A.
Refleksi
Nasionalisme berbingkai Sejarah
Ketika disinggung tentang Indonesia, maka sudah barang
tentu sedikit banyak akan muncul beberapa wacana tentang sejarah, bagaimana
besaran luas wilayahnya yang terdiri dari banyaknya pulau-pulau kecil yang
mendiami, dan berbagai ragam kearifan budaya yang menjadi identitas Negara. Setelah
lahir perjanjian Tordessilas yang membelah dunia menjadi dua bagian yakni
bagian timur menjadi bagian Portugis dan bagian barat diserahkan kepada Spanyol
dengan Eropa sebagai titik tengahnya, Indonesia juga ambil bagian dalam membuat
bangsa lain tertarik sehingga menjadi salah satu tujuan destinasi singgahnya
legiun asing yang merupakan masa awal kolonialisasi.
Kolonialisasi yang dilakukan pada periode sekitar awal
abad 15 kepada Indonesia bukan tanpa alasan. Indonesia merupakan Negara
primadona karena letaknya yang strategis sebagai rute pelabuhan dagang dan
dikaruniai melimpahnya kekayaan alam. Potensi tersebut dijelaskan oleh Tan
Malaka dalam bukunya Madilog,
menurutnya bahwa minyak di Sumatera, Kalimantan, dan Irian sudah tersohor ke
seluruh dunia. Bauksit dan alumunium keduanya telah digunakan untuk membuat
baja yang kuat dan keras sudah dikerjakan di Riau dan Asahan. Benda perang
seperti timah, getah, dan kopra (untuk bom TNT), semua itu terdapat di
Indonesia melebihi di belahan dunia yang lain. Bahkan lebih jauh, Tan Malaka
menulis bahwa salah seorang penulis buku asal Amerika pernah meramalkan kalau
suatu Negara seperti Amerika ingin menguasai samudera dan dunia, maka ia harus
merebut Indonesia terlebih dahulu sebagai sendi kekuasaannya.
Kondisi yang demikian telah tercium oleh bangsa-bangsa
yang lain sehingga berbagai upaya kolonialisasi dan imperilisasi dari sejumlah
bangsa lain telah membuktikan tentang hipotesa tersebut. Beratus-ratus tahun
bangsa Indonesia dijajah dan beratus-ratus tahun pula kekayaan bangsa Indonesia
dikeruk oleh para penjajah. Pada saat itu menjadi semacam fase-fase awal
kemerosotan moral yang timbul dari kesewenangan dan doktrinisasi kasar tak
berujung. Selain itu,ideologi kaum penjajah juga tetap tidak bisa dilepaskan
dari upaya untuk mengerdili hak dan martabat bangsa yang dijajah.
Bak gayung bersambut, tidak ada seonggok makhluk di
belahan dunia manapun yang selamanya nyaman dan merasa terbuai dengan
pengasingan harga diri, martabat, dan ideologinya. Nasionalisme yang seringkali diartikan faham kebangsaan yang timbul
dari suatu kelompok masyarakat untuk
mencintai bangsa dan negaranya pada trek-nya juga biasanya akan timbul ketika
iklim kenegaraan seperti itu. Pada akhirnya banyak gerakan-gerakan bermunculan
untuk-setidaknya-berani mengemukakan pola pikir dan gagasan-gagasan yang selama
ini secara terus-menerus di bumi hanguskan. Misalnya sebuah gerakan persatuan
yang dihelat pada 28 Oktober 1928, bahwa
kesatuan berbangsa mendapatkan prestise
dengan diadakannya kongres Sumpah Pemuda di Jakarta dengan berbangsa, bertumpah darah dan berbahaa Indonesia.
B.
