A. Pengertian Lembaga Tahkim
Istilah
tahkim berasal dari bahasa Arab yang artinya
menyerahkan putusan kepada seseorang dan menerima putusan tersebut. Sedangkan menurut
istilah, tahkim ialah dua orang atau
lebih mentahkimkan kepada seseorang untuk diselesaikan sengketanya dan
diterapkan hukum syara’ atas sengketa
mereka itu[1].
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya: perihal menjadikan hakim;
mempergunakan hakim (dalam persengketaan).[2]
Dalam pengertian ini yaitu menunjuk seseorang yang dianggap memiliki kemampuan
dan sifat adil dan bijaksana dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi dua
orang atau lebih.
Menurut kamus al-Munjid
bahwa tahkim adalah mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru damai.
Sedangkan Salam Madkur menyatakan dalam kitab Al-Qadha Fil Islam bahwa tahkim
secara terminologis berarti mengangkat seseorang atau lebih sebagai wasit atau
juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan
perkara yang mereka selisihkan secara damai. Sedangkan istilah sekarang
tahkim dapat diterjemahkan sebagai arbitrase, dan orang yang bertindak
sebagai wasitnya disebut arbiter atau hakam.[3]
Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan:
menyerahkan diri atau urusan kepada seseorang yang
dianggap cakap dan pandai menyelesaikan sesuatu dengan menyenangkan kedua belah
pihak.[4]
Penyelesaian sengketa tersebut terjadi di luar lembaga pengadilan. Orang yang
ditunjuk untuk memutus sengketa tersebut disebut hakam atau muhakkam.
Kedudukan
tahkim adalah lebih rendah dari
kedudukan peradilan. Karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang tak dapat
dilakukan oleh seorang muhakkam.
Lantaran itu Abu Yusuf tidak membolehkan seseorang atau lebih mengadakan suatu
syarat terhadap tahkim itu. Selain
daripada itu hukum yang diberikan oleh muhakkam
hanya berlaku bagi orang-orang yang menerima putusannya. Sedangkan putusan
hakim harus berlaku walaupun tidak diterima oleh orang yang bersangkutan.
Lembaga
tahkim seperti ini sesungguhnya telah
dikenal oleh bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Pada masa itu, apabila terjadi
suatu sengketa, hakamlah yang harus
didengar pendapatnya. Dengan demikian, para pihak yang bersengketa pergi menghadap
kepada hakam.
Di
dalam syari’at Islam, dasar hukum
yang membenarkan lembaga tahkim ialah
firman Allah dalam Q.S. an-Nisa (4): 35; [5]
فابعـثوا
حكمـا من اهـلـه و حكمـا من اهـلهـا ، ان يريدا اصلاحـا يوفق الله بينهمـا
Artinya:”Maka
angkatlah seorang hakam dari keluarga si lelaki dan seorang hakam dari keluarga
si wanita. Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya Allah akan memberi
taufik kepada keduanya”.
Diriwayatkan
oleh An-Nasa’i bahwa Abu Syuraih menerangkan kepada Rasulullah saw. bahwa
kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara. Lalu mereka datang kepadanya, dan
dia pun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak.
Mendengar itu, Nabi Muhammad saw. bersabda: Alangkah baiknya. Demikian pula riwayat
menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah menerima putusan Sa’ad bin Mu’az
terhadap Bani Quraidah tatkala orang-orang Yahudi sepakat dan rela menerima tahkim dari Sa’ad kepada mereka.
Ahli
fiqh menetapkan bahwa seorang hakam hendaklah seorang yang mempunyai
sifat hakim, yaitu dapat diajukan sebagai saksi baik laki-laki ataupun
perempuan, dan benar-benar mempunyai keahlian diwaktu dia menjatuhkan putusan.
Hendaklah perkara yang ditahkimkan
kepadanya adalah perkara-perkara yang tidak masuk dalam bidang pidana dan qishash. Karena dalam bidang ini
penguasa yang berkewajiban melaksanakannya dan karena hukum yang diberikan oleh
muhakkam tidak melibatkan kepada
orang-orang lain. Mengingat hal ini maka tahkim
itu dapat dilaksanakan dalam segala masalah ijtihadiyah
sepeti talak, nikah, kafalah, dan jual beli
Adapun
kekuatan hukum keputusan tahkim
terdapat perbedaan pendapat. Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal
berpendapat bahwa putusan yang diberikan oleh hakam harus dijalani oleh pihak yang bersangkutan, meskipun
pihak-pihak yang berperkara boleh menolak tahkim
sebelum hakam mengeluarkan
putusannya. Sedang ada pula pendapat menyebutkan bahwa hukum yang diberikan
oleh hakam itu tidak harus dituruti
oleh pihak yang berperkara.
