1.
Pengertian hukum
pidana
Menurut Andi
hamzah (1994:1), sangat sulit untuk mengartikan apakah hukum pidana itu, di
karenakan hukum pidana itu mempunyai banyak segi yang masing-masing memiliki
arti sendiri-sendiri. Untuk itu perlu penguraian terlebih dahulu terhadap
segi-segi yang dimaksud baru kemudian pengertian serta ruang lingkupnya.
Pengertian hukum
pidana sebagai obyek studi, dapat dikutip pendapat Enschede – Heijder yang
mengatakan bahwa menurut metodenya, maka hukum pidana dapat dibedakan menjadi:[1]
I.
Ilmu-ilmu hukum
pidana sistematik;
1) Hukum
Pidana Formil (Hukum pidana).
2) Hukum
Pidana Materiil (Hukum Acara Pidana).
II.
Ilmu hukum
pidana berdasarkan pengalaman antara lain;
1) Kriminologi
– ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan kejahatan.
2) Kriminalistik
– ajaran tentang pengusutan.
3) Psikiatri
forensic dan psikologi forensik.
4) Sosiologi
hukum pidana – ilmu tentang hukum pidana sebagai gejala masyarakat, yang
mengenai bekerjanya pelaksanaan hukum pidana dalam arti yang luas di dalam
masyarakat, jadi tidak bekerjanya terhadap tersangka atau pembuat.
Dalam pengertian ruang lingkup
pidana di atas, Andi Hamzah menjelaskan bahwa biasanya pengertian hukum pidana
itu sendiri paling luas hanya pada butir I, yaitu hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Sedangkan yang butir II hanya
merupakan ilmu pembantu saja.[2]
Untuk itu kami hanya akan membahas
pengertian hukum pidana dalam ruang lingkup hukum pidana materiil dan hukum
pidana formil. Hukum pidana materiil adalah isi atau substansi dari hukum
pidana (hukum pidana tersebut bersifat abstrak), sedangkan hukum formil atau
hukum acara pidana yaitu bersifat nyata atau kongkret. Maksudnya adalah hukum
pidana dalam keadaan bergerak atau dijankan atau berada dalam suatu proses.
Oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana (Andi Hamzah, 1994:2).
Menurut pengertian dari Enschede –
Heijder, mengenai hukum pidana sistematik yaitu sebagai berikut:
“hukum pidana adalah sebagian
daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1) Menentukan
perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh di lakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atau sangsi (sic) yang berupapidana tertentu bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan
kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
diancamkan.
3) Menentukan
dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.”[3]
Menurut moeljatno, hukum pidana
materiil ada pada butir 1 dan 2, sedangkan hukum pidana formil ada pada bagian
3. Maksudnya adalah hukum pidana materiil yaitu sebagai aturan-aturan atau
norma yang di ciptakan untuk seseorang yang melanggar aturan tersebut,
sedangkan hukum formil adalah tindak pidana yang dilaksanakannya terhadap kasus
yang di langgarnya.
Menurut wirjono, hukum pidana
adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang di
pidanakan, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum
sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari
dilimpahkan.[4]
Jadi menurut wirjono diatas adalah
mengenai hukum pidana formil, karena pengertian di atas adalah mengenai
perlakuan terhadap oknum yang melanggar peraturan atau hukum pidana yang telah
ada dalam hukum pidana materiil.
