Thursday, May 28, 2015

Politik Hukum Islam Muhammadiyah

BAB II
PEMBAHASAN


A.      Sejarah Berdirinya Muhammadiyah
Pada bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaharu, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta. Beliau mendirikan Muhammadiyah sebagai upaya penyempurnaan pemikiran beliau dalam melaksanakan islam dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya.[1]
Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”
Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaharu Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaharu pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakurikuler, yang sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat istikharah. Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia pesantren.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan (secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.[2]
Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”. Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal agama kepada anggota-anggotanya.”.[3]
Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shahih, dengan membuka ijtihad.
Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman, menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.”.
Adapun langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan ”modern” yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori Kyai Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya. Lembaga pendidikan Islam ”modern” bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu. Pendidikan Islam “modern” itulah yang di belakang hari diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan umat Islam secara umum.
Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehidupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus berpikir praktik. Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad.
Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar

B.       Politik Hukum Islam Muhammadiyah
1.         Hubungan Muhammadiyah dan Politik
Politik ialah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain; cara bertindak (dalam menghadapi masalah) atau kebijaksanaaan. Muhammadiyah adalah salah satu nama organisasi masyarakat islam.[4]
Menghubungkan antara politik dengan Muhammadiyah tidaklah mudah karena seringkali dihadapkan pada parados yang relatif rumitkerumitan pertana yaitu bagaimana dapat dijelaskan bahwa Muhammadiyah yang dikenal sebagai gerakan sosial-keagamaan yang bersifat nonpolitik justru terlibat dalam pergumulan politik. Kesulitan kedua yaitu menyangkut faktor teologis, alasan-alasan keagamaan yang seperti apa yang menjadi landasan pemikiran dan panduan bagi Muhammadiyah untuk mengambil bagian dalam kehidupan politik.
Muhammadiyah tampaknya lebih menempatkan konsep politik dalam penegertian riel politics, yang disebutnya sebagai kegiatan politik praktis. Jika dikategorikan secara sederhana terdapat tiga pola hubungan Muhammadiyah dengan politik.[5]
a.         Hubungan yang bersifat formal dan langsung
Artinya Muhammadiyah secara organisasi terlibat langsung dalam partai politik.
b.        Hubungan yang bersifat personal dan tidak langsung
Ditandai oleh keterlibatan aktif tokoh-tokoh penting Muhammadiyah yang memperoleh dukungan luas dari anggota Muhammadiyah dalam membidani kelahiran dan mendukung keberadaan partai politik tertentu.
c.         Hubungan Netral yang lebih murni
Hubungan Muhammadiyah dan politik menjadi lebih tegas ketika organisasi islam ini mengambil kebijakan untuk tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis dan menjaga jarak yang sama dengan segenap kekuatan politik manapun dalam asas netralitas.
2.         Teologi Politik Muhammadiyah
Muhammadiyah sejak berdiri tahun 1912 meneguhkan diri sebagai gerakan sosial keagamaan yang non politik dan tidak memiliki perhatian khusus untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan dalam bidang politik. Kendati dikenal luas sebagai gerakan islam modernis tampaknya kurang memiliki perhatian pada perkembanagan pemikiran yang bersifat teologis. Meskipun diantara tokohnya mnulis karya –karya yang bersentuhan dengan masalah politik.
Dalam rangka menhahadapi dinamika kehidupan bangsa yang makin pesat dan kehadiran fajar baru abad ke 21 yang kompleks. Muhammadiyah kiranya perlu memperkaya diri dengan pemikiran-pemikiran agama yang fundamental. Pemikiran-pemikiran baru itu antara lain dalam bidang politik sebagai bagian dari paket pengembangan pemikiran islam dalam Muhammadiyah, sebutlah berupa konsep teologi Muhammadiyah. dengan teologi politik Muhammadiyah yang mengandung pemikiran-pemikiran agama yang fundamental dan sistematik mengenai politik, Muhammadiyah dapat memberikan arah bagi pembentukan perilaku politik para anggotanya, selain sebagai media konseptual dalam berkomunikasi dengan berbagai pihak di tengah lalu lintas pemikiran kebangsaan yang makin beragam.
Pengembangan teologis semacam ini tidak perlu menimbulkan kekhawatiran akan membelokkan Muhammadiyah dari orientasi gerakan amaliah yang ditekuninya selama ini kearah orientasi pemikiran semata-mata., tetapi justru untuk makin memperkaya dan dapat dijadikan landasan yang kokoh bagi banginan praksis sosial-kemasyarakatan yang dilakukan oleh organisasi islam modernis ini.
3.         Budaya Politik Muhammadiyah
Muhamamdiyah pada bagian umum sejarah dilaluinya menunjukkan sikap dan perilaku politik yang akomodatif,[6] artinya relatif lentur dalam menghadapi perkembanagn politik dan kebijkan pemerintah tanpa harus tercerabut dari prinsip-prinsip dan idealisasi sebagai gerakan islam amar ma’ruf nahi munkar.Sikap dan perilaku politik yang cenderung akomodatif ini ternyata tidaklah berwarna hitam-putih, karena dalam bagian-bagian lain dari sejarah yang dialaminya juga berani mengambil sikap kritis dan tegas dalam menyikapi perkembanagn politik dan kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan misi gerakan dan kepentingan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu dapat dikatakan sikap politik Muhammadiyah yang akomodatif tidak lain sebaga ekspresi kelenturan politik untuk tidak terjebak pada format luar dan denga artikulasi yang konfrontatif sejauh tidaak bertentangan dengan kebenaran dan dapat mewujudkan misi dakwah
4.         Peran Politik Muhammadiyah  [7]
Dalam menghadapi dinamika perkembangan baru kehidupan politik nasional dalam bermasyarakat, berbangasa, dan bernegarapada saat ini dan ke depan, Muhammadiyah dengan tetap istiqamah sebagai gerakan islam yang tidak berpolitik praktis dan tidak menjadi prtai politik seyogianya melakukan peran-peran politik yang signifikan di wilayah fungsi kelompok kepentingan. Sikap konservatif untuk tetap berpijak pada khittah dan kepribadian Muhammadiyah, tidak menjadikan anggotanya menunjukkan perilaku anti terhadap politik
5.         Muhammadiyah dalam dinamika politik baru
Muhammadiyah dituntut untuk menyusun agenda-agenda strategis mengenai politik baik pada tingkat pemikiran maupun operasional dalam posisi sebagai kelompok kepentingan melalui berbagai artikulasi politik yang bervariasi.[8] Agenda-agenda politik strategis yang dicanangkan itu merupakan wujud pertanggungjawaban Muhammadiyah secara proaktif dalam ikut serta membangun kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara ke arah yang makin demokratis serta menuju cita-cita kemerdekaan tahun 1945. Dalam konteks keagamaan, keterlibatan Muhammadiyah dalam kehidupan politik itu merupakan perwujudan dari dakwah islam amar makruf nahi munkar menuju pembentukan masyarakat madani.
Muhammadiyah dengan dinamika politik hukum islam baru, melakukan rekonstruksi hukum islam melalui majelis tarjihnya. Majelis tarjih adalah suatu majelis yang mengurus terkait persolan hukum islam di dalam organisasi ini. Kitab-kitab yang banyak digunakan diantaranya Kitab Karangan Ulama modern Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Rida, dll. Semua problematika yang erat kaitannya dengan hukum islam diselesaikan melalui ijtihad para ulama.
Partai Politik menjadi salah satu jalur untuk penerapan kebijakan hukum islam Muhammadiyah, Partai Amanat Nasional (PAN) yang didirikan oleh Prof. Dr. H. Amien Rais dijadikan sebagai agen untuk menyampaikan pendapat terkait hukum islam. Hukum islam banyak ragam dan jenisnya. Terkadang antara umat islam yang satu dengan yang lain terjadi pertentangan. Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi lembaga akhir yang akan menyelesaikan problem hukum islam ketika antara ormas islam berbeda pendapat mengenai suatu hal.

