Sunday, February 3, 2019

Perkembangan Sistem Ekonomi Islam dalam Dunia Bisnis


BAB I
PENDAHULUAN


1.      Sejarah Perkenbangan Ekonomi Islam
Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan visi Islam rahmatan lil ‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi alam semesta, termasuk manusia di dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja dan pemilik modal, tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada kerusakan ekosistem, tidak ada produksi yang hanya berorientasi untung semata, jurang kemiskinan yang tidak terlalu dalam, tidak ada konsumsi yang berlebihan dan mubadzir, tidak ada korupsi dan mensiasati pajak hingga trilyunan rupiah, dan tidak ada tipuan dalam perdagangan dan muamalah lainnya. Dalam kondisi tersebut, manusia menemukan harmoni dalam kehidupan, kebahagiaan di dunia dan insya Allah di kehidupan sesudah kematian nantinya.
Ekonomi Islam yang ada sekarang, teori dan praktik, adalah hasil nyata dari upaya operasionalisasi bagaimana dan melalui proses apa visi Islam tersebut dapat direalisasikan. Walau harus diakui bahwa yang ada sekarang belum merupakan bentuk ideal dari visi Islam itu sendiri. Bahkan menjadi sebuah ironi, sebagian umat Islam yang seharusnya mengemban visi tersebut, saat ini distigmakan sebagai teroris, koruptor, munafik, pembalak. Dan sebagian umat Islam yang lain tidak henti-hentinya saling mencurigai, berburuk sangka, berperang dan bahkan saling mengkafirkan antarsesama mereka.
Perkembangan ekonomi Islam adalah salah satu harapan untuk mewujudkan visi Islam tersebut. Hal ini karena ekonomi Islam adalah satu bentuk integral dalam mewadahi, sebagaimana dinyatakan  Masrhal[1], dua kekuatan besar yang mempengaruhi kehidupan dunia, yaitu ekonomi dan agama. Terintegrasikannya dua kekuatan ini dalam satu wadah ekonomi Islam adalah merupakan penyatuan kembali bahwa kehidupan ini berhulu dan bermuara pada satu, yaitu Allah SWT (tawhīd). Secara prinsip tauhid adalah menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar dan menuju Allah SWT. Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak ditemukan kontradiksi antara dua hal, yang apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi muslim menjadi pribadi yang pecah (split personality).
Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam berasal dari ayat Al-Qur’an: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[2]
Ekonomi Islam adalah salah satu jawaban dari bagaimana visi Islam direalisasikan, proses realisasi visi Islam adalah mewujudkan ekonomi Islam dalam bentuk realitas. Proses mewujudkan ekonomi Islam menjadi sebuah realitas dapat dilihat dari dua wujud yang saat ini sudah berkembang, yaitu wujud teori ekonomi Islam dan praktik ekonomi Islam.




BAB II
PERKEMBANGAN EKONOMI ISALAM DIDALAM DUNIA BISNIS

1)      Sejarah Ekonomi Islam di Asia Tenggara
Perekonomian penduduk yang mapan merupakan syarat utama bagi kelangsungan  hidup dan hal ini disadari oleh kerajaan usmani sebagai negara yang mengalami awal masa pembaruan. Maka, dalam hal perekonomian, kerajaan usmani melakukan hal-hal sebagai berikut.
Ø  Pada periode pertama, Usmani bertujuan menguasai beberapa jalur perdagangan dan beberapa sumber produktif. Ekspansi Usmani ke Laut Hitam, Aegean, dan laut tengah dimaksudkan untuk merebut kekuasaan pusat-pusat perdagangan dan pelayaran dari Vanesia dan Genoese.
Ø  Berbagai produk dari Iran, Teluk Persia, dan Laut Merah membantu dalam menjadikan Usmani sebagai pusat perdagangan yang makmur. Mesir mengimpor sutra, kapas, tekstil, sabun, dan buah-buahan kering dari syiria serta mengekspor beras, buncis gula, terigu, dan kulit.
Ø  Beberapa rute haji mengantarkan warga dari berbagai wilayah Kerajaan Usmani ke Mekah dan Madinah. Mekah merupakan sebuah kota pusat perdagangan rempah-rempah, mutiara, lada, dan kopi. Hampir seluruh jemaah haji mendanai perjalanannya dengan membawa barang-barang komoditi untuk dijual di mekah  dan mereka kembali dengan membawa barang-barang komoditi untuk dijual di negerinya masing-masing.
Ø  Penyediaan sarana kendaraan haji di Damaskus, Kairo, dan Bagdad menjadi kegiatan bisnis yang penting. Melalui Mesir, pihak kerajaan usmani menjalankan perdagangan dengan Sudan, Afrika Utara, dan Afrika Barat. Beberapa pelabuhan Laut Merah di Arabia dan Afrika Timur menyumbangkan sukses Usmani dalam perdagangkan di wilayah Samudera Hindia. Bagdad dan Basrah juga menjalin perdagangan dengan Iran dan India.
Ø  Dalam rentangan abad 15 dan 16, Basrah menjadi pusat perdagangan terbesar di Anatolia serta sebagai dermaga terbesar dalam pertukaran barang-barang dari negeri timur ke Istambul, Polandia, dan Rusia.
Ø  Kota Istambul dibangun dengan merekonstruksi beberapa institusi publik seperti sekolah, rumah sakit, tempat pemandian umum, dan tempat penginapan. Dan Istambul menghendaki upaya untuk meningkatkan pasokan serat padi-padian dan kapas untuk bahan industri benang dan tenun.
Ø  Pada abad 17 dan 18, berlangsung perubahan situasi yang sangat menonjol dalam sistem kerajaan Usmani. Akhirnya, terjadi pula pecahnya peperangan yang berkepanjangan antara petinggi pusat dan petinggi lokal untuk memperebutkan kekuasaan terhadap pendapatan atas pajak produksi penduduk. Perubahan situasi politik ini terkait secara erat dengan beberapa perubahan perekonomian Usmani dengan kedudukan Usmani dalam ekonomi perdagangan internasional serta terkait dengan bangkitnya kekuatan imperialisme bangsa Eropa.[3]





