A.
Pendahuluan
Revolusi Islam Iran telah mengembalikan faham syi>’ah ke tengah-tengah dunia, baik dari segi keislaman maupun dari segi
hubungan internasional. Pada tanggal 11 Januari 1979, Syah Reza Pahlevi yang
sebelumnya berkuasa ditumbangkan dalam sebuah revolusi Islam, yang dipeleopori
oleh Ayatullah Khomeini. Dengan demikian, terjadilah sebuah perubahan besar
dalam pemikiran politik di timur tengah pada khususnya dan dunia umumnya.
Sebelum revolusi ini Syah Reza Pahlevi dianggap sebagai seseorang yang paling
berkuasa di Iran. Kekuatan militer yang telah dibangunnya sejak lama. Ia telah
berhasil memakmurkan rakyatnya dengan jalan mengadakan pembangunan terutama di
bidang pertanian yang terkenal dengan Revolusi Putih. Semua pembangunan yang
dilakukan oleh Syah Iran adalah akibat dari pendapatan besar yang diterima dari
hasil minyak bumi.
Akan tetapi, segala hasil yang telah dicapai itu dibayar dengan
harga yang cukup mahal. Syah Iran
semakin jauh dari kelompok pemuka agama. Para pemuka agama ini merasa resah
terhadap proses sekularisasi yang terjadi sehingga semakin lama semakin jauh
dari semangat agama Islam. Karena itu, golongan pemuka agama ini telah berubah
menjadi kelompok oposisi yang memiliki potensi untuk mendatangkan bahaya besar
bagi rezim Syah Iran.[1]
Pada bidang luar negeri Iran dibawah Syah Reza Pahlevi menjadi
sekutu Amerika Serikat. Sehingga telah jelas bahwa sekularisasi agama dan
negara tengah terjadi di Negara Iran.
B.
Biografi
Ayatullah Ruhullah Khomeini lahir di Khomein pada tanggal 24
oktober 1902. Khomein merupakan dusun yang berada di Iran Tengah. Keluarga
Khomeini adalah keluarga Sayyid Musawi, keturunan nabi melalui jalur Imam Musa
al-Kazhim, Mereka berasal dari Neisyabur, Iran Timur Laut. Pada awal abad ke
19, keluarga ini bermigrasi ke India, dan bermukim di kota kecil Kintur di
dekat Lucknow di Kerajaan Qudh.[2]
Kakek Imam Khomeini yang bernama Sayyid Ahmad Musawi Hindi, lahir
di Kintur. Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein
Hindi Neisyaburi, yang karyanya aba>qat al-Anwa>r, jadi kebanggaan
umat muslim di India. Sayyid Ahmad meninggalkan India pada sekitar tahun 1830
untuk berziarah ke Kota suci Najaf, Irak. Di Najaf, ia bertemu seorang saudagar
terkemuka dari Khomein. Menerima undangan sang saudagar Sayyid Ahmad lalu pergi
ke Khomein untuk jadi pembimbing spiritual di dusun itu.
Di Khomein Sayyid Ahmad menikah dengan Sakinah, putri tuan
rumahnya. Pasangan ini dikaruniai empat anak, antara lain, Sayyid Mustafa yang
lahir pada 1856. Sayyid Mustafa belajar di Najaf, dibawah bimbingan Mirza Hasan
Syirazi, kemudian pada 1894 kembali ke Khomein. Disana dia menjadi ulama dan
dikaruniai enam anak. Imam Khomeini adalah yang bungsu. Ketika Imam masih
berusia sembilan bulan, ayahnya dibunuh karena menentang Dinasti Qajar.
Semasa kecil, Imam Khomeini mulai belajar bahasa Arab, syair
Persia, dan Kaligrafi di sekolah negeri dan di makta>b. Menjelang dewasa Imam Khomeini mulai belajar agama dengan lebih
serius. Ketika berusia lima belas tahun, dia mulai belajar tata bahasa
Arab kepada saudaranya. Murtaza, yang
belajar bahasa Arab dan teologi di Isfahan. Pada usia tujuh belas tahun Imam
Khomeini pergi ke Arak, kota dekat Isfahan untuk belajar dari Syekh Abdul Karim
Haeri Yazdi, seorang ulama yang terkemuka yang meninggalkan Karbala untuk
menghindari pergolakan politik. Sikap ini kemudian mendorong kebanyakan ulama
terkemuka untuk menyatakan penentangannya kepada pemerintahan Inggris.
