BAB I
PENDAHULUAN
1.
Sejarah
Perkenbangan Ekonomi Islam
Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan
visi Islam rahmatan lil ‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi
alam semesta, termasuk manusia di dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja
dan pemilik modal, tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada
kerusakan ekosistem, tidak ada produksi yang hanya berorientasi untung semata,
jurang kemiskinan yang tidak terlalu dalam, tidak ada konsumsi yang berlebihan
dan mubadzir, tidak ada korupsi dan mensiasati pajak hingga trilyunan rupiah,
dan tidak ada tipuan dalam perdagangan dan muamalah lainnya. Dalam kondisi
tersebut, manusia menemukan harmoni dalam kehidupan, kebahagiaan di dunia dan
insya Allah di kehidupan sesudah kematian nantinya.
Ekonomi Islam yang ada sekarang, teori dan praktik, adalah hasil
nyata dari upaya operasionalisasi bagaimana dan melalui proses apa visi Islam
tersebut dapat direalisasikan. Walau harus diakui bahwa yang ada sekarang belum
merupakan bentuk ideal dari visi Islam itu sendiri. Bahkan menjadi sebuah
ironi, sebagian umat Islam yang seharusnya mengemban visi tersebut, saat ini
distigmakan sebagai teroris, koruptor, munafik, pembalak. Dan sebagian umat
Islam yang lain tidak henti-hentinya saling mencurigai, berburuk sangka,
berperang dan bahkan saling mengkafirkan antarsesama mereka.
Perkembangan ekonomi Islam adalah salah satu harapan untuk
mewujudkan visi Islam tersebut. Hal ini karena ekonomi Islam adalah satu bentuk
integral dalam mewadahi, sebagaimana dinyatakan
Masrhal[1],
dua kekuatan besar yang mempengaruhi kehidupan dunia, yaitu ekonomi dan agama.
Terintegrasikannya dua kekuatan ini dalam satu wadah ekonomi Islam adalah
merupakan penyatuan kembali bahwa kehidupan ini berhulu dan bermuara pada satu,
yaitu Allah SWT (tawhīd). Secara prinsip tauhid adalah menekankan kesatuan alam
semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar dan
menuju Allah SWT. Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak ditemukan kontradiksi
antara dua hal, yang apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi muslim menjadi
pribadi yang pecah (split personality).
Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam berasal dari ayat Al-Qur’an:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagimana Allah telah berbuat
baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[2]
Ekonomi Islam adalah salah satu jawaban dari bagaimana visi Islam
direalisasikan, proses realisasi visi Islam adalah mewujudkan ekonomi Islam
dalam bentuk realitas. Proses mewujudkan ekonomi Islam menjadi sebuah realitas
dapat dilihat dari dua wujud yang saat ini sudah berkembang, yaitu wujud teori
ekonomi Islam dan praktik ekonomi Islam.
BAB II
PERKEMBANGAN
EKONOMI ISALAM DIDALAM DUNIA BISNIS
1)
Sejarah Ekonomi
Islam di Asia Tenggara
Perekonomian penduduk yang mapan merupakan syarat utama bagi
kelangsungan hidup dan hal ini disadari
oleh kerajaan usmani sebagai negara yang mengalami awal masa pembaruan. Maka,
dalam hal perekonomian, kerajaan usmani melakukan hal-hal sebagai berikut.
Ø Pada periode pertama, Usmani bertujuan menguasai beberapa jalur
perdagangan dan beberapa sumber produktif. Ekspansi Usmani ke Laut Hitam,
Aegean, dan laut tengah dimaksudkan untuk merebut kekuasaan pusat-pusat
perdagangan dan pelayaran dari Vanesia dan Genoese.
Ø Berbagai produk dari Iran, Teluk Persia, dan Laut Merah membantu
dalam menjadikan Usmani sebagai pusat perdagangan yang makmur. Mesir mengimpor
sutra, kapas, tekstil, sabun, dan buah-buahan kering dari syiria serta
mengekspor beras, buncis gula, terigu, dan kulit.
Ø Beberapa rute haji mengantarkan warga dari berbagai wilayah
Kerajaan Usmani ke Mekah dan Madinah. Mekah merupakan sebuah kota pusat
perdagangan rempah-rempah, mutiara, lada, dan kopi. Hampir seluruh jemaah haji
mendanai perjalanannya dengan membawa barang-barang komoditi untuk dijual di
mekah dan mereka kembali dengan membawa
barang-barang komoditi untuk dijual di negerinya masing-masing.
Ø Penyediaan sarana kendaraan haji di Damaskus, Kairo, dan Bagdad
menjadi kegiatan bisnis yang penting. Melalui Mesir, pihak kerajaan usmani
menjalankan perdagangan dengan Sudan, Afrika Utara, dan Afrika Barat. Beberapa
pelabuhan Laut Merah di Arabia dan Afrika Timur menyumbangkan sukses Usmani
dalam perdagangkan di wilayah Samudera Hindia. Bagdad dan Basrah juga menjalin
perdagangan dengan Iran dan India.
Ø Dalam rentangan abad 15 dan 16, Basrah menjadi pusat perdagangan
terbesar di Anatolia serta sebagai dermaga terbesar dalam pertukaran
barang-barang dari negeri timur ke Istambul, Polandia, dan Rusia.
Ø Kota Istambul dibangun dengan merekonstruksi beberapa institusi
publik seperti sekolah, rumah sakit, tempat pemandian umum, dan tempat
penginapan. Dan Istambul menghendaki upaya untuk meningkatkan pasokan serat
padi-padian dan kapas untuk bahan industri benang dan tenun.
Ø Pada abad 17 dan 18, berlangsung perubahan situasi yang sangat
menonjol dalam sistem kerajaan Usmani. Akhirnya, terjadi pula pecahnya
peperangan yang berkepanjangan antara petinggi pusat dan petinggi lokal untuk
memperebutkan kekuasaan terhadap pendapatan atas pajak produksi penduduk.
Perubahan situasi politik ini terkait secara erat dengan beberapa perubahan
perekonomian Usmani dengan kedudukan Usmani dalam ekonomi perdagangan
internasional serta terkait dengan bangkitnya kekuatan imperialisme bangsa
Eropa.[3]
2)
Sejarah
Perkembangan Ekonomian Islam di Malaysia
Apabila membicarakan tentang sistem perbankan Islam, secara tidak
langsung ia akan melibatkan prinsip transaksi yang berlandaskan Islam. Sejarah
telah membuktikan bahawa transaksi Islam telah dipraktikkan di Tanah Melayu seawal
abad ke-16. Prinsip ini dapat dilihat di dalam undang-undang Melaka. Apa yang
jelas, kebanyakan negeri-negeri ketika zaman sebelum kemerdekaan turut
dipengaruhi oleh undang-undang Melaka termasuklah yang melibatkan aspek
transaksi Islam sama ada secara langsung atau tidak langsung. Pelaksanaan
undang-undang Islam di negeri-negeri tersebut berterusan sehinggalah campur
tangan Inggeris.
