Buah
atribut ilahi. “atribut” (shifah) adalah juga bentuk feminim. JIka kamu ingin
mengatakan (bahwa dia muncul) dari kekuasaan ilahi. “kekuasaan“ (qudrah) adalah
juga bentuk feminism. Ambil posisi apa saja yang kamu inginkan. Kamu akan
menemukan bahwa bentuk feminin mendapatkan prioritas.Bahkan ketika mereka
menyatakan bahwa Tuhan merupakan penyebab dari kosmos. Karena penyebab (illat)
adalah bentuk feminin.
Jandi meringkaskan makna penting
dari pembahasan ini dengan satu tulisan panjang yang ditulis kembali dengan
penjelasan sedikit lebih banyak oleh Kasyani. Kedua pengarang itu melihat akar
dari semua yang dan yin dalamrealitas tak terbatas, atau esensi tuhan, yang
sekaligus aktif dan reseptif terhadap aktivitas.
Tulisan ini merupakan salah satu
pembahasan yang sulit dipahami diantara seluruh ulasan-ulasan Fushush. Sbagian
terjemahan dari tulisan itu mengikuti Kasyan. Namun, bagian-bagian dalam
tandakurung () mengikuti versi asliJandi karena saya mendapatinya lebih jelas
disbanding Kasyani.
Sang Syeikh mengatakan bahwa nabi
membuat gender femini mendminasi gender maskulin. Meskipun dia adalah yang
paling faih diantara orang-orang Arab asli. Nabi melakukan hal ini sebab dia
menaruh perhatian besar untuk memberikan hak segala sesuatu, setelah
mencapaibatasan paling jauh dari pembenaran realitas-realitas.
Alasan untuk ini adalah bahwa asal
usul dari segala sesuatu disebut “Induk” (umm) sebab cabang-cabangitu tumbuh
dari induknya. Tidaklah kalian tahu bahwa Tuhan berfirman , “ Bertawakallah
kpada Tuhn mu yang menciptakan dar sat jiwa dan darinya (Perempuan) Dia
menciptakan tentang pasangannya dan dari keduanya berkembangbiak banyak pria
dan wanita (QS 4:1) “kaum wanita” adalah bentuk femini, sementara jiwa dari
mana pennciptaan terjadi adalah juga feminine. Dengan cara yang sama, aar dari
segala akar, yang diluar itu tidak ada yang diluar lagi , disebut Realitas (yang meruakan bentuk feminin). Hal yang sama
berlaku juga dalam “Entitas” dan
“Esensi” semua kata-kata ini adalah feminine.
Dengan membuat yang feminine
mendominasi yang maskulin. Nabi ingin menunjukkan kedudukan kaum wanita. Mereka
mencakup makna akar dari mana segala sesuatu menumbuhkan cabang. Hal yang sama
juga berlaku untuk alam atau yang lebih tepat Realitas , meskipun Realitas
adalah bapak dari segala hal sebab dia (wanita) merupakan Wakil Mutak, Dia
adalah juga sang Induk. Dia menyatukan aktivitas dan penerimaan aktivitas. Maka
dia identik dengan lookus penerima aktivtas dalam bentuk lokus itu, dan dia
identik dengan yang aktif dalam bentuk aktif itu. Realitasnya sendiri menuntut
agar dia menyatukan entifikasi dan non-entifikasi. Maka dia menjadi
terentifikasi melalui setiap entifikasi pria atau wanita, sebagaimana dia tak
terbandingkan dengan setiap entifikasi.
Dalam kaitan dengan entifikasi-Nya
melalui entifikasi pertama. Dia merupakan satu entitas yang menuntutkesetaran
dan keseimbangan antara aktivitas dan penerimaan aktivitas , manifestasi dan
non-manifestasi. Dalam kaitan dengan menjadi non manifest di dalam setiap bentuk.
Dia dalah yang aktif, sementara dalam kaitan denagan menjadi manifes.Dia
menerima aktivitas. Ini seperti penjelasan mengenai ruh yang menguasai tubuh.
Entifikasi pertama dapat dapat
disaksikan selama ia terwujud dalam esensinya sendiri melalui non-entifikasi
dan non-delimitasi dari esensi itu. Sebab entifikasi dalam esensinya sendiri.
