Friday, February 27, 2015

Percobaan (Poging) Perbuatan Pidana

Percobaan yang dalam bahasa Belanda disebut poging menurut doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai tetapi belum selesai atau belum sempurna.[1] Pengertian percobaan dalam pasal 53 KUHP ditentukan bahwa, pertama mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Kedua, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga. Ketiga, jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.[2]

A.      Unsur-Unsur Percobaan menurut Pasal 53 ayat (1) KUHP, yaitu:
1.         Niat
Dalam Bahasa Belanda niat adalah voornemen yang artinya kehendak untuk melakukan kejahatan atau lebih tepatnya opzet atau kesengajaan (hazenwinkel-suriga;jonkers; pompe; simon). Opzet ditinjau dari tingkatannya meliputi.
a)        opzet dalam arti sempit yang berfungsi sebagai tujuan
b)        opzet dalam arti luas yang berfungsi sebagai kesadaran akan tujuan dan kesadaran akan kemauan
2.         Permulaan Pelaksanaan ( Begin Van UItvoering)
Kehendak atau niat saja belum mencukupi agar orang itu dapat dipidana. Permulaan pelaksanaan berarti telah terjadinya perbuatan tertentu dan ini mengarah kepada perbuatan yang disebut delik



3.         Pelaksanaan itu tidak selesai
Tidak selesainya pelaksanaan itu dapat terjadi karena berbagai sebab, baik yang bersumber dari diri pelaku (internal) dan dari luar diri pelaku (eksternal)
4.         Tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak sendiri.

B.       Delik Putatif dan Mangel Am Tatbestand
1.         Delik Putatif sebenarnya bukan merupakan delik ataupun percobaan untuk melakukan delik itu, melainkan merupakan kesalahpahaman dari seseorang yang mengira bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah perbuatan terlarang, tetapi ternyata tidak diatur di dalam perundang-undangan pidana.. Delik putatif perundang-undangan pidana sendir-sendiri untuk perbuatan yang sama. Misalnya saja, seorang yang menyimpan obat dengan pidana. Disini tidak dapat dipidananya orang tersebut adalah karena memang tidak ada ketentuan pidana yang melarang.
2.         Mangel am tatbestand adalah kekurangan unsur jadi, kekurangan unsur tindak pidana yang dilakukan, juga karena adanya kesalahpahaman, bukan karena tidak adanya undang-undang, tetapi Karena dalam keadaan tertentu ada salah satu unsurnya (yang disangka ada oleh pelaku). Misalnya saja seorang pria yang mengira bahwa ia telah melakukan pelanggaran hukum dengan menikah untuk kedua kalinya, padahal istri sahnya yang sudah lama tidak dijumpa itu sebenarnya telah meninggal. Atau seorang yang mengira telah mencuri barang milik orang lain, tetapi ternyata bahwa barang itu milik sendiri, karena oleh pemiliknya sebenarnya barang itu memang dihadiahkan kepadanya.

C.       Teori Poging
1.         Teori Poging Subjektif
menurut teori ini suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan dan oleh karena itu telah dapat dipidana. Apabila dalam diri si pelaku telah menunjukkan sikap maupun tabiat yang menunjukkan kehendak yang kuat untuk melakukan tindak pidana.
2.         Teori Poging Objektif
menurut teori ini suatu perbuatan dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan apabila perbuatan tersebut telah membahayakan kepentingan hukum.
Timbul persoalan lain apakah KUHP menganut teori poging subjektif atau menganut teori poging objektif.
a)        Kalau diperhatikan pasal 53 KUHP adanya kata kehendak atau maksud, maka KUHP juga menganut teori poging objektif
b)        Kalau dilihat bahwa poging adalah kejahatan yang belum selesai dan oleh karena itu ancamannya dikurangi 1/3 dari pidana pokok, maka KUHP juga menganut teori poging objektif.
Pendirian KUHP tersebut dapat dimaklumi, oleh karena itu didalam tindak pidana khusus, misalnya pasal 104 dan 110 KUHP, walaupun pada langkah persiapan perbuatan tersebut sudah dapat dipidana. Akan tetapi, kejahatan umum KUHP menganut teori poging objektif.