Walau bagaimanapun, undang-undang Melaka tidak banyak menyentuh
perkara berkaitan dengan muamalat. Ia hanya dinyatakan dalam beberapa fasal
sahaja yaitu bermula daripada fasal 29 hingga fasal 34. Namun apa yang menarik,
ia ada memperuntukkan dalam satu fasal tentang larangan riba’ dalam soal
jual-beli atau pertukaran iaitu dalam fasal 30 yang menyentuh undang-undang
tentang penjualan dan larangan terhadap riba’ (usury) dalam urus niaga.
Satu lagi bukti pemakaian prinsip transaksi Islam adalah amalan
jual janji (conditional sale). Salleh Buang menyifatkan jual janji menyerupai
prinsip transaksi Islam yang dikenali sebagaial-bay’ al-Wafa’ yaitu jualan
dengan pilihan untuk membeli balik. Masyarakat Melayu terutamanya kepada para
petani di Kedah, Perlis, utara Perak dan Kelantan sebelum zaman prapenjajah
lagi telah mengamalkannya. Amalan tersebut diamalkan kerana mereka tidak mahu
terlibat dengan pembiayaan pinjaman yang berasaskan bunga yang diuruskan oleh
institusi ceti pada waktu berkenaan. Budaya akad jual janji ini telah mendapat
perhatian dalam perundangan oleh hakim-hakim Inggeris dalam keputusan yang
dibuat. Dalam kes Tengku Zaharah lwn. Che Yusuf. Hakim Briggs memutuskan bahawa tujuan
transaksi jual janji ialah untuk mendapatkan kemudahan kredit (hutang) dan
memberikan kepada pemberi pinjaman (pemberi tanah) bayaran gantirugi yang
sepadan tanpa terlibat dengan amalan bunga (usury) yang mana orang Islam
dilarang terlibat dengannya.
Manakala dalam kes Mohamed Isa lwn. Haji Ibrahim, Hakim Azmi telah
membuat kenyataan yang sama dan amalan yang menjadi kebiasaan para petani Kedah
pada dasarnya ialah transaksi jual janji di mana penjual mempunyai hak untuk
membeli semula hartanya dan untuk membolehkan pembeli (peminjam wang) mengambil
manfaat daripada transaksi yang sah menurut undang-undang Islam. Amalan jual
janji ini sehingga kini masih lagi diterimapakai dan diiktiraf oleh
undang-undang Malaysia dan diperuntukkan dalam Seksyen 4 (2) Kanun Tanah
Negara.
Dapat dirumuskan bahawa ketika zaman sebelum kedatangan penjajah
sememangnya tidak wujud satu sistem perbankan Islam yang komprehensif. Malah
sebuah institusi perbankan yang khusus juga masih belum wujud. Masyarakat
ketika itu hanyalah mempraktikkan transaksi-transaksi ringkas dalam urusan
harian mereka seperti jual beli, sistem tukar barang (barter), jual janji dan
lain-lain. Walaubagaimanapun, setelah kedatangan penjajah Barat pada abad
ke-19, barulah sistem perbankan mula diperkenalkan.
Idea penubuhan perbankan Islam di Malaysia berlangsung secara
beransur-ansur. Penubuhannya adalah hasil daripada pengalaman yang dilalui oleh
beberapa institusi kewangan Islam lain di Malaysia. Institusi yang pertama
sekali yang mengamalkan konsep transaksi Islam ialah Lembaga Tabung Haji (LTH)
atau sebelum ini dikenali sebagai Perbadanan Wang Simpanan Bakal-Bakal Haji. Ia
ditubuhkan pada tahun 1969 dan berfungsi untuk membolehkan orang-orang Islam
menyimpan wang secara
Pada bulan Juli 1982, Jawatankuasa tersebut telah menyerahkan
laporan mereka kepada kerajaan. Dengan penggubalan Akta Bank Islam 1983, maka Bank Islam Malaysia
Berhad (BIMB) telah ditubuhkan pada Julai 1983 sebagai bank Islam pertama di
Malaysia dan diperbadankan di bawah Akta Syarikat 1965. Objektif utama
penubuhannya ialah untuk berusaha menjalankan operasi sebagai bank perdagangan
berlandaskan hukum Syarak dan menyediakan kemudahan kepada semua rakyat negara
ini.] Seperti bank-bank lain, Bank Negara Malaysia (BNM) diberi kuasa di bawah
Akta Bank Islam untuk mengawal selia bank Islam.
Perkembangan sistem perbankan Islam semakin berkembang apabila pada
1 Oktober 1999, sebuah lagi bank Islam bernama Bank Muamalat Malaysia Berhad
(BMMB) ditubuhkan. Ia dianggap sebagai bank Islam kedua di Malaysia muncul
setelah adanya usaha kerajaan untuk memperkukuhkan sektor perbankan Islam bagi
memenuhi pertambahan permintaan masyarakat terhadap perkhidmatan perbankan
Islam.
Dapatlah dirumuskan di sini bahawa perkembangan sistem perbankan
Islam di Malaysia adalah berdasarkan dua bentuk utama iaitu institusi perbankan
Islam secara total seperti BIMB dan BMMB dan yang kedua ialah institusi
perbankan konvensional yang menyertai SPI yang diperkenalkan kerajaan.Sistem
perbankan Islam di Malaysia semakin berkembang daripada masa ke semasa. Ini
juga selaraskan dengan aspirasi kerajaan bagi menjadikan Malaysia sebagai hub
perbankan dan keuangan Islam yang terulung di dunia.
3)
Perkembangan
Ekonomi Islam di Indonesia
Di Indonesia saat ini telah mulai dan dilaksanakan penerapan
syariah Islam dalam bentuk aplikasi Ekonomi walaupun masih banyak kekuranganya.
Hal ini dikarenakan sudah teralu lama bangsa Indonesia menganut sistem Ekonomi
konvensional yang membebaskan semua pelaku usahanya dengan jalan apapun untuk
mendapatkan keuntungan sebesar mungkin.Mengapa Di Indonesia Dikatakan Susah
dalam Penerapan Syariah Islam?
Mungkin hal ini dapat menjadikan alasan bahwa perkembangan
masyarakat Islam di Indonesia untuk dapat menerapkan Ekonomi Syariah Islam
dalam Ekonomi terkendala oleh adanya penjajahan yang dilakukan oleh Belanda.
Belanda menganggap bahwa Ekonomi Islam dapat menghambat, mengancam dan mengubah
pemikiran rakyat Indonesia dalam melakukan kegiatan Ekonomi, padahal ketika itu
pihak belanda melakukan sistem monopoli perdagangan yang memang dalam
kenyataannya hal ini (Monopoli Perdagangan) hukumnya haram.
Karena hal itu rakyat Indonesia membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk dapat memikirkan dan mengenali Sistem Ekonomi Islam yang pada dasarnya
dilandasi oleh hukum yang ada di Al Quran dan As-Sunah.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya umat Islam, seharusnya
sistem ekonomi syariah Islam ini dapat dilaksanakan dan diterapkan di Indonesia
secara kafah (menyeluruh), yang mengedepankan transparansi, keadilan dan good
governance dalam pengelolaan usaha dan asset-asset negara. Di mana praktik
ekonomi yang dijalankan berpihak pada rakyat kebanyakan dan berpihak pada
kebenaran. Sehingga tidak akan ada lagi yang namanya korupsi di negeri ini jika
Syariah Islam dapat dengan benar diterapkan secara kafah.
