BAB II
PEMBAHASAN
A. Moral
Secara etimologis moral berasal dari Bahasa
Belanda moural, yang berarti kesusilaan, budi pekerti. Sedangkan menurut
W.J.S. Poerwadarminta moral berarti ajran tentang baik buruk perbuatan dan
kelakuan.[1]
Dalam islam moral dikenal dengan istilah akhlak. Al-Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin menerangkan tentang definisi akhlak sebagai berikut:
Akhlak adalah perilaku jiwa, yang dapat dengan
mudah melahirkan perbuatan-perbuatan, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Apabila perilaku tersebut mengeluarkan beberapa perbuatan baik
dan terpuji, baik menurut akal maupun tuntunan agama, perilaku tersebut
dinamakan akhlak yang baik. Apabila perbuatan yang dikeluarkan itu jelek, maka
perilaku tersebut dinamakan akhlak yang jelek. [2]
Ukuran perseorangan bagi baik dan buruk,
bagus, dan jelek. Berbeda menurut perbedaan persepsi seseorang, perbedaan masa,
dan perubahan keadaan dan tempat. Namun demikian, dalam setiap masyarakat dalam
suatu masa ada ukuran umu, artinya ukuran yang diakui oleh seluruh atau oleh
sebagian terbesar dari anggota-anggotanya. Ukuran umum itu mungkin berbeda dari
suatu masyarakat dengan masyarakat lain, akan tetapi ada pokok-pook tertentu
yang ada persamaannya antara semua manusia dalam menilai baik dan buruk. [3]
Bagi umat islam pendasaran baik dan buruk bagi perbuatan adalah kepada kitab
pedomannya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Apa yang dinyatakan baik, maka itulah
ukuran kebaikan bagi umat manusia, demikian pula yang jelek.
Allah SWT berfirman:
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( wur [Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJ2 z`|¡ômr&
ª!$# øs9Î) ( wur Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
Artinya:
dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.
Al-Qashash: 77)
Nabi
Muhammad SAW bersabda:
انّما
بعثت لأ تمّم مكارم الْأخلاق
Artinya:
Tidaklah aku diutus kecuali hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR.
Bukhari, Ahmad, dan Baihaqi)
B.
Hukum
dan Moralitas
Pada
masyarakat yang masih sederhana, norma susila atau moral telah memadahi untuk
menciptkan ketertiban dan mengarahkan tingkah laku anggota masyarakat, dan
menegakkan kesejahteraan dalam masyarakat. Kesusilaan memberikan
peraturan-peraturan kepada seseorang supaya menjadi manusia yang sempurna. Hasl
dari perintah dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu bersandarkan
pada kebebasan pribadi seseorang. Hati nuraninya akan menyatakan perbuatan mana
yang jahat serta akan menetukan apakah ia akan melakukan sesuatu perbuatan. [4]
Akan tetapi pada masyarakat yang sudah maju kaidah adat tersebut tidak lagi
mencukupi. Hal ini dilatarbelakangi oleh karena persandaran moral adalah
kebebasan pribadi. Padahal cara berpikir manusia tidaaaaaaaaaklah sama, sifat,
dan tingkah lakunya pun berbeda, sehingga banyak sekali usaha baik yang
mendapat tantangan dan hambatan. Untuk mengatur segalanya diperlukan aturan
lain yang tidak disandarkan pada kebebasan pribadi, tetapi juga mengekang
kebebasan pribadi dalam bentuk paksaan, ancaman, dan sanksi. Aturan itulah yang
disebut dengan Hukum. [5]
Jika
dalam kesusilaan yang dimuat adalah anjuran yang berupa pujian dan celaan, maka
dalam kaidah hukum yang dimuat adalah perintah dan larangan yang diperkuat
dengan ancaman, paksaaan, atau sanksi bagi orang yang mengabaikan. Meski
coraknya berbeda, namun bentuk-bentuk yang dilarang dalam hukum adalah
bentuk-bentuk yang dipuji dan dicela dalam kesusilaan, sehingga pada hakikatnya
patokan hukum tersebut berurat pada kesusilaan.
Prof.
Dr. Hazairin dalam buku Demokrasi Pancasila menyatakan bahwa hukum tanpa
moral adalah kezaliman. Moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang
menjurus kepada peri kebinatangan. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan dan
berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan kemanusiaan. Lebih lanjut Dr. M.