Setelah runtuhnya imperium Utsmaniah, Syekh Haeri enggan tinggal di
kota-kota yang ada di bawah mandat Inggris. Ia kemudian pindah ke Qum. Imam
Khomeini lima bulan kemudian mengikuti jejak Syekh Haeri pindah ke Qum. Di
tempat yang baru ini Imam Khomeini belajar retorika syair dan tata bahasa dari
gurunya yang bernama Syekh Muhammad Reza Masjed Syahi. Selama belajar di Qum.
Imam Khomeini menyelesaikan studi fikih dan ushul dengan seorang guru dari Kasyan, yang sebelas tahun lebih tua
darinya, yaitu Ayatullah Alio Yasrebi.
Pada awal tahun 1930-an, dia menjadi mujtahid dan menerima ijazah
untuk menyampaikan hadis dari empat guru terkemuka. Yang pertama dari keempat
guru itu adalah Syekh Muhsin Amin Ameli, seorang ulama terkemuka dari Lebanon.
Yang kedua adalah Syekh Abbas Qummi, ahli hadis dan sejarawan terkemuka. Qummi
adalah penulis buku mafa>tih al-Jina>n (kunci surga).
Guru ketiganya adalah Abul Qosim Dehkordi Isfahani, seorang mulla>h terkemuka di Isfahan. Guru keempatnya adalah Muhammad Reza Masjed
Syahi, yang datang ke Qum pada tahun 1925 karena protes menentang kebijakan
Syah Reza yang anti Islam.
Pada usia 27 tahun, Imam Khomeini menikah dengan Syarifah Batul,
putri dari seorang Ayatullah yang bermukim di Teheran. Mereka dikaruniai 5
orang anak, 2 putra dan 3 putri.
Imam Khomeini wafat pada tanggal 3 Juni 1989 dengan memberikan
keyakinan kepada suatu kaum Muslim di seluruh dunia.bahwa ajaran Islam
merupakan ajaran yang mampu menuntun manusia menuju kebenaran.
C.
Pemikiran
Imam Ayatullah Khomeini merespon terhadap modernisasi dan
sekulerisasi Iran oleh Reza Syah Pahlevi pada sekitar tahun 1930-an. Pada tahun
1941, saat Syah Reza terpaksa turun tahta, Khomeini memandangnya sebagai akhir
dari serangan ideologis dan kultural Barat, dan ia menganjurkan kekuasaan
negara berbentuk ulama bersatu untuk menyiasati keadaan ini.[3]
Menurutnya, ulama merupakan mereka yang menghasilkan konstitusi dan menjamin
kebebasan untuk menyatakan pendapat. Khomeini dengan tegas menjelaskan bahwa
penghinaan terhadap ulama sama saja dengan penghinaan terhadap Islam.
Pada saat ingin mengembangkan pemikirannya tersebut, Khomeini
sempat ditahan di penjara karena ia dituduh sebagai provokator utama yang
berunjuk rasa anti Syah Reza. Namun, ia tetap menyebarluaskan
pernyataan-pernyataannya dalam bentuk tulisan dan kaset pidato, hingga ia
memiliki banyak pendukung dan berhasil menggulingkan pemerintahan Syah Reza dan
Iran berubah menjadi Republik Islam Iran dengan Khomeini menjabat sebagai
pemimpin spiritual tertinggi Iran.