D.      Alasan Mempidana Percobaan
Teori-teori Subjektif yang mendasarkan semua tindak pidana pada tabiat si pelaku menganggap tabiat si pelaku ini sudah menjelma dalam percobaan melakukan tindak pidana. Sedangkan teori-teori objektif yang mendasarkan semua tindak pidana pada sifat membehayakan bagi kepentingan-kepentingan dalam masyarakat menganggap sifat membahayakan kepentingan sudah termasuk dalam tindak pidana. Oleh karena kepentingan-kepentingan ini baru sedikit dibahayakan, maka adalah sesuai dengan pandangan teori objektif ini bahwa maksimum hukuman pokok dari tindak pidana dalam hal percobaan dikurangi seperti yang ditentukan dalam pasal 53 ayat 2 dan 3.[3]
Ini adalah salah satu alasan bagi beberapa Penulis Belanda untuk menganggap bahwa pembentuk KUHP Belanda menganut teori objektif. Akan tetapi, sebenarnya kata voornemen (kehendak) untuk melakukan tindak pidana yang sudah harus tampak dalam pecobaan agak menandakanbahwa pembentuk undang-undang ingat pada teori subjektif yang menitikberatkan segala-galanya pada keadaan batiniah para pelaku. Maka, menurut alira subjektif ini pelaksanaan yang harus sudah dimulai (begin van uitvoering) dalam hal poging, berarti pelaksanaan dari kehendak atau voonemen itu, sedangkan menurut aliran objektif permulaan pelaksanaan ini adalah mengenai pelaksanaan dari kejahatan (misdrijf).

E.       Percobaan yang Tidak Berfaedah (Ondeugdelijke Poging)
Ada kalanya suatu percobaan tidak berfaedah karena sasaran, objek kejahatan, cara atau alatnya tidak mungkin dapat merealisasikan kejahatan tersebut, misalnya:
1.         R hendak membunuh P
R menembak P dengan sebuah pistol, tetapi pistol tersebut tidak berisi peluru
2.         X hendak membunuh Y
X menembak Y tetapi ternyata sebelum ditembak Y telah meninggal dalam hal ini X menembak mayat Y.
Hal diatas dalam ilmu hukum pidana disebut percobaan yang absolute tidak berfaedah. Namun, menurut teori subjektif, karena si pelaku ternyata telah mempunyai kehendak berbuat jahat, ia pun harus dijatuhi hukuman. Akan tetapi teori objektif mengutarakan bahwa apabila pelaku tersebut sama sekali tidak mungkin merealisasikan kehendak jahatnya, ia tidak dapat dihukum.

F.        Percobaan yang Tidak Diancam dengan Sanksi
Tidak semua percobaan melakukan kejahatan diancam dengan sanksi, ternyataKUHP mencantumkan hal tersebut dengan membuat rumusan bahwa percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu tidak dapat dihukum, antara lain:
1.         Pasal 184 ayat 5 KUHP, percobaan melakukan perkelahian tanding antara seseorang lawan seseorang
2.         Pasal 302 ayat 4 KUHP, percobaan melakukan penganiayaan ringan terhadap binatang
3.         Pasal 351 ayat 5 KUHP dan pasal 352ayat 2, percobaan melakukan penganiayaan dan penganiayaan ringan.
4.         Pasal 54 KUHP, percobaan melakukan pelanggaran, tdak boleh dihukum

G.      Percobaan sebagai Delik Tersendiri
Hal ini bermakna bahwa percobaan disamakan dengan delik. Dala KUHP dirumuskan bahwa percobaan merupakan delik, antara lain:
1.         Pasal 104-107, 139 a, dan 139 b KUHP yakni mengenai makar. Hal ini dirumuskan dalam pasal 87 KUHP yang berbunyi:
“Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan apabila niat untuk itu sudah nyata dengan permulaan melakukan perbuatan itu, seperti dimaksud dalam pasal 53,”
2.         Pasal 110, 116, 125, dan 139 c KUHP yakni tentang permufakatan jahat. Hal ini dirumuskan dalam pasal 88 KUHP yang berbunyi:
“Dikatakan ada permufakatan jahat apabila dua orang atau lebih bersama-sama sepakat akan melakukan kejahatan itu.”