- Sejarah Hukum
Pidana Di Indonesia
- Zaman VOC
Pada masa ini selain hukum-hukum
adat pidana yang berlaku bagi kaum pribumi di Indonesia, penguasa VOC mulai
memberlakukan plakat-plakat yang berisi hukum pidana. Tahun 1642, Joan
Maetsuycker mantan Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari
Gubernur Jenderal van Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang
dinamakan Statuten van Batavia, kemudian pada tahun 1650 himpunan ini disahkan
oleh Heeren Zeventien. Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang
dikuasai oleh VOC, ialah :
1. Hukum
statuta yang termuat di dalam Statuten van Batavia
2. Hukum
Belanda Kuno
3. Asas-asas
hukum Romawi [5]
Hubungan hukum Belanda kuno ialah
sebagai pelengkap jika statuta tidak dapat menyelesaikan masalah, hukum Belanda
kuno diaplikasikan. Sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan
hukum budak (Slaven Recht)
Statuta Betawi itu berlaku bagi
daerah Betawi dan sekitarnya, Tetapi ini merupakan teori saja karena pada
prakteknya orang pribumi tetap tinduk pada hukum adat. Di daerah lainnya pun
tetap berlaku hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya dalam masalah pidana
yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya. Di daerah Cirebon berlaku Papakem
Cirebon yang mendapat pengaruh VOC.
Pada tahun1848 dibentuk lagi
intermaire strafbepalingen, barulah pada tahun 1866 muncul kodifikasi yang
sistematis. Mulai tanggal 10 Februari 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia :
1. Het
Wetbook van Starftrecht voor Europeanen (Stbl. 1866 No. 55) yang berlaku bagi
golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei
1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing.
2. Het
Wetbook van Starftrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde (Stbl. 1872 No.
85) mulai berlaku 1 Januari 1873.
- Zaman Hindia Belanda
Berdasarkan sejaragh dari tahun
1811 sampai 1814 Indonesia pernah dibawah kepemimpinan Inggris. Berdasarkan
Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada
Belanda lagi. Dengan Regerings Reglement 1815 dengan tambahan (Supletoire
Instructie 23 September 1815)maka hukum dasar colonial tercipta. Agar tidak
terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816 ,
Stbl.1816 No. 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan
bekas pemerintahan Inggris tetap dipertahankan. Untuk orang pribumi hukum adat
pidana masih diakui asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dari
pemerintah.
Kepada bangasa Indonesia ditetapkan
pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang didasarkan pada Stbl. 1828 No. 16,
mereka dibagi atas dua golongan, yaitu:
1. Yang
dipidana kerja rantai
2. Yang
dipidana kerja paksa
Yang terdiri atas yang diberi upah
dan yang tidak diberi upah[6].
Tetapi dalam prakteknya pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara:
1. Kerja
paksa dengan dirantai dan pembuangan
2. Kerja
paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang
3. Kerja
pakasa tanpa rantai tetapi dibuang [7]
KUHP yang berlaku bagi golongan
Eropa tersebut pada dasarnya adalah salinan Code Penal yang berlaku di Negeri
Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia
terdiri atas 2 buku, sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku. KUHP yang
berlaku bagi golongan bumiputera juga saduran dari KUHP yang berlaku bagi
golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918
pun, pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886. Oleh karena itu perlu
ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda.
Pertama kali ada kodifikasi di
bidang hukum pidana terjadi sejak adanya Crimineel Wetbook voor het koninglijk
Holland 1809. Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya, menurut
vos, yakni:
1. Pemberian
kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemeberian pidana.
2. Ketentuan-ketentuan
khusus untuk penjahat remaja.
3. Penghapuaan
perampasan umum.
Akan tetapi kodifikasi ini berumur
singkat karena masuknya Code Penal Perancis ke Belandatahun 1811.Belanda terus
berusaha untuk mengadakan perubahan juga usaha untuk menciptakan KUHP nasional,
tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan sebagian.Dengan KB tanggal 28
September 1870 duibentuklah panitia negara yang menyelesaikan rancangan pada
tahun 1875.Pada tahun 1879 Menteri Smidt mengirim rancangan tersebut ke Tweede
Kamer. Diperdebatkan dalam Staten Generaal dengan Menteri Moddermanyang
sebelumnya adalah anggota panitia negara. Pada tanggal 3 maret 1881 lahirlah
KUHP Belanda yang baru dan berlaku mulai tanggal 1 september 1886. Setelah KUHP
baru muncul, barulah KUHP Hindia Belanda, yaitu 1866 dan 1872 yang banyak
persamaan dengan Code Penal Perancis diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru,
Berdasarkan asas konkordansi KUHP
Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda.