2)      Sejarah Perkembangan Ekonomian Islam di Malaysia
Apabila membicarakan tentang sistem perbankan Islam, secara tidak langsung ia akan melibatkan prinsip transaksi yang berlandaskan Islam. Sejarah telah membuktikan bahawa transaksi Islam telah dipraktikkan di Tanah Melayu seawal abad ke-16. Prinsip ini dapat dilihat di dalam undang-undang Melaka. Apa yang jelas, kebanyakan negeri-negeri ketika zaman sebelum kemerdekaan turut dipengaruhi oleh undang-undang Melaka termasuklah yang melibatkan aspek transaksi Islam sama ada secara langsung atau tidak langsung. Pelaksanaan undang-undang Islam di negeri-negeri tersebut berterusan sehinggalah campur tangan Inggeris.
Walau bagaimanapun, undang-undang Melaka tidak banyak menyentuh perkara berkaitan dengan muamalat. Ia hanya dinyatakan dalam beberapa fasal sahaja yaitu bermula daripada fasal 29 hingga fasal 34. Namun apa yang menarik, ia ada memperuntukkan dalam satu fasal tentang larangan riba’ dalam soal jual-beli atau pertukaran iaitu dalam fasal 30 yang menyentuh undang-undang tentang penjualan dan larangan terhadap riba’ (usury) dalam urus niaga.
Satu lagi bukti pemakaian prinsip transaksi Islam adalah amalan jual janji (conditional sale). Salleh Buang menyifatkan jual janji menyerupai prinsip transaksi Islam yang dikenali sebagaial-bay’ al-Wafa’ yaitu jualan dengan pilihan untuk membeli balik. Masyarakat Melayu terutamanya kepada para petani di Kedah, Perlis, utara Perak dan Kelantan sebelum zaman prapenjajah lagi telah mengamalkannya. Amalan tersebut diamalkan kerana mereka tidak mahu terlibat dengan pembiayaan pinjaman yang berasaskan bunga yang diuruskan oleh institusi ceti pada waktu berkenaan. Budaya akad jual janji ini telah mendapat perhatian dalam perundangan oleh hakim-hakim Inggeris dalam keputusan yang dibuat. Dalam kes Tengku Zaharah lwn. Che Yusuf.  Hakim Briggs memutuskan bahawa tujuan transaksi jual janji ialah untuk mendapatkan kemudahan kredit (hutang) dan memberikan kepada pemberi pinjaman (pemberi tanah) bayaran gantirugi yang sepadan tanpa terlibat dengan amalan bunga (usury) yang mana orang Islam dilarang terlibat dengannya.
Manakala dalam kes Mohamed Isa lwn. Haji Ibrahim, Hakim Azmi telah membuat kenyataan yang sama dan amalan yang menjadi kebiasaan para petani Kedah pada dasarnya ialah transaksi jual janji di mana penjual mempunyai hak untuk membeli semula hartanya dan untuk membolehkan pembeli (peminjam wang) mengambil manfaat daripada transaksi yang sah menurut undang-undang Islam. Amalan jual janji ini sehingga kini masih lagi diterimapakai dan diiktiraf oleh undang-undang Malaysia dan diperuntukkan dalam Seksyen 4 (2) Kanun Tanah Negara.
Dapat dirumuskan bahawa ketika zaman sebelum kedatangan penjajah sememangnya tidak wujud satu sistem perbankan Islam yang komprehensif. Malah sebuah institusi perbankan yang khusus juga masih belum wujud. Masyarakat ketika itu hanyalah mempraktikkan transaksi-transaksi ringkas dalam urusan harian mereka seperti jual beli, sistem tukar barang (barter), jual janji dan lain-lain. Walaubagaimanapun, setelah kedatangan penjajah Barat pada abad ke-19, barulah sistem perbankan mula diperkenalkan.
Idea penubuhan perbankan Islam di Malaysia berlangsung secara beransur-ansur. Penubuhannya adalah hasil daripada pengalaman yang dilalui oleh beberapa institusi kewangan Islam lain di Malaysia. Institusi yang pertama sekali yang mengamalkan konsep transaksi Islam ialah Lembaga Tabung Haji (LTH) atau sebelum ini dikenali sebagai Perbadanan Wang Simpanan Bakal-Bakal Haji. Ia ditubuhkan pada tahun 1969 dan berfungsi untuk membolehkan orang-orang Islam menyimpan wang secara
Pada bulan Juli 1982, Jawatankuasa tersebut telah menyerahkan laporan mereka kepada kerajaan. Dengan penggubalan Akta Bank Islam 1983, maka Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) telah ditubuhkan pada Julai 1983 sebagai bank Islam pertama di Malaysia dan diperbadankan di bawah Akta Syarikat 1965. Objektif utama penubuhannya ialah untuk berusaha menjalankan operasi sebagai bank perdagangan berlandaskan hukum Syarak dan menyediakan kemudahan kepada semua rakyat negara ini.] Seperti bank-bank lain, Bank Negara Malaysia (BNM) diberi kuasa di bawah Akta Bank Islam untuk mengawal selia bank Islam.
Perkembangan sistem perbankan Islam semakin berkembang apabila pada 1 Oktober 1999, sebuah lagi bank Islam bernama Bank Muamalat Malaysia Berhad (BMMB) ditubuhkan. Ia dianggap sebagai bank Islam kedua di Malaysia muncul setelah adanya usaha kerajaan untuk memperkukuhkan sektor perbankan Islam bagi memenuhi pertambahan permintaan masyarakat terhadap perkhidmatan perbankan Islam.
Dapatlah dirumuskan di sini bahawa perkembangan sistem perbankan Islam di Malaysia adalah berdasarkan dua bentuk utama iaitu institusi perbankan Islam secara total seperti BIMB dan BMMB dan yang kedua ialah institusi perbankan konvensional yang menyertai SPI yang diperkenalkan kerajaan.Sistem perbankan Islam di Malaysia semakin berkembang daripada masa ke semasa. Ini juga selaraskan dengan aspirasi kerajaan bagi menjadikan Malaysia sebagai hub perbankan dan keuangan Islam yang terulung di dunia.
3)      Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia
Di Indonesia saat ini telah mulai dan dilaksanakan penerapan syariah Islam dalam bentuk aplikasi Ekonomi walaupun masih banyak kekuranganya. Hal ini dikarenakan sudah teralu lama bangsa Indonesia menganut sistem Ekonomi konvensional yang membebaskan semua pelaku usahanya dengan jalan apapun untuk mendapatkan keuntungan sebesar mungkin.Mengapa Di Indonesia Dikatakan Susah dalam Penerapan Syariah Islam?
Mungkin hal ini dapat menjadikan alasan bahwa perkembangan masyarakat Islam di Indonesia untuk dapat menerapkan Ekonomi Syariah Islam dalam Ekonomi terkendala oleh adanya penjajahan yang dilakukan oleh Belanda. Belanda menganggap bahwa Ekonomi Islam dapat menghambat, mengancam dan mengubah pemikiran rakyat Indonesia dalam melakukan kegiatan Ekonomi, padahal ketika itu pihak belanda melakukan sistem monopoli perdagangan yang memang dalam kenyataannya hal ini (Monopoli Perdagangan) hukumnya haram.
Karena hal itu rakyat Indonesia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat memikirkan dan mengenali Sistem Ekonomi Islam yang pada dasarnya dilandasi oleh hukum yang ada di Al Quran dan As-Sunah.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya umat Islam, seharusnya sistem ekonomi syariah Islam ini dapat dilaksanakan dan diterapkan di Indonesia secara kafah (menyeluruh), yang mengedepankan transparansi, keadilan dan good governance dalam pengelolaan usaha dan asset-asset negara. Di mana praktik ekonomi yang dijalankan berpihak pada rakyat kebanyakan dan berpihak pada kebenaran. Sehingga tidak akan ada lagi yang namanya korupsi di negeri ini jika Syariah Islam dapat dengan benar diterapkan secara kafah.
Dapat dipastikan bahwa ekonomi syariah bisa menjadi pilihan untuk mengatasi masalah umat Islam yang saat ini masih mengalami krisis ekonomi. Merupakan sebuah tantangan yang sangat besar untuk para pengusaha dan kalangan yang mengerti ekonomi syariah Islam untuk dapat menerapkan sisem ekonomi syariah ini secara menyeluruh di negeri ini.
Dikutip dalam sebuah artikel bahwa, “Di Indonesia, praktek ekonomi Islam, khususnya perbankan syariah sudah ada sejak 1992. Diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Namun, pada decade hingga tahun 1998, perkembangan bank syariah boleh dibilang agak lambat. Pasalnya, sebelum terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, tidak ada perangkat hokum yang mendukung sistem operasional bank syariah kecuali UU No. 7 Tahun 1992 dan PP No. 72 Tahun 1992.
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional. Karenanya manajemen bank-bank syariah cenderung mengadopsi produk-produk perbankan konvensional yang “disyariatkan”. Dengan variasi produk yang terbatas. Akibatnya tidak semua keperluan masyarakat terakomodasi dan produk yang ada tidak kompetitif terhadap semua produk bank konvensional.”
Peraturan itu menjadi penghalang bagi berkembangnya bank syariah, karena jalur pertumbuhan jaringan kantor bank syariah yang telah ada dibatasi. Namun itu dulu dan sekarang ekonomi Islam benar-benar dapat dilaksanakan jika orang yang mengelolanya benar-benar dapat mengerti dan secara jujur melaksanakan ekonomi syari’ah Islam.
Mungkin itulah sedikit ulasan mengenai Perkembangan Sistem Ekonomi Syariah Islam Di Indonesia.
Tujuan Ekonomi Islam:
Ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk memberikan keselarasan bagi kehidupan di dunia. Nilai Islam bukan semata-semata hanya untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh mahluk hidup di muka bumi. Esensi proses Ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam guna mencapai pada tujuan agama (falah). Ekonomi Islam menjadi rahmat seluruh alam, yang tidak terbatas oleh ekonomi, sosial, budaya dan politik dari bangsa. Ekonomi Islam mampu menangkap nilai fenomena masyarakat sehingga dalam perjalanannya tanpa meninggalkan sumber hukum teori ekonomi Islam, bisa berubah.