Struktur Organisasi Muhammadiyah[9]
  1. Jaringan Kelembagaan Muhammadiyah:
-       Pimpinan Pusat
-       Pimpinaan Wilayah
-       Pimpinaan Daerah
-       Pimpinan Cabang
-       Pimpinan Ranting
-       Jama'ah Muhammadiyah
  1. Pembantu Pimpinan Persyarikatan
-       Majelis
·      Majelis Tarjih dan Tajdid
·      Majelis Tabligh
·      Majelis Pendidikan Tinggi
·      Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
·      Majelis Pendidikan Kader
·      Majelis Pelayanan Sosial
·      Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan
·      Majelis Pemberdayaan Masyarakat
·      Majelis Pembina Kesehatan Umum
·      Majelis Pustaka dan Informasi
·      Majelis Lingkungan Hidup
·      Majelis Hukum Dan Hak Asasi Manusia
·      Majelis Wakaf dan Kehartabendaan
-       Lembaga
·      Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
·      Lembaga Pembina dan Pengawasan Keuangan
·      Lembaga Penelitian dan Pengembangan
·      Lembaga Penanganan Bencana
·      Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqqoh
·      Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
·      Lembaga Seni Budaya dan Olahraga
·      Lembaga Hubungan dan Kerjasama International
  1. Organisasi Otonom
-       Aisyiyah
-       Pemuda Muhammadiyah
-       Nasyiyatul Aisyiyah
-       Ikatan Pelajar Muhammadiyah
-       Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
-       Hizbul Wathan
-       Tapak Suci