H.      Perbuatan Persiapan sebagai Delik
Perbuatan persiapan yang secara umum, pelakunya tidak dapat dihukum. Namun, pada pasal 250,261, dan pasal 275 KUHP dirumuskan sebagai delik. Untuk Jelasnya perlu dicermati. Pasal-pasal tersebut yakni:
1.         Pasal 250 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa membuat atau menyediakan bahan atau barang yang diketahuinya bahwa itu disediakan untuk meniru, memalsukan,atau mengurangi harga mata uang, atau meniru memalsu uang kertas negeri atau uang kertas bank, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun….”
2.         Pasal 261 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa menyimpan bahan atau benda yang dikeyahuinya bahwa diperuntukkan untuk melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 253 atau dalam pasal 260 bis berhubung dengan pasal 253 diancam….”
3.         Pasal 275 KUHP, bunyinya:
(1)   Barangsiapa menyimpan bahan atau barang yang diketahuinya akan digunakan untuk salah satu kejahatan diterangkan dalam pasal 264, No. 2-5, dihukum.,….”[4]

I.         Sanksi Terhadap Percobaan
Hal ini diatur dalam pasal 53 ayat 2 dan ayat 3 yang berbunyisebagai berikut.
(2)      Maksimum hukuman pokok atas kejahatan itu dalam hal percobaan dikurangi dengan sepertiga.
(3)      Kalau kejahatan itu diancam dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhkan hukuman penjara paling lama lima belas tahun.
Hukuman Bagi percobaan sebagimana diatur dalam pasal 53 ayat 2 dan ayat 3 KUHP dikurangi sepertiga dari hukuman pokok maksimum dan paling tinggi lima belas tahun penjara.[5]
  


       Kesimpulan
Percobaan yang dalam bahasa Belanda disebut poging menurut doktrin adalah suatu kejahatan yang sudah dimulai tetapi belum selesai atau belum sempurna. Pengertian percobaan dalam pasal 53 KUHP ditentukan bahwa, pertama mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri

Unsur-Unsur Percobaan menurut Pasal 53 ayat (1) KUHP, yaitu:
1.         Niat
2.         Permulaan Pelaksanaan ( Begin Van UItvoering)
3.         Pelaksanaan itu tidak selesai
4.         Tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak sendiri.




  
 Rujukan: 
Maramis, Frans. 2013. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Marpaung, Leden. 2006. Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana Jakarta: Sinar Grafika
Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Prodjodikoro, Wiryono. 2011. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)




[1] Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindoo Persada, 2012), hal. 151
[2] Maramis, Frans, (Hukum Pidana Umum dan Tertuis di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) Hal.201
[3] Prodjodikoro, Wiryono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung Refika Aditama, 2011), hal. 107
[4] Kitab Undang-Undan Hukum Pidana (KUHP)
[5] Marpaung,Leden, Asas-Teori-Praktek  Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 97