Semula direncanakan tetap ada dua KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa dan
Bumiputera. Setelah selesai kedua rancangan tersebut Menteri jajahan Belanda
Mr. Idenburg berpendapat sebaiknya hanya ada satu KUHP di Hindia Belanda.
Sesuai usul Mr. Idenburg maka dibentuklah komisi yang menyelesaikan tugasnya
tahun 1913dengan KB tanggal 15 oktober 1915 dan diundangkan pada September
1915nomor 732 lahirlah Wesboek van straftrecht voor Nederlandsch Indie untuk
seluruh golongan penduduk dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918. Peralihan
dari masa dualisme, yaitu dua macam WvKuntuk dua golongan penduduk menurut
Jonkers lebih bersifat formeel daripada materiel.
- Zaman Pendudukan
Jepang
WvSI tetap berlaku pada zaman
pendudukan Jepang, hal ini didasarkan pada undang-undang (Osamu Serei) No. 1
Tahun 1942 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan
Jawa Madura. Jadi hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda,
misalnya penyebutan Raja/Ratu yang tidak berlaku lagi. Peraturan ini juga
dikeluarkan di daerah selain Jawa dan Madura.
Dibanding dengan hukum pidana
materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena terjadi
unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur dalam Osamu Serei No.3 tahun
1942 tanggal 20 September 1942.
- Zaman Kemerdekaan
Keadaan pada zaman pendudukan
Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemedekaan. Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945 berlaku tanggal 18 Agustus 1945. Untuk memperkuat aturan peralihan
tersebut, maka Presiden mengeluarkan peraturan tanggal 10 Oktober 1945 yang
dinamakan Peraturan No.2. Barulah dengan UU no. 1 Tahun 1946 diadakan perubahan
yang mendasar atas WvSI. Ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1946 tersebut bahwa
hukum pidana yang berlaku mulai tahun 1946 ialah hukum pidana yang berlaku
tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang disesuakan
dengan keadaan Negara Republik Indonesia dengan nama Wetbook van Strafrecht
voor NederlandschIndie diubah menjadi Wetbook van Strafrecht yang dapat disebut
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tentulah harus diingat bahwa teks
asli Wetbook van Strafrecht sampai kini masih dalam bahasa Belanda , kecuali
penambahan-penambhan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya sudah tentu
dalam bahasa Indonesia. Jadi apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum
adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada
selera penerjemah.
Sebagai sejarah perlu diingat bahwa
Belanda pada tahun 1945 sampai 1949 kembali ke Indonesia menduduki beberapa
wilayah. Untuk wilayah yang diduduki Belanda itu de facto tidak diberlakukan UU
no.1 tahun 1946, kecuali untuk wilayah Sumatera yang diduduki Belanda sesudah
Agresi Militer 1, ditetapkan bahwa peraturan lama masih tetap berlaku
(Peraturan RI)[8].
Untuk daerah yang diduduki Belanda tersebut diberlakukan Wetbook van
Straftrecht voor Nederlandsch Indie yang diubah namanya menjadi Wetbook van Strafrecht
voor Indonesieberdasarkan ordonansi tanggal 21 September 1948 Stbl 1948 No.224
mulai berlaku tanggal 22 September 1948 dan semua kata Nederlandsch Indie di
dalam WvS diganti dengan Indonesie. Kalau pemerintah Republik Indonesia
mengubah Wetbook vab Strafrecht Maka Belanda juga melakukan perubahan-perubahan
di dalam Wetbook van Strafrecht voor Indonesie. Dengan adanya penambahan dan
perubahan , maka jumlah pasal dalam WvSI berakhir dengan pasal 570, sedangkan
KUHP hanya 569. Dengan adanya du macam WvS yang berlaku di dua wilayah yang
berbeda ditambah perubahan dan penambahan yang berbeda pula menimbulkan
kerancuan dalam penerapannya. Terlebih dengan perubahan wilayah akibat Agresi
Militer I, menambah wilayah kedudukan Belanda, yang dengan perjanjian Renville
17 januari 1948 disebut daerah terra Neerlandica[9].
