BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Siyasah Syar’iyyah
adalah urusan kemanusiaan saja yang tidak ada pengaturannya dalam Nash, akan
tetapi tetap pada prinsip-prinsip hukum Islam dalam Nash.
Manusia pasti membutuhkan pengurusan,
kekuasaan, pengawasaan, dan pemimpin yang melahirkan kesejahteraan untuk semua
masyarakat. Karena tidak ada dalam Nash secara tegas tentang siyasah lahirlah
pemikiran-pemikiran politik dari para cendekian Islam yang berusaha
mencari hubungan antara politik dengan Islam.
Seiring waktu setelah Nabi dan Khalifah
wafat, perselisihan semakin banyak dan akhirnya melahirkan kelompok-kelompok
yang telah mengandung politik tersendiri. Dan dalam kelompok-kelompok itu telah
memiliki idealisme masing-masing dalam menentukan siapa yang berhak menjadi
pemimpin dan bagaimana syarat-syaratnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Politik
Dalam Islam ?
2.
Sejarah Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam?
3.
Sebab Timbulnya Aliran
Politik Dalam Islam?
C. Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui pengertian
politik dalam islam.
2. Agar mahasiswa mengetahui sejarah
timbulnya aliran politik dalam islam.
3. Agar mahasiwa mengetahui sebab-sebab
timbulnya aliran politik dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Politik Dalam Islam
Politik dalam bahasa arabnya di sebut “Siyasah” atau dalam bahasa
Inggrisnya “Politics”. Politik itu sendiri berarti cerdik dan bijaksana. Memang
dalam pembicaraan sehari-hari kita seakan-akan mengartikan politik sebagai
suatu cara yang di pakai untuk mewujudkan tujuan, tetapi sebenarnya para ahli ilmu
politik sendiri mengakui bahwa sangat sulit memberikan definisi tentang ilmu
politik[1].
Istilah politik yang dimaksud dalam Islam berasal dari kata :
ساس يسوس سياسة yang
berarti mengatur, mengendalikan, mengurus dan membuat keputusan, oleh karena
itu arti siyasah/politik secara etimologi adalah pemerintahan, pengambilan
keputusan, pembuat kebijakan, pengurusan, pengawasan,
perekayasan dan lain-lain.
Sedangkan makna istilah, fiqh siyasah atau
siyasah al-syar’iyyah diartikan sebagai berikut:
1. Menurut Ahmad Fathi:
تد بير مصـــالح العباد
على وفق الشرع
”Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai
dengan ketentuan syara’” (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah
al-jinaiyyah fi al-syari\’at al-Islamiyah).
Berkenaan dengan batasan tersebut
timbul beberapa persoalan. Siapa yang harus merencanakan kebijaksanaan, melaksanakan
dan menilai siyasah syar’iyah ? syarat-syarta apa yang harus dipenuhi untuk
dapat menduduki jabatan perencana, pelaksana, dan penilai peraturan tersebut?[2]
2. Abdul Wahab al Khalaf
Siyasah syar’iyyah adalah pengurusan hal-hal
yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara yang menjamin perwujudan
kemaslahatan dan penolakan kemidlaratan dengan tidak melewati
batas-batas syariah dan pokok-pokok syariah yang kully, meskipun tidak sesuai
dengan pendapat-pendapat ulama’ mujtahid
Konsep politik tradisional dalam Islam
mencakup kepemimpinan dengan penerus Nabi dikenal sebagai khalifah, (Imamah
untuk Syiah) pentingnya mengikuti hukum Islam atau Syariah tugas penguasa
untuk mencari Syura atau konsultasi dari mata pelajaran mereka, dan pentingnya
menegur adil penguasa tetapi tidak mendorong pemberontakan terhadap
mereka.
Sementara fungsi siyasah syar’iyyah
meliputi fungsi pelayanan khidmah dan fungsi pengarahan ishlah, keduanya harus
berjalan beriringan dengan rambu-rambu syari’ah yaitu :
·
Dalil-dalil kully (baik yang tertuang
dalam Al-Qur’an atau Hadist)
·
Maqashid al-syariah
·
Semangat ajaran, dan
B.