Harus didahului oleh non-entifikasi. Realitas mengingat bahwa dia adalah dia,
teraktualisasi dalam setiap benda yang terentifikasi. Maka entifikasi ini
menuntut bahwa ia didahului oleh non-entifikasi. Atau yang lebih tepat,setiap
entifikasi, daam kaitan dengan Realitas dan pengabaian delimitasi adalah tidak
terbatas. Maka sesuatu yang terentifikasi didukung dan ditopang oleh yang tidak
dibatasi. Dalam kaitan dengan akar yang tidak dibatasi. Ia menerima aktivitas
dan membuat akar terwujud. Dan akar itu aktif di dalamnya dan tersembunyi,.
Maka ia menjadi lokus untuk menerima aktivitas karena menjadi terentifikasi di
dalam dirinya sendiri setelahtidak dibatasi, meskipun entitasnya adalah satu.
Sedangkan mengenai non-entifikasi,
jika kita mempertimbaangkan-Nya dalam pengertian yang menegaskan entifikasi,
maka pengetahuan tentang itu tergantung pada entifikasi. Tanpa entifikasi,
non-entifikasi tidak dapat diaktualisasikan dalam pengetahuan. Maka dalam
pengetahuan, non-entifikasi menerima aktivitas dari entifikasi dan aktualisasi
dari sesuatu yang terentifikasi melalui entifikasi pertama.
Jika kita pertimbangkan Realitas
yangv tidak dibatasi baik oleh entifikasi maupun non-entifikasi. Maka dia
memilki keutamaan dibandingkan keduanya. Keduanya entifikasi dan non-entifikasi
dalam pengertian negasi didahului oleh Realitas dan menerima aktivitas-Nya,
sebab keduanya adalah hubungan yang dimilki oleh-Nya secara setara.
( maka baik aktivitas maupun
penerimaaan aktivitas ditetapkan untuk entifikasi pertama. Dan sesuatu yang
menjadi terentifikasi di dalamnya).
Melalui entifikasi pertama, realitas
membiarkan non-maifestasi dari Esensi-Nya menjadi terwujud didalam
penampakan-Nya yang pertama dan terbesar. Masing-masing dari lima turunan itu
merupakan manifestasi Dari sustu non-manifestasi, atau sesuatu yang terlihat
dari yang tak terlihat. Untuk mengentifikasi dan membatasi yang tidak dibatasi,
masing-masin lokus manifestasi dan pengungkpan diri bertindak terhadap yang tak
dibatasi. Maka dalam hal ini benarlah jika dikatakan bahwa benda yang
terentifikasi dan entifikasi menjalankan aktivitas dan efektifitas di dalam
Realitas.
Maka kemanapun Realitas bergerak dan
dalam wajah manapun dia terwujud. Dia memiliki aktivitas dan penerimaan
aktivitas, kebapakan dan keibuan. Maka benarlah Jiak kita berikan gender femini
pada Realitas, Entitas, dan Esensi. Namun Barzakh yang mahaluas, yaitu Adam
yang sejati berdiri diantara kedua bentuk femini itu.
Kasyani mengakhiri pembahasan ini
setelah mengemukakan penjelasan ringkas tentang kata-kata femini lain yang
disebutkan dalam Teks IbnAl-‘Arabi. Namun Jandi terus mengembangkan sifat
saling melengkapi dari yin dan yang yang terdapat dalam Realitas, yang diri-Nya
merupakan dimensi batin dari Barzakh mahaluas yang dikenal sebagai
manusia.Sebab manusia yang diciptakan dalam citra tuhan, menyatukan di dalam
hakikat paling batiniah mereka, setiap sifat yang ada dalam realitas dengan
cara yang sangat serasi. Mereka mewujudkan dua tangan tuhan. Maka dalam
eksistensi lahiriah mereka, sampai batas dimana mereka mencapai kesempurnaan
dari keadaan manusiawi merek, mereka menjadi wajah Tao, Jandi melanjutkan.
