Kurang lebih sejak 1995/1997,
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai manhaj
al-fikr. Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat Chatibul
Umam Wiranu berjudul Membaca Ulang Aswaja (PB PMII, 1997). Buku tersebut
merupakan rangkuman hasil Simposium Aswaja di Tulungagung. Konsep dasar yang
dibawa dalam Aswaja sebagai manhaj al-fikr tidak dapat dilepas dari
gagasan KH Said Agil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya
Aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual
dan ulama untuk merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tersebut
dalam pengertian Aswaja.
PMII memandang bahwa Ahlussunnah
wal-jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang
mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga
keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah
metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama
sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj
al-fikr. Sebagai manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip
tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul
(keseimbangan), dan tasamuh (toleran).
Sikap Moderat (Tawasuth)
tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi
akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang
seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan penggunaan
akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang
sangat menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis.
Sikap netral (tawazun)
berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau
kepemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah
rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak
terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena
itu PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan
sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung
sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun tersebut
adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah
memenuhi kaidah atau tidak.
Keseimbangan
(ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan
sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan.toleransi mengacu pada cara bergaul
PMII sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau pemeluk agama yang lain.
Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi
politik dan agama, PMII pandang bukan semata-mata realitas sosiologis,
melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja
menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak
ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh
PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ
Berikut ini adalah prinsip-prinsip
Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah,
pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.
1. AQIDAH
Dalam bidang
Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah
diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait
dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.
Pada tiga
abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan
asma Allah SWT. Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah
tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis
berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma),
Sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat.
Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu
bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.
Aswaja
menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan
yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang
Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak
terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang
kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah
menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu
yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani
kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai
oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini
dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, Orientasi out-put kader PMII yang
diantaranya adalah : Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional
Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi
Pendidikan yang Transformatif.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa
nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap
manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’).
Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka
selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan
mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
2. BIDANG SOSIAL POLITIK
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah
konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah
wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban
fakultatif (fardhu kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga
berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri
tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi ahlussunnah
wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk
menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak
memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar
teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu
memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas
(wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:
a.
Prinsip
Syura (musyawarah)
Negara harus
mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan.
Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:
“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu
adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan
lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,
mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi)
orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.
(QS Al-Syura, 42: 36-39)
b.
Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan
adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an.
Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk
pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan
keadilan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.” (QS An-Nisa, 4: 58)
c.
Prinsip
Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib
menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya
karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam
Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yaitu:
Hifzhu
al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban
setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara;
bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam
wilayahnya.
Hifzhu
al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban
setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan
menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau
melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
Hifzhu
al-Mal (menjaga harta benda); adalah
kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki
oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin
rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
Hifzhu
al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan
jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara.
Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan
memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara
harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap
harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga
negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan
pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang
layak bagi setiap warga negara. Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi
Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern – bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah
wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi
legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang
menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.
d.
Prinsip
Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa
manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain,
bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia
atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah
untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu
manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat
Al-Hujuraat disebutkan:
“Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat, 49: 13)
Perbedaan
bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari
relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang
Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah.
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu. (Al-Maidah; 5: 48)
Dalam sebuah
negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh
pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki
jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan
bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum.
Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam
wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas
ekonomi dan jabatan politik.
Dengan
prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi
Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana
pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk
mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk
menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu
memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.
3.
BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan
Hukum Syari’ah)
Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:
- Al-Qur’an
- As-Sunnah
- Ijma’
- Qiyas
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam
pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab
fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an
merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala
tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan
Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak
ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari
apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
As-Sunnah sendiri mempunyai tingkat
kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur)
ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As-Sunnah tersebut dilakukan
oleh Ijma’ Shahabah.
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn
Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl
al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum
dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammad
pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.
Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat
dalam QS An-Nisa’, 4: 115 “Dan barang siapa menentang rasul sesudah
jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali.” Dan “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu
(umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia..” QS Al-Baqarah, 2: 143.
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam,
merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yaitu
mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash
hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat
dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
4. TASAWUF
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan “Tasawuf artinya
Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf
adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apa pun.”
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan
hati dari apa saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para
pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan
mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang
paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal
selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai
yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.”
“berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa
keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid, lalu “menyucikan hati dari apa
saja selain Allah…. Mereka (kaum Sufi) telah membersihkan hati mereka
dari berbagai hal selain Allah..,” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi
adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain
kepada-Nya. Ketidak terikatan kepada apapun
selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan
kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus
dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain
kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di
tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya
sebagai Khalifah harus diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses
dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha
botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz
adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al
Kharraj sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai
petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah
sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan
urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah
(pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari
urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi,
politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf
urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru
kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin kita
dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita
maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap
diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya
masyarakat yang baik.
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis
dan sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman
dan penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan metode
akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas
pendekatan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan
nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang akademis pembaharuan atau perubahan
sangat mungkin terjadi.
Sebagai metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan
memiliki kadar teknikalitas sama tinggi dengan metode ilmiah. Namun dalam
pandangan kami upaya pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap
Aswaja perlu kita upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa
yang telah kami sajikan di sini, yang sangat butuh banyak masukan. Sebuah
kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis untuk memandu langkah per langkah
No comments:
Post a Comment