Khomeini memiliki konsep beranggapan bahwa suatu negara Islam
sebenarnya merupakan suatu kenyataan yang segera bisa disepakati, khususnya di
kalangan syi>’ah. Ini tercantum sebagai kalimat pembuka dalam karyanya Huku>mat-i Isla>m.[4]
Menurutnya, umat Muslim diwajibkan untuk menaati ulil amri disamping Allah
dan Rasul-Nya. Ini berarti diwajibkannya umat Muslim membentuk pemerintahan,
Oleh karena itu, menurutya tak ada gunanya suatu peraturan tanpa adanya
kekuasaan eksekutif yang memaksakan pelaksanaan hukum Islam. Kewajiban
membentuk negara dan pemerintahan Islam juga tampak dari kewajiban menjaga
integritas wilayah Islam. Bahkan fungsi dari sifat dan hukum Islam dijadikannya
dasar untuk mengelola urusan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Negara menurut Khomeini merupakan instrumen bagi pelaksanaan
undang-undang Tuhan di muka bumi. Tidak seperti demokrasi (murni), pada
dasarnya tak ada hak negara yakni lembaga legislatif, sebagai wakil rakyat
(demos) untuk membuat undang-undang. Otoritas membuat undang-undang dan
kedaulatan ada di tangan Allah. Memberikan kepada rakyat hak untuk membuat
undang-undang, selain bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana diyakini Imam
Khomeini, juga hanya akan memaksa negara untuk menerima perundang-undangan yang
boleh jadi buruk tetapi merupakan kemauan rakyat atau pun menolak
perundang-undangan yang baik hanya karena bertentangan dengan kehendak rakyat.
Kemudian salah satu alternatif yang dicanangkan oleh Khomeini dalam
menanggapai permasalahan diatas adalah dengan menerapkan konsep wilayah
faqih (pemerintahan faqih/ulama-ulama mujtahid) yang berada
dalam bukunya, berjudul tafsi>l al-Syari>’ah, berkaitan dengan konsep-konsep dasar pemikiran politik religius syi>’ah, seperti : kesetiaan, imamah, dan taqli>d. Oleh karena itu, kepemimpinan Islam diwujudkan dalam imamah yang
diwakili oleh para Rasul Allah dan para imam yang harus dipatuhi oleh umat
Islam. Selanjutnya ia menegaskan bahwa selama keghaiban Imam al-Mahdi, imamah
dilanjutkan oleh kepemimpinan faqih. Jadi, faqih atau mujtahid
memiliki hak memerintah sebagai wakil imam. Kemudian dalam urusan keagamaan dan
sosial politik, hubungan masyarakat dengan faqih didasari oleh konsep taqli>d, yakni mematuhi
faqih seperti mematuhi imam.
Selain itu, sebagaimana pada pasal 5 konstitusi Iran mengenai Wilayah
faqih menyatakan bahwa selama ghaibnya sha>ib
Al-Zama>n yaitu Imam
Mahdi wilayah dan kepemimpinan umat beralih ke faqih yang adil dan
shaleh. Selain itu, yang memahami benar keadaan zamannya serta berani, cerdas,
dan mampu memerintah serta diakui dan diterima sebagai pemimpin oleh mayoritas
rakyat.
Adapun, Salah satu landasan wilayah faqih adalah bersumber
dari Imam Ja’far Al-Shadiq, imam keenam:
Menyangkal
wewenang seorang mujtahid berarti menentang wewenang Imam. Menentang wewenang
imam berarti menentang wewenang Nabi SAW. Menentang wewenang Nabi SAW, berarti
menentang wewenang Allah. Menentang wewenang Allah, sama dengan syirik.
Selain
itu, secara lebih terperinci hadist yang berasal dari Imam al-Ridha dibawah ini
menjelaskan peran seorang wali:
Pemimpin (wali)
umat adalah sarana untuk melindungi iman dan jaminan bagi persatuan struktur
sosial, pengembangan ekonomi, dan penerapan hukum-hukum Tuhan. Keberadaannya
menjamin keamanan perbatasan negeri dan penerapan hudud (hukum pidana). Ia
menjamin pemberian hak-hak Ilahi, memelihara integritas iman, dan menjaga
kehormatan umat Islam. Ia menimbulkan kemarahan dan kesedihan di dalam hati
kaum munafik dan merancang penghancuran kaum kafir. Imam umat adalah
penggembala rakyat, negarawan, dan administrator yang cakap urusan-urusan
mereka, yang kehendak dan keteguhannya tak pernah memudar dan melemah.