Hendaklah kalian menyadari bahwa
Realitas akar, yang meruakan asal usulrealitas manusia. Menerima melalui
Realitas-Nya sendiri aktivitas dan penerimaan aktivitas, manifestasi dan juga
nonmanifestasi. Sebab sesungguhnya, hubungan-hubungan ini merupakan
modalitas-modalitas dari Esensi-Nya sendiri. Maka mereka tidak berubah atau
menghilang. Realitas mahaluas yang satu ini, menuntut realitas Barzakh yang
menyatukan non-delimitasi dan delimitasi , entifikasi dan non-entifikasi ,
manifestasi dan non-manifestasi, aktivitas dan peneriman aktivitas.
Realitas-Barzakh manusia menerima aktivitas dari Entitas antara Entifikasi
pertama dan non-entifikasi dari esensi.
Dia (Realitas-Barzakh) menyatukan keduanya seraya menjaga agar mereka tetap
terpisah. Dia menjadi terwujud melalui tiga serangkai. Bentuk tunggal pertama,
yang merupakan asal-usul konfigurasi Nabi dan akar dari eksistensinya.
Bentuk feminin adalah penggambaran
dari apa yang menerima aktivitas dalam esensinya. Dengan cara yang sama bentuk
maskulin merupakan sifat dari sesuatu yang aktif. Situasi actual berdiri
diantara yang nyata, yang non-manifes atau manifest dan seorang makhlu, juga
yang non-manfes atau manifest, didalam kedua kedudukan dari kepertamaan dan
keterakhiran dan dengan dua hubungan dari manfestasi dan non-manifestasi aau
ketidakterlihatan dan keterlihatan. Namun Realitas adalah satu dalam seluruhnya.
Dan aktivitas dan penerimaan aktivitas dimilki oleh esensi-Nya yang
sesungguhnya dan yang sebenarnya dalam semua hubungan ini manifestasi dan
non-manifestasi, ketidakterlihatan dan keterlihatan, kamkhlukan dan kenyataan,
Tuaha dan hamba dalam kaitannya dengan kesaan Enttas.
Maka Barzakh mahaluas itu aktif
diantara dua hal yang menerima aktivitas, seperti gender maskulin diantara dua
gender feminine,Nabi membuat misteri-misteri dan realitas-realitas ini terwujud
dalam kaitan dengan telah diberikannya “kata-kata mahaluas” di semua kata-kata
dan tindakannya. Demikian pula dia mempertimbangkan bentuk tunggal dalam segala
benda. Maka dia memberikan prioritas pada bentuk feminine sejati yang dimiliki
oleh Esensi, Realitas, Entitas, Ilahiyah, Ketuahan, Atribut, dan penyebab
tergantung pada keragaman sudut pandang dan pertimbangan. Dia juga meletakkan
gender feminine di tempat terakhir melalui “sholat” dan dia menempatkan parfum
yang “maskulin” diantarakedua bentuk femini itu.Jadi betapa besarnya
pengetahuan yang dimilkinya mengenai realitas-realitas, sebagaimana yang
dikatakan oleh Syeikh! Ketahuilah ini, sebab pembahasan-pembahasan ini,
meskipun telah berulangkali dikemukakan dalam buku ini, sangat sulit untuk
dipahami oleh oran apabila Realitas belum diungkapkan kepada mereka.
Nasihat
Rohani
Bagian-bagian tulisan yang telah
dikemukakan diatas metinya dapat menjelaskan bahwa Ibn Al-‘Arabi dan banyak
pengikutnya memandang Realitas mutlak sebagai yin yang dominan dengan cara yang
sama dengan konsepsi Taois dalam Tao.Maka, meskipun esensi melampaui segala
perbedaan, ereka memandang “it” sebagai “she” personal, buakn “it” yang
impersonal sebagiman pengertiannya dalam tata bahasa inggris. Ibn Al-‘Arabi
mengemukakan konsekuensi praktis dari bentuk femini ilahiah ini seraya
menjelaskan pentingnya menyebut Tuhan dengan kata ganti orang kedua tunggal
ketika mengutip surat Al-Fatihah. DIa mengatakan bahwa orang-orang tidak
mempunyai pilihan kecuali memohon kepada Tuhan melalui doa, entah mereka
mengguanakan kata ganti maskulin atau femini dalam melakukan hal itu. “Sebab”
dia berkata , “saya kadang-kadang menggunakan kata ganti feminine ketika
menyebut nama Tuhan , Dengan mengingat Esensinya lagi-lagi ini bukan berarti
bahwa Ibn Al-Arabi menganjurkan orang untuk menyebut nama Tuhan dalam bentuk
feminine; Dia semata-mata berkata bahwa melakukan hal itu merupakan suatu
kemungkina, asalkan kita memahami alas an-alasan kuat yang mendorong kita untuk
melakukannya. Namun Dia jelas tidak akan menyarankan bentuk penyebutan ini,
sebab hal itu berkitan dengan bidang yang sangat sensitif yang dibahas dalam
bagian-bagian Fushush yang baru saja dikutip.