Indonesia
di Tengah Pusaran Globalisasi Dunia
Globalisasi telah menjadi raksasa kehidupan dunia yang
tidak bisa dihindari. Globalisasi seakan telah menggilas setiap ruang dan jarak
antar Negara yang berjauhan sekaligus. Kemajuan teknologi informasi telah
menjadi salah satu karya nyata persembahan globalisasi terhadap dunia. Bahkan,
kemajuan teknologi dan informasi telah menjadi infrastruktur yang menopang
gerakan globalisasi dan ekonomi neoliberal. Dengan mutakhirnya teknologi, para
pemilik modal besar, dengan mudah memindah modalnya dari suatu Negara ke Negara
lain.
Selain itu, sistem moneter dan pengetahuan juga
dikuasai oleh para pemilik modal raksasa, terutama Negara-negara maju, sehingga
mempersempit ruang gerak bagi Negara-negara berkembang, apalagi Negara yang
masuk taraf kemiskinan. Itulah salah satu aturan main yang terjadi di tengah
globalisasi, dengan prinsip utama kapitalisasi yang mengakar. Dalam gerakan
global, tidak ada lagi ruang bagi Negara berkembang. Karena yang memiliki hak
dominan adalah Negara-negara kaya yang bermodal. Apalagi dalam konsep international division of labour theory
world-system, Negara-negara bermodal luar biasa-lah yang memungkinkan akan
menguasai sistem ekonomi dunia sebagai Negara-negara pusat. Sementara imbasnya,
Negara-negara berkembang hanya akan berposisi sebagai “barang taruhan”.
Negara-negara berkembang telah dijebak dengan kekuatan
modal oleh Negara-negara besar, sehingga tidak bisa berbuat lebih dari apa yang
telah ditentukan oleh Negara pemodal dalam berbagai aspek. Dan pada
kenyataannya, Indonesia kini tengah berada dalam posisi tak menjanjikan,
sehingga kebijakannya baik dalam skala nasional tetap tidak bisa dipisahkan
dari aturan main yang telah ditentukan Negara-negara pemodal.
Negara-negara pusat (Pemodal) memainkan peran
strategisnya dalam setiap perumusan aturan internasional melalui
lembaga-lembaga internasional. Misalnya, ISO (International Standard Organization) yang menjadi salah satu aturan
internasional dalam masalah perdagangan lintas Negara. Cara pandang penentuan
aturan dalam ISO tentu saja mengacu pada cara pandang dunia pertama, yang tentu
saja berbeda dengan cara pandang Negara-negara berkembang yang banyak merugikan
banyak Negara dunia ketiga yang cenderung menghadapkan pada hukum besi
mekanisme pasar. Bahkan beberapa lembaga internasional dibentuk oleh
Negara-negara besar sebagai amunisi untuk “Menjebak” Negara-negara lemah.
Institusi seperti PBB, WTO (World Trade
Organization), IMF (International
Monetary Fund), dan institusi regional seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Agreement). Institusi
itulah yang menciptakan aturan main politik skala global, terutama yang
menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan internasional. Perkembangan politik
internasional juga telah menggerogoti batas-batas teritori Negara, sehingga
sangat berpotensi untuk memunculkan rezim internasional yang berpengaruh dalam
menentukan masa depan negara-negara lain. Dampaknya, peran Negara terhadap
masyarakatnya sendiri semakin kecil, tergantikan oleh rezim global yang mampu
menggerakkan struktur sosial dan politik suatu Negara.
Globalisasi dan kapitalisasi juga telah melahirkan
hagemoni berlebihan Negara-negara adi kuasa. Propaganda tentang pasar bebas
yang di kampanyekan oleh Negara-negara kaya telah membuahkan hasil. Indonesia
termasuk Negara yang “berani” menerima keberadaan pasar bebas tersebut.