Dapat dipastikan bahwa ekonomi syariah bisa menjadi pilihan untuk
mengatasi masalah umat Islam yang saat ini masih mengalami krisis ekonomi.
Merupakan sebuah tantangan yang sangat besar untuk para pengusaha dan kalangan
yang mengerti ekonomi syariah Islam untuk dapat menerapkan sisem ekonomi
syariah ini secara menyeluruh di negeri ini.
Dikutip dalam sebuah artikel bahwa, “Di Indonesia, praktek ekonomi
Islam, khususnya perbankan syariah sudah ada sejak 1992. Diawali dengan
berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank-bank Perkreditan Rakyat
Syariah (BPRS). Namun, pada decade hingga tahun 1998, perkembangan bank syariah
boleh dibilang agak lambat. Pasalnya, sebelum terbitnya UU No. 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, tidak ada perangkat hokum yang mendukung sistem operasional
bank syariah kecuali UU No. 7 Tahun 1992 dan PP No. 72 Tahun 1992.
Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai
bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan
perbankan umum yang berbasis konvensional. Karenanya manajemen bank-bank
syariah cenderung mengadopsi produk-produk perbankan konvensional yang
“disyariatkan”. Dengan variasi produk yang terbatas. Akibatnya tidak semua
keperluan masyarakat terakomodasi dan produk yang ada tidak kompetitif terhadap
semua produk bank konvensional.”
Peraturan itu menjadi penghalang bagi berkembangnya bank syariah,
karena jalur pertumbuhan jaringan kantor bank syariah yang telah ada dibatasi.
Namun itu dulu dan sekarang ekonomi Islam benar-benar dapat dilaksanakan jika
orang yang mengelolanya benar-benar dapat mengerti dan secara jujur
melaksanakan ekonomi syari’ah Islam.
Mungkin itulah
sedikit ulasan mengenai Perkembangan Sistem Ekonomi Syariah Islam Di Indonesia.
Tujuan Ekonomi
Islam:
Ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk memberikan keselarasan bagi
kehidupan di dunia. Nilai Islam bukan semata-semata hanya untuk kehidupan
muslim saja, tetapi seluruh mahluk hidup di muka bumi. Esensi proses Ekonomi
Islam adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam
guna mencapai pada tujuan agama (falah). Ekonomi Islam menjadi rahmat seluruh
alam, yang tidak terbatas oleh ekonomi, sosial, budaya dan politik dari bangsa.
Ekonomi Islam mampu menangkap nilai fenomena masyarakat sehingga dalam
perjalanannya tanpa meninggalkan sumber hukum teori ekonomi Islam, bisa
berubah.
Menurut data Biro Perbankan Syariah BI, dalam jangka waktu sepuluh
tahun kedepan, dibutuhkan tidak kurang dari 10 ribu SDM yang memiliki
kualifikasi dan keahlian di bidang ekonomi syariah. Tentu ini merupakan peluang
yang sangat prospektif sekaligus sebagai tantangan bagi lembaga-lembaga
pendidikan yang ada. Sudah saatnya kajian ekonomi Islam mendapat ruang dan
tempat yang lebih luas lagi di perguruan tinggi. Kurikulum ekonomi Islam pun
perlu untuk terus menerus disempurnakan, dimana dibutuhkan perpaduan antara
pendekatan normatif keagamaan dengan pendekatan kuantitatif empiris.
Riset-riset tentang ekonomi syariah, baik pada skala mikro maupun makro harus
terus diperbanyak. Ini akan memperkaya khazanah literatur ekonomi syariah
sekaligus mempercepat perkembangan ekonomi syariah secara utuh dan menyeluruh.
Perkembangan sistem ekonomi syariah dalam satu dekade terakhir ini di Indonesia
terlihat semakin pesat. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik.
Apalagi kondisi ini terjadi di saat bangsa Indonesia ditimpa oleh krisis
multidimensi, yang diawali oleh krisis moneter pada tahun 1997, yang hingga
saat ini masih berkepanjangan. Sektor perbankan syariah misalnya, sebelum tahun
1998 di Indonesia hanya terdapat satu bank umum yang beroperasi berdasarkan
sistem syariah. Maka pasca 1998, bank-bank umum yang beroperasi berdasarkan
sistem syariah tumbuh dan berkembang, sehingga di Indonesia kini terdapat
kurang lebih sekitar sepuluh bank umum syariah. Belum lagi ditambah dengan
puluhan bank perkreditan syariah yang beroperasi di tingkat kecamatan di
berbagai wilayah negara Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya sektor perbankan
syariah merupakan bukti semakin tumbuhnya kesadaran sebagian masyarakat
Indonesia untuk menerapkan syariat Islam dalam bidang ekonomi. Apalagi fakta
membuktikan bahwa bank syariahlah yang relatif mampu bertahan di tengah serbuan
badai krisis ekonomi, meskipun kalau dilihat dari persentase volume usaha
perbankan syariah, maka nilainya masih relatif kecil yaitu sekitar 0, 23
persen. Begitu pula dengan perkembangan sektor zakat, sebagai salah satu pilar
ekonomi Islam. Kesadaran sebagian umat Islam untuk menunaikan zakat semakin
besar. Zakat kini tidak dipandang sebagai suatu bentuk ibadah ritual semata,
tetapi lebih dari itu, zakat juga merupakan institusi yang akan menjamin
terciptanya keadilan ekonomi bagi masyarakat secara keseluruhan. Jadi dimensi
zakat tidak hanya bersifat ibadah ritual saja, tetapi mencakup juga dimensi
sosial, ekonomi, keadilan dan kesejahteraan. Zakat juga merupakan institusi
yang menjamin adanya distribusi kekayaan dari golongan “the have� kepada
golongan “the have not�. Kekhawatiran dan ketakutan bahwa zakat akan
mengecilkan dan mereduksi capital formation masyarakat sangat tidak beralasan.
Bahkan pengeluaran 2,5 % zakat dari capital stock perekonomian setiap tahun,
akan mampu menyimpan 27,5 % dari setiap tambahan dalam capital stock untuk
mempertahankan perekonomian pada level sebelumnya (lihat Muhammad Akram Khan
dalam Issues in Islamic Economics). Hal ini mengindikasikan tingginya perhatian
dalam pembentukan struktur permodalan dalam masyarakat. Institusi zakat harus
pula didorong untuk dapat menciptakan lapangan usaha produktif bagi kelompok
masyarakat yang tidak mampu, yang termasuk dalam kelompok yang berhak menerima
zakat. Seluruh komponen bangsa, termasuk pemerintah, harus memiliki komitmen
yang kuat akan hal ini, karena dampaknya akan dirasakan langsung oleh
masyarakat, sehingga dengan demikian tingkat pengangguran pun akan mampu
diminimalisir. Apalagi kita menyadari bahwa angka pengangguran yang terjadi di
Indonesia masih sangat tinggi, yaitu sekitar 40 juta orang atau 18 % dari
keseluruhan total penduduk. Kita perlu banyak belajar kepada negara Malaysia
didalam mengelola masalah zakat. Malaysia adalah contoh negara yang berhasil
didalam menjadikan zakat sebagai institusi yang mampu mereduksi tingkat
kemiskinan, sehingga berdasarkan data Badan Zakat negara tersebut, jumlah orang
miskin Malaysia kini hanya tinggal 10 ribu orang saja. Tentu dengan kriteria kemiskinan
yang berbeda dengan Indonesia. Kita berharap dengan adanya UU No. 38 tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat, maka segala potensi zakat di Indonesia yang mencapai
6,3 triliun rupiah per tahunnya (menurut perhitungan Dr KH Didin Hafidhuddin,
ulama pakar zakat) akan dapat dioptimalkan. Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga
Amil Zakat (LAZ) harus mampu memerankan dirinya sebagai pengelola zakat yang
tidak hanya bersifat amanah, tetapi juga bertanggung jawab, transparan, dan
profesional. Bagi pemerintah sendiri pun, pembiayaan bagi pemenuhan kebutuhan
hidup masyarakat melalui dana zakat akan lebih baik bila dibandingkan dengan
kebijakan deficit financing. Sektor-sektor usaha lainnya, seperti asuransi
syariah, koperasi syariah, BMT (Baytul Maal wat Tamwiil), juga semakin
berkembang, dan bahkan kini telah merambah sektor pasar modal. Dibukanya
Jakarta Islamic Index juga membuktikan bahwa ekonomi syariah memiliki pangsa
pasar tersendiri dan memiliki propek yang sangat strategis kedepannya.