Saya akan menutup babini dengan
mengingatkan pembaca tentang konteks ajaran-ajaran Ibn Al-‘Arabi tentang wanita
sebagai citra tuhan. Ibn Al-‘Arabi tidak menulis Futuhat atau Fushush Al-Hikam
untuk sembarang orang. Dia menunjukkan buku-bukunya itu kepada orang-orang yang
menganggap kesempurnaan ruhani sebagai tujuan hidup mnusia. Ajaran-ajarannya
terutama tidak bersifat teoritis atau filosofis, tidak soal betapa abstrak atau
tidak relevannya mereka di mata sebagian orang. Di tengah berusaha memetakakn
kosmos dan jiwa sehingga para praktisi yang serius dari disiplin ini dapat
mencapai tujuan menyatu dengan Tuhan.
Pendeknya, ajaran-ajaran Ibn
Al-‘Arabi mengenai makna ruhaniah dari seksualitas merupakan petunjuk bagi
sedikit orang yang mempunyai keunggulan intelektual dan ruhani dalam
mempraktikannya. Untuk orang-orang awam, dia tidak mempunyai resep khusus di
luar ajaran-ajaran syariah mengenai hubungan manusia; dengan kata lain, dia
menerima orientasi “Patriarkhal” dari ajaran-ajaran islam yang menekankan
perbedaan dan kemustahilan Tuhan untuk diperbandingkan. Tetapi dia mempunyai
nasihat lebih lanjut bagi mereka yang berusaha sungguh-sungguh untuk menyatukan
seluruh dimensi eksistensi mereka sendiri ke dalam yang Nyata. Orang-orang
semacam itu hendaknya mengakui bahwa kesamaan dan keserupaan Tuhan dengan
kosmos memungkinkan adanya penilaian yang sepenuhnya positif atas
dimensi-dimensi feminin dari realitas.
Ibn Al-‘Arabi menyediakan bab
terakhir Futuhat, salah satu bab yang yang lebih panjang dalam buku itu, untuk
menasihati para musafir ruhani. Disana dia menjelaskan betapa semua diskusi
“abstrak” dalam karya-karyanya dapat diterapkan secara langsung dalam
kehidupan. Dalam satu bagian dia berbicara tentang cobaan-cobaan yang dihadapi
orang dalam keseharian mereka. Dia mencatat beberapa ayat Al-Qur’an, seperti
QS. 64: 14-15: “ Hai orang-orang beriman, sesungguhnya diantara istri-istri dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuhmu, maka berhati-hatilah terhadap mereka…
Sesungguhnya harta dan anak-anakmu adalah cobaan belaka.”Menghadapi cobaan
berarti diuji, dan pemberi cobaan itu adalah Tuhan. Ibn Al-‘Arabi menyebutkan
empat rahmat ilahi melalui mana kaum pria dicoba; kaum wanita, anak-anak,
kekayaan, dan kedudukan. Dia menyediakan beberapa halaman untuk menjelaskan
bagaimana seseorang dapat lulus dari ujian setelah diberi satu atau lebih
rahma-rahmat ini. Ujian pertama yang dihadapinya adalah dengan kaum wanita. Di
sini kita melihat pernyataan-pernyataan gamblang tentang penerapan praktis dari
apa yang dikatakannya di tempat-tempat lain dalam karyanya yang membicarakan
tentang hubungan seksual manusia.
Hendaknya kamu berpaling kepada
Tuhan ketiak menghadapi cobaan-cobaan, sebab “ Tuhan mencintai setiap orang
yang sedang menghadapi cobaan dan berpaling kepadanya. “Demikian dikatakan oleh
Rasulullah, Dan Tuhan berfirman, “ Dia menciptakan kematian dan kehidupan untuk
mengujimu, siapa diantaramu yang lebih baik amal perbuatannya. “( QS 67: 2).
Cobaan dan ujian mempunyai makna yang sama, yang tidak lain dari ujian bagi
umat manusia dalam perbuatan mereka. “ Ini sungguh-sungguh cobaan dari engkau.
“ yaitu ujianmu, “ dengan engkau biarkan sesat sipa saja yang engkau
kehendaki,”yaitu engkau bingungkan dia, “dan engkau beri petunjuk orang-orang
yang engkau kehendaki, “ ( QS. 7: 155) , yaitu engkau lapngkan jalan bagi
orang-orang itu di tengah-tengah cobaan yang dihadapi.
Cobaan yang paling besar adalah kaum
wanita, harta, anak-anak, dan kedudukan keempat-empatnya. TUhan menguji
hambanya dengan kesemua ujian tersebut atau dengan salah satu diantaranya. Jika
hamba itu bertidak benar ketika cobaan diarahkan padanya, berpaling kepada
Tuhan ketika menghadapinya, tidak berhenti dengannya dalam kaitan dengan
entitasnya, dan menganggapnya sebgai rahmat melalui mana Tuhan mencurahkan
rahmat kepadanya, maka Tuhan pun akan mencurahkan rahmat melaluinya. Jadi hamba
itu mengembalikan cobaan itu kepada Tuhan dan berdiri tegak dengan penuh rasa
syukur, seperti yang diperintahkan Tuhan kepada nabi-Nya, yaitu Musa . Tuhan
berfirman kepada Musa, “ Wahai Musa, bersyukurlah kepada-Ku dengan rasa syukur
yang sesungguhnnya.” Musa bertanya, “Tuhanku apakah rasa syukur yang
sesungguhnya itu?” Tuhan berfirman kepadanya, “ Musa ketika kamu menganggap
semua rahmat datang dari-Ku maka itulah rasa syukur yang sesungguhnya. “
Sedangkan mengenai cobaan dengan
kaum wanita, bentuk dari kembali kepada Tuhan dengan mencintai mereka adalah
bahwa keseluruhan mencintai bagiannya dan merindukannya. Mak keseluruhan itu
mencintai hanya dirinya sendiri. Sebab wanita, pada dasarnya, diciptakan dari
pria dari tulang rusuknya yang pendek. Maka dalam kaitan dengan diri pria.
Wanita ditempatkan pada bentuk dariman Tuhan menciptakan manusia sempurna,
yaitu bentuk dari yang Nyata. Maka yang Nyata menjadikannya lokus pengungkapan
bagi pria. Ketika sesuatu menjadi lokus pengungkapan bagi sesuatu yang lain,
dia hanya melihat dirinya sendiri dalam bentuk itu.. Ketika priaa melihat
bentuknya sendiri pada wanita ini, cintanya kepada wanita dan kecenderungannya
terhadap mereka menjadi semakin beesar, sebab mereka merupakan bentuknya
sendiri. Pada saat yang sama, telah menjadi jelas kepadamu bahwa bentuk pria
merupakan bentuk dari yang Nyata yang dimunculkannya. Maka melihat hanya yang
Nyata, namun dengan nafsu cinta dan kegembiraan dalam penyatuan. Pria menjadi
hilang di dalam diri wanita dengan kehilangan yang nyata dan cinta sejati. Pria
bersesuaian dengan wanita melalui keserupaan . Maka pria menjadi hilang dalam
diri wanita , sebab tidak ada bagian dari diri pria yang tidak ada dalam diri
wanita. Cinta dapat meresap ke seluruh bagian diri pria sedemikian rupa
sehingga dia mencurahkan seluruh dirinya untuk wanita. Itulah sebabnya pria
menjadi hilang dalam yang menyerupai dirinya dengan kehilangan yang sempurna,
bertentangan dengan cintanya pada sesuatu yang tidak merupakan keserupaannya.
