BAB
I
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Pancasila
sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga
merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral
maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam filsafat Pancasila terkandung didalamnya
suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasionol, sistematis
dan komperhenshif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai.
Sebagai
suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamentaldan
universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Adapun nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat
praktis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa maupun Negara maka
nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas
sehingga merupakan suatu pedoman. Norma- norma tersebut meliputi :
a) Norma
moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah kalumanusia yang dapat diukur dari
sudut baik maupun buruk.Sopan ataupun tidak sopan, susila atau tidak susila.
Dalam kapasitas inilah nilai-nilai Pancasila telah terjabarkan dalam suatu
norma-norma moralitas atau norma-norma etika sehingga Pancasila merupakan
sistem etika dalam bermasyarakat, berbangasa dan bernegara.
b) Norma
hokum yaitu suatu sitem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam pengertian inilah maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala
sumber di Indonesia.Sebagai sumber dari segala sumber hukum nilai-nilai Pancasila
yang sejak dahulu telah merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari
bangsa Indonesia sebelum membentuk Negara. Atas dasar pengertian inilah maka nilai-nilai Pancasila sebenarnya berasal
dari bangsa Indonesia sandiri atau dengan kata lain Indonesia sebagai asal-mula
materi (kausa materialis) nilai-nilai
Pancasila.
Jadi
sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pedoman yang
langsung bersifat normative ataupun praksismelainkan merupakan suatu sistem
nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma baik meliputi norma moral maupun
norma hokum, yang pada gilirannya harus dijabarkan lebih lanjut dalm
norma-norma etika, moral maupun norma hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun
kebangsaan.
2.
Ruang
Lingkup
Berdasarkan latar
belakang di atas, penyusun tertarik untuk menguraikan lebih lanjut melalui
beberapa rumusan diantaranya:
a) Apa Pengertian Etika, politik serta Etika politik ?
b) Apa hubungan antara Pancasila terhadap Etika politik ?
c) Apa pengaruh pancasila terhadap etika politik ?
3.
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan
ruang lingkup di atas maka penyusun akan menjelaskan tentang etika, politik,
serta etika politik lebih jelas, dan penyusun juga akan menjelaskan tentang
hubungan Pancasila terhadap etika politik, serta pengaruh apa saja yang
dihasilkan Pancasila terhadap Etika politik
BAB
II
Pembahasan
A.
Pengertian Etika, Nilai, dan Nilai Hierarkhi
a) Pengertian
Etika
Etika
termasuk kelompok Filsafat Praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.
“Etika adalah suatu
ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran
moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap tanggung jawab
berhadapan dengan berbagai ajaran moral.” (suseno,1986)
Etika berkaitan dengan berbagai ini karena etika
pada pokoknya membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan predikat nilai
“susila” dan “tidak susila”, “baik” dan “buruk”. Sebagai bahasan khusus etika
membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau
bijak. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan
yang dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang memilikinya
dikatakan orang yang tidak susila. Sebenaryna etika lebih banyak bersangkutan
dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalm hubungan tingkah laku. (kattsoff,
1986).
b) Pengertian
Nilai
Nilai
atau “value” termasuk bidang kajian filsafat. Persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah
satu cabang filsafat yaitu Filsafat nilai (axiology,
Theory, of valueFilsafat aering juga diartikan sebagai ilmu tentang
nilai-nilai. Istilah nilai didalam bidang filsafat dipakai untuk menunjukan
kata benda abstrak yang artinya
“keberhargaan”(Worth) atau kebaikan (goodness) dan kata kerja yang artinya
suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.
Di dalam Dictonary of sosciology and Related
Scienses dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada
pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah
sifat atau kualitasyang melekat pada suatu objek, bukan objek itu sendiri.
Sesuatu itu mengandung nilai artinya ada
sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu itu.
Menilai
berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan
itu merupakan keputusan nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak
berguna, benar atau tidak benar. Keputusan nilaiyang dilakukan oleh subjek
penilai tertentuberhubungan dengan unsure-unsur yang ada pada diri
manusiasebagai subjek penilai, yaitu unsure jasmani, akal, rasa, karsa dan
kepercayaan. Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga,
berguna, benar, indah, baik.
