A. Macam-macam Cara Penafsiran
Interpretasi
hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum
dalam hukum sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat
hukum tersebut.[1]
1.
Cara Penafsiran
a.
Dalam pengertian subyektif dan obyektif
Dalam
pengertian subyektif, apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh pembuat
hukum.Dalam pengertin obyektif, apabila penafsirannya lepas dari pendapat
pembuat hukum dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.
b.
Dalam pengertian sempit dan luas
Dalam
pengertian sempit (restriktif) yakni apabila dalil yang ditafsirkan diberi
pengertian yang sangat dibatasi, misalnya mata uang ( pasal 1765 KUH Perdata
)pengertiannya hanya uang logam saja dan barang diartikan benda yang dapat
dilihat dan diraba saja.
Dalam
pengertian secara luas (ekstentif) apabila dalil-dalil yang ditafsirkan diberi
pengertian seluas-luasnya.
Contoh:
-Pasal 1756 KUH Perdata alinea ke-2 tentang mata uang
juga diartikan uang kertas.
-Barang ( Pasal 362 KUH Perdata ) yang dulu hanya
diartikan benda yang dapat dilihat dan diraba
Yang
termasuk penafsiran dalam arti luas adalah penafsiran analogis
2.
Dilihat dari sumbernya penafsiran dapat bersifat :
a. Otentik, ialah penafsiran seperti yang diberikan oleh
pembuat hukum seperti yang dilampirkan pada undang-undang sebagai penjelasan.
Penafsiran otentik mengikat umum.
b. Doktrinair atau ilmiah, alah penafsiran yang didapat
dalam buku-buku dan lain-lain hasil karya para ahli. Hakim tidak terikat karena
penafsiran ini hanya mempunyai nilai teoritis.
c. Hakim, penafsiran yang bersumber dari hakim atau
peradilan hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi
kasus-kasus tertentu ( Pasal 1917 ayat (1)KUH Perdata).
B.
Metode Penafsiran
1.
Macam-macam metode penafsiran:
a. Penafsiran menurut tata bahasa dan arti-arti kata atau
istilah (gramaticale interpretatie)
b. Sejarah (historische interpretatie) yang meliputi
penafsiran sejarah hukum dan penafsiran sejarah undang-undng
c. Sistem dari peraturan yang bersangkutan
d. Keadaan masyarakat
e. Otentik (penafsiran resmi)
f. Perbandingan
2.
Cara penerapan metode penafsiran
Dalam
melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-tama selalu
dilakukan penafsiran gramatikal, karena pada hakikatnya untuk memahami teks
peraturan perundang-undangan harus dimengerti dulu apa arti katanya,
apabilaperlu dilanjutukan dengan penafsiran otentik atau enafsiran resmi yang
ditafsirkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri , kemudian dilanjutkan
dengan penafsiran historis dan sosiologis.
Sedapat
mungkin semua metode penafsiran supaya dilakukan agar didapat makna-makna yang
tepat . Apabila semua metode tersebut tidak menghasilkan makna yang sama , maka
wajib diambil metode penafsiran yang membawa keadailan setinggi-tingginya
karena memang keadilan ituah yang dijadikan sasaran pembuat unfang-undang pada
waktu mewujudkan undang-undang yang bersangkutan
C.
Perlunya Interpretasi Hukum
Pada
prinsipnya E. Utrecht di dalam “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”menegaskan bahwasanya
pekerjaan hakim menjadi suatu faktor atau kekuatan yang membentuk hukum,[2]
itulah dialami resmi oleh undang-undang itu sendiri. Menurut pasal 14 ayat 1 UU
Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan:Pengadilan tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya(
Ketentuan semacam ini adalah pasal 22 AB), Maka hakim dipaksa atau wajib turut
serta mana yang merupakan hukum mana yang tidak .Bilama undang-undang tidak
menyebut suatu perkara , maka hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri.
Hakim harus bertindak sebagai pembentuk hukum dalamhal undang-undang diam
saja.Rasio ketentuan yang terdapat dalam pasal 14 ayat 2 undang-undang
kekuasaan kehakiman ( pasal 22 AB ) itu :Masyrakat tidak tergolong apabila
ditinggalkan denga perselisihan. Perselisihan yang tidak terselesaikan. Tugas
hakim adalah menyelesaikan setiap perkara, jugalah dalam hal undang-undang juga
diam.
Pada
dasarnya hukum bersifat dinamis, oleh karena itu hakim sebagai penegak hukum
memandang kodifikasi sebagai suatu pedoman agar ada kepatin hukum , sedangkan
dalam memberi putusan hakim harus juga mempertimbangkan dan mengingat perasaan
keadilan yang hidup dalam masyarakat[3].Dengan
demikian maka terdapat keluwesan hukum (rechtslenigheid)sehingga hukum
kodifikasi berjiwa hidup yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Ternyatalah
untuk memberi putusan seadil-adilnya seorang hakim harus mengingat pula adat
kebiasaan, yurisprudensi, ilmu pengetahuan dan akhirnya pendapat hakim sendiri
ikut menentukan dan untukitu perlu diadakan penafsiran hukum
Menurut E.
Utrecht, tugas penting dari hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan
kejadian-kejadian konkrit dala masyarakat. Apabila udang-undang undang –undang
tidak dapat ditetapkan hakim secara tepat menurut kata-kata undang-undang itu,
maka harus ia menafsirkan undang-undang itu . Apabila undang-undang tidak jelas
maka wajiblah hakim menfsirkannya sehingga dapa dibuat suatu keputusan hukum
yang sungguh0sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai
kepastian hukum. Orang dapat mengatakan bahwa penafsiran undang-undang adalah
kewajiban hukum dari hakim.[4]
D.