Langkah-langkah Membangun Sistem Ekonomi Islam Ada beberapa langkah yang
diperlukan dalam rangka membangun sistem perekonomian yang berdasarkan ajaran
Islam, yaitu : Pertama, adalah dengan meningkatkan sosialisasi mengenai konsep
ekonomi Islam secara komprehensif. Bahwa ekonomi Islam bukanlah semata-mata
menyangkut aspek ibadah ritual saja, tetapi juga menyentuh dimensi-dimensi yang
bersifat muamalah (sosial kemasyarakatan). Ekonomi Islam pun bukan semata-mata
bersifat eksklusif bagi umat Islam saja, tetapi juga bermanfaat bagi kalangan
umat beragama lainnya. Sebagai contoh, 60 % nasabah bank Islam di Singapura
adalah umat non muslim. Kalangan perbankan di Eropa pun sudah melirik potensi
perbankan syariah. BNP Paribas SA, bank terbesar di Perancis telah membuka
layanan syariahnya, yang diikuti oleh UBS group, sebuah kelompok perbankan
terbesar di Eropa yang berbasis di Swiss, telah mendirikan anak perusahaan yang
diberi nama Noriba Bank yang juga beroperasi penuh dengan sistem syariah.
Demikian halnya dengan HSBC dan Chase Manhattan Bank yang juga membuka window
syariah. Bahkan kini di Inggris, tengah dikembangkan konsep pembiayaan real
estate dengan skema syariah. Ini semua membuktikan bahwa konsep ekonomi Islam
berlaku secara universal. Kemudian yang kedua, perlu dikembangkan dan
disempurnakannya institusi-institusi ekonomi syariah yang sudah ada. Jangan
sampai transaksi-transaksi yang dilakukan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
ajaran Islam. Karena itu dibutuhkan adanya pengawasan yang ketat terhadap
aktivitas institusi ekonomi Islam yang ada, baik itu perbankan syariah,
asuransi syariah, lembaga zakat, maupun yang lainnya. Disini dituntut
optimalisasi peran Dewan Syariah Nasional MUI sebagai institusi yang memberikan
keputusan / fatwa apakah transaksi-transaksi ekonomi yang dilakukan telah
sesuai dengan syariah atau belum. Begitu pula dengan masyarakat luas, dimana
dituntut pula untuk secara aktif mengawasi, mengontrol, dan memberikan masukan
yang bersifat konstruktif bagi perbaikan dan penyempurnaan kinerja
lembaga-lembaga ekonomi syariah. Ketiga, adalah dengan terus menerus
memperbaiki berbagai regulasi yang ada. Perangkat perundang-undangan dan
peraturan lainnya perlu terus diperbaiki dan disempurnakan. Kita bersyukur
telah memiliki beberapa perangkat perundang-undangan yang menjadi landasan
pengembangan ekonomi syariah, seperti UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat, UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, yang membolehkan shariah
windows, maupun UU No. 17 tahun 2000, dimana zakat merupakan pengurang pajak.
Namun ini belumlah cukup, apalagi mengingat Peraturan Pemerintah yang
menjabarkan undang-undang tersebut belumlah ada, sehingga peraturan seperti
zakat adalah sebagai pengurang pajak masih belum terealisasikan pada tataran
operasional. Sedangkan yang keempat adalah dengan meningkatkan kualitas SDM
yang memiliki kualifikasi dan wawasan ekonomi syariah yang memadai. Menurut
data Biro Perbankan Syariah BI, dalam jangka waktu sepuluh tahun kedepan,
dibutuhkan tidak kurang dari 10 ribu SDM yang memiliki kualifikasi dan keahlian
di bidang ekonomi syariah. Sedangkan disisi lain, kita melihat kenyataan bahwa
institusi pendidikan yang ada belum mampu menyediakan kebutuhan SDM tersebut.
Tentu ini merupakan peluang yang sangat prospektif sekaligus sebagai tantangan
bagi lembaga-lembaga pendidikan yang ada. Sudah saatnya kajian ekonomi Islam
mendapat ruang dan tempat yang lebih luas lagi di perguruan tinggi. Kurikulum
ekonomi Islam pun perlu untuk terus menerus disempurnakan, dimana dibutuhkan
perpaduan antara pendekatan normatif keagamaan dengan pendekatan kuantitatif
empiris. Riset-riset tentang ekonomi syariah, baik pada skala mikro maupun
makro harus terus diperbanyak. Ini akan memperkaya khazanah literatur ekonomi
syariah sekaligus mempercepat perkembangan ekonomi syariah secara utuh dan
menyeluruh.
4)
Penerapan
sistem Ekonomi Islam di Negara Minoritas Muslim
Sistem ekonomi Islam saat ini menjadi bahan perbincangan di seluruh
dunia. Adanya diskusi,seminar, workshop, training, short course (kursus
singkat) tentang ekonomi dan perbankanSyariah menjadi salah satu bukti semakin
populernya ekonomi Islam. Bahkan tak sedikit perguruan tinggi yang membuka
jurusan ekonomi Islam. Bahkan banyak perguruan tinggi yang dikenal dengan
‘aliran’ sekuler membuka jurusan atau program studi ekonomi Islam.
Fenomena itu terjadi bukan hanya di Negara-negara muslim atau
negara yang mayoritaspenduduknya beragama Islam, namun wacana system ekonomi
Islam juga ramaidiperbincangkan di Negara-negara yang penduduk muslimnya
tergolong minoritas, sepertiAustralia, Belanda, Inggris, dan lain-lain. Wacana
penerapan system ekonomi Islam telahberlangsung sejak Negara-negara OKI
membentuk suatu lembaga dengan nama IslamicDevelopment Bank (IDB), bahkan jauh
sebelum itu. Namun seiring makin banyaknyaperusahaan-perusahaan besar yang
menganut system ekonomi kapitalis mengalami kehancuran,system ekonomi Islam
dipilihnya sebagai system ekonomi alternative.Sebagai seorang muslim, munculnya
wacana penerapan system ekonomi Islam di seluruh dunia,merupakan suatu
kebanggaan tersendiri.