Apabila
pihak yang berperkara sudah diputuskan perkaranya oleh seorang hakam, kemudian mengajukan lagi
perkaranya kepada hakam lain dan
diberikan putusan yang berlawanan dengan yang pertama karena hakam tersebut tidak mengetahui adanya
putusan sebelumnya, maka perkara itu harus diselesaikan oleh hakim, dan hakim
hendaknya mentanfizkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya. Hakim dapat pula
membatalkan putusan itu jika berlawanan dengan pendapatnya.
Kedudukan
tahkim dibanding dengan qadha’ berada pada tingkat bawah.
Mengingat tahkim ini terjadi atas
kesepakatan secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. Putusan seorang hakam dapat diterima oleh para pihak,
dan dapat pula menolaknya. Berbeda dengan keputusan qadha’, senang atau tidak senang kepada keputusan qadha’ tersebut, harus diterima dan
ditaati.
B. Bidang-Bidang Tahkim
Di
dalam Kitab Al Mughni, Ibnu Qudamah menerangkan bahwa hukum yang ditetapkan
oleh hakam berlaku dalam segala rupa
perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an,
qadzaf, qishash. Dalam hal ini termasuk wewenang penguasa.
Pengikut-pengikut asy Syafi’i mempunyai dua pendapat dalam masalah ini
Ibnu
Farhun dalam Kitab Al Tabshirah mengatakan bahwa putusan hakam itu berlaku dalam bidang-bidang harta tidak berlaku dalam
bidang pidana, li’an, qishash, qadzaf, talak, atau menentukan keturunan. Pihak-pihak yang mentahkimkan itu boleh ,menolak putusan hakam, sebelum hakam itu mengeluarkan putusannya. Hakam itu dipandang sebagai pihak yang dituruti oleh kedua belah
pihak. Karenanya mereka boleh memakzulkan (memecat) hakamnya sebelum hakam itu
menjatuhkan hukuman. Tetapi apabila hakam
sudah mengambil putusannya, maka putusannya itu berlaku tidak dapat dibatalkan
lagi.
Sebagian
ulama berpendapat , bahwa tidak perlu adanya kerelaan dari kedua belah pihak
sampai pada ketika melaksanakan hukum. Apabila kedua-duanya telah mengemukakan
keterangan mereka masing-masing pada seorang hakam, kemudian salah seorang ingin menarik kembali pentahkimnya sebelum memutuskan hukum maka hakam itu dapat terus memutuskan hukum
dan sah hukumnya.
Menurut
Pendapat Sahnun, masing-masing pihak dapat menarik pentahkimannnya, selama belum ada putusan. Menurut pendapat dalam
mazhab Maliki tidak disyaratkan terus-menerus adanya kerelaan dari kedua belah
pihak sampai kepada diberikan hukum. Tetapi apabila kedua-duanya menarik pentahkimannya sebelum hukum ditetapkan
maka penarikan itu dibenarkan dan tak dapat lagi muhakkam memutuskan perkara tersebut. Hakam boleh mendengar keterangan saksi dan dapat pula memutuskan
perkara dengan nukul , juga dengan
ikrar, karena itu sesuai dengan ketentuan syara’
Apabila
pihak yang dikalahkan mengingkari ikrar padahal keterangan cukup, kemudian dia
mengajukan perkaranya kepada hakim, maka hakim boleh menerima apa yang telah
ditetapkan oleh hakam selama orang
yang berperkara itu masih dalam mentahkimkan
diri kepada sesudah dia tidak berhak lagi memutuskan perkara, oleh hakim tidak
harus didengar perkataan hakam itu.
Putusan
yang diberikan oleh hakam harus
dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan, menurut Ahmad dan Abu Hanifah serta
menurut suatu riwayat dari asy Syafi’I. Tetapi menurut riwayat yang lain hukum
yang diberikan oleh hakam itu tak
harus dituruti oleh yang bersangkutan.
Apabila
seorang hakam telah memberikan
putusan, kemudian mereka pergi lari mengajukan mengajukan perkaranya kepada hakam lain, lalu hakam yang lain ini memberikan putusan pula dengan tidak mengetahui
adanya putusan yang pertama, maka apabila urusan itu diajukan pada hakim,
hendaklah hakim menerapkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya. Apabila suatu
perkara sudah diputuskan oleh seorang hakam,
kemudian diajukan kepada hakim, maka hakim boleh membenarkan putusan itu jika
sesuai dengan mazhabnya. Dan boleh dia membatalkan putusannya jika berlawanan
dengan mazhabnya.