Sejarah
Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam
1.
Masa Rasulullah
H.R. Gibb dalam memandang peran
Muhammad setidaknya menggunakan dua periode besar, yakni
periode Makkah dan periode Madinah.
Dalam periode Makkah, kedudukan
Muhammad disebutnya sebagai Nabi semata, semisal dengan Isa. Ia
tidak pernah memaklumkan sebuah komunitas baru dengan segala
prinsip-prinsipnya. Ia juga tidak melakukan usaha-usaha proteksi
dengan kekuatan senjata meski ia dipojokkan. Tidak
pernah ditemukan sebuah konflik politik
yang besar, yang kemudian memungkinkan terjadinya
perang antara kaum Muhammad dengan kaum Arab
lainnya.
Bahkan dipandang dalam kehidupan
di Makkah ini, Muhammad sebagai seorang Nabi, seorang
yang egaliter, yang tidak membedakan antara umat
beriman dengan tidak beriman. Sedangkan dalam periode Madinah, fungsi
dan peran kenabian dari Muhammad berpindah menjadi fungsi seorang
raja. Dalam pandangan Gibb, Muhammad menempatkan
dirinya sebagai seorang pemimpin Islam dari komunitas masyarakat
Islam yang khas. Ia tidak hanya menjalankan peran kenabian
akan tetapi lebih menjalankan tugas seorang raja yang
mengatur suatu komunitas.
2.
Masa Khulafa al Rasyidin
After the death of Muhammad, about whose wishes concerning
succession on the leadership of the community nothing is authentically known,
the gravest matter before the moslem community was the decision to whom, at any
time, the office caliph should fall. Assurance that the prophet’s work would be
carried on lay in the felicitous choice of the caliph.[4]
Persoalan ini hingga dikenal berbagai mekanisme penetapan kepala
Negara dan berbagai criteria yang sesuai sosio historis yang ada. Sahabat Abu
Bakar ditetapkan khalifah berdasarkan “pemilihan suatu musyawarah terbuka”,
Umar bin Khattab melewati “penunjukkan oleh kepala Negara pendahulunya”, Usman
bin Affan berdasarkan “pemilihan dalam suatu dewan formatur” dan Ali bin Abu
Thalib melalui musyawarah dalam pertemuan terbuka.
3.
Masa pasca Khulafa al
Rasyidin
Setelah masa kekhilafahan, timbullah masa dinasti yaitu kekuasaan
yang dipegang oleh keturunan Umayah dan kemudian keturunan Abasiyah, pada suatu
kurun waktu tertentu, di dunia Islam dikenal 3 dinasti : dinasti Abbasiyah di
Baghdad, dinasti Umayyah di Andalusia, dan dinasti Fathimiyyah di Mesir.
Pada masa Nabi tercermin prinsip-prinsip siyasah dari adanya
piagam Madinah yang dipegung teguh oleh para Khulafa al Rasyidin,
prinsip-prinsip itu berupa : persatuan, persamaan, keadilan, perdamaian,
musyawarah, kemanusiaan, kejujuran dan pemimpin sebagai abdi masyarakat, tapi
pada masa dinasti prinsip-prinsip itu tergeser sehingga kekuasaan yang menjadi
panglima dan bukan hukum menjadi panglima dengan perebutan kekuasaan. Akhirnya
tergambarkan dari keruntuhan kekuasaan Abbasiyah dan Umayyah.
4.
Pada Pertengahan Abad
Kedua Puluh
Masa ini terjadi dekolonisasi Negara-negara muslim yang terpisah
satu sama lain akibat kolonial, mulai memerdekakan diri yang umumnya
negeri-negeri merdeka ini dipimpin pimpinan yang terdidik secara barat.
Dunia Islam dewasa ini dilihat dari
pelaksanaan siyasah syar’iyyah dapt dibagi menjadi 3 tipe :
·
Negara
yang melaksanakan hukum Islam secara penuh, pola integralistik
·
Negara
yang menolak hukum Islam secara penuh, pola sekuleristik
·
Negara
yang tidak menjadikan sebagai suatu kekuatan struktural (dalam sektor politik)
tetapi menempatkannya sebagai kekuatan kultural atau mencari kompromi, pola
simbiostik.