Muslehuddin menerangkan bahwa hukum tanpa keadilan da moralitas bukanlah hukum
dan tidak bisa bertahan lama. Sistem hukum yang tidak memiliki akar substansial
pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpental. [6]
Hukum
positif yang didukung oleh Coulson dan Kerr dipisahkan dari keadilan dan etika.
Menurut hukum murni ala Kelsen, etika dan filsafat sosila jauh dari hukum. Ia
menentang filsafat dan berkeinginan untuk menciptakan ilmu hukum murni \,
meninggalkan semua materi yang tidak relevan, dan memisahkan yurisprudensi dari
ilmu-ilmu sosial. [7]
C.
Hukum
Islam dan Moralitas
Hukum Islam adalah seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf
yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama
islam.[8]
Islam
berbeda dari agama-agama lain, karena islam tidak mengkhotbahkan spritualitas
yang mandul. Dalam islam hukum dan agama, hukum dan moral tidak bisa dipisahkan
satu sama lain. Berdasarkan fungsi utama hukum islam mengklasifikasikan
tindakan yang berkenaan dengan standar mutlak baik dan buruk yang tidak dapat
ditentukan secara rasional, karena Allah sendirilah yang mengetahui apa yang
benar-benar baik dan buruk.
Dalam
masyarakat islam hukum bukan hanya faktor utama tetapi juga faktor pokok yang
memberikannya bentuk. Masyarakat islam secara ideal harus sesuai dengan kitab
hukum sehingga tidak ada perubahan sosial yang mengacaukan atau menimbulkan
karakter tak bermoral dalam masyarakat. Hukum Islam harus berjalan sesuai
dengan prinsip-prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh islam. Hukum
islam memberikan ketentuan bahwa kaidah kesusilaan tidak boleh bertentangan
dengan syarat-syarat yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Syariah
islam adalah kode hukum dank ode moral sekaligus. Ia merupakan pola yang luas
tentang tingkah laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah yang
tertinggi. Sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak
bisa ditarik secara jelas seperti pada masyarakat Barat pada umumnya.
Contoh
dalam hukum pidana islam terdapat ketentuan bahwa orang yang elakukan zina
diancam dengan pidana cambuk seratus kali di depan umum (QS. 24;2) Zina menurut
ajaran islam dinilai sebagai perbuatan keji dan merupakan jalan terburuk uang
ditempuh manusia beradab. (QS. 17;32). Makan riba dilarang karena merupakan
kezaliman terhadap kaum lemah (QS. 2 ; 278-279).Kreditur supaya memberikan
kelonggaran waktu tanpa memungut bunga kepada debitur yang mengalami kesulitan
untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah dijanjikan. Jika debitur
sungguh-sungguh tidak mampu lagi untuk melunasi hutangnya, kreditur supaya
menyedekahkannya (QS. 2;280). [9]
Dengan
norma-norma moralitas khusus hukum Allah meletakkan aturan-aturan universal
bagi perbuatan manusia. Karena ada ukuran moral yang pasti pada moral islam
itulah, maka pergeseran dalam moral masyarakat islam mempunyai lapangan yang
sangat sempit. Artinya pertumbuhan yang menyimpang dari alur-alur yang semula
dikira baik atau jelek kemudian melenceng sedemikian rupa sedikit sekali
kemungkinannya H.A.R. Gibb menulis hukum
islam memiliki jangkauan paling jauh dan alat efektif dalam membentuk tatanan
sosial dan kehidupan mayarakat. Otoritas moral hukum islam membentuk struktur
sosial islam yang rapi dan aman melalui semua fluktuasi keberuntungan politis.
Kemakmuran
masyarakat tidak terlalu tergantung pada kerasnya hukum melainkan pada
kebenaran yang diilhami oleh ketakwaan. Karena itu syariah merupakan tatanan
tingkah laku moral, sedangkan takwa merupakan standar bagi pertimbangan
tindakan manusia. Keadilan dalam islam merupakan perpaduan yang menyenangkan
antara hukum dan moralitas. Islam tidak bermaksud untuk menghancurkan kebebasan
individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan masyarakatyang terdiri dari
individu itu sendiri. Dan karenanya juga melindungi kepentingan yang sah.
