Tuesday, February 17, 2015

Interpretasi Analogi Hukum


A.    Macam-macam Cara Penafsiran
      Interpretasi hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam hukum sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat hukum tersebut.[1]
1.      Cara Penafsiran
a.       Dalam pengertian subyektif dan obyektif
       Dalam pengertian subyektif, apabila ditafsirkan seperti yang dikehendaki oleh pembuat hukum.Dalam pengertin obyektif, apabila penafsirannya lepas dari pendapat pembuat hukum dan sesuai dengan adat bahasa sehari-hari.
b.      Dalam pengertian sempit dan luas
       Dalam pengertian sempit (restriktif) yakni apabila dalil yang ditafsirkan diberi pengertian yang sangat dibatasi, misalnya mata uang ( pasal 1765 KUH Perdata )pengertiannya hanya uang logam saja dan barang diartikan benda yang dapat dilihat dan diraba saja.
       Dalam pengertian secara luas (ekstentif) apabila dalil-dalil yang ditafsirkan diberi pengertian seluas-luasnya.
      Contoh:
-Pasal 1756 KUH Perdata alinea ke-2 tentang mata uang juga diartikan uang kertas.
-Barang ( Pasal 362 KUH Perdata ) yang dulu hanya diartikan benda yang dapat dilihat dan diraba
      Yang termasuk penafsiran dalam arti luas adalah penafsiran analogis



2.      Dilihat dari sumbernya penafsiran dapat bersifat :
a.       Otentik, ialah penafsiran seperti yang diberikan oleh pembuat hukum seperti yang dilampirkan pada undang-undang sebagai penjelasan. Penafsiran otentik mengikat umum.
b.      Doktrinair atau ilmiah, alah penafsiran yang didapat dalam buku-buku dan lain-lain hasil karya para ahli. Hakim tidak terikat karena penafsiran ini hanya mempunyai nilai teoritis.
c.       Hakim, penafsiran yang bersumber dari hakim atau peradilan hanya mengikat pihak-pihak yang bersangkutan dan berlaku bagi kasus-kasus tertentu ( Pasal 1917 ayat (1)KUH Perdata).

B.     Metode Penafsiran
1.      Macam-macam metode penafsiran:
a.       Penafsiran menurut tata bahasa dan arti-arti kata atau istilah (gramaticale interpretatie)
b.      Sejarah (historische interpretatie) yang meliputi penafsiran sejarah hukum dan penafsiran sejarah undang-undng
c.       Sistem dari peraturan yang bersangkutan
d.      Keadaan masyarakat
e.       Otentik (penafsiran resmi)
f.       Perbandingan
2.      Cara penerapan metode penafsiran
      Dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-tama selalu dilakukan penafsiran gramatikal, karena pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan perundang-undangan harus dimengerti dulu apa arti katanya, apabilaperlu dilanjutukan dengan penafsiran otentik atau enafsiran resmi yang ditafsirkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri , kemudian dilanjutkan dengan penafsiran historis dan sosiologis.
      Sedapat mungkin semua metode penafsiran supaya dilakukan agar didapat makna-makna yang tepat . Apabila semua metode tersebut tidak menghasilkan makna yang sama , maka wajib diambil metode penafsiran yang membawa keadailan setinggi-tingginya karena memang keadilan ituah yang dijadikan sasaran pembuat unfang-undang pada waktu mewujudkan undang-undang yang bersangkutan