Karena konsep Islam yang rahmatan lil ‘alamin langkah demi langkah
akan menuai pembuktiannya. System ekonomi Islam sendiri telah banyak mengalami
kemajuan yang pesat di negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim,
sepertiMalaysia, Indonesia, Iran, Sudan, Pakistan, Arab Saudi dan lain
sebagainya.Namun demikian penerapan system ekonomi Islam di Negara-negara
mayoritas muslim dalamprakteknya diakui mengalami beberapa persoalan, baik dari
sudut pandang hokum maupunteknis operasional. Hal ini memang wajar, karena
selama ini system ekonomi kapitalis masihmendominasi di berbagai Negara. Karena
itu pula penerapan system ekonomi Islam seolah-olahdipaksakan untuk
menggantikan mekanisme yang sudah akut dengan gaya ekonomi kapitalis.Sehingga
fakta yang telah membuktikan adanya perkembangan system ekonomi Islam
diNegara-negara maju atau Negara barat yang mendirikan lembaga ekonomi Islam
atau perbankansyariah perlu mendapat perhatian dan kajian.Sebagaimana diketahui
saat ini Inggris telah mengklaim bahwa negaranya telah berhasilmenerapkan
sistem ekonomi Islam. Selain itu Singapura juga mengklaim negaranya
suksesmenerapkan system ekonomi Islam, bahkan telah menjadi pusat keuangan
syariah di dunia.Padahal banyak Negara-negara muslim yang sudah lama menerapkan
system ekonomi Islambelum berani mengklaim dirinya ‘sukses’.Oleh karena itu
penyusun dalam tulisan ini inginberupaya memahami fenomena yang terjadi saat
dimana system ekonomi Islam justrumengalami kemajuan di Negara-negara yang
mayoritasnya berpenduduk non muslim. Namundemikian penyusun hanya akan
memfokuskan fakta yang mana Singapura menjadi pusatkeuangan Islam.
Dalam
pembahasan ini kiranya perlu diketahui makna ekonomi dan keuanganIslam yang
sebenarnya termasuk bagaimana perkembangan ekonomi Islam di Negara-negaraMuslim
sebagai perbandingan. Oleh karenanya gambaran Singapura dari beberapa aspek
terutama aspek ekonomi sangat penting sebagai bahan kajian. Selanjutnya
mekanisme yang dijalankan Singapura dalam menerapkan ekonomi dan keuangan Islam
apakah sudah sejalan.[4]
2.
Perkembangan
Pemikiran Teori Ekonomi Islam
Perkembangan teori ekonomi Islam dimulai dari diturunkannya
ayat-ayat tentang ekonomi dalam al-Qur’an, seperti: QS. Al-Baqarah ayat ke 275
dan 279 tetang jual-beli dan riba; QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pembukuan
transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS. Al-A’raf ayat 31, An-Nisa’
ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan membelanjakan harta.
Ayat-ayat ini, menurut At-Tariqi[3] menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan
pokok ekonomi sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan
secara metodis oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini
bentuk permasalaan perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori
yang muncul pun belum beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari
perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi visi
Islam rahmatan lil ‘alamin. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari sejak
masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan.
Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua
(656-661M), pemikiran ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap Ketiga
atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini diwakili Zayd
bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798), Abu Yusuf (798
M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam (818 M), Syafi’I (820
M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Yahya
bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M),
Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin
Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih
(1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037).
Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi
Islam Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun
(1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu
Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210 M), Najnudin
Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350 M), Muhammad bin
Abdul rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi
(1441 M), Al Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169
M), Al Attar (1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja
(1138 M), Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al
Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani (1897
M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym (1562
M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad
Abdul Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider
Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr,
Umer Chapra.Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai
berikut:
Zaid bin Ali (80-120H./699-738M), adalah pengagas awal penjualan
suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.[5]
Abu Hanifah
(80-150H/699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang
sangat rasionalistis, Ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak
jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salām dan
al-murābahah.[6]
Al-Awza’i (88-157H./707-774M.). Nama
lengkapnya Abdurahman al-Awza’i yang berasal dari Beirut, Libanon dan hidup
sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi
syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem
muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman
modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.[7]
Imam Malik Bin Anas
(93-179H./712-796M.). Imam Malik lebih
dikenal sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab
hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia
menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya.
Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori
istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai
kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari
diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun
tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi terpenuhinya
kebutuhan bersama.[8]
Abu Yusuf (112-182H./731-798H.). Abu Yusuf
adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya
(al-Qadli Hakīm) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan
umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan
pertanian.[9] Ia pun
dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-Kharaj. Karya
ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini,
sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari
penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk
menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan
bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat
al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).[10] Tulisan
Abu Yusuf ini mempertegas bahwa ilmu ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari
seni dan menejemen pemerintahan dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan
rakyat kepada pemerintah untuk mensejahterakan mereka. Dengan kata lain, tema
sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggungjawab penguasa untuk
mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar prinsip-prinsip perpajakan
yang dikemudian hari “diambil” oleh para ahli ekonomi sebagai canons of
taxation. Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandanganya yang
menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa.
Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci dengan menyatakan bahwa
tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam
mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan tas’ir dapat dilakukan oleh
pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib melakukanya.
Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang
tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu 1) Madinatu an Nawabit,
masyarakat kayu-kayuan atau negara liar; 2) Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat
binatang atau negara primitif; 3) Madinatu adl-dlaruroh, negara kebutuan; 4)
Madinatu al hissah wa as-saqro, negara keinginan; 5) Madinatu A-Tabadul auw
al-badalah, negara bertukar kebutuhan; 6) Madinatu An-Nadzalah, negara
kapitalis; 7) Madinatu al-Jama’iyyah, negara anarki atau masyarakat komunis; 8)
Madinatu al fadhilah, Negara utama.[11]
Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam
(157-224H/774-738M). Pembahasan ekonomi syariah dalam karya Abu ‘Ubayd,
al-Amwa’l, diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m
‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas
rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan
sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah karena sistimatika
pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadis di bidangnya. Bab
pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan mengutip hadis yang menyatakan
bahwa agama itu adalah kritik: al-din al-nshihat; disusul hadis yang menyatakan
bahwa setiap orang adalah “penggembala” yang bertanggungjawab atas gembalaanya
yang secara tegas dicontohkan: seorang pemimpin adalah penggembala rakyatnya
dan bertanggung jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas gembalanya,
yakni keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan bertanggung jawab atas
rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya dan
bertanggung jawab atasnya. Kemudian ia pun mengutip sejumah hadis tentang
pemimpin yang adil dan fajir. Pemimpin yang adil adalah yang melaksanakan
amanat kepemimpinannya, taat kepada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya sehingga ia
berhak mendapat ketaatan dari rakyatnya; akhirnya ia pun mengutip atsar Sahabat
yang mengingatkan kepada kaum Muslimin agar selalu berdzikir kepada Allah
manakala dalam keadaan ragu, ketika bersumpah, dan ketika mengadili atau menetapkan
dan memutuskan hukum.[12] Abu
‘Ubayd seolah-olah ingin menyatakan bahwa masalah ekonomi tak terpisahkan dari
tanggung jawab pemerintah atau penguasa. Dengan kata lain, ilmu ekonomi syariah
adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu hukum ketata-negaraan. Sedangkan pada
bab-bab berikutnya ia menjelaskan aneka jenis harta yang dikuasai negara dan
hak rakyat atas harta termaksud dengan cara yang lebih terurai dan selalu berdasarkan
rujukan Alquran dan Sunnah. Kitab ini, jika dilihat dari tehnis penulisannya
dengan mengutamakan pengutipan hadis-hadis dan ayat-ayat Alquran, mirip dengan
kitab fiqh atau hukum Islam pertama karya Imam Malik, al-Muwatha’, yang isinya
adalah koleksi hadis-hadis yang bertajuk dan petunjuk hukum Islam.
Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia
mengemukakan pendapatnya antara lain: a) manusia adalah makhluk berekonomi; b)
ekonomi membutukan negara; c) perkembangan ekonomi melalui perkembangan ekonomi
keluarga ekonomi masyarakat, dan ekonomi negara; d) ekonomi negara ia
berpendapat bahwa tujuan politik negara
harus diarahkan kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan
perekonomian dan kestabilan ekonomi harus dijaga; e) Prinsip yang lain adalah
arta milik berasal dari warisan dan hasil kerja; f) wajib bekerja untuk
mendapatkan harta ekonomi menurut jalannya yang sah; g) pengeluaran dan
pemasukan harus diatur dengan anggaran; h) pengeluaran wajib atau nafaqah yang
sifatnya konsumtif harus dikeluarkan sehemat mungkin, pengeluaran untuk
kepentingan umum (masyarakat dan negara) yang sifatnya wajib juga harus
dicukupkan dengan hati yang iklas; i) setiap orang harus mempunyai rencana
simapanan yang menjadi jaminan baginya pada saat kesukaran atau saat diperlukan.[13]
Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111).
Tokoh yang lebih dikenal sebagai sufi dan filosof serta pengkritik filsafat
terkemuka ini melihat bahwa: a) perkembangan ekonomi bertolak dari hd) akikat
dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu materi, manusia dan pembagunan. Ketiga unsur
ini interdependence; b) perkembangan
ekonomi perlu adanya transportasi; c) uang bukanlah komoditi, melainkan alat
tukar; d) perkembangan ekonomi meningkat
menjadi ekonomi Jasa, yaitu hubungan jasa di antara manusia; e) perlu adanya
pemerintah; f) mata uang negara Islam; g) perlunya institut perbankan; h)
hati-hati terhadap riba; i) Dua jalur transaksi perbankan, pribadi dan negara.[14]
Al-Mawardi (w. 450 H.).
Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah,[15] adalah
pakar dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan
pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urasan
spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n wa al-umur al-dunyawiyyah). Jika
kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan
segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di
atas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya,
baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat:
hak Adami) secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja
termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan
atas harta, perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya
yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.
Tusi (1201-1274). Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia,
Akhlaq –i-Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap
menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak
akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang cukup untuk
jangka lama. Akan tetapi, karena orang bekerja sama dengan lainya dan setiap
orang melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya sehingga menghasilkan
konsumsi yang lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Keadilan hukum pun
mengendalikan pertukaran produk barang-barang yang menjamin ketersediannya
untuk semua orang. Dengan demikian, Tuhan dengan segala kebijaksanaan-Nya,
membedakan aktivitas dan cita rasa orang sedemikian rupa, sehingga mereka
mungkin melakukan pekerjaan yang berbeda-beda untuk saling membantu.
Perbedaan-perbedaan inilah yang melahirkan sruktur internasional dan sistem
ekonomi umat manusia. Maka terjadilah kerjasama timbal balik. Timbulah berbagai
bentuk kontrak sosial.
Ibnu Taymiyyah (1262-1328).
Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa
al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana
amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan
negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara
(al-siyasat l-syariyyah) pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat
al-maliyyah (politik hukum publik dan privat). Sedangkan dalam karya lainya,
al-Hisbah fi al-Islam, lebih menekankan intervensi pemerintah dalam mekanisme
pasar; pengawasan pasar; hinga akuntansi yang erat kaitanya dengan sistem dan
prinsip zakat, pajak, dan jizyah. Dengan demikian, seperti halnya Abu ‘Ubayd,
nampaknya Ibn Taymiyyah mempunyai kerangka pikir yang sejalan dalam pendapat
yang menyatakan bahwa ekonomi syariah, baik sistem maupun hukumnya, merupakan
bagian tak terpisahkan dari sistem pemerintahan dan ketatanegaran.[16]
Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal
sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya
dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-Muqaddimah,tidak membahas
bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara berserakan di sana
sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas daripada definisi
Tusi. Ia dapat melihat dengan jelas
hubungan antara ilmu ekonomi dengan kesejahteraan manusia. Referensi
filosofisnya yang merujuk kepada “ketentuan akal dan etika” telah mengantarnya
kepada kesimpulan bahwa ilmu ekonomi adalah pengetahuan normatif dan sekaligus
positif. Terminologi jumhur yang berarti massa yang digunakanya menunjukkan
bahwa mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan massa, bukan
individu. Individu adalah bagian dari jumhur. Hukum ekonomi dan sosial berlaku
pada massa, bukan pada individu yang terkucil. Ia melihat hubungan timbal balik
antara faktor-faktor: ekonomi, politik, sosial, etika dan pendidikan. Ia pun
mengetengahkan gagasan ilmu ekonomi yang mendasar, yakni; pentingnya pembagian
kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja terhadap teori nilai, teori mengenai
pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistim harga
dsb. Pemikiranya kiranya dapat
disejajarkan dengn penulis klasik
sekaliber Adam Smith, Ricardo, Malthus dan penulis neo klasik sekaliber
Keynes.
Di Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh
elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para profesional.
Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang telah
menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi
terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah diselenggarakan di
Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada dan
Universitas Brawijaya.[17]
Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis
buku ekonomi Islam dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak mengesampingkan
pemikir ekonomi Islam yang lain) antara lain: Syafi’i Antonio, Dawan Rahardjo,
Adiwarman Karim, Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad. Seiring dengan
perkembangan pemikiran ekonomi Islam tersebut, beberapa perguruan tinggi yang
mengawali membuka pendidikan tinggi ekonomi Islam adalah UNAIR dengan S-3
ekonomi Islam, UII dengan Ekonomi Islam di Magister Studi Islamnya (1997),
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dengan
Jurusan Muamalahnya (1997). Dari tiga pendidikan tinggi tersebut berkembang
sarjana, master dan doktor Ekonomi Islam yang mewarnai wacana ekonomi Islam di
Indonesia. Secara de jure, Jurusan Ekonomi Islam pertama kali yang mendapat
izin operasional dari Depag adalah Jurusan Ekonomi Islam Fakultas Ilmu Agama
Islam UII (2003). Perkembangan ekonomi Islam di Pendidikan Tinggi setelah itu
terjadi sangat kuatnya, di IAIN, UIN, STAIN, PTAI Swasta, sampai Perguruan
Tinggi Umum juga membuka konsentrasi atau jurusan Ekonomi Islam.