Pemikiran tokoh-tokoh dalam politik Islam dapat dikategorikan
menjadi dua periode yakni periode pra modern dan modern. Kedua masa itu pada
hakikatnya para pemikir politik Islam bergulat pada upaya untuk mencari basis
intelektual dari hubungan politik dan Islam.
a. Pada masa pra modern
pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran yunani, melalui kajian
filsafat.
b. Sedangkan pada masa
modern pengaruh politik barat terhadap politik Islam sudah masuk melalui
imperalisme.
Upaya-upaya dalam pencarian basis intelektual tersebut bertujuan
untuk mendapatkan aspek-aspek yang baru dari relasi antara Islam dan politik
diantaranya.
·
upaya untuk mencari sistem (the nature of
autority).
·
upaya untuk mencari format pemerintahan.
·
mencari rekonsiliasi atau titik temu antara
realitas Islam dan realitas politik.
Dikalangan Umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang
hubungan antara Islam dan politik.
Aliran pertama, berpendapat bahwa Islam bukan semata-mata agama
dalam pegertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan
Tuhan, sebaliknya Islam adalah agama yang sempurna dan lengkap yang mengatur
segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara. Tokoh utama
aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Rasyid
Ridla dan Abul A’la al-Maududi.
Aliran kedua, berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang
tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Muhammad
hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul yang lain, dengan
tugas utama mengajak (dakwah) manusia kepada jalan Tuhannya dengan menjunjung
tinggi nilai moral, dan Nabi tidak dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai
suatu negara. Pendapat ini dalam khazanah pemikiran Islam kontemporer diwakili
oleh seorang ulama Mesir, Ali Abd ar-Raziq, dalam risalahnya yang sangat ramai
diperdebatkan, al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-Dasar
Kekuasaan), pernah mengemukakan bahwa Muhammad hanyalah seorang rasul dan juru
dakwah, bukan seorang pemimpin negara.
Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba
lengkap. Tetapi aliran ini pula menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian sekuler yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya.
Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan,
tetapi terdapat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Salah satu tokoh
yang mendukung pendapat ini diantaranya adalah Mohammad Husein Haekal, Fazlur
Rahman dan di Indonesia tokohnya Nurcholish Madjid
C.
Sebab-sebab Timbulnya Aliran Politik Dalam Islam
Pada masa Nabi SAW dan para Khulafa al
Rasyidin, umat Islam bersatu, mereka satu akidah, satu siyasah, satu politik,
satu akhlaqul karimah, kalau mereka ada perselisihan pendapat dapat diatasi
dengan wahyu. Awal mula adanya perselisihan dipicu oleh Abdullah bin Saba’
(seorang Yahudi) pada pemerintahan Usman bin Affan dan berlanjut pada masa
khalifah Ali bin Abu Tholib.
Awal mula timbulnya aliran politik pada masa
khalifah Ustman bin Affan (setelah wafatnya), pada masa itu dilatarbelakangi
oleh kepentingan kelompok yang mengarah terjadinya perselisihan sampai
terbunuhnya Khalifah Ustman. Kemudian digantikan oleh Ali bin Abu Thalib, pada
masa itu perpecahan umat Islam terus berlanjut. Umat Islam pada masa itu ada
yang pro terhadap kekhalifahan Ali bin Abu Tholib, yang menamakan dirinya
kelompok syiah, dan ada yang kontro dengan nama kelompok khawarij[5]. Akhirnya perpecahan
memuncak kemudian terjadilah perang jamal yaitu antara Ali dengan Aisyah dan
perang Shiffin antara Ali dengan Muawiyah. Bermula dari itulah akhirnya timbul
berbagai aliran politik di kalangan umat Islam, masing-masing kelompok juga
terpecah belah, akhirnya jumlah aliran politik di kalangan umat Islammenjadi
banyak seperti aliran Syiah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyah,
Mu’tazilah dll
Perbedaan Pokok Aliran Khawarij, Murji’ah,
Mu’tazilah dan Syiah .
