Tuesday, January 14, 2020

Lembaga al-Tahkim dalam Konteks Hukum Peradilan Islam di Indonesia (Sebuah Kajian)


A.  Pengertian Lembaga Tahkim
Istilah tahkim berasal dari bahasa Arab yang artinya menyerahkan putusan kepada seseorang dan menerima putusan tersebut. Sedangkan menurut istilah, tahkim ialah dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang untuk diselesaikan sengketanya dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa mereka itu[1]. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya: perihal menjadikan hakim; mempergunakan hakim (dalam persengketaan).[2] Dalam pengertian ini yaitu menunjuk seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan sifat adil dan bijaksana dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi dua orang atau lebih.
Menurut kamus al-Munjid bahwa tahkim adalah mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan Salam Madkur menyatakan dalam kitab Al-Qadha Fil Islam bahwa tahkim secara terminologis berarti mengangkat seseorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan perkara yang mereka selisihkan secara damai. Sedangkan istilah sekarang tahkim  dapat diterjemahkan sebagai arbitrase, dan orang yang bertindak sebagai wasitnya disebut arbiter atau hakam.[3]
Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan: menyerahkan diri atau urusan kepada seseorang yang dianggap cakap dan pandai menyelesaikan sesuatu dengan menyenangkan kedua belah pihak.[4] Penyelesaian sengketa tersebut terjadi di luar lembaga pengadilan. Orang yang ditunjuk untuk memutus sengketa tersebut disebut hakam atau muhakkam.
Kedudukan tahkim adalah lebih rendah dari kedudukan peradilan. Karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam. Lantaran itu Abu Yusuf tidak membolehkan seseorang atau lebih mengadakan suatu syarat terhadap tahkim itu. Selain daripada itu hukum yang diberikan oleh muhakkam hanya berlaku bagi orang-orang yang menerima putusannya. Sedangkan putusan hakim harus berlaku walaupun tidak diterima oleh orang yang bersangkutan.
Lembaga tahkim seperti ini sesungguhnya telah dikenal oleh bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Pada masa itu, apabila terjadi suatu sengketa, hakamlah yang harus didengar pendapatnya. Dengan demikian, para pihak yang bersengketa pergi menghadap kepada hakam.
Di dalam syari’at Islam, dasar hukum yang membenarkan lembaga tahkim ialah firman Allah dalam Q.S. an-Nisa (4): 35; [5]

فابعـثوا حكمـا من اهـلـه و حكمـا من اهـلهـا ، ان يريدا اصلاحـا يوفق الله بينهمـا

Artinya:”Maka angkatlah seorang hakam dari keluarga si lelaki dan seorang hakam dari keluarga si wanita. Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik kepada keduanya”.

Diriwayatkan oleh An-Nasa’i bahwa Abu Syuraih menerangkan kepada Rasulullah saw. bahwa kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara. Lalu mereka datang kepadanya, dan dia pun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak. Mendengar itu, Nabi Muhammad saw. bersabda: Alangkah baiknya. Demikian pula riwayat menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah menerima putusan Sa’ad bin Mu’az terhadap Bani Quraidah tatkala orang-orang Yahudi sepakat dan rela menerima tahkim dari Sa’ad kepada mereka.
Ahli fiqh menetapkan bahwa seorang hakam hendaklah seorang yang mempunyai sifat hakim, yaitu dapat diajukan sebagai saksi baik laki-laki ataupun perempuan, dan benar-benar mempunyai keahlian diwaktu dia menjatuhkan putusan. Hendaklah perkara yang ditahkimkan kepadanya adalah perkara-perkara yang tidak masuk dalam bidang pidana dan qishash. Karena dalam bidang ini penguasa yang berkewajiban melaksanakannya dan karena hukum yang diberikan oleh muhakkam tidak melibatkan kepada orang-orang lain. Mengingat hal ini maka tahkim itu dapat dilaksanakan dalam segala masalah ijtihadiyah sepeti talak, nikah, kafalah, dan jual beli
Adapun kekuatan hukum keputusan tahkim terdapat perbedaan pendapat. Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa putusan yang diberikan oleh hakam harus dijalani oleh pihak yang bersangkutan, meskipun pihak-pihak yang berperkara boleh menolak tahkim sebelum hakam mengeluarkan putusannya. Sedang ada pula pendapat menyebutkan bahwa hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus dituruti oleh pihak yang berperkara.
Apabila pihak yang berperkara sudah diputuskan perkaranya oleh seorang hakam, kemudian mengajukan lagi perkaranya kepada hakam lain dan diberikan putusan yang berlawanan dengan yang pertama karena hakam tersebut tidak mengetahui adanya putusan sebelumnya, maka perkara itu harus diselesaikan oleh hakim, dan hakim hendaknya mentanfizkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya. Hakim dapat pula membatalkan putusan itu jika berlawanan dengan pendapatnya.
Kedudukan tahkim dibanding dengan qadha’ berada pada tingkat bawah. Mengingat tahkim ini terjadi atas kesepakatan secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. Putusan seorang hakam dapat diterima oleh para pihak, dan dapat pula menolaknya. Berbeda dengan keputusan qadha’, senang atau tidak senang kepada keputusan qadha’ tersebut, harus diterima dan ditaati.