C. Institusi Tahkim dalam
Perundang-undangan di Indonesia
Memperhatikan
penjelasan di atas, institusi tahkim
dapat dipersamakan dengan lembaga arbitrase atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa di Indonesia. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase
yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[6]
Di
Indonesia, arbitrase ini diwujudkan dalam bentuk lembaga. Lembaga arbitrase
menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, dalam pasal 1 angka 8 disebutkan: “Lembaga Arbitrase adalah badan
yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa”.
Selain
lembaga arbitrase, undang-undang ini membenarkan pula penyelesaian kasus
melalui lembaga alternatif penyelesaian kasus, sebagaimana ditunjuk dalam angka
10 pasal 1, berbunyi: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para
pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.[7]
Kedua
lembaga ini pada prinsipnya tidak jauh beda. Keduanya merupakan jalan
penyelesaian sengketa keperdataan yang terjadi di luar pengadilan. Perbedaannya
adalah, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase harus terlebih dahulu
dinyatakan dalam sebuah perjanjian sebelum terjadinya sengketa. Sementara
penyelesaian melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan
setelah terjadinya sengketa melalui kesepakatan kedua belah pihak. Baik putusan
arbitrase maupun kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
lembaga alternatif penyelesaian sengketa adalah putusan final dan mengikat para
pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan setempat dalam waktu paling lama 30 hari sejak
pengucapan putusan/penandatanganan kesepakatan tersebut.
Keberadaan
lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sebagai media
penyelesaian sengketa keperdataan di luar pengadilan telah dilegislasi oleh UU
No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di
dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) disebutkan antara lain bahwa penyelesaian
perkara atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Hanya
saja, putusan arbitrase mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin
eksekusi dari pengadilan. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan mengingat para
pihak. Satu-satunya jalan menolak putusan arbitrase apabila alasannya terpenuhi
adalah mengajukan permohonan banding kepada Mahkamah Agung yang memutus untuk
tingkat pertama dan terakhir.
Sebagaimana
konsep sebagian fuqaha tentang tahkim, perkara-perkara yang dapat
diselesaikan melalui lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa ini
hanya sengketa keperdataan misalnya dibidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak
yang bersengketa. Tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase pada sengketa atau
perkara pidana yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian.
Guna
menjamin obyektifitas dan proporsionalitas putusan arbitrase, seseorang yang
dapat diangkat menjadi arbiter harus memenuhi syarat-syarat:
1.
cakap melakukan tindakan
hukum
2.
berumur minimal 35 tahun
3.
tidak mempunyai hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu
pihay bersengketa
4.
tidak mempunyai
kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase, dan
5.
memiliki pengalaman dan
menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Dalam kaitan ini, hakim, jaksa, panitera,
dan pejabat peradilan lainnya tidak diperkenankan diangkat sebagai arbiter. Hal
ini dimaksudkan agar terjamin adanya obyektifitas dalam pemeriksaan serta
pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Perlu ditambahkan, bahwa persyaratan jenis
kelamin untuk dapat diangkat arbiter tidak disebutkan dalam undang-undang
arbitrase. Ini menunjukkan bahwa wanita dan laki-laki dapat diangkat arbiter
sepanjang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas. Ketentuan tersebut
berbeda dengan apa yang disebutkan dalam pasal 617 ayat (2) Regleman Acara
Perdata yang melarang wanita sebagai arbiter.
Ditinjau dari segi jenisnya bahwa tahkim atau arbitrase dapat terbagi
menjadi tiga jenis, diantaranya adalah:
1.
Arbitrase Nasional (umum)
Arbitrase nasional adalah arbitrase yang
bersifat umum dan dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai jenis konflik
akibat semua jenis kontrak perdata dan tunduk pada hukum nasional dalam suatu
negara. Indonesia telah mensahkan atau memiliki sebuah lembaga arbitrase
nasional yang bernama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI dibentuk
berdasarkan UURI No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa. BANI dapat menyelesaikan konflik yang berdasarkan
kontrak dan tunduk pada Hukum Nasional Indonesia. BANI sendiri berdiri tepat
pada tanggal 3 Desember 1977 yang bergerak di bidang komersial meliputi bidang
perdata, perdagangan, industri, keuangan bahkan politik. Pendirinya adalah R.
Subekti (Ketua MA), H. Priyatna, Haryono Tjitrosoebono (Ketua Ikatan Advokat
Indonesia), dan Suswanto Sukendar (Ketua KADIN).[8]
2.
Arbitrase khusus
Arbitrase khusus adalah arbitrase yang
menyelesaikan konflik secara khusus dalam bidang tertentu seperti bidang
ekonomi syariah atau keuangan, industri, olahraga dan sebagainya.