Kemudian, penerapan konsep wilayah
faqih di negara Iran dapat dilihat sejak
runtuhnya dinasti Syah. Sebagaimana diketahui, kepala negara adalah Imam kedua
belas yang selama masih ghaib diwakili oleh faqih atau Dewan faqih (Dewan Keimaman). Kepala pemerintahan dipegang oleh seorang
presiden yang walaupun dipilih oleh rakyat tapi diangkat, dilantik, dan
diberhentikan oleh faqih atau Dewan Faqih. Ketua kabinet (dewan menteri-menteri) dipegang oleh perdana
menteri yang dipilih, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden, setelah
mendapat persetujuan dari badan legislatif dengan demikian kabinet
bertanggungjawab kepada badan legislatif. Selain itu, dikenal pula Dewan
Pelindung Konstitusi, yang dewan ini disebut juga sebagai Dewan Perwalian atau The
Guardian Council of Constitution yang bertugas mengawasi agar undang-undang
yang dibuat oleh Dewan Pertimbangan Nasional Iran tidak bertentangan dengan
ajaran Islam dan konstitusi Iran.[5]
Akan tetapi, konsep Wilayah faqih Ayatullah Khomeini juga didapati beberapa argumentasi oleh
beberapa pakar. Beberapa pakar tersebut menilai bahwa wilayah
faqih itu sebagai pemerintahan demokratis
sedangkan yang lainnya menganggap mungkinnya sintesis antara (unsur-unsur)
demokrasi dan (unsur-unsur) nondemokrasi sehingga melabelinya dengan model
pemerintahan semidemokratis.
D.
Analisis
Konsep Wilayah Faqih yang dikemukakan oleh Khomeini bisa menjadi salah satu alternatif
dalam menerapkan pemerintahan Islam. Pada bulan januari 1979, ketika masih di
pengasingan di Neauphlele Chateau sebuah desa kecil 30 km dari Paris, Imam
Khomeini ketika ditanya tentang bentuk negara Islam apa yang ia cita-citakan,
lantas ia menjawab:
Seperti 10
tahun pemerintahan Rasulullah SAW atau 5 tahun pemerintahan Imam Ali bin Abi
Thalib.
Bagi imam Khomeini, negara Islam seperti Arab Saudi, Libya, dan
lainnya bukanlah contoh dari sebuah negara Islam yang berhasil dan patut
ditiru. Pemikiran Khomeini tentang wilayah Faqih setidaknya dilatarbelakangi oleh empat faktor, yakni:[6]
1. Berakhirnya Imamah, dalam pengertian dianggap sebagai masa
“keghaiban besar atau sempurna”, yaitu masa sesudah meninggalnya keempat wakil
Imam (niya>bah
al-Ima>m) sampai
kedatangan kembali al-Mahdi pada akhir zaman. Pada masa setelah berakhirnya
perwakilan Imam (dari 941M dan seterusnya) yang biasa disebut dengan perwakilan
umum inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih. Apabila pelembagaan perwakilan Imam dipandang sebagai
satu-satunya jalan untuk melestarikan struktur sosial-keagamaan umat Imamiah.
Oleh karenanya mereka benar-benar menjadi imam-imam fungsional yang memiliki
potensi untuk menjadi sultha>n
al-Zama>n (otoritas yang
berkuasa pada suatu waktu) maka demikian pula dengan tugas dan fungsi
perwakilan umum yang diemban oleh para faqih dibawah komando Khomeini. Meskipun keberadaan para faqih itu tidak ditunjuk langsung oleh para wakil Imam sebelumnya.
2. Pelembagaan konsep wilayah faqih. Adapun maksud dari faktor ini adalah sebagai upaya mengisi
kevakuman imamah sekaligus menjaga kelestariannya. Pemikiran demikian dapat dipahami
karena imamah bagi umat syi>’ah adalah elemen keimanan yang wajib ada dan harus dipatuhi. Dengan
adanya para faqih yang mengemban fungsi teologis-politis sebagaimana pendahulunya,
sekaligus menempatkan mereka sebagai sultha>n
al-zama>n li-tadbi>r al-ana>m (otoritas yang ditunjuk untuk mengelolah urusan-urusan umat
manusia), dan dapat pula diartikan sebagai kreativitas imam Khomeini sebagai
penggagas konsep wilayah faqih.