Sumber-Sumber Hukum Tata Negara di Indonesia

A.  Hakikat Sumber Hukum
Sebelum mengetahui macam-macam sumber hukum, tentunya harus mengerti terlebih dahulu istilah dari sumber hukum itu sendiri. Hal ini disebabkan karena sumber hukum itu mempunyai arti yang bermacam-macam, tergantung dari sudut mana orang melihatnya. Bagi seorang ahli sejarah istilah sumber hukum pasti berbeda dengan istilah sumber hukum ahli filsafat ataupun ahli ekonomi.Oleh karena itu Paton mengatakan bahwa istilah sumber hukum itu mempunyai banyak arti yang sering menimbulkan kesalahan-kesalahan, kecuali kalau diteliti dengan saksama mengenai arti tertentu yang diberikan kepadanya dalam pokok pembicaraan tertentu pula.
Jadi untuk mengetahui sumber hukum itu terlebih dahulu harus ditentukan dari sudut pandang mana sumber hukum itu dilihat. Menurut Van Apeldoorn, istilah sumber hukum dipakai dalam arti sejarah, sosiologis, filsafat, dan formal.[1]
1.      Sumber Hukum dalam arti sejarah
Ahli sejarah memakai sumber hukum dalam dua arti.
a.       Dalam arti sumber pengenalan hukum, yakni semua tulisan, dokumen, inskripsi, dsb.
b.      Dalam arti sumber-sumber darimana pembentuk UU memperoleh bahan dalam membentuk UU, juga dalam arti sistem-sistem hukum, serta darimana tumbuhnya hukum positif sesuatu negara .
2.      Sumber Hukum dalam arti sosiologis
Menurut ahli sosiologis sumber hukum ialah faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, misalnya keadaan ekonomi, pandangan agama, dan saat-saat psikologis.
3.      Sumber Hukum dalam arti filsafat.
Dalam filsafat hukum istilah sumber hukum dipakai dalam dua arti.
a.       Sebagai sumber untuk isi hukum, kita mengingat pertanyaan, bagaimana isi hukum itu dapat dikatakan tepat sebagaimana mestinya atau dengan perkataan lain apakah yang dipakai sebagai ukuran untuk menguji hukum agar dapat mengetahui apakah ia hukum yang baik?
b.      Sebagai sumber untuk kekuatan mengikat dari hukum, dalam mana kita mengingat pertanyaan berikut. Mengapa kita harus mengikuti hukum?
4.      Sumber Hukum dalam arti formal
Bagi ahli hukum praktis dan bagi tiap-tiap orang yang aktif dalam pergaulan hukum, sumber hukum, adalah peristiwa timbulnya hukum yang berlaku (yang mengikat hakim dan penduduk).
Menurut Joeniarto,[2] sumber hukum dapat dibedakan dalam tiga pengertian. Pertama, sumber hukum dalam pengertian sebagai asalnya hukum positif, wujudnya dalam bentuk yang konkret ialah berupa “ Keputusan dari yang berwenang “ untuk mengambil keputusan mengenai soal yang bersangkutan. Kedua, sumber hukum dalam pengertiannya sebagai tempat ditemukannya aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan hukum positif. Wujudnya ialah berupa peraturan-peraturan atau ketetapan-ketetapan tertulis ataupun tidak tertulis. Ketiga selain istilah sumber hukum dihubungkan dengan filsafat, sejarah, dan masyarakat.. Kita mendapatkan sumber hukum filosofis, historis, dan sosiologis. Sumber hukum filosofis maksudnya agar penguasa berwenang nanti di dalam menetukan hukum positif, mempertimbangkan faktor-faktor yang berupa filosofis. Sumber Hukum Historis maksudnya agar penguasa yang berwenang dalam menentukan isi hukum positif, mempertimbangkan faktor-faktor historis. Sumber hukum sosiologis maksudnya penguasa dalam menetukan isi hukum harus memperhatikan faktor dalam lingkungan masyarakat.



B.  Macam-Macam Sumber Hukum
Pandangan beberapa ahli hukum mengenai macam sumber hukum sangatlah banyak. Salah satunya Utrecht mengenai macam sumber hukum dapat dibagi menjadi sumber hukum materiil dan sumber hukum formiil.[3] Sumber Hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi dari suatu hukum. Sumber hukum ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuat Undang-Undang, pengaruh terhadap keputusan hakim, dsb.), faktor-faktor yang ikut mempengaruhi materi (isi) dari aturan-aturan hukum atau tempat darimana materi hukum itu diambil. Sumber hukum yang termasuk kedalam sumber hukum dalam arti materiil ini, diantaranya:
1.      Dasar dan pandangan hidup bernegara.
2.      Kekuatan-kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan sumber hukum
Sedangkan sumber hukum formiil adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya. Karena bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum, diketahui dan ditaati. Disinilah suatu kaidah memperoleh kualifikasi sebagai kaidah hukum dan oleh yang berwenang ia merupakan petunjuk hidup yang harus diberi perlindungan.[4]
Selanjutnya untuk menetapkan suatu kaidah hukum itu diperlukan suatu badan yang berwenang. Kewenangan dari badan tersebut diperolehnya dari kewenangan badan yang lebih tinggi . Sehingga mengenal sumber hukum dalam arti formiil itu sebenarnya merupakan suatu penyelidikan yang bertahap pada tingkatan badan mana suatu kaidah hukum itu dibuat.
Sumber hukum formal diartikan sebagai tempat atau sumber darimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum  Untuk memperoleh sifatnya yang formal, sumber hukum dalam arti ini setidak-tidaknya mempunyai dua ciri,
1.      Dirumuskan dalam suatu bentuk
2.      Berlaku umum, mengikat, dan ditaati
Sumber Hukum formal disebut juga sebagai sumber berlakunya hukum. Sumber hukum dalam arti formal terdiri dari.
1.      Peraturan perundang-undangan yang berlaku
2.      Peraturan adat yang hidup dan diakui oleh negara
3.      Kebiasaan (konvensi) dalam ketatanegaraan
4.      Yurisprudensi (keputusan hakim terdahulu)
5.      Traktat (Perjanjian internasional antar negara)
6.      Doktrin. (pendapat para ahli hukum)

C.  Sumber-Sumber Hukum Tata Negara di Indonesia
Pancasila sebagai falsafah negara sekaligus pandangan hidup bangsa Indonesia merupakan suatu sumber hukum dalam arti materiil yang tidak hanya menjiwai bahkan harus dilaksanakan oleh setiap peraturan hukum.Oleh karena itu pancasila merupakan alat penguji  terhadap peraturan yang berlaku , apakah bertentangan atau tidak dengan pancasila.
Sumber hukum formiil dalam hukum tata negara yakni UUD 1945. Selain merupakan hukum dasar tertulis yang mengatur masalah kenegaraan, ia juga merupakan dasar ketentuan lainnya.. dari UUD 1945 ini mengalir peraturan-peraturan pelaksana yang menurut tingkatannya masing-masing merupakan sumber hukum formiil, yaitu:

1.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
Tap MPR/MPRS dibuat oleh MPR, Istilah Ketetapan dalam Tap MPRS-MPR sebenarnya tidak ada dalam UUD 1945, istilah ini mungkin diambil MPRS pada sidang-sidangnya yang pertama, dari bunyi pasal 3 UUD 1945 dimana terdapat sumber hukum Ketetapan MPR-MPRS pada saat ini masih merupakan sumber hukum. Karena ada beberapa Tap MPR ynag dinyatakan tetap berlaku oleh ketetapan MPR No. V/MPR/1973 yaitu Tap MPRS no.XX, XV, dan XIX.yang semuanya ditetapkan tahun 1966 Ketetapan Majelis Permusyawaratan yang lain ada yang sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi maupun karena isinya tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang.

2.    UU/ Perpu ( Peraturan Pemerintah Pengganti UU)
UU/ Perpu sebagai sumber hukum dapat dilihat dari UUD 1945 dalam pasal 5 ayat 1 dan pasal 20 ayat 1 serta pasal 22.UU ini selain berfungsi melaksanakan UUD 1945 dan Tap MPR/MPRS, juga mengatur hal-hal yang tidak diatur dalam UUD 1945 maupun Tap MPR/MPRS. UU sebagai pelaksana UUD 1945, misalnya UU Nomor 16/1969, tentang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, adalah pelaksanaan dari pasal 2 ayat 1 dan pasal 19 UUD 1945. UU sebagai pelaksana Tap MPRS, antara lain.UU no.15/1969 tentang Pemilu sebagai pelaksanaan dari Tap. MPRS no. I/MPRS/1966 jo no. XLII/MPRS/1968 UU yang bukan pelaksana dari UUD 1945 atau Tap MPR/MPRS misalnya UU no. 1/1974 tentang perkawinan.
Bentuk peraturan lain yang sederajat dengan UU yakni Perpu. Perpu ini ditetapkan oleh Presiden dalam hal memaksa saja, yang kalau ditetapkan dalam bentuk UU membutuhkan waktu cukup lama, Sedangkan keadaan tersebut harus segera diatasi. Sehingga Presiden diberi hak menetapkan Perpu atas persetujuan DPR dalam sidang berikutnya. Kalau DPR menyetujui Perpu tersebut bisa menjadi UU, akan tetapi kalau DPR menolak Presiden harus mencabut Perpu. Ini diatur dalam pasal 22 UUD 1945.