Dengan kata lain, seorang manusia
dapat sepenuhnya terserap dalam cinta kepada manusia lainnya (atau dalam cinta
kepada Tuhan), namun tidak dalam cinta kepada makhluk ciptaan lainnya. Ibn
Al-‘Arabi mengemukakan soal ini secara jelas dalam konteks yang lain.
Tanggapan
:
Pada dasarnya setiap manusia
diciptakan oleh Allah SWT dengan berpasang-pasangan, antara laki-laki dan
perempuan. Dalam ikatan resmi perkawinan antara keduanya, seolah-olah wanita
adalah objek aktivitas dengan kata lain pasif. Ini sungguh berbeda dengan pria
yang sebagian besar memiliki sikap yang aktif. Dari sudut penciptaan memang
terlihat bahwa Ibu Hawa tercipta dari sebagian kecil tulang rusuk Adam. Tetapi
jika dilihat dari sudut pandang kemunculan generasi manusia seorang wanita
lebih memiliki tempat yang lebih tinggi daripada seorang pria.
Konsep gender memang telah ada sejak
dahulu, ini adalah sebuah problematika yang pelik, dan senantiasa berlanjut
hingga dewasa ini. Pada Zaman Jahiliyah sebelum Nabi Muhammad SAW diutus
menjadi seorang Rasul derajat seorang wanita sangatlah rendah, Seorang bapak
tidak segan-segan membunuh anak perempuannya karena malu kepada sukunya.
Mindset seperti inilah yang harus segera kita ubah di masa kini. Ada sebuah
riwayat yang mengatakan bahwa suatu ketika Nabi Muhammad SAW ditanya tentang siapa
orang yang paling dicintainya. Beliau menjawab Umi, sebanyak tiga kali. Barulah
yang keempat ia menjawab Abi. Ini menunjukkan derajat Umi atau Ibu lebih tinggi
dari seorang bapak atau abi dari segi pengembangan generasi manusia.
Dalam menjalin cinta kasih antara
keduanya baik laki-laki dan perempuan haruslah paham dan mengerti makna cinta
yang sebenarnya. Tatkala terjadi proses fertilisasi reproduksi dalam
pengembangan generasi antara perempuan dan laki-laki haruslah seimbang. Memang
jika kita memandang seorang manusia pada mulanya diciptakan oleh Allah SWT.
Tetapi sebagai seorang insan manusia sudah selayaknya sepasang laki-laki dan
perempuan berperan sesuai kadarnya masing-masing dalam menjalankan amanat yang
telah diberikan Tuhan kepada kita agar keadilan dalam menjalin hubungan
tercipta dengan selaras dan seimbang.
Satu hal yang menjadi sebuah nasihat
yang perlu kiranya diterapkan bagi manusia yang hendak menjalin hubungan dengan
lain jenis. Seorang pria harus mampu dalam memilih dan menentukan seorang
wanita idaman yang akan menjadi pendamping hidupnya. Dari sudut pandang agama
Islam kriteria seorang wanita yang ideal, adalah baik agamanya, rupanya,
hartanya, dan nasab / keturunannya. Pemilihan bobot, bibit, dan bebet akan
menentukan baik dan buruknya generasi berikutnya.
Dalam menjalani kehidupan seringkali
sebuah pasangan suami istri akan mengalami kegoncangan-kegoncanagan yang luar
biasa. Mulai dari masalah kecil hingga masalah besar dan solusi senantiasa
berkecamuk di dalamnya. Menurut Ibn al-Araby menyebutkan bahwa ada empat rahmat
illahi melalui mana kaum pria akan dicoba, pertama kaum wanita, kedua
anak-anak, ketiga kekayaan, dan keempat adalah kedudukan. Pernyataan Ibn
al-Araby hendaknya mendapatkan point dan perhatian khusus bagi seorang pria.
Pernyataan bersyarat dalam ungkapan
Ibn al Araby tentang cobaan insan suami istri adalah semacam bentuk aktualisasi
dan manifestasi dari apa yang telah terjadi sebelumnya di masa lalu.
No comments:
Post a Comment