1. Khawarij
هذه إشارات موجزة الى فرقة الشيعة, و فى جانب الآخر من الفكر
الإسلامى طائفة الخوارج, و هم فرقة مختلفة , و قد كان أول ظهورهم فى جيش على كرم
الله وجهه عقب قبوله فكرة التحكيم فيما بينه رضى الله عنه و بين معاوية, و هم
الذين حملوا علين رضي الله عنه على قبوله التحكيم ابتداء , و بعد أن قبله ونقد
التحكيم, و إنتهى الى ما إنتهي إليه من أنه كان خداعا من الفئة الباغية, ثارو على
الإمام على رضى الله عنه. لأنه أخطأ و كفروا, كما اخظئوا و كفروا بالتحكيم ,
ولكنهم تابوا و أنابوا , و عليه أن يتوب مثلهم, وكانوا يصيحون فى وجه رضي الله عنه
: كلما خطب : لا حكم إلا الله. [6]
a)
Doktrin politik. Contohnya:
Khalifah atau imam harus dipilih secara bebas
oleh seluruh umat islam.
b)
Doktrin teologis social. Contohnya:
Amar ma’ruf nahi munkar
Quran adalah makhluk
Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan
2. Murji’ah:
a)
Bidang Politik,
Murji’ah diimplementasikan dengan sikap politik netral atau
non-blog, dan mereka selalu diam dalam persoalan politik.
b)
Bidang teologis,
Memberi harapan terhadap
orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah,
dan menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3. Mu’tazilah:
a) Bidang politik,
Menganut politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum
netral politik.
b) Bidang teologis,
Mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan
Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
Menurut Mu’tazilah bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan
tidak kafir.
4. Syiah
Kebencian yahudi terhadap Islam tak berakhir.
Ada banyak orang yahudi yang berpura-pura masuk agama islam untuk menyusup.Pada
zaman umar, ada seorang keturunan yahudi bernama abu lu’luah yang berpura-pura
beragama islam. ia berhasil menusuk umar bin khatab ketika umar mengimami
jamaah shalat shubuh.
و الشيعة في جملتهم يرون أن
عليا أحقّ المسلمين بخلافة النبى ص.م , و أنه كان الخليفة المختار من النبى ص.م ,
ويعتقدون مع ذلك, أن اللإمامة ليست من مصالح العامة التى تفوض إلى نظر الامة, و
يتعين القائم بها يتعينهم , بل هي ركن الدين و قاعدة الإسلام, و لا يجوز للنبى
إغفالها و تفويضها إلى الأمة, بل يجب عليه تعيينالإمام لهم.[8]
Selain abu lu’luah, ada Abdullah ibn Saba’,
seorang pria berdarah Yahudi, yang juga datang ke madinah berpura-pura menjadi
seorang muslim. Saat kekhilafahan ‘Ali ibn Abi Thalib, Ibn Saba’mulai menyebar
fitnah. Ia menyanjung ‘Ali secara berlebih-lebihan, mendakwahkan adanya wasiat
bagi ‘Ali tentang kekhilafahan setelah Rasulullah, dan lebih berbahaya dari itu
semua ia mendakwahkan Ali sebagai seorang nabi, sampai kepada pengakuan bahwa
dia adalah Allah. Ia pula orang pertama yang mencela Abu Bakar, Umar, Utsman
dan sahabat lainnya. Fitnah lainnya, ia menyatakan bahwa Al Qur’an yang ada
belum sempurna, sisanya ada pada Ali dan Ahli Bayt-nya.
Ibn Saba’ dibuang oleh Ali ke daerah yang
bernama Madain karena kesalahannya. Namun di sanalah Ibn Saba mendapatkan
kesempatan besarmenyebarkan kesesatannya. Danpenduduk Madain pun menyambut
hangat ajakan Ibn Saba’.