Berbicara
tentang nilai berarti berbicara tentang das sollen,bukan das sein, kita masuk kerohanian bidang makna normative, bukan
kognitif, kita masuk ke dunia ideal dan bukan dunia real. Meskipun demikian
diantara keduanya saling erat berhubungan. Artinya bahwa das sollen itu harus menjelma menjadi das sein, yang ideal harus menjadi real, yang bermakna normative
harus direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari yang merupakan fakta.
(Kodhi,1984:21)
c) Hierarkhi
Nilai
Terdapat
pandangan tentang nilai hal ini sangat
tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam menentukan
pengertian serta hierarkhi nilai, misalnya kalangan matrealistis memandang
bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai material, kalangan hedonis berpandangan
bahwa nilai tertinggi adalah nilai kenikmatan. Pada hakikatnya segala sesuatu
itu bernilai, hanya nilai macam apa yang ada serta bagaimana hubungan nilai tersebut dengan manusia.
Max
Sceler mengemukakan bahwa nilai-nilai
yang ada, tidak sama luhurnya dan
sama tingginya. Nilai-nilai itu secara senyatanya ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah dibandingkan
dengan nilai-nilai lainnya. Menurut
tinggi rendahnya nilai dapat dikelompokkan dalam 4 tingkatan sebagai berikut :
a. Nilai-nilai
kenikmatan
b. Nilai-nilai
kehidupan
c. Nilai-nilai
kejiwaan
d. Nilai-nilai
kerohanian
Walter G.Everet
menggolong-golongkan nilai-nilai manusiawi kedalam 8 kelompok, yaitu :
a. Nilai-nilai
Ekonomis
b. Nilai-nilai
Kejasmanian
c. Nilai-nilai
hiburan
d. Nilai-nilia
Sosial
e. Nilai-nilai
Watak
f. Nilai-nilai
Estesis
g. Nilai-nilai
Intelektual
h. Nilai-nilai
keagamaan
Notonegoro
membagi nilai menjadi 3 macam, yaitu:
a.
Nilai material
b.
Nilai Vital
c.
Nilai
kerokhanian, Nilai kerokhanian ini dapat dibagi menjadi 4 macam :
1. Nilai Kebenaran
2. Nilai Keindahan
3. Nilai Kebaikan
4. Nilai religious
Notonegoro berpendapat bahwa nilai-nilai Pancasila
tergolong nilai-nilai kerokhanian,
tetapi
nilai-nilai kerokhanian yang mengakui adanya
nilai material dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai lain secara
lengkap dan harmonis, baik nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai
keindahan atau nilai estetis, nilai kebaikan, maupun nilai moral, maupun nilai
kesucian yang sistematika-hirarkhis yang dimulai dari sila ketuhanan yang maha
Esa sabagai dasar sampai dengan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh rakyat
Indonesia sebagai tujuan. (Darmodihardjo,1978)
B) Nilai Dasar, Nilai Instrumental dan Nilai
Praksis
a.
Nilai Dasar
Walaupun
nilai memiliki nilai abstrak artinya tidak dapat diamati melalui indra manusia,
namun dalm relisasinya nilai berkaitan dengan tingkah laku manusia yang
bersifat nyata.namun demikian setiap nilai memiliki dasar, yaitu merupakan
hakikat, esensi, intisari atau makna yang terdalam dari nilai-nilai tersebut.
Nilai dasar ini ini bersifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan
objektif segala sesuatu misalnya hakikat tuhan, manusia, atau segala Sesutu
lainnya. Nilai dasar dapat juga disebut sebagai sumber norma yang pada
gilirannya dijabarkan atau direlisasikan dalam suatu kehidupan yang bersifat praksis.
b. Nilai
Instrumental
Untuk
dapat direlisasikan dalam suatu kehidupan praksis maka nilai dasar tersebut
diatas harus memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas. Nilai
instrumental inilah yang merupakan suatu pedoman yang dapat diukur dan dapat
diarahkan. Bilamana nilai instrumrntal tersebut berkaitan dengan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari maka hal itu akan merupakan suatu norma
moral. Namun jikalau nilai Instrumental
itu berkaitan dengan suatu organisasi ataupun Negara maka nilai-nilai
instrumental itu merupakan suatu arahan. Kebijaksanaan atau strategi yang bersumber pada nilai dasar. Sehingga
dapat juga dikatakan bahwa nilai Instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi
dari nilai dasar.
c. Nilai
Praksis
Nilai Praksis pada
hakikatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam
suatu kehidupan yang nyata. Sehingga nilai Praksis ini merupakan perwujudan
dari nilai Instrumental itu. Dapat juga dimungkinkan berbeda-beda wujudnya,
namun demikian tidak bisa menyimpangatau bahkan tidak dapat bertentangan.