Di samping itu, perkembangan pemikiran juga mengemuka dalam
seminar, simposium dan kajian yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, ikatan
profesi, lembaga keuangan dan pusat studi. Tahun 1997 Pusat Penelitian dan
Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia
menyelenggarakan Seminar Nasional Metodologi Penelitian Ekonomi Islam dan di
Tahun 2002 menyelenggarakan Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami. Magister
Studi Islam UII dengan mengusung konsentrasi Islam-nya juga menyelenggarakan
Seminar Internasional Ekonomi Islam di Yogyakarta pada tahun 2002, dan
melanjutkan isu-isu seminar internasional tersebut dalam Kajian Intensif yang
diselenggarakannya selama tahun 2004-2005. Tahun 2004, Pusat Pengkajian Bisnis dan Ekonomi Islam
Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang menyelenggarakan Simposium
Nasional Sistem Ekonomi Islami II. Tahun 2005, Ikatan Ahli ekonomi Islam
Indonesia menyelenggarakan Simposium Internasional Ekonomi Islam dan Muktamar I
Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia, di Medan Sumatera Utara.
3.
Perkembangan
Praktek Ekonomi Islam
Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi
karena telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama
opersional perbankan, yakni: 1) menerima simpanan uang; 2) meminjamkan uang
atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan
musaqah; 3) memberikan jasa pengiriman atau transfer uang. Istilah-istilah fiqh
di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan
modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa
Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah
berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa
Inggris dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa
Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan
telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak
dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan
akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh
satu orang yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah,
ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan
berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam
mulia yang beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang
bergelut di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus
itu disebut naqid, sarraf, dan jihbiz yang kemudian menjadi cikal bakal praktek
pertukaran mata uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan
Khalifah al-Muqtadir (908-932). Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas
sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah
al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring
antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).
Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan
untuk menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi
Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun
tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga
perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif sukses
dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank tahun 1963 yang disambut baik oleh para
petani dan masyarakat pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena masalah
politik, yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit
Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967).
Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali
dengan dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di atas mengilhami para
petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan
Oktober 1975. Kini IDB memiliki lebih dari 43 kantor di negara anggotanya
dengan Jedah menjadi kantor pusatnya.
Ilmu ekonomi Islam adalah suatu yang tidak bisa dipungkiri lagi
adalah suatu ilmu yang tumbuh dan menjadi gerakan perekonomian Islam sejak
seperempat abad yang lalu. Namun demikian, pergeseran orientasi dari pemikiran
ekonomi ke gerakan tak terpisahkan dari hapusnya institusi Khilafah tahun 1924,
dan upaya menghidupkanya kembali yang gagal hingga terbentuknya Organisasi
Konfrensi Islam. Dengan kata lain, salah satu produk penting yang menyertai
kelahiran OKI adalah terpicunya pemikiran ekonomi Islam menjadi gerakan
perekonomian Islam. Gerakan itu ditandai dengan diselengarakan Konfrensi
Ekonomi Islam secara teratur. Pemantapan hati negara-negara anggota OKI untuk
mengislamisasi ekonomi negaranya masing-masing tumbuh setelah Konferensi Ekonomi Islam III yang diselenggarakan di
Islamabad Pakistan bulan Maret 1983.[18]Hasilnya,
sejumlah pemerintahan Islam sudah mendirikan Departemen atau Fakultas Ekonomi
Islam di universitas-universitas mereka, bahkan sudah mulai meng-Islamkan
lembaga pebankan mereka. Gerakan ekonomi syariah adalah suatu upaya membentuk
Sistem Ekonomi Islam (SEI) yang mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana
didefinisikan oleh Umer Chapra dalam, The Future of Economics. Namun demikian,
dewasa ini terkesan bahwa ekonomi Islam itu identik dengan konsep tentang
sistem keuangan dan perbankan Islam.[19]
Kecenderungan ini dipengaruhi oleh beberapa factor berikut: Pertama, perhatian
utama dan menonjol para ulama dan cendekiawan Muslim adalah transaksi nonribawi
sesuai petunjuk Al-Quran dan Sunnah; kedua, peristiwa krisis minyak 1974 dan
1979 dan keberanian Syekh Zakki Yamani, Menteri Perminyakan Arab Saudi, untuk
melakukan embargo miyak sebagai senjata menekan Barat dalam menopang perjuangan
Palestina. Tindakan ini ternyata memiliki dua mata pisau. Pertama, Barat
menyadari kekuatan dunia Islam yang dapat mengancam kehidupan ekonomi Barat;
kedua, hasil penjualan minyak dunia Islam secara nyata telah melahirkan
kekuatan finansial negara-negara Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara
dan Asia Tenggara. Negara-negara itu menjadi Negara petro dolar yang
menimbulkan pemikiran untuk “memutarkan” uang mereka melalui lembaga keuangan
syariah.
Mengiringi kondisi obyektif di atas perkembangan pemikiran di
bidang ilmu ekonomi syariah menjadi gerakan pembangunan SEI semakin terpacu dan
tumbuh disertai factor-faktor lain yang mendahuluinya, yaitu: Pertama, telah
terumuskannya konsep teoritis tentang Bank Islam pada tahun 1940-an; Kedua, lahirnya
ide dan gagasan mendidirikan Bank Islam dalam Keputusan Konfrensi Negera-negara
Islam se-Dunia bulan April 1968 di Kuala Lumpur; ketiga, lahirnya negara-negara
Islam yang melimpah petro dolarnya. Maka, pendirian bank Islam menjadi
kenyataan dan dapat dilaksanakan tahun 1975.[20]
Konferensi Negara-negara Islam sedunia, 21-27 April 1969 memberi
dampak positif berupa perkembangan bank Islam atau bank syari’ah di berbagai
negara yang ditengarai lebih dari 200 lembaga keuangan dan investasi syari’ah
yang berkembang sejak tahun 1975. Pada tahun tersebut, perkembangan sistem
ekonomi syari’ah secara empiris diakui dengan lahirnya Islamic Development Bank
(IDB).
4.
Gerakan Ekonomi
Islam di Indonesia
Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak
bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas
ekonomi syariah di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca.
Menurut para pakar, mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah
karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai
transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh
orang Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak
kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh
konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa
aktivitas ekonomi syariah tidak dalam bentuk formal melainkan telah berdifusi
dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun
demikian, penelitian khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah
nampaknya belum ada yang meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu,
nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan
syariah Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir
Piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam
pengertian penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad
ke-20 lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan
syariah. Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan
atau tidak bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi
mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren.Gerakan
koperasi yang belum sukses disusul dengan pendirian bank syariah yang relatif
sukses. Walaupun lahirnya kedahuluan oleh Philipina[30], Denmark, Luxemburgdan
AS, akhirnya Bank Islam pertama di Indonesia lahir dengan nama Bank Mu’amalat
(1992). Kelahiran bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena
beberapa faktor: 1) adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya; 2)
tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan
syariah; 3) dukungan politik atau political will dari pemerintah. Akan tetapi,
kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian
lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen
Bimbaga Islam Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan
IAIN, penulis pernah mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di
Depag RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan
perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah
memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni
Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan
lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru
pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya secara
individual dan secara material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan
syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada
konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang
para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau
menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-benar
menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada
nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank syariah dengan syarat
meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah. Terlepas
dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan faktual adalah
bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi
pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.