B.  Bidang-Bidang Tahkim
Di dalam Kitab Al Mughni, Ibnu Qudamah menerangkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh hakam berlaku dalam segala rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qadzaf, qishash. Dalam hal ini termasuk wewenang penguasa. Pengikut-pengikut asy Syafi’i mempunyai dua pendapat dalam masalah ini
Ibnu Farhun dalam Kitab Al Tabshirah mengatakan bahwa putusan hakam itu berlaku dalam bidang-bidang harta tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an, qishash, qadzaf, talak, atau menentukan keturunan. Pihak-pihak yang mentahkimkan itu boleh ,menolak putusan hakam, sebelum hakam itu mengeluarkan putusannya. Hakam itu dipandang sebagai pihak yang dituruti oleh kedua belah pihak. Karenanya mereka boleh memakzulkan (memecat) hakamnya sebelum hakam itu menjatuhkan hukuman. Tetapi apabila hakam sudah mengambil putusannya, maka putusannya itu berlaku tidak dapat dibatalkan lagi.
Sebagian ulama berpendapat , bahwa tidak perlu adanya kerelaan dari kedua belah pihak sampai pada ketika melaksanakan hukum. Apabila kedua-duanya telah mengemukakan keterangan mereka masing-masing pada seorang hakam, kemudian salah seorang ingin menarik kembali pentahkimnya sebelum memutuskan hukum maka hakam itu dapat terus memutuskan hukum dan sah hukumnya.
Menurut Pendapat Sahnun, masing-masing pihak dapat menarik pentahkimannnya, selama belum ada putusan. Menurut pendapat dalam mazhab Maliki tidak disyaratkan terus-menerus adanya kerelaan dari kedua belah pihak sampai kepada diberikan hukum. Tetapi apabila kedua-duanya menarik pentahkimannya sebelum hukum ditetapkan maka penarikan itu dibenarkan dan tak dapat lagi muhakkam memutuskan perkara tersebut. Hakam boleh mendengar keterangan saksi dan dapat pula memutuskan perkara dengan nukul , juga dengan ikrar, karena itu sesuai dengan ketentuan syara’
Apabila pihak yang dikalahkan mengingkari ikrar padahal keterangan cukup, kemudian dia mengajukan perkaranya kepada hakim, maka hakim boleh menerima apa yang telah ditetapkan oleh hakam selama orang yang berperkara itu masih dalam mentahkimkan diri kepada sesudah dia tidak berhak lagi memutuskan perkara, oleh hakim tidak harus didengar perkataan hakam itu.
Putusan yang diberikan oleh hakam harus dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan, menurut Ahmad dan Abu Hanifah serta menurut suatu riwayat dari asy Syafi’I. Tetapi menurut riwayat yang lain hukum yang diberikan oleh hakam itu tak harus dituruti oleh yang bersangkutan.
Apabila seorang hakam telah memberikan putusan, kemudian mereka pergi lari mengajukan mengajukan perkaranya kepada hakam lain, lalu hakam yang lain ini memberikan putusan pula dengan tidak mengetahui adanya putusan yang pertama, maka apabila urusan itu diajukan pada hakim, hendaklah hakim menerapkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya. Apabila suatu perkara sudah diputuskan oleh seorang hakam, kemudian diajukan kepada hakim, maka hakim boleh membenarkan putusan itu jika sesuai dengan mazhabnya. Dan boleh dia membatalkan putusannya jika berlawanan dengan mazhabnya. 