Menerima pasar bebas berati juga telah terikat dengan perjanjian dagang yang
sangat mengikat, baik di level regional maupun internasional. Pasar bebas dan
kebijakan lainnya yang di kampanyekan oleh Negara-negara kaya, pada dasarnya
adalah upaya untuk menghagemoni Negara-negara berkembang sekaligus sebagai
aktualisasi dari ajaran kapitalisme yang mereka anut. Kapitalisasi yang menjadi
agenda besar Negara-negara kaya tidak lebih hanya bagian dari imperialisasi
gaya baru terhadap bangsa lain, termasuk Indonesia. Karena setiap Negara yang
menerima ajaran Negara-negara kaya tersebut sama halnya dengan telah
menyerahkan dirinya untuk diperdaya.
Mereka telah menyerahkan kemerdekaannya terhadap
Negara lain, sehingga kemerdekaan yang sesungguhnya tidak lagi dimiliki. Apa
yang pernah dicetuskan oleh Tan Malaka, agar kita memiliki kemerdekaan
sepenuhnya telah raib, karena kita telah memilih negociated independence. Indonesia seakan telah tunduk pada hukum
pasar global yang diproteksi oleh Negara-negara kapital, sehingga belum
memiliki kemerdekan yang sepenuhnya. Bahkan posisi Indonesia saat ini, tidak
akan mungkin bisa terhindar dari proses politik internasional tersebut, karena
salah satu faktornya Indonesia berada di kawasan Asia Pasifik yang strategis,
baik secara politik maupun ekonomi. Apalagi Indonesia akan menyongsong MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) pada tahun
2015 sesuai hasil dari KTT ASEAN ke-12 yang dilaksanakan Januari 2007.
Tanpa kewaspadaan dan strategi jitu, Indonesia akan
kehilangan banyak peran dan hanya akan menjadi aktor kecil dlam pentas dunia
global. Karena aktor penting akan digantikan oleh kelompok non-negara (kalangan
bisnis dan organisasi non profit). Mereka akan menjadi pemain utama dengan
peran yang sangat strategis baik dalam level nasional maupun internasional.
C.
Kwalitas
Nilai Berbangsa dalam Orientasi Pergerakan
Gambaran sekilas di atas
merupakan peta memprihatinkan tentang gerakan global, dimana Nilai-nilai sebuah
bangsa yang berkualitas semakin hambar dalam tatanan berpolitik, ber-ekonomi, ber-budaya,
bahkan dalam konteks ber-pendidikan. Dalam hal ini, perlu adanya implementasi
dari sikap ber-integritas. Dimana integritas sendiri bermakna mutu, sifat, atau keadaan yang
menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang
memancarkan kewibawaan; kejujuran. Seseorang individu yang memiliki integritas
pribadi akan tampil penuh percaya diri, anggun, tidak mudah terpengaruh oleh
hal-hal yang sifatnya hanya untuk kesenangan sesaat. Individu yang memiliki
integritas lebih berhasil hanya sekedar bicara, pemanis retorika, tetapi juga
sebuah tindakan. Bila kita menelusuri karakter yang dibutuhkan parah
pemimpin saat ini dan selamanya mulai dari integritas, kredibilitas dan
segudang karakter mulia yang lainnya pastilah akan bermuara pada pribadi agung
manusia pilihan al-mustofa Muhammad saw yang di utus untuk menyempurnakan
karakter manusia.
Hutson (2005) dalam tulisannya Trustworthiness
menyebutkan bahwa orang-orang yang memiliki integritas memiliki kemampuan di
antaranya:
-
Pertama, mempertahankan keyakinannya secara
terbuka dan berani. Perlunya seorang pemimpin memiliki keyakinan ketika
memberikan tugas kepada bawahannya. Hal ini dimaksudkan agar dia tahu tugas
seperti apa yang akan dijalankan serta orang seperti apa yang menjalankan
perintahnya.
Agar dapat dijalankan dengan baik
maka dia harus mampu memberikan pemahaman tentang job description. Pemimpin harus jelas dalam mendeskripsikan kepada
staf atau bawahan tentang apa yang hendak dijalankan. Dan juga secara terbuka
dan berani menunjukkan kelebihan dan kelemahan dari tugas tersebut. Bila hal
tersebut dilakukan maka dapat dipastikan keduanya (pemimpin dan bawahan) akan
siap untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan terjadi.