Arbitrase khusus lebih spesifik pada arbitrase syariah yang menyelesaikan sengketa
dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi kegiatan ekonomi seperti bank
syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi
syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, bisnis syariah dan
sebagainya. Majelis Ulama Indonesia mendirikan sebuah badan arbitrase muamalat
indonesia (BAMUI) pada tanggal 21 oktober 1993. Kemudian berdasarkan keputusan
MUI nomor kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 desember 2003 BAMUI resmi
dirubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang merupakan
badan yang berada dibawah MUI. Dimana keputusan BASYARNAS tidak dilaksanakan
secara sukarela melainkan berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan
3.
Arbitrase internasional
Arbitrase untuk menyelesaikan konflik yang
berdsarkan kontrak internasional dan tunduk pada hukum internasional. Yaitu
proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase di luar wilayah RI,
dengan alasan untuk menghindari ketidakpastian yang berkaitan dengan proses
pengadilan (litigasi)di pengadilan nasional
Contoh
penggunaan arbitrase internasional adalah kasus kontrak antara pemertintah RI
dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Ketika terjadi perselisihan mengenai
kontrak tersebut, pemerintah RI meminta UNCITRAL untuk menyelesaikan konflik
tersebut, arbitrer UNCITRAL kemudian memutuskan NNT melakukan wanprestasi.[9]
Sementara dalam keberadaan
berlakunya masa keputusan arbitrase terdiri dari dua macam yakni :
a.
Arbitrase ad hoc atau arbitrase
sementara
Arbitrase ad hoc merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk dapat
menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu sifat dari
arbitrase ad hoc bersifat insidentil,
dimana kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus
perselisihan tertentu, apabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan
perkara maka keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules.
Pada umumnya arbitrase ad-hoc
ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase
serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan
arbitrase ad-hoc perlu disebutkan
dalam sebuah klausul arbitrase.
b.
Arbitrase institusional,
Arbitrase institusional merupakan suatu
lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen yang dikelola oleh berbagai
badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri.
Sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar,
meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Saat ini lembaga tersebut dikenal dengan
berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Indonesia, atau yang internasional
seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce
(ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for
Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut
mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri. BANI (Badan Arbitrase
Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut:
"Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan
diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut
peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua
belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan
terakhir". Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of
International Trade Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa,
pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini,
atau prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan
melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Sementara di Indonesia sendiri terdapat
dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase yaitu: Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
(BAMUI).
Kesimpulan
Lembaga
tahkim adalah sebuah lembaga yang
melayani dan menangani dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi dua orang
atau lebih dengan menunjuk
seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan sifat adil dan bijaksana.
Di
dalam Kitab Al Mughni, Ibnu Qudamabh menerangkan bahwa hukum yang ditetapkan
oleh hakam berlaku dalam segala rupa
perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an,
qadzaf, qishash. Dalam hal ini termasuk wewenang penguasa.
Pengikut-pengikut Asy Syafi’I mempunyai dua pendapat dalam masalah ini.
Ibnu
Farhun dalam Kitab At Tabshirah mengatakan bahwa putusan hakam itu berlaku dalam bidang-bidang harta tidak berlaku dalam
bidang pidana, li’an, qishash, qadzaf, talak, atau menetukan keturunan. Pihak-pihak yang mentah-kimkan itu boleh, menolak putusan hakam, sebelum hakam itu mengeluarkan putusannya.
Apabila
suatu perkara sudah diputuskan oleh seorang hakam,
kemudian diajukan kepada hakim, maka hakim boleh membenarkan putusan itu jika
sesuai dengan mazhabnya. Dan boleh dia membatalkan putusannya jika berlawanan
dengan mazhabnya.
Di
Indonesia, lembaga Tahkim ini dikenal
dengan arbitrase. Lembaga arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam pasal 1 angka 8
disebutkan: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan
hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.
Daftar
Pustaka
Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1970. Sejarah Peradilan
Islam. Jakarta. Bulan Bintang.
______________________. 1997. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang.
PT Pustaka Rizki Putra.
Arifin,
Zaenal. “Arbitrase Dalam Perspektif Hukum Islam”, dimuat
dalam Majalah Himmah vol. VII no. 18 Januari -April 2006
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Mukhlas,
Oyo Sunaryo Perkembangan Peradilan Islam. 2011. Bogor: Ghalia Indonesia.
Quran Surat an-Nisa 35
Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa 1999 Cetalkan ke-1. 2000. Jakarta: Sinar
Grafika.
Wirawan, Konflik Dan Manajemen Konflik.
2010, Jakarta: Salemba Humanika
[1] Muhammad Hasby
Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, 1997) hal. 81
[3] Zaenal Arifin, “Arbitrase
Dalam Perspektif Hukum Islam”, dimuat dalam Majalah Himmah vol. VII
no. 18 Januari -April 2006, hal.. 67-68
[6] Undang-undang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 1999 (Cet. I: Jakarta: Sinar
Grafika, 2000), hal. 3
No comments:
Post a Comment