3. Idealisasi politik syi>’ah yang termanifestasikan dalam diri Khomeini. Artinya, bila pada
abad-abad sebelumnya Islam syi>’ah belum berhasil mewujudkan cita-cita politiknya, yaitu terciptanya
tatanan masyarakat Islam dibawah pemerintahan Imam sebagai pemegang kekuasaan
untuk menggantikan pemerintahan tirani yang dzalim, maka pada abad XX cita-cita
tersebut dapat terealisasikan melalui perjuangan panjang seorang wakil Imam,
Ayatullah Khomeini. Meskipun, harus diingat bahwa kekuasaan dan jabatan seorang
faqih Khomeini tidak
sebesar imam-imam sebelumnya. Dalam pengertian, tingkat keimanan Khomeini
adalah satu tingkat dibawah imam yang dua belas karena ia hanya menempati
posisi sebagai perwakilan umum.
4. Semakin mendesaknya diberlakukan konsep wilayah
faqih karena banyaknya anomali kekuasaan
yang dilakukan oleh Syah Reza Pahlevi, baik dalam bidang ekonomi, sosial-budaya
maupun politik sebagai akses dari ambisi syi>’ah Iran untuk mempercepat proses modernisasi negaranya yang pada
gilirannya berakibat pula pada proses de-Islamisasi terutama di bidang
sosial-budaya dan politik
Kemudian,
disisi lain diterimanya Konstitusi Iran melalui referendum tanggal 2 dan 3
Desember 1979, Iran kemudian melangkah ke arah normalisasi kehidupan politik.
Konstitusi yang terdiri dari 175 artikel dibuat berdasarkan hukum Islam yang
ditafsirkan oleh sebuah Dewan Ahli dan telah mendapat persetujuan dari Imam Khomeini.
Ada lima lembaga penting di dalamnya, yakni.
1.
Faqih
2.
Presiden
3.
Perdana Menteri
4.
Parlemen
5.
Dewan Pelindung
Konstitusi.
Kekuasaan
terbesar dipegang oleh Faqih yang dipilih oleh Dewan Ahli dengan mengikuti syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat tersebut, diantaranya adalah ‘ada>lah (keutamaan dalam hal iman dan akhlak yang memampukan ia menjauhkan
diri dari dosa-dosa, faqa>ha (penguasaan atas hukum fikih Islam), dan kafa>’ah (keterampilan kepemimpinan). Apabila syarat-syarat yang telah
ditentukan tidak memenuhi syarat, maka wewenang Faqih akan dipegang oleh sebuah dewan yang beranggotakan 2 sampai 5
orang Fuqaha. Adapun wewenang seorang Faqih, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Mengangkat
Ketua Pengadilan Tertinggi Iran
2.
Mengangkat dan
memberhentikan seluruh Pimpinan Angkatan Bersenjata Iran
3.
Mengangkat dan
memberhentikan Pimpinan Pengawal Revolusi (Pasdaran)
4.
Mengangkat
anggota Dewan Pelindung Konstitusi
5.
Membentuk Dewan
Pertahanan Nasional yang anggota-anggotanya terdiri dari Presiden, Perdana
Menteri, Menteri Pertahanan, KSAB, Kepala Pasdaran, dan dua orang penasehat
yang diangkat oleh Faqih.
Selanjutnya,
pemegang kekuasaan terbesar kedua dibawah seorang Faqih adalah Presiden yang dipilih setiap empat tahun. Tugas-tugas
pokoknya diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Menjalankan
konstitusi negara
2.
Menjadi Kepala
Pemerintahan
3.
Mengkoordinasikan
Ketiga Lembaga Negara (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif)
Dalam hal ini,
Presiden merupakan pejabat tertinggi pemerintahan Iran dalam kaitannya dengan
dunia luar atau internasional. Presiden mendatangani seluruh perjanjian dan
berhak mengangkat Perdana Menteri setelah parlemen memberikan persetujuannya.
Presiden dapat meminta kabinet untuk bersidang kapan saja, langsung dibawah
pimpinannya.
Kemudian,
kekuasaan legislatif dipegang oleh parlemen yang beranggotakan 270 orang yang
dipilih secara bebas dan rahasia oleh rakyat. Parlemen bertugas mengawasi,
mengontrol, dan membahas seluruh kebijakan pemerintah. Seluruh keputusan dan
perjanjian nantinya yang dibuat pemerintah harus mendapat persetujuan parlemen.