C.  Institusi Tahkim dalam Perundang-undangan di Indonesia 
Memperhatikan penjelasan di atas, institusi tahkim dapat dipersamakan dengan lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[6]
Di Indonesia, arbitrase ini diwujudkan dalam bentuk lembaga. Lembaga arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam pasal 1 angka 8 disebutkan: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.
Selain lembaga arbitrase, undang-undang ini membenarkan pula penyelesaian kasus melalui lembaga alternatif penyelesaian kasus, sebagaimana ditunjuk dalam angka 10 pasal 1, berbunyi: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.[7]
Kedua lembaga ini pada prinsipnya tidak jauh beda. Keduanya merupakan jalan penyelesaian sengketa keperdataan yang terjadi di luar pengadilan. Perbedaannya adalah, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase harus terlebih dahulu dinyatakan dalam sebuah perjanjian sebelum terjadinya sengketa. Sementara penyelesaian melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan setelah terjadinya sengketa melalui kesepakatan kedua belah pihak. Baik putusan arbitrase maupun kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa adalah putusan final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan setempat dalam waktu paling lama 30 hari sejak pengucapan putusan/penandatanganan kesepakatan tersebut.
Keberadaan lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sebagai media penyelesaian sengketa keperdataan di luar pengadilan telah dilegislasi oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Hanya saja, putusan arbitrase mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin eksekusi dari pengadilan. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan mengingat para pihak. Satu-satunya jalan menolak putusan arbitrase apabila alasannya terpenuhi adalah mengajukan permohonan banding kepada Mahkamah Agung yang memutus untuk tingkat pertama dan terakhir.
Sebagaimana konsep sebagian fuqaha tentang tahkim, perkara-perkara yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa ini hanya sengketa keperdataan misalnya dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase pada sengketa atau perkara pidana yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Guna menjamin obyektifitas dan proporsionalitas putusan arbitrase, seseorang yang dapat diangkat menjadi arbiter harus memenuhi syarat-syarat:
                              1.       cakap melakukan tindakan hukum
                              2.       berumur minimal 35 tahun
                              3.       tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihay bersengketa
                              4.       tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase, dan
                              5.       memiliki pengalaman dan menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Dalam kaitan ini, hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya tidak diperkenankan diangkat sebagai arbiter. Hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya obyektifitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Perlu ditambahkan, bahwa persyaratan jenis kelamin untuk dapat diangkat arbiter tidak disebutkan dalam undang-undang arbitrase. Ini menunjukkan bahwa wanita dan laki-laki dapat diangkat arbiter sepanjang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas. Ketentuan tersebut berbeda dengan apa yang disebutkan dalam pasal 617 ayat (2) Regleman Acara Perdata yang melarang wanita sebagai arbiter. 
Ditinjau dari segi jenisnya bahwa tahkim atau arbitrase dapat terbagi menjadi tiga jenis, diantaranya adalah:
1.      Arbitrase Nasional (umum)
Arbitrase nasional adalah arbitrase yang bersifat umum dan dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai jenis konflik akibat semua jenis kontrak perdata dan tunduk pada hukum nasional dalam suatu negara. Indonesia telah mensahkan atau memiliki sebuah  lembaga arbitrase nasional yang bernama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI dibentuk berdasarkan UURI No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. BANI dapat menyelesaikan konflik yang berdasarkan kontrak dan tunduk pada Hukum Nasional Indonesia. BANI sendiri berdiri tepat pada tanggal 3 Desember 1977 yang bergerak di bidang komersial meliputi bidang perdata, perdagangan, industri, keuangan bahkan politik. Pendirinya adalah R. Subekti (Ketua MA), H. Priyatna, Haryono Tjitrosoebono (Ketua Ikatan Advokat Indonesia), dan Suswanto Sukendar (Ketua KADIN).[8]

2.      Arbitrase khusus
Arbitrase khusus adalah arbitrase yang menyelesaikan konflik secara khusus dalam bidang tertentu seperti bidang ekonomi syariah  atau keuangan, industri, olahraga dan sebagainya. Arbitrase khusus lebih spesifik pada arbitrase syariah yang menyelesaikan sengketa dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi kegiatan ekonomi seperti bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, bisnis syariah dan sebagainya. Majelis Ulama Indonesia mendirikan sebuah badan arbitrase muamalat indonesia (BAMUI) pada tanggal 21 oktober 1993. Kemudian berdasarkan keputusan MUI  nomor kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 desember 2003 BAMUI resmi dirubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI. Dimana keputusan BASYARNAS tidak dilaksanakan secara sukarela melainkan berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan

3.      Arbitrase internasional
Arbitrase untuk menyelesaikan konflik yang berdsarkan kontrak internasional dan tunduk pada hukum internasional. Yaitu proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase di luar wilayah RI, dengan alasan untuk menghindari ketidakpastian yang berkaitan dengan proses pengadilan (litigasi)di pengadilan nasional
Contoh penggunaan arbitrase internasional adalah kasus kontrak antara pemertintah RI dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Ketika terjadi perselisihan mengenai kontrak tersebut, pemerintah RI meminta UNCITRAL untuk menyelesaikan konflik tersebut, arbitrer UNCITRAL kemudian memutuskan NNT melakukan wanprestasi.[9]
Sementara dalam keberadaan berlakunya  masa keputusan arbitrase terdiri dari dua macam yakni :
a.     Arbitrase ad hoc atau arbitrase sementara
Arbitrase ad hoc merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk dapat menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu sifat dari arbitrase ad hoc bersifat insidentil, dimana kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu, apabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara maka keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
b.      Arbitrase institusional,
Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Saat ini lembaga tersebut dikenal dengan berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Indonesia, atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri. BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut: "Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir". Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of International Trade Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Sementara di Indonesia sendiri terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase yaitu: Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)  dan  Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).


Kesimpulan

Lembaga tahkim adalah sebuah lembaga yang melayani dan menangani dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi dua orang atau lebih dengan menunjuk seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan sifat adil dan bijaksana.
Di dalam Kitab Al Mughni, Ibnu Qudamabh menerangkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh hakam berlaku dalam segala rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qadzaf, qishash. Dalam hal ini termasuk wewenang penguasa. Pengikut-pengikut Asy Syafi’I mempunyai dua pendapat dalam masalah ini.
Ibnu Farhun dalam Kitab At Tabshirah mengatakan bahwa putusan hakam itu berlaku dalam bidang-bidang harta tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an, qishash, qadzaf, talak, atau menetukan keturunan. Pihak-pihak yang mentah-kimkan itu boleh, menolak putusan hakam, sebelum hakam itu mengeluarkan putusannya.
Apabila suatu perkara sudah diputuskan oleh seorang hakam, kemudian diajukan kepada hakim, maka hakim boleh membenarkan putusan itu jika sesuai dengan mazhabnya. Dan boleh dia membatalkan putusannya jika berlawanan dengan mazhabnya.
Di Indonesia, lembaga Tahkim ini dikenal dengan arbitrase. Lembaga arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam pasal 1 angka 8 disebutkan: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.


Daftar Pustaka

Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1970. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta. Bulan Bintang.
______________________. 1997.  Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang. PT Pustaka Rizki Putra.
Arifin, Zaenal. “Arbitrase Dalam Perspektif  Hukum Islam”, dimuat dalam Majalah Himmah vol. VII no. 18 Januari -April 2006
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Mukhlas, Oyo Sunaryo Perkembangan Peradilan Islam. 2011. Bogor: Ghalia Indonesia.
Quran Surat an-Nisa 35
Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 1999 Cetalkan ke-1. 2000. Jakarta: Sinar Grafika.
Wirawan, Konflik Dan Manajemen Konflik. 2010, Jakarta: Salemba Humanika



[1] Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997) hal. 81
[2] Kamus Besar behasa Indonesia (KBBI)
[3] Zaenal Arifin, “Arbitrase Dalam Perspektif  Hukum Islam”, dimuat dalam Majalah Himmah vol. VII no. 18 Januari -April 2006, hal.. 67-68
[4] ____________________________, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal.. 59
[5] Quran Surat. An Nisa’ 35
[6] Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 1999 (Cet. I: Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 3
[7] Oyo Sunaryo Mukhlas, “Perkembangan Peradilan Islam”, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, hal, 22.
[8] Wirawan, Konflik Dan Manajemen Konflik, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hal., 215
[9] Konflik Dan Manajemen Konflik, hal 219-221

No comments:

Post a Comment