Menurut data Biro Perbankan Syariah BI, dalam jangka waktu sepuluh tahun kedepan, dibutuhkan tidak kurang dari 10 ribu SDM yang memiliki kualifikasi dan keahlian di bidang ekonomi syariah. Tentu ini merupakan peluang yang sangat prospektif sekaligus sebagai tantangan bagi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sudah saatnya kajian ekonomi Islam mendapat ruang dan tempat yang lebih luas lagi di perguruan tinggi. Kurikulum ekonomi Islam pun perlu untuk terus menerus disempurnakan, dimana dibutuhkan perpaduan antara pendekatan normatif keagamaan dengan pendekatan kuantitatif empiris. Riset-riset tentang ekonomi syariah, baik pada skala mikro maupun makro harus terus diperbanyak. Ini akan memperkaya khazanah literatur ekonomi syariah sekaligus mempercepat perkembangan ekonomi syariah secara utuh dan menyeluruh. Perkembangan sistem ekonomi syariah dalam satu dekade terakhir ini di Indonesia terlihat semakin pesat. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik. Apalagi kondisi ini terjadi di saat bangsa Indonesia ditimpa oleh krisis multidimensi, yang diawali oleh krisis moneter pada tahun 1997, yang hingga saat ini masih berkepanjangan. Sektor perbankan syariah misalnya, sebelum tahun 1998 di Indonesia hanya terdapat satu bank umum yang beroperasi berdasarkan sistem syariah. Maka pasca 1998, bank-bank umum yang beroperasi berdasarkan sistem syariah tumbuh dan berkembang, sehingga di Indonesia kini terdapat kurang lebih sekitar sepuluh bank umum syariah. Belum lagi ditambah dengan puluhan bank perkreditan syariah yang beroperasi di tingkat kecamatan di berbagai wilayah negara Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya sektor perbankan syariah merupakan bukti semakin tumbuhnya kesadaran sebagian masyarakat Indonesia untuk menerapkan syariat Islam dalam bidang ekonomi. Apalagi fakta membuktikan bahwa bank syariahlah yang relatif mampu bertahan di tengah serbuan badai krisis ekonomi, meskipun kalau dilihat dari persentase volume usaha perbankan syariah, maka nilainya masih relatif kecil yaitu sekitar 0, 23 persen. Begitu pula dengan perkembangan sektor zakat, sebagai salah satu pilar ekonomi Islam. Kesadaran sebagian umat Islam untuk menunaikan zakat semakin besar. Zakat kini tidak dipandang sebagai suatu bentuk ibadah ritual semata, tetapi lebih dari itu, zakat juga merupakan institusi yang akan menjamin terciptanya keadilan ekonomi bagi masyarakat secara keseluruhan. Jadi dimensi zakat tidak hanya bersifat ibadah ritual saja, tetapi mencakup juga dimensi sosial, ekonomi, keadilan dan kesejahteraan. Zakat juga merupakan institusi yang menjamin adanya distribusi kekayaan dari golongan “the have� kepada golongan “the have not�. Kekhawatiran dan ketakutan bahwa zakat akan mengecilkan dan mereduksi capital formation masyarakat sangat tidak beralasan. Bahkan pengeluaran 2,5 % zakat dari capital stock perekonomian setiap tahun, akan mampu menyimpan 27,5 % dari setiap tambahan dalam capital stock untuk mempertahankan perekonomian pada level sebelumnya (lihat Muhammad Akram Khan dalam Issues in Islamic Economics). Hal ini mengindikasikan tingginya perhatian dalam pembentukan struktur permodalan dalam masyarakat. Institusi zakat harus pula didorong untuk dapat menciptakan lapangan usaha produktif bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu, yang termasuk dalam kelompok yang berhak menerima zakat. Seluruh komponen bangsa, termasuk pemerintah, harus memiliki komitmen yang kuat akan hal ini, karena dampaknya akan dirasakan langsung oleh masyarakat, sehingga dengan demikian tingkat pengangguran pun akan mampu diminimalisir. Apalagi kita menyadari bahwa angka pengangguran yang terjadi di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu sekitar 40 juta orang atau 18 % dari keseluruhan total penduduk. Kita perlu banyak belajar kepada negara Malaysia didalam mengelola masalah zakat. Malaysia adalah contoh negara yang berhasil didalam menjadikan zakat sebagai institusi yang mampu mereduksi tingkat kemiskinan, sehingga berdasarkan data Badan Zakat negara tersebut, jumlah orang miskin Malaysia kini hanya tinggal 10 ribu orang saja. Tentu dengan kriteria kemiskinan yang berbeda dengan Indonesia. Kita berharap dengan adanya UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka segala potensi zakat di Indonesia yang mencapai 6,3 triliun rupiah per tahunnya (menurut perhitungan Dr KH Didin Hafidhuddin, ulama pakar zakat) akan dapat dioptimalkan. Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) harus mampu memerankan dirinya sebagai pengelola zakat yang tidak hanya bersifat amanah, tetapi juga bertanggung jawab, transparan, dan profesional. Bagi pemerintah sendiri pun, pembiayaan bagi pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat melalui dana zakat akan lebih baik bila dibandingkan dengan kebijakan deficit financing. Sektor-sektor usaha lainnya, seperti asuransi syariah, koperasi syariah, BMT (Baytul Maal wat Tamwiil), juga semakin berkembang, dan bahkan kini telah merambah sektor pasar modal. Dibukanya Jakarta Islamic Index juga membuktikan bahwa ekonomi syariah memiliki pangsa pasar tersendiri dan memiliki propek yang sangat strategis kedepannya. Langkah-langkah Membangun Sistem Ekonomi Islam Ada beberapa langkah yang diperlukan dalam rangka membangun sistem perekonomian yang berdasarkan ajaran Islam, yaitu : Pertama, adalah dengan meningkatkan sosialisasi mengenai konsep ekonomi Islam secara komprehensif. Bahwa ekonomi Islam bukanlah semata-mata menyangkut aspek ibadah ritual saja, tetapi juga menyentuh dimensi-dimensi yang bersifat muamalah (sosial kemasyarakatan). Ekonomi Islam pun bukan semata-mata bersifat eksklusif bagi umat Islam saja, tetapi juga bermanfaat bagi kalangan umat beragama lainnya. Sebagai contoh, 60 % nasabah bank Islam di Singapura adalah umat non muslim. Kalangan perbankan di Eropa pun sudah melirik potensi perbankan syariah. BNP Paribas SA, bank terbesar di Perancis telah membuka layanan syariahnya, yang diikuti oleh UBS group, sebuah kelompok perbankan terbesar di Eropa yang berbasis di Swiss, telah mendirikan anak perusahaan yang diberi nama Noriba Bank yang juga beroperasi penuh dengan sistem syariah. Demikian halnya dengan HSBC dan Chase Manhattan Bank yang juga membuka window syariah. Bahkan kini di Inggris, tengah dikembangkan konsep pembiayaan real estate dengan skema syariah. Ini semua membuktikan bahwa konsep ekonomi Islam berlaku secara universal. Kemudian yang kedua, perlu dikembangkan dan disempurnakannya institusi-institusi ekonomi syariah yang sudah ada. Jangan sampai transaksi-transaksi yang dilakukan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Karena itu dibutuhkan adanya pengawasan yang ketat terhadap aktivitas institusi ekonomi Islam yang ada, baik itu perbankan syariah, asuransi syariah, lembaga zakat, maupun yang lainnya. Disini dituntut optimalisasi peran Dewan Syariah Nasional MUI sebagai institusi yang memberikan keputusan / fatwa apakah transaksi-transaksi ekonomi yang dilakukan telah sesuai dengan syariah atau belum. Begitu pula dengan masyarakat luas, dimana dituntut pula untuk secara aktif mengawasi, mengontrol, dan memberikan masukan yang bersifat konstruktif bagi perbaikan dan penyempurnaan kinerja lembaga-lembaga ekonomi syariah. Ketiga, adalah dengan terus menerus memperbaiki berbagai regulasi yang ada. Perangkat perundang-undangan dan peraturan lainnya perlu terus diperbaiki dan disempurnakan. Kita bersyukur telah memiliki beberapa perangkat perundang-undangan yang menjadi landasan pengembangan ekonomi syariah, seperti UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang membolehkan shariah windows, maupun UU No. 17 tahun 2000, dimana zakat merupakan pengurang pajak. Namun ini belumlah cukup, apalagi mengingat Peraturan Pemerintah yang menjabarkan undang-undang tersebut belumlah ada, sehingga peraturan seperti zakat adalah sebagai pengurang pajak masih belum terealisasikan pada tataran operasional. Sedangkan yang keempat adalah dengan meningkatkan kualitas SDM yang memiliki kualifikasi dan wawasan ekonomi syariah yang memadai. Menurut data Biro Perbankan Syariah BI, dalam jangka waktu sepuluh tahun kedepan, dibutuhkan tidak kurang dari 10 ribu SDM yang memiliki kualifikasi dan keahlian di bidang ekonomi syariah. Sedangkan disisi lain, kita melihat kenyataan bahwa institusi pendidikan yang ada belum mampu menyediakan kebutuhan SDM tersebut. Tentu ini merupakan peluang yang sangat prospektif sekaligus sebagai tantangan bagi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sudah saatnya kajian ekonomi Islam mendapat ruang dan tempat yang lebih luas lagi di perguruan tinggi. Kurikulum ekonomi Islam pun perlu untuk terus menerus disempurnakan, dimana dibutuhkan perpaduan antara pendekatan normatif keagamaan dengan pendekatan kuantitatif empiris. Riset-riset tentang ekonomi syariah, baik pada skala mikro maupun makro harus terus diperbanyak. Ini akan memperkaya khazanah literatur ekonomi syariah sekaligus mempercepat perkembangan ekonomi syariah secara utuh dan menyeluruh.