Disamping
parlemen, terdapat sebuah badan yang disebut Dewan Pelindung Konstitusi yang
beranggotakan dua belas orang. Enam orang anggotanya adalah para ahli hukum (Fuqa>ha>) yang diangkat oleh Faqih, sedangkan enam orang lainnya terdiri dari ahli hukum umum yang diusulkan
oleh Dewan Pengadilan Tinggi Iran dan disetujui oleh parlemen. Tanpa
persetujuan Dewan Pelindung Konstitusi, seluruh kegiatan parlemen tidaklah sah.
Tugas utama dewan ini adalah melindungi Islam dan konstitusi Negara Islam Iran.
Dewan ini memiliki kekuasaan untuk menafsirkan Konstitusi Iran dan bertugas
melaksanakan referendum, pemilihan presiden, dan pemilihan anggota parlemen.
E.
Kesimpulan
Pemikiran politik Islam modern Ayatullah atau Imam Khomaini yang
berhasil mengubah Iran yang semula merupakan negara sekuler menjadi negara integrated,
yakni negara Islam adalah bermula saat ia mulai memulai karirnya sebagai seorang guru filsafat dan tasawuf. Sejak itu
keberaniannya mulai muncul dengan selalu menyebarluaskan nasihat-nasihatnya
dalam bentuk tulisan dan kaset pidato saat ia ditahan karena dianggap sebagai
provokator untuk meruntuhkan kepemimpinan Syah Reza.
Kemudian strateginya tersebut tergabung dalam konsep wilayah
faqihnya yang menerapkan konsep –konsep
dasar pemikiran politik religius syi>’ah, (kesetiaan, imamah, dan taqli>d) dimana ketiga aspek itu mewajibkan seluruh umat muslim untuk menghormati
dan mematuhi imam sebagaimana mematuhi Rasulullah yang selanjutnya juga
diwajibkan untuk mematuhi faqih seperti mematuhi imam.
Akan tetapi, disisi lain perlu disadari sebagai gagasan besar
konsep ini juga mengandung kelemahan. Diantaranya adalah persoalan kriteria faqih yang bisa diangkat sebagai pemimpin jelas tidak mudah. Hal ini
terlihat sesudah wafatnya Ayatullah Khomeini. Meskipun, proses pemilihan
Ayatullah Khomeini berjalan cukup baik, bahkan sangat singkat namun banyak
kalangan menilai bahwa kelasnya masih jauh dibawah tokoh yang digantikannya.
DAFTAR PUSTAKA
Maulachela,
Muhammad Anis. 2002. Sistem Pemerintahan
Islam Imam Khomeini. Jakarta: Pustaka Zahra
Rakhmat,
Jalaluddin. 2002. Antara Al-Farabi dan
Khomaini Filsafat Politik Islam. Bandung:
Mizan
Saefuddin,
Didin. 2003. Biografi Intelektual 17
Tokoh Pemikiran Modern dan Post modern Islam. Jakarta: PT. Grasindo
SJ, Fadli &
Abdul Halim. 2011. Politik Islam Syi’ah
dari Imamah hingga Wilayah Faqih. Malang: UIN Maliki Press
Syafiie, Inu
Kencana. 2010. Ilmu Politik. Jakarta:
Rineka Cipta
Zainuddin, A. Rahman.2004. Pemikiran
Politik Islam. Jakarta: Grafika Indah
[1] A.
Rahman Zainuddin, Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Grafika Indah,
2004),232.
[2]
Imam Khomeini, Sistem Pemrintahan Islam (terj), (Jakarta: Pustaa Zahra,
2002), 9.
[3]
Didin Saefuddin, Biografi Intelektual 17
Tokoh Pemikiran Modern dan Post modern Islam, (Jakarta:PT Grasindo, 2003),115.
[4]
Jalaluddin Rakhmat, Antara Al-Farabi dan
Khomaini Filsafat Politik Islam,(Bandung:Mizan,
2002),114.
[5] Inu
Kencana Syafiie, Ilmu Politik,
(Jakarta:Rineka Cipta, 2010),222.
[6]
Fadli SJ & Abdul Halim, Politik Islam
syi’ah
dari Imamah hingga Wilayah Faqih, (Malang:UIN-Maliki Press,
2011),108-112.
No comments:
Post a Comment