Penduduk Madain mudah menerima ajakan Ibn
Saba’ karena dahulu Madain adalah bagian dari kerajaan Persia, karajaan
terbesar di dunia saat itu dan ditakuti masyarakat Arab.Madain lalu menjadi
daerah kekuasaan Islam setelah ditaklukan oleh para prajurit Umar ibn Khathab
yang datang dari pedalaman padang pasir. Di sana masih ada sebagian keturunan
raja-raja Persia dan para hartawan menaruh benci dan permusuhan terhadap Islam
yang telah menjatuhkan kerajaannya, menghancur leburkan peradabannya, dan
memadamkan agama yang dianutnya, Majusi.
Hasil usaha Ibn Saba akhirnya berasil.
Lahirlah Syi’ah sebagai kolaborasi kesesatan Yahudi dan Majusi dalam
menghancurkan akidah Islam. Keyakinan keutamaan keturunan raja dalam agama
Majusi terjadi pada Ali dan keturunannya. Kebencian terhadap sahabat, terutama
Umar ibn Khathab yang telah mengusir Yahudi dari Jazirah Arab dan meruntuhkan
kerajaan Persia, tertanam kuat di hati-hati mereka.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Ø Istilah politik yang
dimaksud dalam Islam berasal dari kata :
ساس يسوس سياسة yang
berarti mengatur, mengendalikan, mengurus dan membuat keputusan, oleh karena
itu arti siyasah/politik secara etimologi adalah pemerintahan, pengambilan
keputusan, pembuat kebijakan, pengurusan, pengawasan, perekayasan dan lain-lain.
Sedangkan makna istilah, fiqh siyasah atau
siyasah al-syar’iyyah diartikan sebagai berikut:
Menurut Ahmad Fathi:
تد بير مصـــالح العباد
على وفق الشرع
”Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai
dengan ketentuan syara’” (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah
al-jinaiyyah fi al-syari\’at al-Islamiyah).
Ø Seajarah timbulnya aliran politik
dalam islam di bagi menjadi:
ü Masa
Rasullullah
ü Masa
Khulafaurrasyidin
ü Masa
pasca Khulafaurrasyidin
ü Pada
Pertengahan Abad ke Duapuluh
Ø Sebab
timbulnya aliran politik dalam islam adalah Awal mula
timbulnya aliran politik pada masa khalifah Ustman bin Affan (setelah
wafatnya), pada masa itu dilatarbelakangi oleh kepentingan kelompok yang
mengarah terjadinya perselisihan sampai terbunuhnya Khalifah Ustman. Kemudian
digantikan oleh Ali bin Abu Thalib, pada masa itu perpecahan umat Islam terus
berlanjut.
DAFTAR
PUSTAKA
Djazuli,
Ahmad, 2003,Fiqh Siyasah,Bogor:
Prenada Media
Esposito,
Jhon, 2010, Islam Masa Depan,
Bandung: Mizan
Goldziher,
Ignaz, 1981,Introduction to Islamic
theology and law, New Jersey: Pricenton University Press
Hadi,
Syamsul, 2004, Tarikh Islam, Ponorogo: Darussalam Press
Hady,
Samsul, 2011, Politik Islam, Malang,
UIN Maliki Press
Kencana,
Inu,1996, Al-Qur’an dan Ilmu Politik,I,
Jakarta: Rineka Cipta
Sudjana,
Eggi, 2008, Islam Fungsional, Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Rozak,
Abdul , 2001, Ilmu Kalam, Bandung: CV
Pustaka Setia
Tim
Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, 2011, Ilmu
Kalam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press
محمد
ابو زهرة, تاريخ المذاهب الاسلامية, القاهرة: دار الفكرالعربي
[2] Ahamd Djazuli, Fiqh Siyasah, 2003, Jakarta: Prenada
Media hal.2
[4] Ignaz
Goldziher , 1981,Introduction to Islamic theology and law, New Jersey:
Pricenton University Press. Hal 169
[5] Prof. Dr. Abdul Rozak, M.ag, 2001, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka
Setia. Hal. 49
[7] Prof. Dr. Abdul Rozak, M.ag, 2001, Ilmu Kalam, Bandung: CV Pustaka
Setia. Hal. 51