Sunday, August 5, 2018

Pancasila Sebagai Etika Politik


BAB I
Pendahuluan

1.   Latar Belakang
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat Pancasila terkandung didalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasionol, sistematis dan komperhenshif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamentaldan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praktis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun Negara maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman. Norma- norma tersebut meliputi :
a)      Norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah kalumanusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk.Sopan ataupun tidak sopan, susila atau tidak susila. Dalam kapasitas inilah nilai-nilai Pancasila telah terjabarkan dalam suatu norma-norma moralitas atau norma-norma etika sehingga Pancasila merupakan sistem etika dalam bermasyarakat, berbangasa dan bernegara.
b)      Norma hokum yaitu suatu sitem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pengertian inilah maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber di Indonesia.Sebagai sumber dari segala sumber hukum nilai-nilai Pancasila yang sejak dahulu telah merupakan suatu cita-cita moral yang luhur  yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk Negara. Atas dasar pengertian inilah  maka nilai-nilai Pancasila sebenarnya berasal dari bangsa Indonesia sandiri atau dengan kata lain Indonesia sebagai asal-mula materi (kausa materialis) nilai-nilai Pancasila.
Jadi sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat normative ataupun praksismelainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma baik meliputi norma moral maupun norma hokum, yang pada gilirannya harus dijabarkan lebih lanjut dalm norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.

2.   Ruang Lingkup
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun tertarik untuk menguraikan lebih lanjut melalui beberapa rumusan diantaranya:
a)      Apa Pengertian Etika, politik serta Etika politik ?
b)      Apa hubungan antara Pancasila terhadap Etika politik ?
c)      Apa pengaruh pancasila terhadap etika politik ?


3.   Tujuan Penulisan
Berdasarkan ruang lingkup di atas maka penyusun akan menjelaskan tentang etika, politik, serta etika politik lebih jelas, dan penyusun juga akan menjelaskan tentang hubungan Pancasila terhadap etika politik, serta pengaruh apa saja yang dihasilkan Pancasila terhadap Etika politik







BAB II
Pembahasan

A.  Pengertian Etika, Nilai, dan Nilai Hierarkhi

a)      Pengertian Etika
Etika termasuk kelompok Filsafat Praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
“Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap tanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.” (suseno,1986)
Etika  berkaitan dengan berbagai ini karena etika pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai “susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”. Sebagai bahasan khusus etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan  kebajikan yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat  yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya dikatakan orang yang tidak susila. Sebenaryna etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalm hubungan tingkah laku. (kattsoff, 1986).

b)      Pengertian Nilai
Nilai atau “value” termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan-persoalan  tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu Filsafat nilai (axiology, Theory, of valueFilsafat aering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai didalam bidang filsafat dipakai untuk menunjukan kata benda  abstrak yang artinya “keberhargaan”(Worth) atau kebaikan (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.
 Di dalam Dictonary of sosciology and Related Scienses dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitasyang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu  itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu  merupakan keputusan nilai  yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar. Keputusan nilaiyang dilakukan oleh subjek penilai tertentuberhubungan dengan unsure-unsur yang ada pada diri manusiasebagai subjek penilai, yaitu unsure jasmani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan. Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah, baik.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang  das sollen,bukan das sein, kita masuk kerohanian bidang makna normative, bukan kognitif, kita masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian diantara keduanya saling erat berhubungan. Artinya bahwa das sollen itu harus menjelma menjadi das sein, yang ideal harus menjadi real, yang bermakna normative harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta. (Kodhi,1984:21)

c)      Hierarkhi Nilai
Terdapat pandangan tentang nilai  hal ini sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan pengertian serta hierarkhi nilai, misalnya kalangan matrealistis memandang bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis berpandangan bahwa nilai tertinggi adalah nilai kenikmatan. Pada hakikatnya segala sesuatu itu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan   nilai tersebut dengan manusia.
Max Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai  yang ada, tidak sama luhurnya  dan sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih tinggi   dan ada yang lebih rendah dibandingkan dengan nilai-nilai lainnya.  Menurut tinggi rendahnya nilai dapat dikelompokkan dalam 4 tingkatan sebagai berikut :

a.       Nilai-nilai kenikmatan
b.      Nilai-nilai kehidupan
c.       Nilai-nilai kejiwaan
d.      Nilai-nilai kerohanian





Walter G.Everet menggolong-golongkan nilai-nilai manusiawi kedalam 8 kelompok, yaitu :
a.       Nilai-nilai Ekonomis
b.      Nilai-nilai Kejasmanian
c.       Nilai-nilai hiburan
d.      Nilai-nilia Sosial
e.       Nilai-nilai Watak
f.       Nilai-nilai Estesis
g.      Nilai-nilai Intelektual
h.      Nilai-nilai keagamaan
Notonegoro membagi nilai menjadi 3 macam, yaitu:
a.         Nilai material
b.        Nilai Vital
c.         Nilai kerokhanian, Nilai kerokhanian ini dapat dibagi menjadi  4 macam :
1. Nilai Kebenaran
2. Nilai Keindahan
3. Nilai Kebaikan
4. Nilai religious
            Notonegoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila tergolong nilai-nilai kerokhanian, tetapi nilai-nilai kerokhanian yang mengakui adanya  nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan, maupun nilai moral, maupun nilai kesucian yang sistematika-hirarkhis yang dimulai dari sila ketuhanan yang maha Esa sabagai dasar  sampai dengan  sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan. (Darmodihardjo,1978)

B)  Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai Praksis
a.     Nilai Dasar
Walaupun nilai memiliki nilai abstrak artinya tidak dapat diamati melalui indra manusia, namun dalm relisasinya nilai berkaitan dengan tingkah laku manusia yang bersifat nyata.namun demikian setiap nilai memiliki dasar, yaitu merupakan hakikat, esensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar ini ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu misalnya hakikat tuhan, manusia, atau segala Sesutu lainnya. Nilai dasar dapat juga disebut sebagai sumber norma yang pada gilirannya dijabarkan atau direlisasikan dalam suatu kehidupan  yang bersifat praksis.

b.      Nilai Instrumental
Untuk dapat direlisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar tersebut diatas harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai instrumental inilah yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat diarahkan. Bilamana nilai instrumrntal tersebut berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka hal itu akan merupakan suatu norma moral. Namun  jikalau nilai Instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi ataupun Negara maka nilai-nilai instrumental itu merupakan suatu arahan. Kebijaksanaan atau strategi  yang bersumber pada nilai dasar. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai Instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar.

c.      Nilai Praksis
          Nilai Praksis pada hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam suatu kehidupan yang nyata. Sehingga nilai Praksis ini merupakan perwujudan dari nilai Instrumental itu. Dapat juga dimungkinkan berbeda-beda wujudnya, namun demikian tidak bisa menyimpangatau bahkan tidak dapat bertentangan. Artinya oleh karena  nilai dasar, nilai Instrumental, dan nilai praksis itu merupakan suatu sistem perwujudannya tidak boleh menyimpang dari sistem tersebut.

 c)  Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Nilai berbeda dengan fakta di mana fakta dapat diobservasi melalui suatu verivikasi empiris, sedangkan nilai yang hanya bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami , dipikirkan dimengerti dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan dengan harapan, cita-cita, keinginan, dan segala sesuatu pertimbangan internal manusia. Nilai dengan demikian tidak bersifat kongkrit yang tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai dapat  bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan oleh objek (dalam hal ini  manusia sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat objektif jikalau nilai tersebut jikalau nilai tersebut telah melekat pada sesuatuterlepas dari penilaian manusia.
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah sebuah norma. Terdapat berbagai macam norma, dan dari berbagai macam norma tersebut norma hukumlah yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan eksternal misalnya penguasa atau penegak hukum.
Nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung intregitas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian manusia amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya.  Makna moral yang yang terkandung dalam kepribadian seseorangitu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dan etika emang sangat erat sekali dan sedangkan hal tersebut disamakan begitu saja. Namun sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan suatu ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kimpulan peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bgaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang lebih baik. Adapun di pihak lain etika ialah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut .(Krammer,1988 dalam darmodihardjo, 1986). Etika juga dapat diartikan sebagi ilmu pengetahuan kesusilaan. Adapun yang dimaksud dengan kesusilaan adalah identik dengan pengertiann moral, sehingga etika pada hakikatnya adalah sebagai ilmu pengetahuanyang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas.
Etika  tidak berwenang menentukan apa yang boleh atau tidak dilakukan oleh seseorang. Wewenang ini dipandang berada ditangan pihak-pihak yang memberikan ajaran-ajaran moral. Hal inilah yang menjadikan kekurangan dari etika jikalau dibandingkan dengan moral. Sekalipun demikian, dalam etika seseorang dapat mengerti mengapa, dan atas dasar apa manusia harus hidup menurut norma-norma tertentu. Hal yang terakhir inilah yang merupakan kelebihan etika jikalau dibandingkan dengan moral.