C.      Metode Penetapan Hukum Islam Muhammadiyah
Metode penetapan hukum islam Muhammadiyah tidak terikat pada mazhab tertentu, baik dalam merumuskan ketentuan-ketentuan agama maupun menafsirkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Untuk menetapkan hukum baru Muhammadiyah mendirikan Majlis Tarjih pada tahun 1927 M melalui kongres di Pekalongan.
Pasca dibentuk langkah petama yang dilakukan Majlis Tarjih yaitu mengkaji mabadi khomsah (masalah lima) yaitu:[10]
1.        Pengertian Agama (Islam) atau al Din , yaitu :Apa yang diturunkan Allah dalam Al Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akherat.
2.        Pengertian Dunia (al Dunya ): Yang dimaksud urusan dunia dalam sabda Rosulullah saw : " Kamu lebih mengerti urusan duniamu " ialah :segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para nabi ( yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia)
3.        Pengertian Al Ibadah, ialah : Bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah,dengan jalan mentaati segala perintah-perintahnya, menjahuhi larangan-larangan-nya dan mengamalkan segala yang diijinkan Allah. Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus ; ibadah yang umum ialah segala amalan yang diijinkan Allah, sedangkan ibadah yang khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan perincian-perinciannya, tingkat dan cara-caranya yang tertentu.
4.        Pengertian Sabilillah, ialah : Jalan yang menyampaikan perbuatan seseorang kepada keridloaan Allah, berupa segala amalan yang diijinkan Allah untuk memuliakan kalimat (agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya
5.        Pengertian Qiyas,( Ini belum dijelaskan secara rinci baik pengertian maupun pelaksanaannya)
Karena Majelis Tarjih masih membahas masalah lima yang bersifat umum, maka pada tahun 1986 dibentuk Majelis Tarjih baru setelah muktamar Muhammadiyah di Solo Jawa Tengah. Terbentuklah enam belas point yang menjadi pegangan Muhammadiyah dalam istibath hukum islam, diantaranya:
1.        Dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al Qur’an dan al Sunnah al Shohihah. Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat dalam nash , dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majlis Tarjih menerima Ijitihad , termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung. Majlis tarjih di dalam berijtihad menggunakan tiga macam bentuk ijtihad : Pertama Ijtihad Bayani : yaitu menjelaskan teks Al Quran dan hadits yang masih mujmal, atau umum, atau mempunyai makna ganda, atau kelihatan bertentangan, atau sejenisnya, kemudian dilakukan jalan tarjih. Kedua Ijtihad Qiyasi : yaitu penggunaan metode qiyas untuk menetapkan ketentuan hukum yang tidak dijelaskan oleh teks Al Quran maupun Hadist. Ketiga Ijtihad Istishlahi : yaitu menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara khusus dengan berdasarkan illat , demi untuk kemaslahatan masyarakat[11]
2.        Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian pendapat perorangan dari anggota majlis, tidak dipandang kuat.
3.        Tidak mengikatkan diri kepada suatu madzhab, akan tetapi pendapat-pendapat madzhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa Al Qur’an dan as-Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
4.        Berprinsip terbuka dan toleran dan tidak beranggapan bahwa hanya majlis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang didapat ketika keputusan diambil, dan koreksi dari siapapun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
5.        Di dalam masalah aqidah ( Tauhid ), hanya dipergunakan dalil-dalil mutawatir.
6.        Tidak menolak ijma’ sahabat sebagai dasar suatu keputusan. ( Ijma’ dari segi kekuatan hukum dibagi menjadi dua , pertama : ijma’ qauli, seperti ijma’ para sahabat untuk membuat standarisasi penulisan Al Qur’an dengan khot Utsmani, kedua : ijma’ sukuti. Ijma’ seperti ini kurang kuat. Dari segi masa, Ijma’ dibagi menjadi dua : pertama : ijma’ sahabat. Dan ini yang diterima Muhammadiyah. Kedua ; Ijma’ setelah sahabat).
7.        Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara “al jam’u wa al taufiq “. Dan kalau tidak dapat , baru dilakukan tarjih.
8.        Menggunakan asas “ saddu al-dara’I “ untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. ( Saddu al dzara’I adalah perbuatan untuk mencegah hal-hal yang mubah, karena akan mengakibat kepada hal-hal yang dilarang.
9.        Men-ta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil Al Qur’an dan al Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syare’ah. Adapun qaidah : “ al hukmu yaduuru ma’a ‘ilatihi wujudan wa’adaman” dalam hal-hal tertentu , dapat berlaku “ ( Ta’lil Nash adalah memahami nash Al Qur’an dan hadits, dengan mendasarkan pada illah yang terkandung dalam nash.
10.    Pengunaaan dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum, dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat, serta tidak terpisah.
11.    Dalil-dalil umum Al Qur’an dapat ditakhsis dengan hadist Ahad, kecuali dalam bidang aqidah.
12.    Dalam mengamalkan agama Islam, mengunakan prinsip  Taysir
13.    Dalam bidang Ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari Al Qur’an dan al Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang dapat diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui, akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapai situsi dan kondisi.
14.    Dalam hal-hal yang termasuk “al umur al dunyawiyah” yang tidak termasuk tugas para nabi , penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat.
15.    Untuk memahami nash yang musytarak, paham sahabat dapat diterima.
16.    Dalam memahani nash , makna dlahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan takwil sahabat dalam hal ini, tidak harus diterima.