C.    Perlunya Interpretasi Hukum
      Pada prinsipnya E. Utrecht di dalam “Pengantar Dalam Hukum Indonesia”menegaskan bahwasanya pekerjaan hakim menjadi suatu faktor atau kekuatan yang membentuk hukum,[2] itulah dialami resmi oleh undang-undang itu sendiri. Menurut pasal 14 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan:Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya( Ketentuan semacam ini adalah pasal 22 AB), Maka hakim dipaksa atau wajib turut serta mana yang merupakan hukum mana yang tidak .Bilama undang-undang tidak menyebut suatu perkara , maka hakim harus bertindak atas inisiatif sendiri. Hakim harus bertindak sebagai pembentuk hukum dalamhal undang-undang diam saja.Rasio ketentuan yang terdapat dalam pasal 14 ayat 2 undang-undang kekuasaan kehakiman ( pasal 22 AB ) itu :Masyrakat tidak tergolong apabila ditinggalkan denga perselisihan. Perselisihan yang tidak terselesaikan. Tugas hakim adalah menyelesaikan setiap perkara, jugalah dalam hal undang-undang juga diam.
      Pada dasarnya hukum bersifat dinamis, oleh karena itu hakim sebagai penegak hukum memandang kodifikasi sebagai suatu pedoman agar ada kepatin hukum , sedangkan dalam memberi putusan hakim harus juga mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat[3].Dengan demikian maka terdapat keluwesan hukum (rechtslenigheid)sehingga hukum kodifikasi berjiwa hidup yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Ternyatalah untuk memberi putusan seadil-adilnya seorang hakim harus mengingat pula adat kebiasaan, yurisprudensi, ilmu pengetahuan dan akhirnya pendapat hakim sendiri ikut menentukan dan untukitu perlu diadakan penafsiran hukum
      Menurut E. Utrecht, tugas penting dari hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan kejadian-kejadian konkrit dala masyarakat. Apabila udang-undang undang –undang tidak dapat ditetapkan hakim secara tepat menurut kata-kata undang-undang itu, maka harus ia menafsirkan undang-undang itu . Apabila undang-undang tidak jelas maka wajiblah hakim menfsirkannya sehingga dapa dibuat suatu keputusan hukum yang sungguh0sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yaitu mencapai kepastian hukum. Orang dapat mengatakan bahwa penafsiran undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim.[4]
D.    Interpretasi Analogis
      Interpretasi analogis adalah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan dengan cara memberikan kias atau ibarat pada kata-kata yang terdapat dalam undang-undang sesuai dengan asas hukumnya.[5] Dengan demikian suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan , lalu dianggap atau dibaratkan sesuai dengan bunyi peraturan tersebut.misalnya menyambung aliran listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listrik.
      Penganalogian menyambung aliran listrik adalah mengambil aliran lisrik erat kaitannya dengan pasal 362 KUH Pidana, yakni:
      Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk memilki secara melawan hukum , diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.
      Dalam penafsiran analogi akan terlihat antara lain:
1.      Hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, mungkin hukum lama sesuai untuk diterapkan lagi pada masa kini.Misalnya beberapa hukum dan asas hukum adat dapat diambil untuk dijadikan hukum nasional.
2.      Hukum Nasional sendiri dengan hukum asing.Pada hukum nasional terdapat kekurangan . Apabila ada keinginan untuk mengambil alih hukum asing.Apakah hukum asing itu sesuai dengan kepentingan nasional.Misalnya sepert hukum hak cipta yang terdapat di Negara maju dipertimbangkan apa sudah waktunya Negara kita mempunyai Undang-undang hak cipta
3.      Hukum kolonial peninggalan penjajah, karena asas konkordansi oleh Negara merdeka, masih tetap digunakan. Dalam hal ini Negara itu membandingkan hal-hal manakh yang sudah tidak sesuai lagi dengan hukum kepribadian nasional Negara itu.
      Sesungguhnya penafsiran analogi sudah tidak termasuk interpretasi, karena analogi sama dengan qiyas yaitu memberi ibarat pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuai peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut,misalnya menyambung atau menyantol aliran listrik dianggap sama dengan mengambil aliran listrik. Misalnya hakim cari undang-undang yang tepat untuk adili perkara kalau undang-undang tidak ada, maka ia lari ke.
a.       Yurisprudensi
b.      Dalil hukumadat
c.       Melakukan undang-undang secara analogi (konstruksi hukum)
      Hakim kalau dalam melakukan undang-undang secara analogi ini harus hati-hati dalam penggunaannya, maka ada hal-hal yang harus diperhatikan sebagai berikut.
a.       Apabila antara perkara yang dihadapi dan perkara yang diatur oleh undang-undang cukup persamaannya sehingga penerapan asas yang sama dapat dipetanggungjawabkan serta tidak bertentangan dengan asas keadilan.
b.      Apabila keadilan yang tertarik dari analogi hukum itu serasi dan cocok dengan system serta maksud perundang-undangan yang ada.
Tujuan melakukan secara analogi adalah untuk mengisi kekosongan dalam undang-undang.

E.     Mengisi Kekosongan Hukum
      Badan legislatif menetapkan peraturan-peraturan yang berlaku sebagai peraturan umum, sedangkan pertimbangan dalam pelaksanaaan hal-hal yang konkret diserahkan kepada hakim, sebagai pemegang kekuasaan yudikatif
a.       Penyusunan Suatu Undang-Undang
Menurut kenyataannya penyusunan suatu undang-undang memerlukan waktu yang relative lama, sehingga pada waktu dinyatakan undang-undang itu berlaku hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh undang-undang sudah berubah, terbentuknya suatu peraturan perundangan senantiasa terbelakang disbanding dengan kejadian-kejadian dalam perkembangan masyarakat.Berhubung dengan itulah (peraturan perundangan yang statis dan masyarakat yang dinamis), maka hakim sering harus memperbaiki undang-undang, agar sesuai dengan keyataan-kenyataan hidup dalam masyarakat.
b.      Dalam hal apakah hakim menambah peraturan perundang-undangan
Dalam hal ini berarti bahwa hakim memenuhi ruangan kosong (leemten) dalam sistem hukum formal.dari tata hukum yang berlaku.
Pesatnya kemajuan dan perkembangan masyarakat , menyebabkan hukum menjadi dinamis , terus-menerus mengikuti proses perkembangan masyarakat.Berhubung dengan itulah telah menimbulka konsekuensi bahwa hakim dapat dan bahkan harus memenuhi kekosongan yang ada dalam sistem hukum, asalkan perubahan itu tidak membawa perubahan prinsipil pada system hukum yang berlaku.

c.       Konstruksi hukum
Dengan menggunakan konstruksi hukum hakim dapat menyempurnakan sistem formal dan hukum, yakni sistem peraturan perundangan yang berlaku ( hukum positif)
Konstruksi hukum dalam perundangan dinamakan analogi




Rujukan:

Soeroso.1996.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta:Sinar Grafika

Arrasjid,Chainur.2001.Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta:Sinar Grafika

Sudarsono.2007.Pengantar Ilmu Hukum.Jakarta:PT. Rineka Cipta

E.Utrecht.1984.Pengantar Dasar Hukum Indonesia.Jakarta

Syarifin,Pipin.1999.Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Cv.Pustaka Setia

Kansil, C.S.T.2011.Pengantar Ilmu Hukum Indonesia.Jakarta: PT. Rineka Cipta








[1] Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta:Sinar Grafika,1996), h.97
[2] E.Utrecht,Pengantar Dasar Hukum Indonesia,(Jakarta, 1984)
[3] Sudarsono,Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2007), h.121
[4] Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, h.205
[5] Arrasjid, Chainur,Dasar-Dasar Ilmu Hukum,(Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h.94

No comments:

Post a Comment