Friday, February 27, 2015

Pengertian dan Sejarah Hukum Pidana di Indonesia

1.      Pengertian hukum pidana
Menurut Andi hamzah (1994:1), sangat sulit untuk mengartikan apakah hukum pidana itu, di karenakan hukum pidana itu mempunyai banyak segi yang masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri. Untuk itu perlu penguraian terlebih dahulu terhadap segi-segi yang dimaksud baru kemudian pengertian serta ruang lingkupnya.
Pengertian hukum pidana sebagai obyek studi, dapat dikutip pendapat Enschede – Heijder yang mengatakan bahwa menurut metodenya, maka hukum pidana dapat dibedakan menjadi:[1]
I.            Ilmu-ilmu hukum pidana sistematik;
1)      Hukum Pidana Formil (Hukum pidana).
2)      Hukum Pidana Materiil (Hukum Acara Pidana).
II.            Ilmu hukum pidana berdasarkan pengalaman antara lain;
1)      Kriminologi – ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan kejahatan.
2)      Kriminalistik – ajaran tentang pengusutan.
3)      Psikiatri forensic dan psikologi forensik.
4)      Sosiologi hukum pidana – ilmu tentang hukum pidana sebagai gejala masyarakat, yang mengenai bekerjanya pelaksanaan hukum pidana dalam arti yang luas di dalam masyarakat, jadi tidak bekerjanya terhadap tersangka atau pembuat.
Dalam pengertian ruang lingkup pidana di atas, Andi Hamzah menjelaskan bahwa biasanya pengertian hukum pidana itu sendiri paling luas hanya pada butir I, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil atau hukum acara pidana. Sedangkan yang butir II hanya merupakan ilmu pembantu saja.[2]
Untuk itu kami hanya akan membahas pengertian hukum pidana dalam ruang lingkup hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil adalah isi atau substansi dari hukum pidana (hukum pidana tersebut bersifat abstrak), sedangkan hukum formil atau hukum acara pidana yaitu bersifat nyata atau kongkret. Maksudnya adalah hukum pidana dalam keadaan bergerak atau dijankan atau berada dalam suatu proses. Oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana (Andi Hamzah, 1994:2).
Menurut pengertian dari Enschede – Heijder, mengenai hukum pidana sistematik yaitu sebagai berikut:
“hukum pidana adalah sebagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1)      Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh di lakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi (sic) yang berupapidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
2)      Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan.
3)      Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.”[3]
Menurut moeljatno, hukum pidana materiil ada pada butir 1 dan 2, sedangkan hukum pidana formil ada pada bagian 3. Maksudnya adalah hukum pidana materiil yaitu sebagai aturan-aturan atau norma yang di ciptakan untuk seseorang yang melanggar aturan tersebut, sedangkan hukum formil adalah tindak pidana yang dilaksanakannya terhadap kasus yang di langgarnya.
Menurut wirjono, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana. Kata “pidana” berarti hal yang di pidanakan, yaitu oleh instansi yang berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.[4]
Jadi menurut wirjono diatas adalah mengenai hukum pidana formil, karena pengertian di atas adalah mengenai perlakuan terhadap oknum yang melanggar peraturan atau hukum pidana yang telah ada dalam hukum pidana materiil.
  1. Sejarah Hukum Pidana Di Indonesia
  1. Zaman VOC
Pada masa ini selain hukum-hukum adat pidana yang berlaku bagi kaum pribumi di Indonesia, penguasa VOC mulai memberlakukan plakat-plakat yang berisi hukum pidana. Tahun 1642, Joan Maetsuycker mantan Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari Gubernur Jenderal van Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang dinamakan Statuten van Batavia, kemudian pada tahun 1650 himpunan ini disahkan oleh Heeren Zeventien. Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC, ialah :
1.      Hukum statuta yang termuat di dalam Statuten van Batavia
2.      Hukum Belanda Kuno
3.      Asas-asas hukum Romawi [5]
Hubungan hukum Belanda kuno ialah sebagai pelengkap jika statuta tidak dapat menyelesaikan masalah, hukum Belanda kuno diaplikasikan. Sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (Slaven Recht)
Statuta Betawi itu berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya, Tetapi ini merupakan teori saja karena pada prakteknya orang pribumi tetap tinduk pada hukum adat. Di daerah lainnya pun tetap berlaku hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya dalam masalah pidana yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya. Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang mendapat pengaruh VOC.
Pada tahun1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen, barulah pada tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis. Mulai tanggal 10 Februari 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia :
1.      Het Wetbook van Starftrecht voor Europeanen (Stbl. 1866 No. 55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing.
2.      Het Wetbook van Starftrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde (Stbl. 1872 No. 85) mulai berlaku 1 Januari 1873.
  1. Zaman Hindia Belanda
Berdasarkan sejaragh dari tahun 1811 sampai 1814 Indonesia pernah dibawah kepemimpinan Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda dikembalikan kepada Belanda lagi. Dengan Regerings Reglement 1815 dengan tambahan (Supletoire Instructie 23 September 1815)maka hukum dasar colonial tercipta. Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816 , Stbl.1816 No. 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan bekas pemerintahan Inggris tetap dipertahankan. Untuk orang pribumi hukum adat pidana masih diakui asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dari pemerintah.
Kepada bangasa Indonesia ditetapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang didasarkan pada Stbl. 1828 No. 16, mereka dibagi atas dua golongan, yaitu:
1.      Yang dipidana kerja rantai
2.      Yang dipidana kerja paksa
Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah[6]. Tetapi dalam prakteknya pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara:
1.      Kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan
2.      Kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang
3.      Kerja pakasa tanpa rantai tetapi dibuang [7]
KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut pada dasarnya adalah salinan Code Penal yang berlaku di Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri atas 2 buku, sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku. KUHP yang berlaku bagi golongan bumiputera juga saduran dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun, pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886. Oleh karena itu perlu ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda.
Pertama kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi sejak adanya Crimineel Wetbook voor het koninglijk Holland 1809. Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya, menurut vos, yakni:
1.      Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemeberian pidana.
2.      Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja.
3.      Penghapuaan perampasan umum.
Akan tetapi kodifikasi ini berumur singkat karena masuknya Code Penal Perancis ke Belandatahun 1811.Belanda terus berusaha untuk mengadakan perubahan juga usaha untuk menciptakan KUHP nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan sebagian.Dengan KB tanggal 28 September 1870 duibentuklah panitia negara yang menyelesaikan rancangan pada tahun 1875.Pada tahun 1879 Menteri Smidt mengirim rancangan tersebut ke Tweede Kamer. Diperdebatkan dalam Staten Generaal dengan Menteri Moddermanyang sebelumnya adalah anggota panitia negara. Pada tanggal 3 maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru dan berlaku mulai tanggal 1 september 1886. Setelah KUHP baru muncul, barulah KUHP Hindia Belanda, yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaan dengan Code Penal Perancis diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru,
Berdasarkan asas konkordansi KUHP Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda. Semula direncanakan tetap ada dua KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa dan Bumiputera. Setelah selesai kedua rancangan tersebut Menteri jajahan Belanda Mr. Idenburg berpendapat sebaiknya hanya ada satu KUHP di Hindia Belanda. Sesuai usul Mr. Idenburg maka dibentuklah komisi yang menyelesaikan tugasnya tahun 1913dengan KB tanggal 15 oktober 1915 dan diundangkan pada September 1915nomor 732 lahirlah Wesboek van straftrecht voor Nederlandsch Indie untuk seluruh golongan penduduk dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918. Peralihan dari masa dualisme, yaitu dua macam WvKuntuk dua golongan penduduk menurut Jonkers lebih bersifat formeel daripada materiel.
  1. Zaman Pendudukan Jepang
WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang, hal ini didasarkan pada undang-undang (Osamu Serei) No. 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa Madura. Jadi hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya penyebutan Raja/Ratu yang tidak berlaku lagi. Peraturan ini juga dikeluarkan di daerah selain Jawa dan Madura.
Dibanding dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur dalam Osamu Serei No.3 tahun 1942 tanggal 20 September 1942.

  1. Zaman Kemerdekaan
Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemedekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku tanggal 18 Agustus 1945. Untuk memperkuat aturan peralihan tersebut, maka Presiden mengeluarkan peraturan tanggal 10 Oktober 1945 yang dinamakan Peraturan No.2. Barulah dengan UU no. 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI. Ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana yang berlaku mulai tahun 1946 ialah hukum pidana yang berlaku tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang disesuakan dengan keadaan Negara Republik Indonesia dengan nama Wetbook van Strafrecht voor NederlandschIndie diubah menjadi Wetbook van Strafrecht yang dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetbook van Strafrecht sampai kini masih dalam bahasa Belanda , kecuali penambahan-penambhan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya sudah tentu dalam bahasa Indonesia. Jadi apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah.
Sebagai sejarah perlu diingat bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai 1949 kembali ke Indonesia menduduki beberapa wilayah. Untuk wilayah yang diduduki Belanda itu de facto tidak diberlakukan UU no.1 tahun 1946, kecuali untuk wilayah Sumatera yang diduduki Belanda sesudah Agresi Militer 1, ditetapkan bahwa peraturan lama masih tetap berlaku (Peraturan RI)[8]. Untuk daerah yang diduduki Belanda tersebut diberlakukan Wetbook van Straftrecht voor Nederlandsch Indie yang diubah namanya menjadi Wetbook van Strafrecht voor Indonesieberdasarkan ordonansi tanggal 21 September 1948 Stbl 1948 No.224 mulai berlaku tanggal 22 September 1948 dan semua kata Nederlandsch Indie di dalam WvS diganti dengan Indonesie. Kalau pemerintah Republik Indonesia mengubah Wetbook vab Strafrecht Maka Belanda juga melakukan perubahan-perubahan di dalam Wetbook van Strafrecht voor Indonesie. Dengan adanya penambahan dan perubahan , maka jumlah pasal dalam WvSI berakhir dengan pasal 570, sedangkan KUHP hanya 569. Dengan adanya du macam WvS yang berlaku di dua wilayah yang berbeda ditambah perubahan dan penambahan yang berbeda pula menimbulkan kerancuan dalam penerapannya. Terlebih dengan perubahan wilayah akibat Agresi Militer I, menambah wilayah kedudukan Belanda, yang dengan perjanjian Renville 17 januari 1948 disebut daerah terra Neerlandica[9].
Dengan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958, maka hilanglah dualisme berlakunya dua macam hukum pidana di Indonesia.
  1. Rancangan KUHP Baru
Keinginan untuk mengadakan kodifikasi KUHP Nasional yang disusun oleh putera Indonesia sendiri yang sumbernya digali dari bumi Indonesia dengan memperhatikan perkembnagan dunia modern di bidang hukum pidana sudah lama dicetuskan. Usaha nyata menuju tercapainya keinginan tersebut antara lain dapat dikemukakan usaha Basaruddin SH dan Iskandar Situmorang SH yang menyusun Rancangan Buku I KUHP Tahun 1971 dan Buku II KUHP Tahun 1976. Kemudian sejak tahun 1979 telah dibentuk Tim Pengkajian Hukum Pidana, yang diberikan tugas menyusun Rancangan KUHP baru oleh Pemerintah (Menteri Kehakiman dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Nasional). Pada tahun ini disusunlah materi-materi yang diperlukan. Tahun 1980-1981 mulailah disusun Rancangan Buku I yang antara lain juga memakai KUHP lamadan Rancangan Basaruddin dab rekan sebagai bahan perbandingan. Tahun 1981-1982 konsep Rancangan Buku I telah diselesaikan dalam arti masih kasar. Pada Tahun 1982 diadakanlah Lokakarya di BABINKUMNAS membahas rancangan tersebut. Sesudah itu, terus-menerus tim berkumpul untuk memperhalus rumusan Rancangan Buku I tersebut dan menyususn Rancangan Buku II sampai Tahun 1985, dan pada tahun ini juga diadakan Lokakarya di tempata yang sama guna membahas Buku II.
Pada Tahun 1986 diadakan Lokakarya Khusus mengenai sanksi pidana di tempat yang sama. Dan terakhir Lokakarya mengenai delik komputer dan delik terhadap penyelenggaraan peradilan,
Perbedaan yang mencolok antara Rancangan dan KUHP (lama) ialah rancangan hanya terdiri atas dua buku sedangkan KUHP (lama) yang sama dengan WvS Belanda terdiri atas tiga buku. Dengan sendirinya perbedaan antara delik kejahatan dan delik pelanggaran di dalam Rancangan telah ditiadakan.
Jadi, sama dengan KUHP Jerman, Jepang, Korea, dll. Tetapi Materi II 95% sama dengan KUHP lama dan WvS Belanda.





BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Hukum pidana hakikatnya adalah keseluruhan dari peraturan peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menetukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya
Sejarah Hukum Pidana di Indonesia:
1.      Pada Masa VOC
2.      Masa Hindia Belanda
3.      Masa Masa Pendudukan Jepang
4.      Masa kemedekaan
5.      Rancangan KUHP baru



Rujukan:
Hamzah, Andi. 1994. Asas-Asas Hukum  Pidana. Jakarta:PT Rineka Cipta.
Prodjodikoro, Wirjono. 1989. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung:Eresco. 
Han Bing Siong.1961. An Outline of Recent History of Indonesian Criminal Law.’s Gravenharge: Martinus Nijhoff
Utrecht, E.1956. Hukum Pidana 1.Djakarta: Penerbitan Universitas
Enschede, Ch.J.,& Heijder,A. 1974. Beginselen van het Strafrecht. Deventer: Uitg, Kluwer B.V.
Jonkers, J.E.1946. Handbock van het Ned Indische Strafrecht. Leiden: E.J. Brill
Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP)
Wikipedia Berbahasa Indonesia (diunduh pada pukul 21.00 tgl 18 Oktober 2013)





[1] Andi Hamzah mengutip dari Enscede-Hejider, Beginselen van Strafecht, 1978, hlm. 17.
[2] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 2.
[3] Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, 1987, hlm. 1.
[4] Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, 1989, hlm. 1.
[5] Utrecht, T.Hukum Pidana 1,1956, hlm. 11
[6] Supomo-,Djokosutono, ibid, hlm, 108
[7] E. Utrecht, op.cit. hlm.32
[8] Han Bin Siong. An Outline of The Recent History of Indonesian Criminal Law, 1961, hlm 29-31
[9] Han Bing Siong, ibid, hlm 29-31

No comments:

Post a Comment