Hukum
memainkan peranannya dalam mendamaikan pribadi dengan kepentingan masyarakat
dan bukan sebaliknya. Individu diperbolehkan mengembagkan hak pribadinya dengan
syarat tidak mengganggu kepentingan masyarakat.Ini mengakhiri perselisihan dan
memenuhi tuntutan keadilan. Karena itu, berlaku adil berarti hidup menurut
prinsip-prinsip islam.
BAB
III
PENUTUP
·
Kesimpulan
Akhlak adalah perilaku jiwa, yang dapat
dengan mudah melahirkan perbuatan-perbuatan, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Apabila perilaku tersebut mengeluarkan beberapa perbuatan baik
dan terpuji, baik menurut akal maupun tuntunan agama, perilaku tersebut
dinamakan akhlak yang baik. Apabila perbuatan yang dikeluarkan itu jelek, maka
perilaku tersebut dinamakan akhlak yang jelek.
Hukum Islam adalah seperangkat peraturan
berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf
yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua umat yang beragama
islam.
Dalam
islam hukum dan agama, hukum dan moral tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Berdasarkan fungsi utama hukum islam mengklasifikasikan tindakan yang berkenaan
dengan standar mutlak baik dan buruk yang tidak dapat ditentukan secara rasional,
karena Allah sendirilah yang mengetahui apa yang benar-benar baik dan buruk.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghazali, Al-Imam Abi Hamid Muhammad
bin Muhammad Al-Ghazali. Tt. Ihya’ Ulumuddin, Jilid III. Indonesia:
Dar Ihya’ Al-Kutub al-Arabiyah
Basyir, Ahmad Azhar.1994. Refleksi
atas Persoalan Keislaman, cet. II. Bandung: Mizan
Hazairin. 1974. Tujuh Serangkai
tentag Hukum. Jakarta: Tinta Mas
Kansil, C.S.T. 1992. Pengantar
Ilmu Hukum, jilid I, cet IX. Jakarta: Balai Pustaka
Muslehuddin. 1980. Philosophy of
Islamic Law and the Orientalisy. Lahore: Islamic Publication Ltd
Noor,Ahmad Manshur. 1985. Peranan
Moral dalam Membina Kesadaran Hukum. Jakarta: Dirjen Binbaga Islam DEPAG RI
Rahardjo, Satjipto. 1991. Ilmu
Hukum, cet III. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti
Schelten,D.F. 1984. Pengantar
Filsafat Hukum, Pent. Bakri Siregar. Jakarta: Erlangga
Syarifuddin,Amir. 1992. Pengertian
dan Sumber Hukum Islam (dalam falsafah hukum islam), ed I cet. II. Jakarta:
Departemen Agama, Bumi Aksara, dan DEPAG
[1] Ahmad Manshur Noor, Peranan Moral dalam Membina
Kesadaran Hukum, (Jakarta: Dirjen Binbaga Islam DEPAG RI,1985), hlm. 7
[2] Al-Ghazali, Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid III (Indonesia: Dar Ihya’
Al-Kutub al-Arabiyah,tth) Hlm. 52
[3] Prof. Dr. Hazairin SH, Tujuh Serangkai tentag Hukum,
(Jakarta: Tinta Mas, 1974), hlm. 80-81
[4] Drs. C.S.T. Kansil, SH, Pengantar Ilmu Hukum, jilid
I, cet IX,(Jakarta: : Balai Pustaka, 1992), hlm. 56
[5] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH, Ilmu Hukum, cet
III, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 27-28
[6] Dr. M. Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and
the Orientalisy, (Lahore: Islamic Publication Ltd, 1980), second edition,
hlm. 270
[7] D.F. Schelten, Pengantar Filsafat Hukum, Pent.
Bakri Siregar, (Jakarta: Erlangga, 1984), hlm. 22-23
[8] Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumber Hukum Islam
(dalam falsafah hukum islam), ed I cet. II,(Jakarta: Departemen Agama, Bumi
Aksara, dan DEPAG ,1992), hlm.15
[9] KH. Ahmad Azhar Basyir, MA, Refleksi atas Persoalan
Keislaman, cet. II, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 137-138
No comments:
Post a Comment