-
Kedua, mendengarkan kata hati dan
menjalani prinsip-prinsip hidup. Kata hati tak pernah berbohong, itulah
ungkapan yang sering kali kita dengar. Bila dicermati hal tersebut memang
benar, karena behavior yang terlihat terkadang tidak sesuai dengan kata hati
dan prinsip hidup.
Misalnya saja, ketika seorang
pemimpin melakukan tindakan yang melanggar norma, pasti dalam hatinya dia tahu
bahwa apa yang dilakukannya itu tidak baik dan bertentangan dengan prinsip
hidupnya. Sebenarnya dia, sebagai pemimpin, juga mengetahui dampak yang dapat
terjadi pada dirinya dan lingkungannya.
Namun, banyak faktor yang
memengaruhi sehingga kata hati itu tidak lagi mampu ia dengarkan. Agar dapat
menjalankan peran sebagai pemimpin yang memiliki integritas tinggi maka perlu
untuk mendengarkan kata hati dan menjalankan prinsip hidup yang baik.
-
Ketiga, bertindak secara terhormat dan
benar. Pemimpin yang memiliki integritas yang tinggi tentunya memiliki
kemampuan untuk bertindak terhormat dan benar. Namun, posisi atau kedudukan
yang terhormat tidak selalu diikuti dengan perilaku yang benar. Sehingga
pemimpin sering kali terjebak oleh posisinya dan memanfaatkannya untuk hal-hal
yang tidak terhormat. Hal ini menunjukkan inconsistency dalam kepemimpinannya.
Bila hal tersebut terus terjadi
dalam menjalankan kepemimpinannya, dia tidak akan dapat bertahan lama dalam
posisi dan kedudukannya tersebut. Konsistensi antara peran dan kedudukan dalam
menjalankan tugas sebagai pemimpin menjadi sangat penting.
-
Keempat, terus membangun dan menjaga
reputasi baik. Setiap orang berharap untuk selalu memiliki reputasi yang baik
dipandang oleh lingkungannnya. Untuk meraih, membangun, dan menjaga reputasi
yang dapat dibanggakan tidaklah mudah, semua itu harus dilalui dengan kerja
keras dan pencitraan positif yang terus-menerus.
Sebagai bagian dari Indonesia, PMII memiliki tanggung jawab
yang besar untuk merespon kondisi Indonesia di tengah berbagai macam polemik
bangsa yang secara periodik terus-menerus mengancam ke-stabilan bangsa ini. Ide
dan aksi-aksi rasional PMII juga sangat dibutuhkan oleh bangsa ini, agar
kembali menjadi bangsa yang bukan hanya merdeka 69 tahun silam, akan tetapi
juga merdeka untuk jutaan tahun yang akan datang. Diam atas kondisi ini, bagi
PMII sama halnya lari dari tanggung jawab dan membiarkan bangsa ini tercekik
secara perlahan.
Segala momentum perjuangan yang dulu ada dan telah dilakukan
oleh para pejuang bangsa ini, hendaknya dijadikan tolak ukur dan cerminan diri
untuk berpikir ataupun bertindak. Karena PMII merupakan lumbung para
intelektual kritis yang ber-kwalitas dalam berpikir dan bersikap selalu
didasari oleh nilai integritas, maka fungsinya adalah sebagai “rem” ketika
bangsa ini mulai mengendorkan dan mulai acuh kepada nilai-nilai dan dan norma
integritas berbangsa. Oleh karena itu, posisi PMII sebagai class of struggle (kelas pejuang), yang menempatkan bangsa
Indonesia sebagai obyek perjuangan, sehingga berjuang menjaga kehormatan dan
kemerdekaan bangsa menjadi salah satu tugas wajib PMII.
SELAMAT BERPROSES,,,SALAM PERGERAKAN!!!!!
No comments:
Post a Comment