4)      Penerapan sistem Ekonomi Islam di Negara Minoritas Muslim
Sistem ekonomi Islam saat ini menjadi bahan perbincangan di seluruh dunia. Adanya diskusi,seminar, workshop, training, short course (kursus singkat) tentang ekonomi dan perbankanSyariah menjadi salah satu bukti semakin populernya ekonomi Islam. Bahkan tak sedikit perguruan tinggi yang membuka jurusan ekonomi Islam. Bahkan banyak perguruan tinggi yang dikenal dengan ‘aliran’ sekuler membuka jurusan atau program studi ekonomi Islam.
Fenomena itu terjadi bukan hanya di Negara-negara muslim atau negara yang mayoritaspenduduknya beragama Islam, namun wacana system ekonomi Islam juga ramaidiperbincangkan di Negara-negara yang penduduk muslimnya tergolong minoritas, sepertiAustralia, Belanda, Inggris, dan lain-lain. Wacana penerapan system ekonomi Islam telahberlangsung sejak Negara-negara OKI membentuk suatu lembaga dengan nama IslamicDevelopment Bank (IDB), bahkan jauh sebelum itu. Namun seiring makin banyaknyaperusahaan-perusahaan besar yang menganut system ekonomi kapitalis mengalami kehancuran,system ekonomi Islam dipilihnya sebagai system ekonomi alternative.Sebagai seorang muslim, munculnya wacana penerapan system ekonomi Islam di seluruh dunia,merupakan suatu kebanggaan tersendiri.
Karena konsep Islam yang rahmatan lil ‘alamin langkah demi langkah akan menuai pembuktiannya. System ekonomi Islam sendiri telah banyak mengalami kemajuan yang pesat di negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim, sepertiMalaysia, Indonesia, Iran, Sudan, Pakistan, Arab Saudi dan lain sebagainya.Namun demikian penerapan system ekonomi Islam di Negara-negara mayoritas muslim dalamprakteknya diakui mengalami beberapa persoalan, baik dari sudut pandang hokum maupunteknis operasional. Hal ini memang wajar, karena selama ini system ekonomi kapitalis masihmendominasi di berbagai Negara. Karena itu pula penerapan system ekonomi Islam seolah-olahdipaksakan untuk menggantikan mekanisme yang sudah akut dengan gaya ekonomi kapitalis.Sehingga fakta yang telah membuktikan adanya perkembangan system ekonomi Islam diNegara-negara maju atau Negara barat yang mendirikan lembaga ekonomi Islam atau perbankansyariah perlu mendapat perhatian dan kajian.Sebagaimana diketahui saat ini Inggris telah mengklaim bahwa negaranya telah berhasilmenerapkan sistem ekonomi Islam. Selain itu Singapura juga mengklaim negaranya suksesmenerapkan system ekonomi Islam, bahkan telah menjadi pusat keuangan syariah di dunia.Padahal banyak Negara-negara muslim yang sudah lama menerapkan system ekonomi Islambelum berani mengklaim dirinya ‘sukses’.Oleh karena itu penyusun dalam tulisan ini inginberupaya memahami fenomena yang terjadi saat dimana system ekonomi Islam justrumengalami kemajuan di Negara-negara yang mayoritasnya berpenduduk non muslim. Namundemikian penyusun hanya akan memfokuskan fakta yang mana Singapura menjadi pusatkeuangan Islam.
Dalam pembahasan ini kiranya perlu diketahui makna ekonomi dan keuanganIslam yang sebenarnya termasuk bagaimana perkembangan ekonomi Islam di Negara-negaraMuslim sebagai perbandingan. Oleh karenanya gambaran Singapura dari beberapa aspek terutama aspek ekonomi sangat penting sebagai bahan kajian. Selanjutnya mekanisme yang dijalankan Singapura dalam menerapkan ekonomi dan keuangan Islam apakah sudah sejalan.[4]