Dengan Berlakunya UU No. 1 Tahun
1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958, maka hilanglah
dualisme berlakunya dua macam hukum pidana di Indonesia.
- Rancangan KUHP
Baru
Keinginan untuk mengadakan
kodifikasi KUHP Nasional yang disusun oleh putera Indonesia sendiri yang
sumbernya digali dari bumi Indonesia dengan memperhatikan perkembnagan dunia
modern di bidang hukum pidana sudah lama dicetuskan. Usaha nyata menuju
tercapainya keinginan tersebut antara lain dapat dikemukakan usaha Basaruddin
SH dan Iskandar Situmorang SH yang menyusun Rancangan Buku I KUHP Tahun 1971
dan Buku II KUHP Tahun 1976. Kemudian sejak tahun 1979 telah dibentuk Tim
Pengkajian Hukum Pidana, yang diberikan tugas menyusun Rancangan KUHP baru oleh
Pemerintah (Menteri Kehakiman dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Nasional).
Pada tahun ini disusunlah materi-materi yang diperlukan. Tahun 1980-1981 mulailah
disusun Rancangan Buku I yang antara lain juga memakai KUHP lamadan Rancangan
Basaruddin dab rekan sebagai bahan perbandingan. Tahun 1981-1982 konsep
Rancangan Buku I telah diselesaikan dalam arti masih kasar. Pada Tahun 1982
diadakanlah Lokakarya di BABINKUMNAS membahas rancangan tersebut. Sesudah itu,
terus-menerus tim berkumpul untuk memperhalus rumusan Rancangan Buku I tersebut
dan menyususn Rancangan Buku II sampai Tahun 1985, dan pada tahun ini juga
diadakan Lokakarya di tempata yang sama guna membahas Buku II.
Pada Tahun 1986 diadakan Lokakarya
Khusus mengenai sanksi pidana di tempat yang sama. Dan terakhir Lokakarya
mengenai delik komputer dan delik terhadap penyelenggaraan peradilan,
Perbedaan yang mencolok antara
Rancangan dan KUHP (lama) ialah rancangan hanya terdiri atas dua buku sedangkan
KUHP (lama) yang sama dengan WvS Belanda terdiri atas tiga buku. Dengan
sendirinya perbedaan antara delik kejahatan dan delik pelanggaran di dalam
Rancangan telah ditiadakan.
Jadi, sama dengan KUHP Jerman,
Jepang, Korea, dll. Tetapi Materi II 95% sama dengan KUHP lama dan WvS Belanda.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hukum pidana hakikatnya adalah
keseluruhan dari peraturan peraturan yang menentukan perbuatan apa yang
dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menetukan hukuman apa yang
dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya
Sejarah Hukum Pidana di Indonesia:
1.
Pada Masa VOC
2.
Masa Hindia
Belanda
3.
Masa Masa
Pendudukan Jepang
4.
Masa kemedekaan
5.
Rancangan KUHP
baru
Rujukan:
Hamzah, Andi. 1994. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta:PT Rineka Cipta.
Prodjodikoro,
Wirjono. 1989. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung:Eresco.
Han Bing Siong.1961.
An Outline of Recent History of Indonesian Criminal Law.’s Gravenharge:
Martinus Nijhoff
Utrecht, E.1956.
Hukum Pidana 1.Djakarta: Penerbitan Universitas
Enschede,
Ch.J.,& Heijder,A. 1974. Beginselen van het Strafrecht. Deventer:
Uitg, Kluwer B.V.
Jonkers,
J.E.1946. Handbock van het Ned Indische Strafrecht. Leiden: E.J. Brill
Kitab
Undang-Undang hukum Pidana (KUHP)
Wikipedia
Berbahasa Indonesia (diunduh pada pukul 21.00 tgl 18 Oktober
2013)
No comments:
Post a Comment