3.    Peraturan Pemerintah
Presiden menetapkan PP untuk melaksanakan UU sebagaimana mestinya, demikian bunyi pasal 5 ayat 2 UUD 1945. Karena PP diadakan untuk melaksanakan UU, tidak mungkin Presiden menetapkna PP sebelum ada UU.

4.    Keputusan Presiden
UU, Perpu,, dan PP adalah bentuk-bentuk peraturan yang disebut dalam UUD 1945. Tidak demikian halnya dengan Keppres sebagai bentuk peraturan yang baru ditetapkan oleh Tap MPRS no. XX/MPRS/1966. Keputusan Presiden ini dimaksud untuk melaksanakan ketentuan UUD 1945, Tap MPRS dalam bidang eksekutif, atau PP dan bersifat sekali (einmahlig) [5]

5.    Peraturan Pelakasana Lainnya
Maksud dari Peraturan pelaksana lainnya adalah bentuk-bentuk peraturan yang ada setelah TapMPRS no.XX/MPRS/1966 dan harus bersumber kepada peraturan perundangan yang lebih tinggi, misalnya Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dsb.

Sumber-sumber Hukum formiil dari Hukum Tata Negara tersebut diatas, adalah sesuai dengan Tap MPRS no. XX/MPRS/1966,[6] yang kemudian oleh Tap MPR no. V/MPR/1973 dinyatakan tetap berlaku.[7]
Dalam memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni i966 telah dikukuhkan oleh MPRS dengan ketetapan MPRS no. XX/MPRS/1966, MPR dengan ketetapan MPR no.V/MPR/1973 dan lampiran II tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan  RI menurut UUD 1945 dalam huruf A disebutkan  hierarki Peraturan Perundang-undangan menurut Tap. MPRS no. XX/MPRS/1966.
1.      UUD 1945
2.      Ketetapan MPRS-MPR
3.      UU/ Peraturan Pemerintah Pengganti UU
4.      Peraturan Pemerintah
5.      Keputusan Presiden
6.      Peraturan Pelaksana Lainnya:
-          Peraturan Menteri
-          Instruksi Menteri, Dll
Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, Tap. MPRS no. XX/MPRS/!966 tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum RI dan tata urutan peraturan perundan-undangan RI dan Tap. MPR RI no. IX/MPR/1978 tentang perlunya penyempurnaan yang termaktub dalam pasal 3 ayat 1 Tap. MPR RI no. V/MPR/1973 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya ditetapkanlah Tap. MPR no. III/MPR/2000.
Melalui sidang tahunan MPR RI 7-18 Agustus 2000 MPR mengeluarkn Tap. MPR no. III/MPR/2000 tentang hierarki Peraturan Perundangan [8]
1.      UUD 1945
2.      Ketetapan MPR
3.      UU
4.      Perpu
5.      Peraturan Pemerintah
6.      Keputusan Presiden
7.      Peraturan Daerah
Setelah beberapa tahun berjalan akhirnya Tap. MPR no. III/MPR/2000 mulai tergantikan perannya oleh UU no.10 Tahun 2004 tentang hierarki Peraturan Perundangan. Pada tanggal 24 Mei 2004, DPR dan pemerintah telah menyetujui Rancangan UU. Penghapusan sumber hukum Tap. MPR dari tata urutan peraturan perundangan dinilat tepat, karena menurut Hamid S. Attamini Ketetapan MPR tidak tepat dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, yang termasuk peraturan perundang-undangan adalah UU ke bawah, UUD dan Tap. MPR harus dilepaskan dalam pengertian peraturan perundangan.
Hierarki peraturan perundangan menurut UU no. 10 tahun 2004[9]
1.      UUD 1945
2.      UU/Perpu
3.      Peraturan Pemerintah
4.      Peraturan Presiden
5.      Peraturan Daerah
-          Perda Provinsi
-          Perda Kab/kota
-          Perdes/ yang setingkat
Pada tanggal 12 Agustus 2011 pemerintah telah mengundangkan UU no.12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan menggantikan UU no.10 tahun 2004 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. UU ini merupakan penyempurnaan dari UU sebelumnya untuk menutupi kelemahan-kelemahannya.
Hierarki peraturan perundangan menurut UU no. 12 tahun 2011 [10]
1.      UUD 1945
2.      Ketetapan MPR
3.      UU/ Peraturan Pemerintah Pengganti UU
4.      Peraturan Pemerintah
5.      Peraturan Presiden
6.      Peraturan Daerah Provinsi
7.      Peraturan Daerah Kab/Kota





BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Hakikat sumber hukum dapat diketahui dengan melihat darimana sudut pandangnya. Jadi arti sumber hukum memiliki makna yang bermacam-macam sesuai cara pandangnya. Macam-macam sumber hukum pada dasarnya terdiri dari sumber hukum materiil dan sumber hukum formiil.Sumber-sumber hukum tata negara yang berlaku di Indonesia yaitu: Pancasila, UUD 1945, Tap MPR, UU/Perpu, PP, Keppres, dan Peraturan pelaksana lainnya.Hierarkhi peraturan perundangan di Indonesia senantiasa mengalami perubahan mulai dari Tap MPR no. XX/MPR/1996, Tap MPR no. III/MPR/2000, UU no. 10 Tahun 2004, dan UU no. 12 tahun 2011.
   
  


Rujukan:

Huda, Ni’matul, 2012. Hukum Tata Ngara Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Ibrahim, Harmaily dan Moh. Kusnardi. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI
LJ. Van Apeldoorn. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita
Joeniarto.1991. Selayang Pandang Sumber-sumber Hukum Tata Negara di Indonesia. Yogyakarta: Liberty
E, Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtisar
Tap. MPRS XX/MPRS/1966 bagian II Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia  menurut UUD 1945.
Ketetapan MPRS XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
Ketetapan MPR no. V/MPR/1973tentang peninjauan produk-produk yang berupa ketetapan Majelis Permusyawaratan Sementara RI
UU no.12 Tahun 2011 tentang hierarki peraturan perundangan
Tap. MPR no.III/MPR/2000 tentang hierarki Peraturan Perundangan
UU no.10 Tahun 2004 tentang hierarki peraturan perundangan




[1] LJ. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum ( Jakarta: cetakan kedua puluh Sembilan, Pradnya Paramita , 2001), Hal. 75-77
[2] Joeniarto, Selayang Pandang Sumber-sumber Hukum Tata Negara di Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1991), hal 2-17
[3] E, Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia , Ichtisar, Jakarta, hal. 133-134
[4] Ibid, hal 72-75
[5] Tap. MPRS XX/MPRS/1966 bagian II Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia  menurut UUD 1945.
[6] Ketetapan MPRS XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia
[7] Ketetapan MPR no. V/MPR/1973tentang peninjauan produk-produk yang berupa ketetapan Majelis Permusyawaratan Sementara RI
[8] Tap. MPR no.III/MPR/2000 tentang hierarki Peraturan Perundangan
[9] UU no.10 Tahun 2004 tentang hierarki peraturan perundangan
[10] UU no.12 Tahun 2011 tentang hierarki peraturan perundangan