Interpretasi Analogis
Interpretasi
analogis adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara
memberikan kias atau ibarat pada kata-kata yang terdapat dalam undang-undang
sesuai dengan asas hukumnya.[5]
Dengan demikian suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan , lalu dianggap
atau dibaratkan sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.misalnya menyambung
aliran listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listrik.
Penganalogian
menyambung aliran listrik adalah mengambil aliran lisrik erat kaitannya dengan
pasal 362 KUH Pidana, yakni:
Barangsiapa
mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud untuk memilki secara melawan hukum , diancam karena pencurian,
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Sembilan
ratus rupiah.
Dalam
penafsiran analogi akan terlihat antara lain:
1.
Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, mungkin hukum
lama sesuai untuk diterapkan lagi pada masa kini.Misalnya beberapa hukum dan
asas hukum adat dapat diambil untuk dijadikan hukum nasional.
2.
Hukum Nasional sendiri dengan hukum asing.Pada hukum nasional terdapat
kekurangan . Apabila ada keinginan untuk mengambil alih hukum asing.Apakah
hukum asing itu sesuai dengan kepentingan nasional.Misalnya sepert hukum hak
cipta yang terdapat di Negara maju dipertimbangkan apa sudah waktunya Negara
kita mempunyai Undang-undang hak cipta
3.
Hukum kolonial peninggalan penjajah, karena asas konkordansi oleh Negara
merdeka, masih tetap digunakan. Dalam hal ini Negara itu membandingkan hal-hal
manakh yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum kepribadian nasional Negara
itu.
Sesungguhnya
penafsiran analogi sudah tidak termasuk interpretasi, karena analogi sama
dengan qiyas yaitu memberi ibarat pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas
hukumnya, sehingga sesuai peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan,
kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut,misalnya menyambung
atau menyantol aliran listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listrik.
Misalnya hakim cari undang-undang yang tepat untuk adili perkara kalau
undang-undang tidak ada, maka ia lari ke.
a.
Yurisprudensi
b.
Dalil hukumadat
c.
Melakukan undang-undang secara analogi (konstruksi hukum)
Hakim kalau
dalam melakukan undang-undang secara analogi ini harus hati-hati dalam penggunaannya,
maka ada hal-hal yang harus diperhatikan sebagai berikut.
a.
Apabila antara perkara yang dihadapi dan perkara yang diatur oleh
undang-undang cukup persamaannya sehingga penerapan asas yang sama dapat
dipetanggungjawabkan serta tidak bertentangan dengan asas keadilan.
b.
Apabila keadilan yang tertarik dari analogi hukum itu serasi dan cocok
dengan system serta maksud perundang-undangan yang ada.
Tujuan melakukan secara analogi adalah untuk mengisi
kekosongan dalam undang-undang.
E.
Mengisi Kekosongan Hukum
Badan legislatif menetapkan peraturan-peraturan yang
berlaku sebagai peraturan umum, sedangkan pertimbangan dalam pelaksanaaan
hal-hal yang konkret diserahkan kepada hakim, sebagai pemegang kekuasaan
yudikatif
a.
Penyusunan Suatu Undang-Undang
Menurut kenyataannya penyusunan suatu undang-undang
memerlukan waktu yang relative lama, sehingga pada waktu dinyatakan
undang-undang itu berlaku hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh
undang-undang sudah berubah, terbentuknya suatu peraturan perundangan senantiasa
terbelakang disbanding dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan
masyarakat.Berhubung dengan itulah (peraturan perundangan yang statis dan
masyarakat yang dinamis), maka hakim sering harus memperbaiki undang-undang,
agar sesuai dengan keyataan-kenyataan hidup dalam masyarakat.
b.
Dalam hal apakah hakim menambah peraturan perundang-undangan
Dalam hal ini berarti bahwa hakim memenuhi ruangan kosong
(leemten) dalam sistem hukum formal.dari tata hukum yang berlaku.
Pesatnya kemajuan dan perkembangan masyarakat ,
menyebabkan hukum menjadi dinamis , terus-menerus mengikuti proses perkembangan
masyarakat.Berhubung dengan itulah telah menimbulka konsekuensi bahwa hakim
dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan yang ada dalam sistem hukum, asalkan
perubahan itu tidak membawa perubahan prinsipil pada system hukum yang berlaku.
c.
Konstruksi hukum
Dengan menggunakan konstruksi hukum hakim dapat
menyempurnakan sistem formal dan hukum, yakni sistem peraturan perundangan yang
berlaku ( hukum positif)
Konstruksi hukum dalam perundangan dinamakan analogi
Rujukan:
Soeroso.1996.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta:Sinar
Grafika
Arrasjid,Chainur.2001.Dasar-Dasar Ilmu Hukum.
Jakarta:Sinar Grafika
Sudarsono.2007.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta:PT.
Rineka Cipta
E.Utrecht.1984.Pengantar Dasar Hukum Indonesia.Jakarta
Syarifin,Pipin.1999.Pengantar Ilmu Hukum. Bandung:
Cv.Pustaka Setia
Kansil, C.S.T.2011.Pengantar Ilmu Hukum
Indonesia.Jakarta: PT. Rineka Cipta
No comments:
Post a Comment