2.      Perkembangan Pemikiran Teori Ekonomi Islam
Perkembangan teori ekonomi Islam dimulai dari diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi dalam al-Qur’an, seperti: QS. Al-Baqarah ayat ke 275 dan 279 tetang jual-beli dan riba; QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pembukuan transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS. Al-A’raf ayat 31, An-Nisa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan membelanjakan harta. Ayat-ayat ini, menurut At-Tariqi[3] menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan pokok ekonomi sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan secara metodis oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini bentuk permasalaan perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori yang muncul pun belum beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi visi Islam rahmatan lil ‘alamin. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari sejak masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan.
Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua (656-661M), pemikiran ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798), Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam (818 M), Syafi’I (820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037).
Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi Islam Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210 M), Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350 M), Muhammad bin Abdul rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar (1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani (1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad Abdul Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr, Umer Chapra.Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai berikut:
Zaid bin Ali (80-120H./699-738M), adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.[5]
Abu Hanifah (80-150H/699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasionalistis, Ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salām dan al-murābahah.[6]
    Al-Awza’i (88-157H./707-774M.). Nama lengkapnya Abdurahman al-Awza’i yang berasal dari Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.[7]
    Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.).  Imam Malik lebih dikenal sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi terpenuhinya kebutuhan bersama.[8]
    Abu Yusuf (112-182H./731-798H.). Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (al-Qadli Hakīm) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian.[9] Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).[10] Tulisan Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka. Dengan kata lain, tema sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggungjawab penguasa untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib melakukanya.
Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu 1) Madinatu an Nawabit, masyarakat kayu-kayuan atau negara liar; 2) Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat binatang atau negara primitif; 3) Madinatu adl-dlaruroh, negara kebutuan; 4) Madinatu al hissah wa as-saqro, negara keinginan; 5) Madinatu A-Tabadul auw al-badalah, negara bertukar kebutuhan; 6) Madinatu An-Nadzalah, negara kapitalis; 7) Madinatu al-Jama’iyyah, negara anarki atau masyarakat komunis; 8) Madinatu al fadhilah, Negara utama.[11]
    Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M). Pembahasan ekonomi syariah dalam karya Abu ‘Ubayd, al-Amwa’l, diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadis di bidangnya. Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-din al-nshihat; disusul hadis yang menyatakan bahwa setiap orang adalah “penggembala” yang bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara tegas dicontohkan: seorang pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan bertanggung jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas gembalanya, yakni keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya dan bertanggung jawab atasnya. Kemudian ia pun mengutip sejumah hadis tentang pemimpin yang adil dan fajir. Pemimpin yang adil adalah yang melaksanakan amanat kepemimpinannya, taat kepada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya sehingga ia berhak mendapat ketaatan dari rakyatnya; akhirnya ia pun mengutip atsar Sahabat yang mengingatkan kepada kaum Muslimin agar selalu berdzikir kepada Allah manakala dalam keadaan ragu, ketika bersumpah, dan ketika mengadili atau menetapkan dan memutuskan hukum.[12] Abu ‘Ubayd seolah-olah ingin menyatakan bahwa masalah ekonomi tak terpisahkan dari tanggung jawab pemerintah atau penguasa. Dengan kata lain, ilmu ekonomi syariah adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu hukum ketata-negaraan. Sedangkan pada bab-bab berikutnya ia menjelaskan aneka jenis harta yang dikuasai negara dan hak rakyat atas harta termaksud dengan cara yang lebih terurai dan selalu berdasarkan rujukan Alquran dan Sunnah. Kitab ini, jika dilihat dari tehnis penulisannya dengan mengutamakan pengutipan hadis-hadis dan ayat-ayat Alquran, mirip dengan kitab fiqh atau hukum Islam pertama karya Imam Malik, al-Muwatha’, yang isinya adalah koleksi hadis-hadis yang bertajuk dan petunjuk hukum Islam.
    Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara lain: a) manusia adalah makhluk berekonomi; b) ekonomi membutukan negara; c) perkembangan ekonomi melalui perkembangan ekonomi keluarga ekonomi masyarakat, dan ekonomi negara; d) ekonomi negara ia berpendapat bahwa  tujuan politik negara harus diarahkan kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan perekonomian dan kestabilan ekonomi harus dijaga; e) Prinsip yang lain adalah arta milik berasal dari warisan dan hasil kerja; f) wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi menurut jalannya yang sah; g) pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran; h) pengeluaran wajib atau nafaqah yang sifatnya konsumtif harus dikeluarkan sehemat mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum (masyarakat dan negara) yang sifatnya wajib juga harus dicukupkan dengan hati yang iklas; i) setiap orang harus mempunyai rencana simapanan yang menjadi jaminan baginya pada saat kesukaran atau saat diperlukan.[13]
    Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111). Tokoh yang lebih dikenal sebagai sufi dan filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa: a) perkembangan ekonomi bertolak dari hd) akikat dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu materi, manusia dan pembagunan. Ketiga unsur ini interdependence; b)  perkembangan ekonomi perlu adanya transportasi; c) uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar;  d) perkembangan ekonomi meningkat menjadi ekonomi Jasa, yaitu hubungan jasa di antara manusia; e) perlu adanya pemerintah; f) mata uang negara Islam; g) perlunya institut perbankan; h) hati-hati terhadap riba; i) Dua jalur transaksi perbankan, pribadi dan negara.[14]
 Al-Mawardi (w. 450 H.). Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah,[15] adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urasan spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n wa al-umur al-dunyawiyyah). Jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di atas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami) secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta, perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.
Tusi (1201-1274). Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq –i-Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang cukup untuk jangka lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama dengan lainya dan setiap orang melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya sehingga menghasilkan konsumsi yang lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Keadilan hukum pun mengendalikan pertukaran produk barang-barang yang menjamin ketersediannya untuk semua orang. Dengan demikian, Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya, membedakan aktivitas dan cita rasa orang sedemikian rupa, sehingga mereka mungkin melakukan pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling membantu. Perbedaan-perbedaan inilah yang melahirkan sruktur internasional dan sistem ekonomi umat manusia. Maka terjadilah kerjasama timbal balik. Timbulah berbagai bentuk kontrak sosial.
 Ibnu Taymiyyah (1262-1328). Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siyasat l-syariyyah) pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat al-maliyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan dalam karya lainya, al-Hisbah fi al-Islam, lebih menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar; pengawasan pasar; hinga akuntansi yang erat kaitanya dengan sistem dan prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian, seperti halnya Abu ‘Ubayd, nampaknya Ibn Taymiyyah mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat yang menyatakan bahwa ekonomi syariah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaran.[16]
Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-Muqaddimah,tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas daripada definisi Tusi.  Ia dapat melihat dengan jelas hubungan antara ilmu ekonomi dengan kesejahteraan manusia. Referensi filosofisnya yang merujuk kepada “ketentuan akal dan etika” telah mengantarnya kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah pengetahuan normatif dan sekaligus positif. Terminologi jumhur yang berarti massa yang digunakanya menunjukkan bahwa mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan massa, bukan individu. Individu adalah bagian dari jumhur. Hukum ekonomi dan sosial berlaku pada massa, bukan pada individu yang terkucil. Ia melihat hubungan timbal balik antara faktor-faktor: ekonomi, politik, sosial, etika dan pendidikan. Ia pun mengetengahkan gagasan ilmu ekonomi yang mendasar, yakni; pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistim harga dsb.  Pemikiranya kiranya dapat disejajarkan dengn penulis klasik  sekaliber Adam Smith, Ricardo, Malthus dan penulis neo klasik sekaliber Keynes.
Di Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para profesional. Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang telah menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah diselenggarakan di Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada dan Universitas Brawijaya.[17]
Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis buku ekonomi Islam dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak mengesampingkan pemikir ekonomi Islam yang lain) antara lain: Syafi’i Antonio, Dawan Rahardjo, Adiwarman Karim, Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad. Seiring dengan perkembangan pemikiran ekonomi Islam tersebut, beberapa perguruan tinggi yang mengawali membuka pendidikan tinggi ekonomi Islam adalah UNAIR dengan S-3 ekonomi Islam, UII dengan Ekonomi Islam di Magister Studi Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dengan Jurusan Muamalahnya (1997). Dari tiga pendidikan tinggi tersebut berkembang sarjana, master dan doktor Ekonomi Islam yang mewarnai wacana ekonomi Islam di Indonesia. Secara de jure, Jurusan Ekonomi Islam pertama kali yang mendapat izin operasional dari Depag adalah Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam UII (2003). Perkembangan ekonomi Islam di Pendidikan Tinggi setelah itu terjadi sangat kuatnya, di IAIN, UIN, STAIN, PTAI Swasta, sampai Perguruan Tinggi Umum juga membuka konsentrasi atau jurusan Ekonomi Islam.
Di samping itu, perkembangan pemikiran juga mengemuka dalam seminar, simposium dan kajian yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, ikatan profesi, lembaga keuangan dan pusat studi. Tahun 1997 Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia menyelenggarakan Seminar Nasional Metodologi Penelitian Ekonomi Islam dan di Tahun 2002 menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami. Magister Studi Islam UII dengan mengusung konsentrasi Islam-nya juga menyelenggarakan Seminar Internasional Ekonomi Islam di Yogyakarta pada tahun 2002, dan melanjutkan isu-isu seminar internasional tersebut dalam Kajian Intensif yang diselenggarakannya selama tahun 2004-2005. Tahun 2004,  Pusat Pengkajian Bisnis dan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami II. Tahun 2005, Ikatan Ahli ekonomi Islam Indonesia menyelenggarakan Simposium Internasional Ekonomi Islam dan Muktamar I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, di Medan Sumatera Utara.

