
berbeda, penyelesaiannya menjadi wewenang MA
Ø Apabilla terjadi
sengketa mengenai kewenangan relatif antar PTA yang berbeda, penyelesaiannya
menjadi wewenang MA.
C. Kewenangan Mutlak ( Absolute
Competentie)
Ø Pengadilan Agama
berwenang mengadili perkara sesuai dengan jenis perkara yang telah diberikan
oleh undang-undang ( perkara yang terjadi antara orang-orang Islam dalam perkara
perdata tertentu).UUPA No. 3/2006 ps. 2.
Ø Jenis perkara yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama ialah : Perkawinan; kewarisan/hibah/wasiat; wakaf;
zakat/shodaqah/infak; dan ekonomi syari’ah (UUPA No. 3/2006, ps 49 beserta
penjelasannya)
Ø Apabila terjadi sengketa
mengenai kewenangan mutlak antara PA dengan pengadilan lainnya,
penyelesasiannya menjadi wewenang M A.
Ø Apabila terjadi
sengketa kewenangan menenai perbedaan
domisili pihah-pihak yang berperkara, maka yang menjadi dasar ialah domisili
pihak istri dalam perkara perceraian; domosili tergugat dalam perkara selain
perkawinan; domisili penggugat apabila tergugat tidak diketahui tempat
tinggalnya; tempat objek sengeketa apabila menyangkut tanah; domisili tempat
pernikahan apabila pihak yang berperkara berada diluar negeri.
Ø Dalam menyelasaikan
perkara PA, sumber hukum materiil yang dipakai antara lain :
a. Perkawinan (UUP No.
1/1974, PP No.9/1975; KHI;Peraturan-2 yang terkait dan Kitab-kitab fiqh)
b. Wakaf (KHI; UUW
No.41/2004; PP No.28/1977;Peraturan-2 yang terkait dan Kitab-kitab fiqh).
c. Waris,hibah wasiat (
KHI, peraturan-2 yang terkait dan kitab-kitab fiqh).
d. Zakat/shadaqah/Infak
( UUZ No. 38/1999; peraturan-2 yang terkait dan kitab-kitab fiqh).
e. Ekonomi Syari’ah (
KHES; Perundang-an perbankan, Ekonomi/Bank Syari’ah dan kitab-kitan fiqh)
V.
PENDAFTARAN
PERKARA
A. Membuat Surat
Gugatan/Permohonan :
1. Dibuat secara
tertulis
2. Isi surat
gugatan/permohonan meliputi:
§ Tanggal Surat
Gugatan/permohonan
§ Alamat kepada Ketua
Pengadilan Agama ........
§ Identitas penggugat/Pemohon
: Nama asli dan orang tua, umur, alamat rumah/tinggal, agama, pekerjaan
§ Kedudukan : Sebagai
PENGGUGAT/PEMOHON
§ Kata : MELAWAN
§ Identitas
tergugat/termohon : Nama asli dan orang tua, umur, alamat rumah/tinggal, agama,
pekerjaan
§ Kedudukan : Sebagai
TERGUGAT/TERMOHON
§ Posita/positum (fondamental
petendi), meliputi :
·
Uraian singkat kronologis kejadian/peristiwa
hubungan hukum
·
Uraian dasar hukum ( rechts grounden)
§ Petitum/tuntutan/permohonan,
meliputi :
·
Meminta para pihak dipanggil dalam sidang
·
Mengabulkan gugatan/permohonan (formal)
·
Tuntutan utama ( primer )
·
Tuntutan Tambahan ( subsider )
§ Tanda tangan dan nama
terang di atas meterai
3. Pihak-pihak dalam
perkara : pihak-pihak yang terlibat (subyek hukum) , baik posisinya sebagai
penggugat/pemohon maupun tergugat/termohon, bisa terdiri :
§ Publik ( pemerintah
dll)
§ Privat ( PT, CV, dll)
§ Perseorangan
§ Pihak ketiga ( turut
serta ).
4. Komulasi Gugatan.
Komulasi gugatan terjadi dalam bentuk :
§ Gugatan Komulasi
Subyektif
§ Gugatan Komulasi
Obyektif
§ Keduanya harus dalam kesatuan Hukum Acara dan
dalam kesatuan wewenang pengadilan.
5. Gugatan perwakilan
kelompok (Class Action), dapat dilakukan dengan syarat :
-
Gugatan oleh satu orang mewekili sejumlah orang
yang banyak;
-
Terdapat kesamaan fakta dan dasar hukum serta
jenis tuntutan;
-
Wakil kelompok memiliki kejujuran untuk mewakili.
B. Mendaftarkan
Permohonan/Gugatan:
1. Pendaftaran perkara
melalui bagian kepaniteraan (Meja I)
perkara gugatan/permohonan
2. Membayar uang
panjar (verskot) atau prodeo dibagian Kasir sesuai
tertera dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) yang telah dibuat oleh bagian Kepaniteraan.
3. Bagian Kepaniteraan
(Meja II) mencatan dalam Buku Register perkara sesuai dengan nomor perkara,
kemudian memasukkan kedalam Map berkas perkara untuk disampaikan kepada
Panitera.
4. Panitera menyampaikan
Map berkas perkara kepada Ketua PA untuk ditetapkan susunan Penetapan Majelis Hakim(PMH).
5. Ketua Majelis Hakim
menetapkanPenetapan Hari sidang (PHS)dalam surat ketetapan.
6. Panitera menetapkan
Panitera Pengganti yang akan mendampingi sidang majelis.
7. Panitera, melalui
Juru Sita/Juru SitaPengganti, melalukan panggilan sidang, dengan ketentuan :
a. Surat panggilan
sidang dilakukan secara resmi dan patut. Resmi artinya disampaikan
langsung kepada masing-masing pemohon/penggugat dan termohon/tergugat dan
patut artinya sekurang-kurangnya 3 (tiga) hari kerja sebelum hari sidang.
b. Surat Panggilan
Sidang kepada Termohon/tergugat dilampiri surat permohonan/gugatan dari
pemohon/
penggugat
c. Penerimaan surat
panggilan dibuktikan dengan Relas Panggilan dari masing-masing pihak
yang berperkara.
d. Apabila pihak yang
berperkara tidak dapat ditemui di tempat, surat panggilan disampaikan melalui
Kepala Desa/Kelurahan setempat dengan dibuktikan Relas Panggilan.
e. Apabila pihak
Termohon/Tergugat tidak diketahui alamat tempat tinggalnya, panggilan dilakukan
melalui media papan pengumuman/cetak/elektronik dalam jangka waktu 3 x 1 bulan.
f. Apabila Termohon/tergugat
berada di luar Negeri, panggilan sidang dilakukan melalui kedudataan yang
bersamgkutan.
V :PEMERIKSAAN PERKARA DALAM
SIDANG
A. Persidangan Pertama :
1. Sidang perkara
dimulai pukul 09.00, kecuali ada pertimbangan lain, dapat diajukan atau
ditunda.
2. Sebelum sidang
dibuka, Majelis Hakim bersama Panitera Pengganti masuk ruang sidang yang telah
ditentukan.
3. Panitera Pengganti
mempersilahkan kepada Pemohon/
penggugat dan
termohon/tergugat untuk memasuki ruang sidang.
4. Hakim Ketua memimpin
dan membuka sidang dengan membaca Bismillah...., dan sidang
dinyatakan terbuka untuk umum.
5. Hakim Ketua Majelis
memeriksa identitas masing-masing pihak yang berperkara, kemudian menyarankan
untuk menyelesaikan secara damai.
6. Hakim Ketua Majelis
menunda sidang dan menyarankan kepada para pihak untuk menyelesaikan perdamaian
melalui Mediator yang telah ditujuk.
B. Persidangan Kedua :
1. Hakim Ketua Majelis
memeriksa laporan Mediator dari hasil upaya mediasi.
2. Apabila telah
berhasil, Hakim Majelis membuat ketetapan penyelesaian damai yang ditanda
tangani oleh para pihak yang berperkara dan disahkan oleh Hakim Majelis;dan
apabila tidak diperoleh kesepakatan damai, Hakim Ketua Majelis melanjutkan
pemeriksaan perkara.
3. Hakim Ketua Majelis
menanyakan kesiapan kepada termohon/tergugat untuk memberi jawaban atas
gugatan.
4. Hakim Ketua Majelis
memberi kesempatan kepada para pihak untuk membuat :
a. Replik : Jawaban
penggugat atas jawaban tergugat
b. Duplik : Jawaban
tergugat atas jawaban penggugat
c. Hakim Ketua Majelis
membuat putusan sela apabila dipandang perlu.
C. Persidangan Ketiga
dan seterusnya :
1. Hakim Ketua Majelis
memberi kesempatan untuk menyampaikan Replik – Duplik.
2. Apabila telah
dianggap cukup, Hakim Ketua Majelis melakukan pemeriksaan bukti-bukti yang ada
dan mempersilahkan untuk menghadirkan saksi-saksi yang telah ditentukan.
3. Apabila pemeriksaan
perkara sudah lengkap, Hakim Ketua Majelis menyampaikan dan menawarkan kepada para
pihak untuk membuat kesimpulan.
4. Hakim Majelis
melakukan musyawarah untuk membuat putusan sidang.
5. Putusan Sidang
Majelis dapat berbentuk :
a. Menolak atau menerima
permohonan/gugatan (formil)
b. Mengabulkan semua
atau sebagian tuntutan penggugat (gugatan konpensi tau rekonpensi).
6. Hakim Ketua Majelis
membacakan putusan dalam sidang terbuka.
D. Sidang terakhir
Pembacaan putusan .Isi Putusan
:
1. Kepala Putusan :
Judul dan Nomor perkara, kalimat Bismillah..., Demi Keadilan berdasarkan
keTuhanan Yang Maha Esa, Pengadilan ......
2. Identitas para pihak
yang berperkara ( penggugat dan tergugat )
3. Pertimbangan Hukum :
Duduk perkara, hubungan hukum dan dasar hukum( dalam replik-duplik).
4. Amar putusan :
a. Mengabulkan atau menolak
permohonan/gugatan ( formil).
b. Merima seluruhnya
atau sebagian tuntutan penggugat ( gugatan konpensi atau rekonpensi).
5. Penutup : Pernyataan
pembacaan putusan dihadiri/tidak dihadiri oleh penggugat dan tergugat, tanda
tangan dan nama Hakim Majelis, serta Panitera Pengganti.
Beberapa hal perlu
diketahui :
1. Perubahan dan atau
pencabutan Surat Gugatan :
a. Sebelum persidangan
dilangsungkan, Surat Gugatan boleh dilakukan perubahan atau pencabutan;
b. Apabila persidangan
telah dilaksanakan, perubahan atau pencabutan surat gugatan harus sepengetahuan
tergugat.
c. Apabila pemeriksaan
perkara sudah hampir selesai, perubahan atau pencabutan surat gugatan tidak
diperbolehkan.
2. Pembuktian :
a. Pengajuan alat-alat
bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.
b. Pembuktian dibebankan
kepada pihak yang menyatakan dengan positif ( bukan negatif/penolakan ).
c. Macam-macam alat
bukti :
1).Tulisan :
a). Tulisan : Segala sesuatu
yang memuat tanda-tanda bacaan
yang bisa dimengerti dan mengandung suatu
pikiran
tertentu.
b). Alat bukti tulisan dapat
berbentuk Akta Outentik atau
Akta di bawah tangan dan dapat pula
berbentuk tulisan
lainnya.
c). Kekuatan alat bukti tulis
outentik :
- Mempunyai kekuatan pembuktian formal
- Mempunyai kekuatan pembuktian Materiil
( benar-benar
terjadi ).
- Mempunyai kekuatan pembuktian lahir (
berlaku bagi
pihak-pihak lain).
d). Kekuatan alat bukti tulis
dibawah tangan atau lainnya
bersifat bebas. Hakim bebas untuk memakai
atau tidak.
e). Bukti tulisan berupa foto
kopi harus dibubuhi materai.
2. Persaksian :
“ Pernyataan seseorang didepan hakim (dalam
sidang) dibawah sumpahnya tentang apa yang telah dialami, dilihat dan atau
didengar sendiri”
-
Persaksian orang seperti di atas mempunyai
kekuatan hukum yang sempurna.
-
Persaksian yang diperoleh melalui orang lain
disebut “Testimonium de auditu” dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempurna.
3. Putusan:
Macam-macam putusan :
a. Digugurkan karena tidak memenuhi persyaratan administrative atau
penggugat tidak hadir.
b. Ditolah karena tidak
memenuhi syarat formal
c. Diterima karena telah
memenuhi syarat formal dan isinya mengabulkan semua atau sebagian petitum.
Sifat putusan :
1). Condemnatoir :
Menghukum pihak yang kalak untuk
melaksanakan/menyerahkan atau meninggalkan/
menghentikan suatu perbuatan.
2). Constitutif
: Menyatakan sesuatu yang belum ada hukum
Sebelumnya.
3). Diklaratoir
: Menetapkan hukum yang sebelumnya
berbeda/sebaliknya.
VI.
UPAYA HUKUM
A. Banding :
1. Pengajuan permohonan Banding
dapat dilakukan oleh para pihak ( penggugat atau tergugat) yang merasa tidak
puas dengan putusan hakim PA.
2. Pengajuan banding
diberi waktu 14 hari kerja setelah putusan diucapkan dalam sidang atau setelah
putusan diterima (bagi penggugat/tergugat tidak hadir dalam sidang pepmbacaan
putusan).
3. Apabila lewat dari
waktu yang ditentukan, para pihak masih diberi kesempatan untuk mengajukan
Peninjauan Kembali dalam waktu 180 hari.
4. Permohonan Banding dibuat secara tertulis
kepada Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan didaftarkan di Pengadilan Agama yang
memutus perkara setelah membayar biaya banding.
5. Pihak pembanding diberi kesempatan untuk
membuat memori banding (alasan-alasan hukum ) dan diserahkan
kepada PA dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja.
6. Pihal terbanding
diberi kesempatan untuk membuat kontra memori banding ( bantahan atas
alasan hukum pembanding) dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima memori
banding dan diserahkan kepada PA.
7. Pengadilan Agama
mengirim berkas perkara banding disertai bukti pembayaran banding dalam waktu
30 hari kerja setelah pendaftaran banding.
B. Kasasi :
1. Pengajuan permohonan
Kasasi dapat dilakukan oleh pihak ( pembanding atau terbanding) yang merasa
tidak puas dengan putusan banding.
2. Pengajuan kasasi
diberi waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah putusan banding diterima.
3. Pengajuan permohonan
Kasasi dilakukan secara tertulis kepada Ketua Mahkamah Agung dan didaftar di
Pengadilan Agama yang memutus perkara setelah membayar biaya perkara.
4. Pemohon kasasi diberi
kesempatan untuk membuat memori kasasi dalam waktu 7 (tujuh) hari
setelah permohonan kasasi didaftarkan dan diserahkan kepada PA
5. Termohon kasasi
diberi kesempatan untuk membuat kontra memori kasasi dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima
memori kasasi dan diserahkan kepada PA
6. Pengadilan Agama
mengirim berkas perkara kasasi ke Mahkamah Agung dengan bukti pembayaran
biaya perkara kasasi.
C. Peninjauan Kembali
(PK).
1. Permohonan PK dapat
dilakukan apabila :
a. Pengadilan dibawahnya
memutus perkara menyalahi undang-undang,atau
b. Pengadilan dibawahnya
menutus perkara apa yang tidak dimohon, atau
c. Ditemukan bukti baru
(novum) setelah putusan dijatuhkan.
2. Pengajuan permohonan
PK dapat dilakukan oleh pihak yang merasa tidak puas dengan putusan kasasi.
3. Pengajuan permohonan
PK diberi waktu 180 hari setelah putusan kasasi diterima.
4. Pengajuan permohonan
PK dibuat secara tertulis kepada Ketua Mahkamah Agung dan didaftarkan kepada PA
yang memutus perkara setelah membayar biaya perkara.
5. Pemohon kasasi diberi
kesempatan untuk membuat memori PK dalam waktu 7 ( tujuh) hari setelah
permohonan PK didaftarkan.
6. Termohon kasasi
diberi kesempatan untuk membuat kontra
memori PK dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah memori PK diterima.
7. Pengadilan Agama
mengirim berkas PK kepada Mahkamah Agung dalam waktu 30 hari kerja setelah
pendaftaran PK.
VII.
PENYELESAIAN PERKARA
1. Penyelesaian perkara dapat dilakukan setelah putusan hakim
mempunyai kekuatan hukum tetap (eksekutoir), yaitu setelah lewat waktu masa
banding atau masa kasasi ( 14 hari kerja) dan setelah putusan PK
2. Eksekusi dilakukan
dilaksanakan oleh Panitera dan dibantu oleh Juru Sita serta dipimpin oleh Ketua
Pengadilan.
3. Permohon eksekusi
diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang memutus perkara.
4. Panitera membuat pemberitahuan kepada pihak yang kalah untuk
menjalankan putusan hakim dengan patut.
5. Pelaksanaan eksekusi
dituangkan dalam Berita Acara yang dibuat oleh Panitera PA.
6. Khusus eksekusi
perkara cerai talah, ikrar talak dilakukan setelah putusan izin talak telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan suami telah melunasi kewajiban meteriilnya
kepada istri.
No comments:
Post a Comment