Munculnya praktek ekonomi Islam di Indonesia pada tahun 1990-an
yang dimulai dengan lahirnya Undang-undang No. 10 Tahun 1992 yang mengandung
ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem bagi hasil.
Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang melahirkan
UU No 7 Tahun 1998 yang memuat lebih rinci tentang perbankan syariah.
Undang-undang ini mengawali era baru perbankan syari’ah di Indonesia, yang
ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syari’ah baru atau cabank syari’ah
pada bank konvensional. Maka praktek keuangan syari’ah di Indonesia memerlukan
panduan hukum Islam guna mengawal pelaku ekonomi sesuai dengan tuntunan
syari’at Islam. Perkembangan berikutnya, MUI sebagai payung dari
lembaga-lembaga organisasi keagamaan (Islam) di Tanah Air menganggap perlu
dibentuknya satu badan dewan syariah yang bersifat nasional (DSN) dan membawahi
seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank syariah. Hal ini untuk
memberi kepastian dan jaminan hukum Islam dalam masalah perbankan syariah sejak
diberlakukannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang
memberikan peluang didirikannya bank syariah.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak
mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah) untuk
menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syari’ah.
Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah maliyah diyakini
menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-Quran
al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu sumber
hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab,
dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab
suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali disamping
pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena itu,
perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui
sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi metode perumusannya,
sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama
kalangan pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah,
yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada No.
72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998, disahkan Undang-undang
RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang
perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai subsistem
perbankan nasional.
Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan
syari’ah, pada tahun 1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-porandakan
sistem perbankan nasional. Sebagaimana diungkap oleh Warkum, mulai bulan Juli
1997 sampai dengan 13 Maret 1999 pemerintah menutup 55 bank, mengambil alih 11
bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Pada Oktober
2001, sebagaimana laporan Majalah Investasi terjadi lagi satu bank konvensional
yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum
krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan
pemerintah.
Di antara
lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di tengah sistem
perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah, BPRS dan BMT.
Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan bank-bank konvensional. Hal
tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah,
Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, BII Syariah. Di samping itu berkembang
juga lembaga keuangan syari’ah yang bersifat mikro, yang bergerak di kalangan
ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal wat-Tamwil).
5.
Konsep Islam
dalam Pengembangan
Umar radiyalahu
abu anhu berkata” sesungguhnya allah ta’ala mewajibkan kamu bersyukur, dan
memberi kan untuk kamu dalam apa yang Dia berikan kepadamu kemulyaan akhirat
dan dunia dengan tanpa pernintaan dan keinginan kamu kepadamya, dimana dia
menciptakan kamu tidaklain untuk
mengabdi kepadanya, sedangkan dia berkuasa untuk menjadikan kamu bagi mahlukNya
yang paling rendah, kemudian dia menyediakan untuk kamu semua ciptaannya,
menundukkan untuk kamu apa yang dilangit dan apa yang dibumi, menyempurnakan
kepadamu nikmat-Nya yang lahir dan yang batin, membawa kamu didarat dan dilaut,
dan memberimu ruzki dari hal-hal yang bagus agar kamu bersyukur.[21]
Agar
pengembangan ekonomi dapat melaksanakan perannya dalam dalam merealisasikan
tujuan syariah, maka seyoginya jika memiliki beberapa kiteria, yang terpenting
di antaranya adalah:[22]
1)
Pengembangan ekonomi dalam islam
tidak akan dapat merealisasikan tujuannya jika terpisah dari sisi lain tentang
pengembangan yang konperhensif yang menjadi tujuan politik syariah dalam
merealisasikan.
2)
Sesungguhnya merealisasikan
kesejahteraan dan meningkatkan tingkat penghidupan
umat adalah tuntutan dalam syariah.
3)
Seyoginya pengembangan ekonomi dalam
islam mencakup semua rakyat negara dan wilayahnya berdasarkan asas keterpaduan
dan keseimbangan sesua garis-garisperekonomian yang saling berkaitan dari sisi
tujuan dan cara dan korelasi realisasi kemampuan yang dimiliki dengan kemampuan dalam melaksanakan.
4)
Pengembangan ekonomi dalam islam
adalah suatau kewajiban syariah dan ibadah yang mendekatkan seorang muslim
kepada allah jika dilakukannya dengan iklas karena-Nya.
5)
Sesungguhnya politik
pengembangan ekonomi yamg berdampak pada bertambahnya pemasukan(income)
itu menjadi tidak dibenarkan jika berakibat terhadap rusaknya nilai-nilai dan
prinsip-prinsip islam.
6)
Sesungguhnya berbagai upaya
pengembangan ekonomi pada masa umar terfokuskan pada penanggulangan kemiskinan
dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi individu masyarakat.
[1] Mahamūd Abū Su’ūd, Khutaut Ra’isiyyah fī al-Iqtisād al-Islāmiyy, (Maktabat
al-Manār al-Islāmiyyah, ,1968), hal. 56.
[2]
Al-Qur’an Surat 28: ayat 77.
[3] Junaidi, latifah, margiono.
2007. Pendidikan Agama Islam 2. Jawa Barat: Yudhistira
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/singapura diakses pada tanggal 25 april 2014 pukul
15.00
[5]Ibid., hal. 5-7.
[6] Muhammad
Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby [nd]., hal. 404-410,
432-442, 539.
[7]Shobhi Mahmashani, al-Awza’i: Ta’limuhu al-Insaniyyah wa
al-Qa`nuniyyah, Beirut, Dar al- ‘Ilmli al-Mala’in, 1978, hal. 426, 314-318,
447.
[8]Muhammad Abu Zahrah, Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1952,
hal. 73-74, 335-383, 432.
[9]Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, h. 24
[10]al-Qadli
AbuYusuf Ya’qub Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj, Muhib al-Din al-Khatib,
[11]Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), hal. 242-250.
[12] Abu ‘Ubayd al-Qasim bn Sallam (157-224H/774-738M) dalam kitabnya,
al-Amwa’l, Mu’assassat al-Nashir, Beirut, Libanon, cet.i, 1981
[13] Zainal Abidin
Ahmad, Dasar., hal.251-274
[14] Ibid., hal.
275-300.
[15] Abu al-Hasan
‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, al-Ahka`m
al-Sultha`niyyah, Dar al-Fikr, Beirut
[16] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam,
[17] Adiwarman A. Karim, Refleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia.
Diakses dari http://www.dilibrary.net/images/topics/Materi%20-%20Adiwarman.pdf.
Tanggal 25 maret 2014.
[18]Javed Ansari, Ekonomi Islam antar Neoklasik dan Strukturalis: Laporan
dari Islamabad dalam Islamisasi Ekonomi: Suatu Sketsa Evaluasi dan Prospek
Gerakan Perekonomian Islam, (Amrullh dkk., e.,) PLP2M, Yogyakarta, 1985, h. 100-111.
[19] Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam
Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia,
Jakarta, 2003
[20]Sutan Remy Syahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 4-5 dengan mengutip
berbagai sumber.
[21]Dr.jariban
bin ahmad al haris.fiqih ekonomi umar binal-khatab.khalifah.(pustaka al-kausar
grup).jakarta.2006
[22]Dr.jariban
bin ahmad al haris.fiqih ekonomi umar binal-khatab.khalifah.(pustaka al-kausar
grup).jakarta.2006 hal;396
No comments:
Post a Comment