Artinya oleh karena nilai dasar, nilai
Instrumental, dan nilai praksis itu merupakan suatu sistem perwujudannya tidak
boleh menyimpang dari sistem tersebut.
c)
Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Nilai berbeda dengan fakta di
mana fakta dapat diobservasi melalui suatu verivikasi empiris, sedangkan nilai
yang hanya bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami , dipikirkan dimengerti
dan dihayati oleh manusia. Nilai berkaitan juga dengan dengan harapan,
cita-cita, keinginan, dan segala sesuatu pertimbangan internal manusia. Nilai
dengan demikian tidak bersifat kongkrit yang tidak dapat ditangkap dengan indra
manusia, dan nilai dapat bersifat
subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan
oleh objek (dalam hal ini manusia
sebagai pendukung pokok nilai) dan bersifat objektif jikalau nilai tersebut
jikalau nilai tersebut telah melekat pada sesuatuterlepas dari penilaian
manusia.
Agar nilai tersebut menjadi
lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih
dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga
memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit.
Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah sebuah norma. Terdapat
berbagai macam norma, dan dari berbagai macam norma tersebut norma hukumlah
yang paling kuat keberlakuannya, karena dapat dipaksakan oleh suatu kekuasaan
eksternal misalnya penguasa atau penegak hukum.
Nilai dan norma senantiasa
berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung intregitas dan
martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian manusia amat ditentukan oleh
moralitas yang dimilikinya. Makna moral
yang yang terkandung dalam kepribadian seseorangitu tercermin dari sikap dan
tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma
sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
Hubungan antara moral dan etika
emang sangat erat sekali dan sedangkan hal tersebut disamakan begitu saja.
Namun sebenarnya kedua hal tersebut memiliki perbedaan. Moral yaitu merupakan
suatu ajaran-ajaran ataupun wejangan-wejangan, patokan-patokan, kimpulan
peraturan baik lisan maupun tertulis tentang bgaimana manusia harus hidup dan
bertindak agar menjadi manusia yang lebih baik. Adapun di pihak lain etika
ialah suatu cabang filsafat yaitu suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut .(Krammer,1988 dalam
darmodihardjo, 1986). Etika juga dapat diartikan sebagi ilmu pengetahuan
kesusilaan. Adapun yang dimaksud dengan kesusilaan adalah identik dengan
pengertiann moral, sehingga etika pada hakikatnya adalah sebagai ilmu
pengetahuanyang membahas tentang prinsip-prinsip moralitas.
Etika tidak berwenang menentukan apa yang boleh
atau tidak dilakukan oleh seseorang. Wewenang ini dipandang berada ditangan
pihak-pihak yang memberikan ajaran-ajaran moral. Hal inilah yang menjadikan
kekurangan dari etika jikalau dibandingkan dengan moral. Sekalipun demikian,
dalam etika seseorang dapat mengerti mengapa, dan atas dasar apa manusia harus
hidup menurut norma-norma tertentu. Hal yang terakhir inilah yang merupakan
kelebihan etika jikalau dibandingkan dengan moral.
d) Etika Politik
pengelompokan etika sebagaimana dijelaskan
dimuka, dibedakan atas etika umum dan etika khusus. Etika umum membahas
prinsip-prinsip dasar bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus
membahas prinsip-prinsip itu dalam hubunganya denga kewajiban manusia
dengan berbagai lingkup kehidupanya.
Etika khusus dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Pertama, Etika
Individual. Yang membahas tentang kewajiban sebagai individual terhadap dirinya
sendiri, serta melalui suara hati dengan tuhannya.
