Tuesday, February 17, 2015

Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP)


A.    Pengertian  Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai           
1.    Hak Guna Bangunan (HGB)
Ketentauan mengenai Hak Guna Bangunan (HGB) disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) huruf c UUPA. Secara khusus diaturdalam pasal 35 sampai pasal 40 di dalam UUPA. Menurt pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai HGB diatur dengan peraturan perundangan. Peraturan perundangan tersebut adalah Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996, secara khusus diatur dalam pasal 19 sampai 38.
Pengertian Hak Guna Bangunan menurut pasal 35 UUPA adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangkan waktu paling lama 30 tahun dan bisa diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.[1]
2.    Hak Pakai (HP)
Ketentuan mengenai Hak Pakai (HP) disebutkan dalam pasal 16 ayat (1) huruf d UUPA. Secara khusus diatur dalam pasal 41 sampai dengan pasal 43 UUPA. Menrut pasal 50 ayat (2) UUPA ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Pakai diatur dengan peraturan perundangan. Peraturan perundangan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerinntah No. 40 tahun 1996, secara khusu diatur dalam pasal 39 sampai pasal 58.
Pengertian Hak Pakai menurut pasal 41 ayat (1) UUPA yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatau asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. Perkataan “menggunakan” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan mendirikan bangunan, sedangkan perkataan “memungut hasil” dalam Hak Pakai menunjuk pada pengertian bahwa Hak Pakai digunakan untuk kepentingan selain mendirikan bangunan, misalnya pertanian, perikanan, peternakan, dan perkebunan.
B.       Subjek Hukum HGB dan HP dan Cara Memperoleh HGB dan HP
1.    Subjek Hukum Hak Guna Bangunan dan Cara Memperolehnya
Yang menjadi subjek Hak Guna Bangunan menurut pasal 36 UUPA [2]jo, pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996[3] adalah:
a.    Warga Negara Indonesia (WNI)
b.    Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Apabila subjek Hak Guna Bangunan tidak memenuhi syarat sesuai ketentuan diatas, maka dalam waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Bangunan tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Bila hal ini tidak dilakukan, maka Hak Guna Bangunannya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.
Pasal 37 UUPA menegaskan bahwa Hak Guna Bangunan terjadi pada tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lan. Adapun pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 menegaskan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan adalah tanah negara, tanah Hak Pengelolaan, atau tanah Hak Milik.
Terjadinya Hak Guna Bangunan, Berdasarkan asal tanahnya dapat dibedakan sebagai berikut.
a.    Hak Guna Bangunan atas tanah negara
Hak Guna Banguan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan pasal 4, pasal 9, dan pasal 14 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999, yang diubah oleh pasal 4, pasal 8, dan pasal 11 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011. Prosedur terjadinya HGB ini diatur dalam pasal 32 sampai dengan pasal 48 Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999.[4]
HGB ini terjadi sejak keputusan pemberian HGB tersebut didaftarkan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicata dalam Buku Tanah sebaga tanda bukti haknya diterbitkan sertifikat (pasal 22 dan pasal 23 PP No. 40 Tahun 1999.
b.    Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan
Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan keputusan pemberian hak atas usul pemegang Hak Pengelolaan, yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional yang berdasarkan pasal 4 Permen Agraria/ Kepala BPN No. 3 Tahun 1999, yang diubah oleh pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No.1 Tahun 2011. Prosedur terjadinya HGB ini diatur dalam Permen Agraria/ Kepala BPN No. 9 Tahun 1999.
Hak Guna Banguna ini terjadi sejak keputusan pemberian HGB tersebut didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam buku tanah. Sebagai tanda bukti haknya diterbitkan.
c.    Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik
Hak Guna Bangunan ini terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta PPAT ini wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah ( pasal 24 PP No. 40 Tahun 1996). Bentuk PPAT ini dimuat dalam Lampiran Permen Agraria /Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.
2.    Subjek Hukum Hak Pakai dan Cara Memperolehnya
Pasal 42 UUPA menentukan bahwa yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah:
a.       Warga negara Indonesia
b.      Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
c.       Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
d.      Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 lebih memerinci yang dapat mempunyai Hak Pakai, yaitu :
a.       Warga negara Indonesia
b.      Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
c.       Departemen, lembaga pemerintah non-departemen, dan pemerintah daerah
d.      Badan-badan keagamaan dan sosial
e.       Orang asing yang berkedudukan di Indonesia
f.       Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia
g.      Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional
Khusus subjek Hak Pakai yang berupa orang asing yang berkedudukan di Indonesia diatur dalam PP No.41 Tahun 1996 tentang pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian bagi Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
Bagi pemegang Hak Pakai yang tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai, maka dalam waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Pakainya kepada pihak lain yang memnuhi syarat. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka Hak Pakainya hapus karena hukum dengan ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait dengan Hak Pakai tetap diperhatikan (Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996).
Pasal 41 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa asal tanah Hak Pakai adalah tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, sedangkan pasal 41Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996 lebih tegas menyebutkan bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Pakai adalah tanah negara, tanah Hak pengelolaan, atau Tanah Hak Milik.
Terjadinya Hak Pakai berdasarkan asal tanahnya dapat dijelaskan sebagai berikut.

1.    Hak Pakai atas tanah negara
Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang diberikan pelimpahan kewenangan. Hak Pakai ni terjadi sejak keputusan pemberian Hak Pakai didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanh dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.
Pasal 5 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999 menetapkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berwenang menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakai, sedangkan pasal 10 memberikan wewenang kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi untuk menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakai, yang diubah oleh pasal 5, pasal 9, dan pasal 11 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011. Prosedur penerbitan keputusan pemberian Hak Pakai diatur dalam pasal 50 sampai pasal 56 Permen Agraria/Kepala BPN No. 9Tahun 1999.
2.    Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
Hak Pakai ini diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. Hak Pakai ini terjadi sejak keputusan pemberian Hak Pakai didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya.
Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakai diatur dalam Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999, yang dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 Tahun 2011. Prosedur penerbita keputusan pemberian Hak Pakai diatur dalam Permen Agraria/ Kepala BPN No. 9 Tahun 1999.
3.    Hak Pakai atas tanah Hak Milik
Hak Pakai ini terjadi dengan pemberian tanah oleh pemilik tanah dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Akta PPAT ini wajib didaftarkan ke kantor Pertanahan Kabupaten/Kotasetempat untuk dicatat dalam Buku Tanah. Bentuk akta PPAT ini dimuat dalam Lampiran Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.[5]
C.      Jangka Waktu HGB dan HP dan Penyebab Hapusnya HGB dan HP
1.    Jangka Waktu dan Penyebab Hapusnya HGB
Jangka Waktu Hak Guna Bangunan diatur dalam pasal 26 sampai dengan pasal 29 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Jangka waktu Hak Guna Bangunan berbeda sesuai dengan asal tanahnya yaitu.
a.    Hak Guna Bangunan atas tanah negara
Hak Guna Bangunan atas tanah tanah negara berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan ini diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berkhirnya jangka waktu Hak Guna Bangunan tersebut atau perpanjangannya. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Syarat-syrat yang harus dipenuhioleh pemegang Hak Guna Bangunan untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan adalah.
1.    Tanahnya masih digunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut.
2.    Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
3.    Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak
4.    Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang bersangkutan.
b.    Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan.
Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolan berjangka waktu untuk pertama kali paaling lama 30 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 tahun.
Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna banguna ini atas permohonan pe,megang Hak Guna Banguna setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan. Permohonan perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Guna Bangunan diajukan selambat=lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Guna Banguna tersebut atau perpanjangannya.Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Gunan Banguna dicatat dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
c.    Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik
Hak Guna Bangunan ini berjangka waktu paling lama 30 tahun tidak ada perpanjangan jangka waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Guna Bangunan dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Guna Bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Jamina perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan. Untuk kepentingan penanaman modal permintaan perpanjangan, dan  pembaharuan Hak Guna Bangunan dapat dilakukan sekaligus dengan uang pemasuakan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. Dalam hal uang pemasukkan telah dibayar sekaligus untuk perpanjangan atau pembaharuah Hak Guna Bangunan hanya dikenanakan biaya administrasi. Persetujuan untuk memberikan perpanjanagnatau pembaharuan Hak Guna Bangunan dan perincian uang pemasukkan dicantumkan dalam keputusan pemberian Hak Guna Bangunan (pasal 28 PP No. 40 Tahun 1996).
Berdasarkan pasal 40 UUPA, Hak Guna Bangunan hapus karena :
1.      Jangka waktunya berakhir
2.      Dihentikan seblum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi.
3.      Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir
4.      Dicabut untuk kepentingan umum
5.      Ditelantarkan
6.      Tanahnya musnah
7.      Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2)
Hapusnya Hak Guna Bangunan lebih lanjut dijabarkan dalam pasal 35 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, factor-faktor penyebab hapusnya Hak Guna Bangunan adalah :
1.      Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya.
2.      Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan atau Pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena :
a.       Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/ atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam Hak Guna Bangunan.
b.      Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan antara pemegang Hak Guna Bangunan dengan pemilik tanah atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan.
c.       Putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
3.      Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
4.      Hak Guna Bangunannya dicabut.
5.      Ditelantarkan
6.      Tanahnya Musnah
7.      Pemegang Hak Guna Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan.
2.    Jangka Waktu dan Penyebab Hapusnya HP
Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak menentukan secara tegas berapa lama jangka waktu Hak Pakai. Pasal ini hanya menetukan bahwa Hak Pakai dapat diberikan selamaJangka waktu tertentu atau selama tanahnya digunakan.untuk keperluan yang tertentu. Dalam peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, jangka waktu Hak Pakai diatur pada pasala 45 sampai pasal 49, jangka waktu Hak Pakai ini berbeda-beda sesuai dengan asal tanahnya, yaitu :
a.       Hak Pakai atas Tanah Negara
Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun,dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.
Khusus Hak Pakai yang dimiliki departemen, lembaga pemerintahan non-departemen, pemerintah daerah, badan-badan keagamaan dan sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan Internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya digunakan untuk keperluan tertentu.
Berkaitan subjek Hak Pakai atas tanah negara ini, A.P. Parlindungan menyatakan bahwa ada ada Hak Pakai yang bersifat publikrechttelijk, yang tanpa right of Dispossal (artinya yang tidak boleh dijual ataupun dijadikan jaminan utang), yaitu Hak Pakai yang diberikan untuk instansi-instansi pemerintah, seperti sekolah, Perguruan Tinggi Negeri, Kantor Pemerintah, dan sebagainya, dan Hak Pakai yang diberikan untuk perwakilan asing, yaitu Hak Pakai yang diberikan untuk waktu yang tidak terbatas dan selama pelaksanaan tugasnya ataupun Hak Pakai yang diberikan untuk usaha-usaha sosial dan keagamaanjuga diberikan untuk waktu yang tidak tertentu dan selama melakasanakan tugasnya.[6]
Permohonan perpanjangan jangka waktuatau pemabaharuan Hak Pakai diajukan selambat-lambatnya dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu Hak Pakai. Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai dicata dalam Buku Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemegang Hak Pakai untuk perpanjangan jangka waktu atau pembaharuan Hak Pakai yaitu:
1.      Tanahnya masih digunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak tersebut.
2.      Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
3.      Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai.
b.      Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan
Hak Pakai ini berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling lama 25 tahun.
Perpanjangan jangka waktu atau pembaharuann Hak Pakai ini dapat dilakukan atas usul pemegang Hak Pengelolaan.
c.       Hak Pakai atas tanah Hak Milik
Hak Pakai ini diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang Hak Pakai dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untukdicata dalam Buku Tanah.
Berdasarkan pasal 55 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Pakai, yaitu :
1.      Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangan atau dalam perjanjian pemberiannya.
2.      Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang, pemegang Hak Pengelolaan, atau pemilik tanah sebelum jangka waktunya berakhir karena :
a.       Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang Hak Pakai dan/atau dilanggarnya ketentuan-ketentuan dalam Hak Pakai.
b.      Tidak dipenuhinya syarat-syarat atau kewajiban-kewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Pakai antara pemegang Hak Pakai dengan pemilik tanah atau perjanjian penggunaan Hak Pengelolaan.
c.       Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
3.      Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir.
4.      Hak Pakainya dicabut.
5.      Ditelantarkan
6.      Tanahnya musnah
7.      Pemegang Hak Pakai tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai.



Rujukan:

Santoso, Urip, SH.MH.2010. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah.Jakarta:Kencana Prenada Media Group
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja.2007.Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak-Hak Atas Tanah.Jakarta: Kencana Prenada Media Group
 Buku Undang-Undang Pokok Agraria
Dr. Santoso, Urip, SH.Mh.2012.Hukum Agraria: Kajian Komprehensif.Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Harsono, Budi. 2008. Hukum Agraria Indonesia.Jakarta: Djambatan
A.P. Parlindungan.1989.Hak Pengeloalaan Menurut Sistem UUPA,Bandung: Mandar Maju


[1] Santoso, Urip.Hukum Agraria: Kajian Komprehensif. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.2012.h.109
[2] Pasal 36 Undang-Undang Pokok Agraria
[3] Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996
[4] Permen Agraria/Kepala BPN No.9 Tahun 1999
[5] Lampiran Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997.
[6] A.P. Parlindungan (III), Hak Pengeloalaan Menurut Sistem UUPA, Mandar Maju, Bandung, 1989,h.34.

No comments:

Post a Comment