3.      Perkembangan Praktek Ekonomi Islam
Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni: 1) menerima simpanan uang; 2) meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah; 3) memberikan jasa pengiriman atau transfer uang. Istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan jihbiz yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (908-932). Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).
Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank  tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975. Kini IDB memiliki lebih dari 43 kantor di negara anggotanya dengan Jedah menjadi kantor pusatnya.
Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri lagi adalah suatu ilmu yang tumbuh dan menjadi gerakan perekonomian Islam sejak seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi dari pemikiran ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi Khilafah tahun 1924, dan upaya menghidupkanya kembali yang gagal hingga terbentuknya Organisasi Konfrensi Islam. Dengan kata lain, salah satu produk penting yang menyertai kelahiran OKI adalah terpicunya pemikiran ekonomi Islam menjadi gerakan perekonomian Islam. Gerakan itu ditandai dengan diselengarakan Konfrensi Ekonomi Islam secara teratur. Pemantapan hati negara-negara anggota OKI untuk mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing tumbuh setelah Konferensi  Ekonomi Islam III yang diselenggarakan di Islamabad Pakistan bulan Maret 1983.[18]Hasilnya, sejumlah pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen atau Fakultas Ekonomi Islam di universitas-universitas mereka, bahkan sudah mulai meng-Islamkan lembaga pebankan mereka. Gerakan ekonomi syariah adalah suatu upaya membentuk Sistem Ekonomi Islam (SEI) yang mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana didefinisikan oleh Umer Chapra dalam, The Future of Economics. Namun demikian, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan konsep tentang sistem keuangan dan perbankan Islam.[19] Kecenderungan ini dipengaruhi oleh beberapa factor berikut: Pertama, perhatian utama dan menonjol para ulama dan cendekiawan Muslim adalah transaksi nonribawi sesuai petunjuk Al-Quran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis minyak 1974 dan 1979 dan keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi, untuk melakukan embargo miyak sebagai senjata menekan Barat dalam menopang perjuangan Palestina. Tindakan ini ternyata memiliki dua mata pisau. Pertama, Barat menyadari kekuatan dunia Islam yang dapat mengancam kehidupan ekonomi Barat; kedua, hasil penjualan minyak dunia Islam secara nyata telah melahirkan kekuatan finansial negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Tenggara. Negara-negara itu menjadi Negara petro dolar yang menimbulkan pemikiran untuk “memutarkan” uang mereka melalui lembaga keuangan syariah.
Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan pemikiran di bidang ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI semakin terpacu dan tumbuh disertai factor-faktor lain yang mendahuluinya, yaitu: Pertama, telah terumuskannya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun 1940-an; Kedua, lahirnya ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam Keputusan Konfrensi Negera-negara Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur; ketiga, lahirnya negara-negara Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka, pendirian bank Islam menjadi kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.[20]
Konferensi Negara-negara Islam sedunia, 21-27 April 1969 memberi dampak positif berupa perkembangan bank Islam atau bank syari’ah di berbagai negara yang ditengarai lebih dari 200 lembaga keuangan dan investasi syari’ah yang berkembang sejak tahun 1975. Pada tahun tersebut, perkembangan sistem ekonomi syari’ah secara empiris diakui dengan lahirnya Islamic Development Bank (IDB).
4.      Gerakan Ekonomi Islam di Indonesia
Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak dalam bentuk formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren.Gerakan koperasi yang belum sukses disusul dengan pendirian bank syariah yang relatif sukses. Walaupun lahirnya kedahuluan oleh Philipina[30], Denmark, Luxemburgdan AS, akhirnya Bank Islam pertama di Indonesia lahir dengan nama Bank Mu’amalat (1992). Kelahiran bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor: 1) adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya; 2) tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan syariah; 3) dukungan politik atau political will dari pemerintah. Akan tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen Bimbaga Islam Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan IAIN, penulis pernah mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di Depag RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan faktual adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.
Munculnya praktek ekonomi Islam di Indonesia pada tahun 1990-an yang dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 10 Tahun 1992 yang mengandung ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem bagi hasil. Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang melahirkan UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan syariah. Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syari’ah di Indonesia, yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syari’ah baru atau cabank syari’ah pada bank konvensional. Maka praktek keuangan syari’ah di Indonesia memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal pelaku ekonomi sesuai dengan tuntunan syari’at Islam. Perkembangan berikutnya, MUI sebagai payung dari lembaga-lembaga organisasi keagamaan (Islam) di Tanah Air menganggap perlu dibentuknya satu badan dewan syariah yang bersifat nasional (DSN) dan membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Hal ini untuk memberi kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah perbankan syariah sejak diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah) untuk menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syari’ah. Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah maliyah diyakini menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab, dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi metode perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998, disahkan Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai subsistem perbankan nasional.
Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan syari’ah, pada tahun 1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-porandakan sistem perbankan nasional. Sebagaimana diungkap oleh Warkum, mulai bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999 pemerintah menutup 55 bank, mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Pada Oktober 2001, sebagaimana laporan Majalah Investasi terjadi lagi satu bank konvensional yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah.

Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah, BPRS dan BMT. Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan bank-bank konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, BII Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah yang bersifat mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal wat-Tamwil).
5.      Konsep Islam dalam Pengembangan
Umar radiyalahu abu anhu berkata” sesungguhnya allah ta’ala mewajibkan kamu bersyukur, dan memberi kan untuk kamu dalam apa yang Dia berikan kepadamu kemulyaan akhirat dan dunia dengan tanpa pernintaan dan keinginan kamu kepadamya, dimana dia menciptakan kamu tidaklain  untuk mengabdi kepadanya, sedangkan dia berkuasa untuk menjadikan kamu bagi mahlukNya yang paling rendah, kemudian dia menyediakan untuk kamu semua ciptaannya, menundukkan untuk kamu apa yang dilangit dan apa yang dibumi, menyempurnakan kepadamu nikmat-Nya yang lahir dan yang batin, membawa kamu didarat dan dilaut, dan memberimu ruzki dari hal-hal yang bagus agar kamu bersyukur.[21]
Agar pengembangan ekonomi dapat melaksanakan perannya dalam dalam merealisasikan tujuan syariah, maka seyoginya jika memiliki beberapa kiteria, yang terpenting di antaranya adalah:[22]
1)      Pengembangan ekonomi dalam islam tidak akan dapat merealisasikan tujuannya jika terpisah dari sisi lain tentang pengembangan yang konperhensif yang menjadi tujuan politik syariah dalam merealisasikan.
2)      Sesungguhnya merealisasikan kesejahteraan  dan meningkatkan tingkat penghidupan umat adalah tuntutan dalam syariah.
3)      Seyoginya pengembangan ekonomi dalam islam mencakup semua rakyat negara dan wilayahnya berdasarkan asas keterpaduan dan keseimbangan sesua garis-garisperekonomian yang saling berkaitan dari sisi tujuan dan cara dan korelasi realisasi kemampuan yang dimiliki dengan  kemampuan dalam melaksanakan.
4)      Pengembangan ekonomi dalam islam adalah suatau kewajiban syariah dan ibadah yang mendekatkan seorang muslim kepada allah jika dilakukannya dengan iklas karena-Nya.
5)      Sesungguhnya politik pengembangan ekonomi yamg berdampak pada bertambahnya pemasukan(income) itu menjadi tidak dibenarkan jika berakibat terhadap rusaknya nilai-nilai dan prinsip-prinsip islam.
6)      Sesungguhnya berbagai upaya pengembangan ekonomi pada masa umar terfokuskan pada penanggulangan kemiskinan dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi individu masyarakat.