2) Kedua, Etika
Sosial. Membahas tentang kewajiban serta norma-norma moral yang seharusnya
dipatuhi dalam hubungan sesama manusia, masyarakat, bngasa dan negara.
Secara substantif pengertiaan
etiaka politik tidak dapat dipisahkan denga subjek sebagai pelaku etika yaitu
manusia. Oleh karena itu etika politka politik berkait erat dengan bidang
pembahasan moral. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertian moral senantiasa menunjuk kepada manusia
sebagai subjek etika. Maka kewajiban moral dibedakan dengan
pengertian-pengertian kewajiban lainnya, karena yang dimaksud adalah kewajiban
sebagai manusia. Walaupun dalam hubungannya dengan masyarakat bangsa maupun negara, etika
politik tetap meletakkan dasar fundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini
lebih meneguhkan akar etika politik bahwa kebaikan manuia didasarkan kepada
hakikat manusia sebagai makhluk yang beradab dan berbudaya. Berdasarkan suatu
kenyataan bahwa masyarakat, bangsa, negara bisa berkembang ke arah yang lebih
baik dalam arti moral.
I.
Pengartian Politik
Pengertian
politik berasal dari kosa kata politics yang memiliki makna
bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut
tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu.
Pengambilan kepustusan atau decisionmaking
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi
antara beberapa alternative dan penyusun skala prioritas dari tujuan-tujuan
yang telah dipilih itu.
Untuk
melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan
umum atau public policies, yang
menyangkut pengaturan dan pembagian
atau distributions dari sumber yang
ada.untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijksanaan itu, diperlukan suatu kekuasaan (power) dan kewenangan (autorithy), yang akan dipakai baik
untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini.
Cara-cara yang dipakai dapt bersifat persuasi
, dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan (coercion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya
merupakan perumusankeinginan belaka (statement
of intent) yang tidak akan pernah terwujud.
Berdasarkan
pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara oprasional bidang
politik menyangkut konsep-konsep pokok
yang berkaitan dengan Negara (state), kekuasan (power), pengambilan keputusan (decisionmaking), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution), serta alokasi (allocation).(Budiharjo,1981:8-9)
Jikalau
dipahami berdasarkan pengertian politik secara sempit sebagaimana
diuraikan diatas, maka seolah-olah
bidang politik lebih banyak berkaitan dengan para pelaksana pemerintahan
negara, lembaga-lembaga tinggi negara, kalangan aktivis politik serta para
pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara. Bilamana
lingkup pengertian politik dipahami serta itu maka terdapat suatu kemumgkinan
akan terjadi ketimpangan dalam aktualisasi berpolitik, karena tidak melibatkan
aspek rakyat baik sebagai individu maupun sebagai suatu lembaga yang terdapat
dalam masyarakat.
d) Nilai-nilai
Pancasila sebagai Sumber Etika Politik
Sebagai dasar filsafat negara
Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan
sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimase kekuasaan, hukum
serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan negara. Sila
pertama ‘ketuhanan Yang Maha Esa’ serta nilai kedua ‘Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab’ adalah merupakan sumber
nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Negara Indonesia yang
berlandaskan sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukanlah negara ‘teokrasi’ yang
mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggara negara pada legitimasi religius,
melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi. Oleh karena
itu, asas nilai ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ lebih berkaitan dengan legitimase
moral. Hal inilah yang membedakan negara yang berketuhana Yang Maha Esa dengan
negara teokrasi. Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada
legitimase religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai
dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam
kehidupan negara.
Selain sila I, sila II
‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara.
Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia sebagai
makahluk Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia di dunia hidup secara bersama
dalam suatu wilayah tertentu, dengan suatu cita-cita serta prinsip-prinsip
hidup demi kesejahteraan bersama (sila III). Oleh karena itu manusia pada
hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan negara.
Manusia adalah merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Oleh karena itu
asas-asas kemanusian bersifat mutlak dalam
kehidupan negara dan hukum. Dalam kehidupan negara kemanusiian harus mendapatkn
jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak
dasar manusia. Selain itu asas kemanusiaan harus merupakan prinsip dasar
moralitas dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara.