 d) Etika Politik
                  pengelompokan etika sebagaimana dijelaskan dimuka, dibedakan atas etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas prinsip-prinsip dasar bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubunganya denga kewajiban manusia dengan  berbagai lingkup kehidupanya. Etika khusus dibedakan menjadi dua yaitu:
1)      Pertama, Etika Individual. Yang membahas tentang kewajiban sebagai individual terhadap dirinya sendiri, serta melalui suara hati dengan tuhannya.
2)      Kedua, Etika Sosial. Membahas tentang kewajiban serta norma-norma moral yang seharusnya dipatuhi dalam hubungan sesama manusia, masyarakat, bngasa dan negara.
Secara substantif pengertiaan etiaka politik tidak dapat dipisahkan denga subjek sebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu etika politka politik berkait erat dengan bidang pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian  moral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan pengertian-pengertian kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan  masyarakat bangsa maupun negara, etika politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan manuia didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsa, negara bisa berkembang ke arah yang lebih baik dalam arti moral.
                              I.            Pengartian Politik
Pengertian politik berasal dari kosa kata  politics yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan kepustusan atau decisionmaking  mengenai apakah yang menjadi tujuan  dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternative dan penyusun skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public policies, yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari sumber yang ada.untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijksanaan itu,  diperlukan suatu kekuasaan (power) dan kewenangan (autorithy), yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik  yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapt bersifat persuasi , dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan (coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusankeinginan belaka (statement of intent) yang tidak akan pernah terwujud.
Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara oprasional bidang politik menyangkut konsep-konsep  pokok yang berkaitan dengan Negara (state), kekuasan (power), pengambilan keputusan (decisionmaking), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution), serta alokasi (allocation).(Budiharjo,1981:8-9)
Jikalau dipahami berdasarkan pengertian politik secara sempit sebagaimana diuraikan  diatas, maka seolah-olah bidang politik lebih banyak berkaitan dengan para pelaksana pemerintahan negara, lembaga-lembaga tinggi negara, kalangan aktivis politik serta para pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara. Bilamana lingkup pengertian politik dipahami serta itu maka terdapat suatu kemumgkinan akan terjadi ketimpangan dalam aktualisasi berpolitik, karena tidak melibatkan aspek rakyat baik sebagai individu maupun sebagai suatu lembaga yang terdapat dalam masyarakat. 

 d)  Nilai-nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politik
Sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan  perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimase kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan negara. Sila pertama ‘ketuhanan Yang Maha Esa’ serta nilai kedua ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan  sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Negara Indonesia yang berlandaskan sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukanlah negara ‘teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggara negara pada legitimasi religius, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi. Oleh karena itu, asas nilai ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ lebih berkaitan dengan legitimase moral. Hal inilah yang membedakan negara yang berketuhana Yang Maha Esa dengan negara teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimase religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara.
Selain sila I, sila II ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ juga merupakan sumber  nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara. Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makahluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari  umat manusia di dunia hidup secara bersama dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi kesejahteraan bersama (sila III). Oleh karena itu manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan negara. Manusia adalah merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan  penyelenggaraan negara. Oleh karena itu asas-asas kemanusian bersifat mutlak  dalam kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiian harus mendapatkn jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar manusia. Selain itu asas kemanusiaan harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara.
Dalam pelaksanaan dan penyelanggaran negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan 1) asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai denga  hukum yang berlaku, 2) disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis), 3)dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentagan denganya (legitimasi moral). (suseno, 1987 : 115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara, baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral religius (sila I) serta moral kemanusiaan (sila II). Ketuhanan dan moral kemanusiaan agar tidak terjerumus kedalam machtsstaats, atau negara kekuasaan.
Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara harus berdasarkan legitimase hukum yaitu prinsip ‘legalitas’. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila ke-V, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku. Pelanggaran serta prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenengaraan akan menimbulkan ketidak seimbangan dalam kehidupan negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV). Oleh karena itu rakyat merupakan asal mula kekuasaan negara.  Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif, serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legitimase dari rakyat, atau dengan nilai perkataan harus memiliki ‘legitimase demokrasi’.
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam relasi praksis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri, ekonomi maupun global, yang mentangkut rakyat, dan lainnya selain berdasarkan hukum yang berlaku, harus mendapat legitimasi rakyat dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas.
Etika politik juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara . para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dan penegak hukum, harus menyadari bahawa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratisjuga harus berdasarkan legitimasi moral.

 BAB III
      Penutup  


Kesimpulan

v  “Etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap tanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral.” (suseno,1986)
v  nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitasyang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu  itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu.
v  Negara Indonesia yang berlandaskan sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukanlah negara ‘teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggara negara pada legitimasi religius, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi.
v  manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan negara. Manusia adalah merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan  penyelenggaraan negara.
v  Dalam pelaksanaan dan penyelanggaran negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan 1) asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai denga  hukum yang berlaku, 2) disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis), 3)dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentagan denganya (legitimasi moral).
v  dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku. Pelanggaran serta prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenengaraan akan menimbulkan ketidak seimbangan dalam kehidupan negara.
v  Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri, ekonomi maupun global, yang mentangkut rakyat, dan lainnya selain berdasarkan hukum yang berlaku, harus mendapat legitimasi rakyat dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas.

Daftar pustaka


Suseno Von Magnis, 1896, kuasa dan moral, PT. Gramedia , jakarta.

Dipoyudo Kirdi, 1984, Pancasila arti dan pelaksanaannya, CSIS, Jakarta.

Darmodihardjo darji, dkk, 1978, santiaji Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya.

Budiarjo Miriam, 1981, Dasar-dasar Ilmu Politik, gramedia, Jakarta.

Heuken, A. SJ. Dkk, 1988, Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, Edisi ke 6, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta.

Kelan, 2010, pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.



No comments:

Post a Comment