[1] Mahamūd Abū Su’ūd, Khutaut Ra’isiyyah fī al-Iqtisād al-Islāmiyy, (Maktabat al-Manār al-Islāmiyyah, ,1968), hal. 56.
[2] Al-Qur’an Surat 28: ayat 77.
[3]  Junaidi, latifah, margiono. 2007. Pendidikan Agama Islam 2. Jawa Barat: Yudhistira

[4] http://id.wikipedia.org/wiki/singapura  diakses pada tanggal 25 april 2014 pukul 15.00
[5]Ibid., hal. 5-7.
[6] Muhammad Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby [nd]., hal. 404-410, 432-442, 539.

[7]Shobhi Mahmashani, al-Awza’i: Ta’limuhu al-Insaniyyah wa al-Qa`nuniyyah, Beirut, Dar al- ‘Ilmli al-Mala’in, 1978, hal. 426, 314-318, 447.
[8]Muhammad Abu Zahrah, Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1952, hal. 73-74, 335-383, 432.
[9]Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, h. 24
[10]al-Qadli AbuYusuf Ya’qub Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj, Muhib al-Din al-Khatib,
[11]Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 242-250.
[12] Abu ‘Ubayd al-Qasim bn Sallam (157-224H/774-738M) dalam kitabnya, al-Amwa’l, Mu’assassat al-Nashir, Beirut, Libanon, cet.i, 1981

[13] Zainal Abidin Ahmad, Dasar., hal.251-274
[14] Ibid., hal. 275-300.
[15] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, al-Ahka`m al-Sultha`niyyah, Dar al-Fikr, Beirut
[16] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam,

[17] Adiwarman A. Karim, Refleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia. Diakses dari http://www.dilibrary.net/images/topics/Materi%20-%20Adiwarman.pdf. Tanggal 25 maret 2014.

[18]Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik dan Strukturalis: Laporan dari Islamabad dalam Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek Gerakan Perekonomian Islam, (Amrullh dkk., e.,) PLP2M,  Yogyakarta, 1985, h. 100-111.
[19] Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003

[20]Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 4-5 dengan mengutip berbagai sumber.

[21]Dr.jariban bin ahmad al haris.fiqih ekonomi umar binal-khatab.khalifah.(pustaka al-kausar grup).jakarta.2006
[22]Dr.jariban bin ahmad al haris.fiqih ekonomi umar binal-khatab.khalifah.(pustaka al-kausar grup).jakarta.2006 hal;396

No comments:

Post a Comment