BAB IV
PENUTUP


A.      Kesimpulan
Pada tanggal (8 Dzulhijjah 1330 H) atau (18 November 1912) lahirlah Muhammadiyah. Sebuah organisasi islam modernis yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota Kauman Yogyakarta. Seiring perjalanan waktu Muhammadiyah telah berkembang menjadi ormas islam yang besar.
Muhammadiyah dan Partai politik adalah dua hal yang berbeda, Muhammadiyah adalah organisasi yang yang bergerak di bidang sosial keagamaan sedangkan Parpol adalah organisasi yang bergerak di bidang poltik praktis. Akan tetapi meskipun berbeda keduanya memiliki hubungan yang erat satu sama lain.
Metode penetapan Hukum Islam Muhammadiyah dengan Majlis Tarjih yang merupakan suatu majelis dalam oragnisasi ini. Dalam Berijtihad Majlis Tarjih menggunakan tiga bentuk Ijtihad, yaitu: Ijtihad Bayani, Ijtihad Qiyasi, dan Ijtihad Istishlahi

B.       Saran
Makalah ini menjelaskan tentang politik hukum islam Muhammadiyah dan metode istinbath hukum islam Muhammadiyah secara komprehensif Makalah ini sesuai untuk dibaca oleh mahasiswa baik jurusan hukum maupun jurusan hukum islam, karena memuat materi yang menjadi basic pembelajarannya yang telah disesuaikan dengan pakemnya masing-masing.




DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman, Asjmuni, 2002. Manhaj Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Arifin, MT.1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya
Mudzhar, H.M. Atto’. 2006. Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press
Nashir, Haedar. 2006. Dinamika Politik Muhammadiyah. Malang:UMM Press
                            Tt. Manhaj Gerakan Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah kerjasama dengan Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah
Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. 1990. Muhammadiyah: Sejarah, Pendidikan, dan Amal Usaha. Malang:UMM Press
Thohari, Hajriyanto Y. 2005. Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Modernis. Jakarta: PSAP Muhammadiyah
Kamus Besar Bahasa Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
http://suara-muhammadiyah.com/ diunduh pada tanggal 30 Mei 2014 pukul 08.00 wib
Draf Kepengurusan PP Muhammadiyah Republik Indonesia




[1] Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah: Sejarah, Pemikiran, dan amal usaha, Malang: UMM Press, 1990), hal. 3
[2] http://suara-muhammadiyah.com/ diunduh pada tanggal 30 Mei 2014 pukul 08.00 wib
[3] http://suara-muhammadiyah.com/ diunduh pada tanggal 30 Mei 2014 pukul 08.00 wib
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
[5] Haedar Nashir, Dinamika Politik Muhammadiyah, (Malang: UMM Press, 2006), hal. 36-52
[6] Arifin, MT, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1987), hal 35-38
[7] Nashir DR. Haedar, Manhaj Gerakan Muhammadiyah (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah kerjasama dengan Majelis Pendidikan Kader PP Muhammadiyah), hal 28-33
[8] Hajriyanto Y. Thohari, Muhammadiyah dan Pergulatan Politik Islam Modernis,(Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), hal. 162
[9] Draf Struktur Kepengurusan PP Muhammadiyah RI
[10] Asjmuni Abdurrohman, Manhaj Tarjih muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, cet. I).
[11] H.M. Atto’ Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press,2006), hal. 48-51