Dalam pelaksanaan dan
penyelanggaran negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara
dijalankan sesuai dengan 1) asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan
sesuai denga hukum yang berlaku, 2)
disahkan dan dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis),
3)dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentagan
denganya (legitimasi moral). (suseno, 1987 : 115). Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan
penyelengaraan negara, baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut
publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral religius
(sila I) serta moral kemanusiaan (sila II). Ketuhanan dan moral kemanusiaan
agar tidak terjerumus kedalam
machtsstaats, atau negara kekuasaan.
Selain itu dalam pelaksanaan
dan penyelengaraan negara harus berdasarkan legitimase hukum yaitu prinsip
‘legalitas’. Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu keadilan dalam
hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila ke-V, adalah
merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan
penyelengaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian
senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku. Pelanggaran serta
prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenengaraan akan menimbulkan ketidak
seimbangan dalam kehidupan negara.
Negara adalah berasal dari
rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk
rakyat (sila IV). Oleh karena itu rakyat merupakan asal mula kekuasaan
negara. Oleh karena itu dalam
pelaksanaan dan penyelengaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan
harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka dalam
pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif,
legislatif, serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta
partisipasi harus berdasarkan legitimase dari rakyat, atau dengan nilai
perkataan harus memiliki ‘legitimase demokrasi’.
Prinsip-prinsip dasar etika
politik itu dalam relasi praksis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa
dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan
yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri
maupun luar negeri, ekonomi maupun global, yang mentangkut rakyat, dan lainnya
selain berdasarkan hukum yang berlaku, harus mendapat legitimasi rakyat dan
juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas.
Etika politik juga harus
direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam
pelaksanaan pemerintahan negara . para pejabat eksekutif, anggota legislatif,
maupun yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana
dan penegak hukum, harus menyadari bahawa selain legitimasi hukum dan
legitimasi demokratisjuga harus berdasarkan legitimasi moral.
BAB III
Penutup
Kesimpulan
v “Etika adalah
suatu ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran
moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap tanggung jawab
berhadapan dengan berbagai ajaran moral.” (suseno,1986)
v
nilai adalah
kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia.
Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitasyang melekat pada
suatu objek, bukan objek itu sendiri. Sesuatu
itu mengandung nilai artinya ada sifat atau kualitas yang melekat pada
sesuatu itu.
v Negara Indonesia yang berlandaskan sila pertama
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukanlah negara ‘teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan
negara dan penyelenggara negara pada legitimasi religius, melainkan berdasarkan
legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi.
v manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat
fundamental dalam kehidupan negara. Manusia adalah merupakan dasar kehidupan
serta pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara.
v Dalam pelaksanaan dan penyelanggaran negara, etika
politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan 1) asas
legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai denga hukum yang berlaku, 2) disahkan dan
dijalankan secara demokratis (legitimasi demokratis), 3)dilaksanakan
berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentagan denganya (legitimasi
moral).
v
dalam pelaksanaan dan penyelengaraan negara, segala
kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan
atas hukum yang berlaku. Pelanggaran serta prinsip-prinsip keadilan dalam
kehidupan kenengaraan akan menimbulkan ketidak seimbangan dalam kehidupan
negara.
v
Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam
pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri,
ekonomi maupun global, yang mentangkut rakyat, dan lainnya selain berdasarkan
hukum yang berlaku, harus mendapat legitimasi rakyat dan juga harus berdasarkan
prinsip-prinsip moralitas.
Daftar pustaka
Suseno Von Magnis, 1896, kuasa dan
moral, PT. Gramedia , jakarta.
Dipoyudo Kirdi, 1984, Pancasila arti
dan pelaksanaannya, CSIS, Jakarta.
Darmodihardjo darji, dkk, 1978, santiaji
Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya.
Budiarjo Miriam, 1981, Dasar-dasar
Ilmu Politik, gramedia, Jakarta.
Heuken, A. SJ. Dkk, 1988, Ensiklopedi
Populer Politik Pembangunan Pancasila, Edisi ke 6, Yayasan Cipta Loka
Caraka, Jakarta.
Kelan, 2010, pendidikan Pancasila, Paradigma,
Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment