Wednesday, January 22, 2020

Materi Ke-Indonesia-an “Perwujudan Kwalitas Nilai Integritas Berbangsa Masyarakat Indonesia”



A.    Refleksi Nasionalisme berbingkai Sejarah
Ketika disinggung tentang Indonesia, maka sudah barang tentu sedikit banyak akan muncul beberapa wacana tentang sejarah, bagaimana besaran luas wilayahnya yang terdiri dari banyaknya pulau-pulau kecil yang mendiami, dan berbagai ragam kearifan budaya yang menjadi identitas Negara. Setelah lahir perjanjian Tordessilas yang membelah dunia menjadi dua bagian yakni bagian timur menjadi bagian Portugis dan bagian barat diserahkan kepada Spanyol dengan Eropa sebagai titik tengahnya, Indonesia juga ambil bagian dalam membuat bangsa lain tertarik sehingga menjadi salah satu tujuan destinasi singgahnya legiun asing yang merupakan masa awal kolonialisasi.
Kolonialisasi yang dilakukan pada periode sekitar awal abad 15 kepada Indonesia bukan tanpa alasan. Indonesia merupakan Negara primadona karena letaknya yang strategis sebagai rute pelabuhan dagang dan dikaruniai melimpahnya kekayaan alam. Potensi tersebut dijelaskan oleh Tan Malaka dalam bukunya Madilog, menurutnya bahwa minyak di Sumatera, Kalimantan, dan Irian sudah tersohor ke seluruh dunia. Bauksit dan alumunium keduanya telah digunakan untuk membuat baja yang kuat dan keras sudah dikerjakan di Riau dan Asahan. Benda perang seperti timah, getah, dan kopra (untuk bom TNT), semua itu terdapat di Indonesia melebihi di belahan dunia yang lain. Bahkan lebih jauh, Tan Malaka menulis bahwa salah seorang penulis buku asal Amerika pernah meramalkan kalau suatu Negara seperti Amerika ingin menguasai samudera dan dunia, maka ia harus merebut Indonesia terlebih dahulu sebagai sendi kekuasaannya.
Kondisi yang demikian telah tercium oleh bangsa-bangsa yang lain sehingga berbagai upaya kolonialisasi dan imperilisasi dari sejumlah bangsa lain telah membuktikan tentang hipotesa tersebut. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dijajah dan beratus-ratus tahun pula kekayaan bangsa Indonesia dikeruk oleh para penjajah. Pada saat itu menjadi semacam fase-fase awal kemerosotan moral yang timbul dari kesewenangan dan doktrinisasi kasar tak berujung. Selain itu,ideologi kaum penjajah juga tetap tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk mengerdili hak dan martabat bangsa yang dijajah.
Bak gayung bersambut, tidak ada seonggok makhluk di belahan dunia manapun yang selamanya nyaman dan merasa terbuai dengan pengasingan harga diri, martabat, dan ideologinya. Nasionalisme yang seringkali diartikan faham kebangsaan yang timbul dari  suatu kelompok masyarakat untuk mencintai bangsa dan negaranya pada trek-nya juga biasanya akan timbul ketika iklim kenegaraan seperti itu. Pada akhirnya banyak gerakan-gerakan bermunculan untuk-setidaknya-berani mengemukakan pola pikir dan gagasan-gagasan yang selama ini secara terus-menerus di bumi hanguskan. Misalnya sebuah gerakan persatuan yang dihelat pada 28 Oktober 1928,  bahwa kesatuan berbangsa mendapatkan prestise dengan diadakannya kongres Sumpah Pemuda di Jakarta dengan berbangsa, bertumpah darah dan berbahaa Indonesia.

B.     Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi Dunia

Globalisasi telah menjadi raksasa kehidupan dunia yang tidak bisa dihindari. Globalisasi seakan telah menggilas setiap ruang dan jarak antar Negara yang berjauhan sekaligus. Kemajuan teknologi informasi telah menjadi salah satu karya nyata persembahan globalisasi terhadap dunia. Bahkan, kemajuan teknologi dan informasi telah menjadi infrastruktur yang menopang gerakan globalisasi dan ekonomi neoliberal. Dengan mutakhirnya teknologi, para pemilik modal besar, dengan mudah memindah modalnya dari suatu Negara ke Negara lain.
Selain itu, sistem moneter dan pengetahuan juga dikuasai oleh para pemilik modal raksasa, terutama Negara-negara maju, sehingga mempersempit ruang gerak bagi Negara-negara berkembang, apalagi Negara yang masuk taraf kemiskinan. Itulah salah satu aturan main yang terjadi di tengah globalisasi, dengan prinsip utama kapitalisasi yang mengakar. Dalam gerakan global, tidak ada lagi ruang bagi Negara berkembang. Karena yang memiliki hak dominan adalah Negara-negara kaya yang bermodal. Apalagi dalam konsep international division of labour theory world-system, Negara-negara bermodal luar biasa-lah yang memungkinkan akan menguasai sistem ekonomi dunia sebagai Negara-negara pusat. Sementara imbasnya, Negara-negara berkembang hanya akan berposisi sebagai “barang taruhan”.
Negara-negara berkembang telah dijebak dengan kekuatan modal oleh Negara-negara besar, sehingga tidak bisa berbuat lebih dari apa yang telah ditentukan oleh Negara pemodal dalam berbagai aspek. Dan pada kenyataannya, Indonesia kini tengah berada dalam posisi tak menjanjikan, sehingga kebijakannya baik dalam skala nasional tetap tidak bisa dipisahkan dari aturan main yang telah ditentukan Negara-negara pemodal.
Negara-negara pusat (Pemodal) memainkan peran strategisnya dalam setiap perumusan aturan internasional melalui lembaga-lembaga internasional. Misalnya, ISO (International Standard Organization) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam masalah perdagangan lintas Negara. Cara pandang penentuan aturan dalam ISO tentu saja mengacu pada cara pandang dunia pertama, yang tentu saja berbeda dengan cara pandang Negara-negara berkembang yang banyak merugikan banyak Negara dunia ketiga yang cenderung menghadapkan pada hukum besi mekanisme pasar. Bahkan beberapa lembaga internasional dibentuk oleh Negara-negara besar sebagai amunisi untuk “Menjebak” Negara-negara lemah. Institusi seperti PBB, WTO (World Trade Organization), IMF (International Monetary Fund), dan institusi regional seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Agreement). Institusi itulah yang menciptakan aturan main politik skala global, terutama yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan internasional. Perkembangan politik internasional juga telah menggerogoti batas-batas teritori Negara, sehingga sangat berpotensi untuk memunculkan rezim internasional yang berpengaruh dalam menentukan masa depan negara-negara lain. Dampaknya, peran Negara terhadap masyarakatnya sendiri semakin kecil, tergantikan oleh rezim global yang mampu menggerakkan struktur sosial dan politik suatu Negara.
Globalisasi dan kapitalisasi juga telah melahirkan hagemoni berlebihan Negara-negara adi kuasa. Propaganda tentang pasar bebas yang di kampanyekan oleh Negara-negara kaya telah membuahkan hasil. Indonesia termasuk Negara yang “berani” menerima keberadaan pasar bebas tersebut. Menerima pasar bebas berati juga telah terikat dengan perjanjian dagang yang sangat mengikat, baik di level regional maupun internasional. Pasar bebas dan kebijakan lainnya yang di kampanyekan oleh Negara-negara kaya, pada dasarnya adalah upaya untuk menghagemoni Negara-negara berkembang sekaligus sebagai aktualisasi dari ajaran kapitalisme yang mereka anut. Kapitalisasi yang menjadi agenda besar Negara-negara kaya tidak lebih hanya bagian dari imperialisasi gaya baru terhadap bangsa lain, termasuk Indonesia. Karena setiap Negara yang menerima ajaran Negara-negara kaya tersebut sama halnya dengan telah menyerahkan dirinya untuk diperdaya.
Mereka telah menyerahkan kemerdekaannya terhadap Negara lain, sehingga kemerdekaan yang sesungguhnya tidak lagi dimiliki. Apa yang pernah dicetuskan oleh Tan Malaka, agar kita memiliki kemerdekaan sepenuhnya telah raib, karena kita telah memilih negociated independence. Indonesia seakan telah tunduk pada hukum pasar global yang diproteksi oleh Negara-negara kapital, sehingga belum memiliki kemerdekan yang sepenuhnya. Bahkan posisi Indonesia saat ini, tidak akan mungkin bisa terhindar dari proses politik internasional tersebut, karena salah satu faktornya Indonesia berada di kawasan Asia Pasifik yang strategis, baik secara politik maupun ekonomi. Apalagi Indonesia akan menyongsong MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) pada tahun 2015 sesuai hasil dari KTT ASEAN ke-12 yang dilaksanakan Januari 2007.
Tanpa kewaspadaan dan strategi jitu, Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya akan menjadi aktor kecil dlam pentas dunia global. Karena aktor penting akan digantikan oleh kelompok non-negara (kalangan bisnis dan organisasi non profit). Mereka akan menjadi pemain utama dengan peran yang sangat strategis baik dalam level nasional maupun internasional.



C.    Kwalitas Nilai Berbangsa dalam Orientasi Pergerakan
Gambaran sekilas di atas merupakan peta memprihatinkan tentang gerakan global, dimana Nilai-nilai sebuah bangsa yang berkualitas semakin hambar dalam tatanan berpolitik, ber-ekonomi, ber-budaya, bahkan dalam konteks ber-pendidikan. Dalam hal ini, perlu adanya implementasi dari sikap ber-integritas. Dimana integritas sendiri bermakna mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran. Seseorang individu yang memiliki integritas pribadi akan tampil penuh percaya diri, anggun, tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang sifatnya hanya untuk kesenangan sesaat. Individu yang memiliki integritas lebih berhasil hanya sekedar bicara, pemanis retorika, tetapi juga sebuah tindakan. Bila kita  menelusuri karakter yang dibutuhkan parah pemimpin saat ini dan selamanya mulai dari integritas, kredibilitas dan segudang karakter mulia yang lainnya pastilah akan bermuara pada pribadi agung manusia pilihan al-mustofa Muhammad saw yang di utus untuk menyempurnakan karakter manusia.
Hutson (2005) dalam tulisannya Trustworthiness menyebutkan bahwa orang-orang yang memiliki integritas memiliki kemampuan di antaranya:
-          Pertama, mempertahankan keyakinannya secara terbuka dan berani. Perlunya seorang pemimpin memiliki keyakinan ketika memberikan tugas kepada bawahannya. Hal ini dimaksudkan agar dia tahu tugas seperti apa yang akan dijalankan serta orang seperti apa yang menjalankan perintahnya.
Agar dapat dijalankan dengan baik maka dia harus mampu memberikan pemahaman tentang job description. Pemimpin harus jelas dalam mendeskripsikan kepada staf atau bawahan tentang apa yang hendak dijalankan. Dan juga secara terbuka dan berani menunjukkan kelebihan dan kelemahan dari tugas tersebut. Bila hal tersebut dilakukan maka dapat dipastikan keduanya (pemimpin dan bawahan) akan siap untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan terjadi.
-          Kedua, mendengarkan kata hati dan menjalani prinsip-prinsip hidup. Kata hati tak pernah berbohong, itulah ungkapan yang sering kali kita dengar. Bila dicermati hal tersebut memang benar, karena behavior yang terlihat terkadang tidak sesuai dengan kata hati dan prinsip hidup.
Misalnya saja, ketika seorang pemimpin melakukan tindakan yang melanggar norma, pasti dalam hatinya dia tahu bahwa apa yang dilakukannya itu tidak baik dan bertentangan dengan prinsip hidupnya. Sebenarnya dia, sebagai pemimpin, juga mengetahui dampak yang dapat terjadi pada dirinya dan lingkungannya.
Namun, banyak faktor yang memengaruhi sehingga kata hati itu tidak lagi mampu ia dengarkan. Agar dapat menjalankan peran sebagai pemimpin yang memiliki integritas tinggi maka perlu untuk mendengarkan kata hati dan menjalankan prinsip hidup yang baik.
-          Ketiga, bertindak secara terhormat dan benar. Pemimpin yang memiliki integritas yang tinggi tentunya memiliki kemampuan untuk bertindak terhormat dan benar. Namun, posisi atau kedudukan yang terhormat tidak selalu diikuti dengan perilaku yang benar. Sehingga pemimpin sering kali terjebak oleh posisinya dan memanfaatkannya untuk hal-hal yang tidak terhormat. Hal ini menunjukkan inconsistency dalam kepemimpinannya.
Bila hal tersebut terus terjadi dalam menjalankan kepemimpinannya, dia tidak akan dapat bertahan lama dalam posisi dan kedudukannya tersebut. Konsistensi antara peran dan kedudukan dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin menjadi sangat penting.
-          Keempat, terus membangun dan menjaga reputasi baik. Setiap orang berharap untuk selalu memiliki reputasi yang baik dipandang oleh lingkungannnya. Untuk meraih, membangun, dan menjaga reputasi yang dapat dibanggakan tidaklah mudah, semua itu harus dilalui dengan kerja keras dan pencitraan positif yang terus-menerus.
Sebagai bagian dari Indonesia, PMII memiliki tanggung jawab yang besar untuk merespon kondisi Indonesia di tengah berbagai macam polemik bangsa yang secara periodik terus-menerus mengancam ke-stabilan bangsa ini. Ide dan aksi-aksi rasional PMII juga sangat dibutuhkan oleh bangsa ini, agar kembali menjadi bangsa yang bukan hanya merdeka 69 tahun silam, akan tetapi juga merdeka untuk jutaan tahun yang akan datang. Diam atas kondisi ini, bagi PMII sama halnya lari dari tanggung jawab dan membiarkan bangsa ini tercekik secara perlahan.
Segala momentum perjuangan yang dulu ada dan telah dilakukan oleh para pejuang bangsa ini, hendaknya dijadikan tolak ukur dan cerminan diri untuk berpikir ataupun bertindak. Karena PMII merupakan lumbung para intelektual kritis yang ber-kwalitas dalam berpikir dan bersikap selalu didasari oleh nilai integritas, maka fungsinya adalah sebagai “rem” ketika bangsa ini mulai mengendorkan dan mulai acuh kepada nilai-nilai dan dan norma integritas berbangsa. Oleh karena itu, posisi PMII sebagai class of struggle (kelas pejuang), yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai obyek perjuangan, sehingga berjuang menjaga kehormatan dan kemerdekaan bangsa menjadi salah satu tugas wajib PMII.

SELAMAT BERPROSES,,,SALAM PERGERAKAN!!!!!


Ke-Indonesia-an: Aplikasi Nilai Nasionalisme, Upaya Mengawal NKRI



Siapa yang tidak tahu bahwa Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, oleh karena itu ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara), dengan populasi sebanyak 237.556.363 orang, yang terdiri dari 119.507.580 laki-laki dan 118.048.783 perempuan. Pulau jawa menempati urutan teratas dalam distribusi penduduk Indonesia dengan angka 58 %, diikuti sumatera (21 %), Sulawesi (7 %), Kalimantan (6 %), Nusa tenggara (6 %), Papua dan Maluku (3 %).
Menyorot Indonesia hari ini, ada sebuah kompleksitas permasalahan yang cukup tinggi yang perlu kita perhatikan.Hal ini merupakan sebuah keniscayaan bagi kita yang kerap mengaku generasi muda Indonesia (jika memang masih mau mengakui).Menyoal permasalahan pada sebuah Negara, setidaknya ada 3 hal yang tak boleh luput dari perhatian.Ketiga hal ini dapat mempengaruhi kehidupan social, budaya, pertahanan, keamanan Negara yang bersangkutan. 3 hal tersebut adalah : Politik, hukum dan perekonomian. Politik, hukum dan perekonomian suatu Negara akan menetukan langkah Negara tersebut baik dalam kaitannya dengan stabilitas dalam negeri ataupun dalam hubungannya dengan Negara lain.
Riuh rendah Politik Indonesia
Bagi sebagian orang politik adalah sesuatu yang cantik, menggelitik walau tak pernah lepas dari trik dan intrik.
Indonesia menjalankan pemerintahan republic presidensial multipartai yang demokratis.Seperti juga di negara-negara demokrasi lainnya, sistem politik di Indonesia didasarkan pada Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.Kekuasaan legislatif dipegang oleh sebuah lembaga bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
MPR pernah menjadi lembaga tertinggi negaraunikameral, namun setelah amandemen ke-4 MPR bukanlah lembaga tertinggi lagi, dan komposisi keanggotaannya juga berubah. MPR setelah amandemen UUD 1945, yaitu sejak 2004 menjelma menjadi lembaga bikameral yang terdiri dari 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang merupakan wakil rakyat melalui Partai Politik, ditambah dengan 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan wakil provinsi dari jalur independen. Anggota DPR dan DPD dipilih melalui pemilu dan dilantik untuk masa jabatan lima tahun. Sebelumnya, anggota MPR adalah seluruh anggota DPR ditambah utusan golongan dan TNI/Polri.MPR saat ini diketuai oleh Taufiq Kiemas.DPR saat ini diketuai oleh Marzuki Alie, sedangkan DPD saat ini diketuai oleh Irman Gusman.
Lembaga eksekutif berpusat pada presiden, wakil presiden, dan kabinet.Kabinet di Indonesia adalah Kabinet Presidensial sehingga para menteri bertanggung jawab kepada presiden dan tidak mewakili partai politik yang ada di parlemen.Meskipun demikian, Presiden saat ini yakni Susilo Bambang Yudhoyono yang diusung oleh Partai Demokrat juga menunjuk sejumlah pemimpin Partai Politik untuk duduk di kabinetnya.Tujuannya untuk menjaga stabilitas pemerintahan mengingat kuatnya posisi lembaga legislatif di Indonesia.Namun pos-pos penting dan strategis umumnya diisi oleh menteri tanpa portofolio partai (berasal dari seseorang yang dianggap ahli dalam bidangnya).
Walaupun di Indonesia menganut system multipartai dengan model demokrasi langsung, banyak orang yang menganggap bahwa pemerintahan saat ini merupakan rezim orde baru jilid II.Hal ini karena adanya dominasi golongan partai tertentu dalam komposisi legislativ dan eksekutif. Dominasi tersebut sebenarnya merupakan hal yang wajar, akan tetapi tak jarang dominasi itu justru menjadi sumber ketimpangan jika dalam proses pengambilan keputusan, kepentingan pribadi dan golonganlah yang didahulukan. Dan itu yang terjadi pada decade terakhir ini dalam dunia politik di negeri ini. DPR dan MPR yang harusnya menjadi aliran suara rakyat, kini seakan hilang taringnya menghadapi seorang sosok super (baca : presiden). Akhirnya, konflik internal antara sesama anggota dewan dan persaingan partai politiklah yang mendominasi keramaian politik.Kepentingan rakyat hanya dijadikan sebagai pembenaran tingkah laku.Dengan “ideologi” pragmatis-oportunistis, para politikus partai tidak lagi memiliki niat menjalankan tugas kepolitikan mereka, yaitu, memperjuangkan kebaikan umum, mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.Mereka telah abai terhadap rakyat.Terkatung-katungnya interpelasi lumpur Lapindo di DPR merupakan contoh mutakhir dari ketidakpadulian politikus partai terhadap rakyat.
Mereka juga tidak lagi memerankan diri sebagai saluran aspirasi rakyat.Parpol sekarang lebih terlihat sebagai saluran pemilik uang untuk meraih jabatan politik atau untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu.Maka tak heran jika produk-produk legislasi yang dikeluarkan DPR, misalnya, sering kali merupakan “produk pesanan” yang hanya menguntungkan pemesan, dan merugikan rakyat secara keseluruhan.
Berbagai perilaku para politikus partai tersebut pada akhirnya membuat parpol terlihat seperti telah bermetamorfosa.Parpol telah mengubah dirinya menjadi seperti institusi bisnis murni. Yang mereka pikirkan hanyalah pertukaran (exchange), laba, dan penumpukan kekayaan.Keadaan ini juga berpengaruh pada proses pembangunan ; Sampai akhir tahun ini, APBN belum terserap secara maksimal. Belanja kementerian/lembaga sampai dengan Oktober masih sangat minimal.Totalnya untuk belanja baru mencapai 38 persen, sedang untuk belanja negara keseluruhan baru sebesar 60 persen.Ini kemudian menjadi lahan basah bagi para mafia, koruptor dan para oknum yang hanya berniat memperkaya diri.
Akibat dari semua itu, sifat apatis dan pragmatis masyarakat meluas.Masyarakat banyak yang pesimis bahkan tidak perduli dengan kinerja pemerintahan.Hal ini dibuktikan salah satunya dengan tingginya angka golput pada pelaksanaan pemilu, baik di pusat maupun di daerah.Kepercayaan dan keterlibatan rakyat dalam pemerintahan dengan system demokrasi merupakan hal yang sangat urgen, mengingat suara rakyat adalah suara Tuhan.Bisa dibayangkan jika rakyatnya sendiri tidak percaya dengan pemerintahnya, bagimana dengan masyarakta dunia? Padahal Indonesia tidak hidup sendiri, ada sebuah kompetisi besar yang harus dihadapi negeri ini.Ketidaksatabilan dunia politik ini oleh para ahli akan terus terjadi di Indonesia hingga beberapa tahun mendatang.
Wajah Hukum di Indonesia
Hukum di Indonesia menganut system eropa kontinental yang diakui atau tidak, masih terdapat banyak ketimpangan dan permasalahan. Permasalahan hukum tersebut terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum .Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat.Inkonsistensi penegakan hukum di atas berlangsung terus menerus hingga masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in the book. Contoh peristiwa klasik yang menjadi bacaan umum sehari-hari adalah : koruptor kelas kakap dibebaskan dari dakwaan karena dinggap kurang bukti, sementara pencuri sop buntut dipermasalahkan hingga menjadi issue nasional.  Selain karena adanya inkonsistensi, permasalahan ini juga timbul karena penegakan hukum lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat subtansialis dan administrativ, sedangkan kenyataan bahwa hukum bertujuan mewujud keadilan justru dikesampingkan.
Pasang Surut Perekonomian Indonesia
Kemapanan ekonomi adalah Salah satu kekuatan penunjang suatu Negara dalam menghadapi kompetisi politik dan ekonomi global.Di Indoneisa hingga saat ini, belum ada kemajuan signifikan dalam bidang perekonomian yang berhasil dicapai. Tahun ini hutang Indonesia masih mencapai 1618,5 Triliyun, hanya menyusut 18,2 triliyun dari tahun sebelumnya.
Direktorat Jenderal Pajak mengaku realisasi penerimaan negara yang berhasil dikumpulkan per 15 November 2010 mencapai 77,7 persen atau sebesar Rp. 514,23 triliun dari penerimaan dalam APBN perubahan 2010 yang ditarget Rp. 661,49 triliun. Artinya, pendapatan Negara masih di bawah target.Berdasarkan survei yang dilakukan IFC, Peringkat kemudahan berusaha di Indonesia tahun ini tempati peringkat 122 atau naik 7 poin dari tahun lalu.Masih jauh di bawah Negara-negara maju yang saat ini menjadi raksasa perekonomian dunia.
Pemaparan semua hal di atas tidak bermaksud menyudutkan atau menumbuhkan rasa pesimis terhadap kemajuan Indonesia.Hal ini dilakukan hanya untuk mengingatkan bahwa tanggungjawab kita dalam membangun negeri ini masih sangat besar.Meminjam kata-kata Iwan Fals, Lusuhnya kain bendera di halaman rumah kita bukan suatu alasan untuk kita tinggalkan. Kader-kader PMII harus siaga di garis depan dalam mengawal kemajuan Negeri ini.
SELAMAT BERJUANG...!!!!
Tangan terkepal Maju ke Muka…!!! Jayalah Indonesiaku…!!!!!

Aswaja Sebagai Manhaj al-Fikr


Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai manhaj al-fikr. Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul Membaca Ulang Aswaja (PB PMII, 1997). Buku tersebut merupakan rangkuman hasil Simposium Aswaja di Tulungagung. Konsep dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai manhaj al-fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH Said Agil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya Aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian Aswaja.
PMII memandang bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr. Sebagai manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran).
Sikap Moderat (Tawasuth)  tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis.
Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau kepemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena itu PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah memenuhi kaidah atau tidak.
Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan.toleransi mengacu pada cara bergaul PMII sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama, PMII pandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh
PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ
Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah, pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.
1. AQIDAH
Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.
Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah SWT. Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.
Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, Orientasi out-put kader PMII yang diantaranya adalah : Intelektual Organik, Agamawan Kritis, Profesional Lobbiyer, Ekonom Cerdas, Budayawan Kritis, Politisi Tangguh, dan Praktisi Pendidikan yang Transformatif.
Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.
2. BIDANG SOSIAL POLITIK
Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).
Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:
a.         Prinsip Syura (musyawarah)
Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan  setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:
“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39)
b.        Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan keadilan.
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-Nisa, 4: 58)

c.         Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)
Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yaitu:
Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.
Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.
Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.
Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.
Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara. Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern – bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.

d.        Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)
Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat, 49: 13)
Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah.
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)
Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.
Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.

3. BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan Hukum Syari’ah)
Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:
  1. Al-Qur’an
  2. As-Sunnah
  3. Ijma’
  4. Qiyas
Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.
Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.
As-Sunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur) ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As-Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’ Shahabah.
Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.
Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: 115  “Dan barang siapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” Dan “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia..” QS Al-Baqarah, 2:  143.
Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.
 
4. TASAWUF
Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apa pun.”
Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.”
“berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid, lalu “menyucikan hati dari apa saja selain Allah…. Mereka (kaum Sufi) telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah..,” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya. Ketidak terikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.
Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara,  Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.
Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman dan penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan metode akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas pendekatan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang akademis pembaharuan atau perubahan sangat mungkin terjadi.
Sebagai metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar teknikalitas sama tinggi dengan metode ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap Aswaja perlu kita upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa yang telah kami sajikan di sini, yang sangat butuh banyak masukan. Sebuah kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis untuk memandu langkah per langkah

Tuesday, January 14, 2020

Lembaga al-Tahkim dalam Konteks Hukum Peradilan Islam di Indonesia (Sebuah Kajian)


A.  Pengertian Lembaga Tahkim
Istilah tahkim berasal dari bahasa Arab yang artinya menyerahkan putusan kepada seseorang dan menerima putusan tersebut. Sedangkan menurut istilah, tahkim ialah dua orang atau lebih mentahkimkan kepada seseorang untuk diselesaikan sengketanya dan diterapkan hukum syara’ atas sengketa mereka itu[1]. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya: perihal menjadikan hakim; mempergunakan hakim (dalam persengketaan).[2] Dalam pengertian ini yaitu menunjuk seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan sifat adil dan bijaksana dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi dua orang atau lebih.
Menurut kamus al-Munjid bahwa tahkim adalah mengangkat seseorang sebagai wasit atau juru damai. Sedangkan Salam Madkur menyatakan dalam kitab Al-Qadha Fil Islam bahwa tahkim secara terminologis berarti mengangkat seseorang atau lebih sebagai wasit atau juru damai oleh dua orang atau lebih yang bersengketa guna menyelesaikan perkara yang mereka selisihkan secara damai. Sedangkan istilah sekarang tahkim  dapat diterjemahkan sebagai arbitrase, dan orang yang bertindak sebagai wasitnya disebut arbiter atau hakam.[3]
Hasbi Ash Shiddieqy mendefinisikan: menyerahkan diri atau urusan kepada seseorang yang dianggap cakap dan pandai menyelesaikan sesuatu dengan menyenangkan kedua belah pihak.[4] Penyelesaian sengketa tersebut terjadi di luar lembaga pengadilan. Orang yang ditunjuk untuk memutus sengketa tersebut disebut hakam atau muhakkam.
Kedudukan tahkim adalah lebih rendah dari kedudukan peradilan. Karena hakim berhak memeriksa saling gugat yang tak dapat dilakukan oleh seorang muhakkam. Lantaran itu Abu Yusuf tidak membolehkan seseorang atau lebih mengadakan suatu syarat terhadap tahkim itu. Selain daripada itu hukum yang diberikan oleh muhakkam hanya berlaku bagi orang-orang yang menerima putusannya. Sedangkan putusan hakim harus berlaku walaupun tidak diterima oleh orang yang bersangkutan.
Lembaga tahkim seperti ini sesungguhnya telah dikenal oleh bangsa Arab di zaman Jahiliyah. Pada masa itu, apabila terjadi suatu sengketa, hakamlah yang harus didengar pendapatnya. Dengan demikian, para pihak yang bersengketa pergi menghadap kepada hakam.
Di dalam syari’at Islam, dasar hukum yang membenarkan lembaga tahkim ialah firman Allah dalam Q.S. an-Nisa (4): 35; [5]

فابعـثوا حكمـا من اهـلـه و حكمـا من اهـلهـا ، ان يريدا اصلاحـا يوفق الله بينهمـا

Artinya:”Maka angkatlah seorang hakam dari keluarga si lelaki dan seorang hakam dari keluarga si wanita. Jika keduanya menghendaki perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik kepada keduanya”.

Diriwayatkan oleh An-Nasa’i bahwa Abu Syuraih menerangkan kepada Rasulullah saw. bahwa kaumnya telah berselisih dalam suatu perkara. Lalu mereka datang kepadanya, dan dia pun memutuskan perkara mereka. Putusan itu diterima oleh kedua belah pihak. Mendengar itu, Nabi Muhammad saw. bersabda: Alangkah baiknya. Demikian pula riwayat menyatakan bahwa Rasulullah saw. telah menerima putusan Sa’ad bin Mu’az terhadap Bani Quraidah tatkala orang-orang Yahudi sepakat dan rela menerima tahkim dari Sa’ad kepada mereka.
Ahli fiqh menetapkan bahwa seorang hakam hendaklah seorang yang mempunyai sifat hakim, yaitu dapat diajukan sebagai saksi baik laki-laki ataupun perempuan, dan benar-benar mempunyai keahlian diwaktu dia menjatuhkan putusan. Hendaklah perkara yang ditahkimkan kepadanya adalah perkara-perkara yang tidak masuk dalam bidang pidana dan qishash. Karena dalam bidang ini penguasa yang berkewajiban melaksanakannya dan karena hukum yang diberikan oleh muhakkam tidak melibatkan kepada orang-orang lain. Mengingat hal ini maka tahkim itu dapat dilaksanakan dalam segala masalah ijtihadiyah sepeti talak, nikah, kafalah, dan jual beli
Adapun kekuatan hukum keputusan tahkim terdapat perbedaan pendapat. Abu Hanifah, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa putusan yang diberikan oleh hakam harus dijalani oleh pihak yang bersangkutan, meskipun pihak-pihak yang berperkara boleh menolak tahkim sebelum hakam mengeluarkan putusannya. Sedang ada pula pendapat menyebutkan bahwa hukum yang diberikan oleh hakam itu tidak harus dituruti oleh pihak yang berperkara.
Apabila pihak yang berperkara sudah diputuskan perkaranya oleh seorang hakam, kemudian mengajukan lagi perkaranya kepada hakam lain dan diberikan putusan yang berlawanan dengan yang pertama karena hakam tersebut tidak mengetahui adanya putusan sebelumnya, maka perkara itu harus diselesaikan oleh hakim, dan hakim hendaknya mentanfizkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya. Hakim dapat pula membatalkan putusan itu jika berlawanan dengan pendapatnya.
Kedudukan tahkim dibanding dengan qadha’ berada pada tingkat bawah. Mengingat tahkim ini terjadi atas kesepakatan secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersengketa. Putusan seorang hakam dapat diterima oleh para pihak, dan dapat pula menolaknya. Berbeda dengan keputusan qadha’, senang atau tidak senang kepada keputusan qadha’ tersebut, harus diterima dan ditaati.

B.  Bidang-Bidang Tahkim
Di dalam Kitab Al Mughni, Ibnu Qudamah menerangkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh hakam berlaku dalam segala rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qadzaf, qishash. Dalam hal ini termasuk wewenang penguasa. Pengikut-pengikut asy Syafi’i mempunyai dua pendapat dalam masalah ini
Ibnu Farhun dalam Kitab Al Tabshirah mengatakan bahwa putusan hakam itu berlaku dalam bidang-bidang harta tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an, qishash, qadzaf, talak, atau menentukan keturunan. Pihak-pihak yang mentahkimkan itu boleh ,menolak putusan hakam, sebelum hakam itu mengeluarkan putusannya. Hakam itu dipandang sebagai pihak yang dituruti oleh kedua belah pihak. Karenanya mereka boleh memakzulkan (memecat) hakamnya sebelum hakam itu menjatuhkan hukuman. Tetapi apabila hakam sudah mengambil putusannya, maka putusannya itu berlaku tidak dapat dibatalkan lagi.
Sebagian ulama berpendapat , bahwa tidak perlu adanya kerelaan dari kedua belah pihak sampai pada ketika melaksanakan hukum. Apabila kedua-duanya telah mengemukakan keterangan mereka masing-masing pada seorang hakam, kemudian salah seorang ingin menarik kembali pentahkimnya sebelum memutuskan hukum maka hakam itu dapat terus memutuskan hukum dan sah hukumnya.
Menurut Pendapat Sahnun, masing-masing pihak dapat menarik pentahkimannnya, selama belum ada putusan. Menurut pendapat dalam mazhab Maliki tidak disyaratkan terus-menerus adanya kerelaan dari kedua belah pihak sampai kepada diberikan hukum. Tetapi apabila kedua-duanya menarik pentahkimannya sebelum hukum ditetapkan maka penarikan itu dibenarkan dan tak dapat lagi muhakkam memutuskan perkara tersebut. Hakam boleh mendengar keterangan saksi dan dapat pula memutuskan perkara dengan nukul , juga dengan ikrar, karena itu sesuai dengan ketentuan syara’
Apabila pihak yang dikalahkan mengingkari ikrar padahal keterangan cukup, kemudian dia mengajukan perkaranya kepada hakim, maka hakim boleh menerima apa yang telah ditetapkan oleh hakam selama orang yang berperkara itu masih dalam mentahkimkan diri kepada sesudah dia tidak berhak lagi memutuskan perkara, oleh hakim tidak harus didengar perkataan hakam itu.
Putusan yang diberikan oleh hakam harus dilaksanakan oleh orang yang bersangkutan, menurut Ahmad dan Abu Hanifah serta menurut suatu riwayat dari asy Syafi’I. Tetapi menurut riwayat yang lain hukum yang diberikan oleh hakam itu tak harus dituruti oleh yang bersangkutan.
Apabila seorang hakam telah memberikan putusan, kemudian mereka pergi lari mengajukan mengajukan perkaranya kepada hakam lain, lalu hakam yang lain ini memberikan putusan pula dengan tidak mengetahui adanya putusan yang pertama, maka apabila urusan itu diajukan pada hakim, hendaklah hakim menerapkan hukum yang sesuai dengan pendapatnya. Apabila suatu perkara sudah diputuskan oleh seorang hakam, kemudian diajukan kepada hakim, maka hakim boleh membenarkan putusan itu jika sesuai dengan mazhabnya. Dan boleh dia membatalkan putusannya jika berlawanan dengan mazhabnya. 

C.  Institusi Tahkim dalam Perundang-undangan di Indonesia 
Memperhatikan penjelasan di atas, institusi tahkim dapat dipersamakan dengan lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[6]
Di Indonesia, arbitrase ini diwujudkan dalam bentuk lembaga. Lembaga arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam pasal 1 angka 8 disebutkan: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.
Selain lembaga arbitrase, undang-undang ini membenarkan pula penyelesaian kasus melalui lembaga alternatif penyelesaian kasus, sebagaimana ditunjuk dalam angka 10 pasal 1, berbunyi: “Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli”.[7]
Kedua lembaga ini pada prinsipnya tidak jauh beda. Keduanya merupakan jalan penyelesaian sengketa keperdataan yang terjadi di luar pengadilan. Perbedaannya adalah, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase harus terlebih dahulu dinyatakan dalam sebuah perjanjian sebelum terjadinya sengketa. Sementara penyelesaian melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan setelah terjadinya sengketa melalui kesepakatan kedua belah pihak. Baik putusan arbitrase maupun kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa adalah putusan final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan setempat dalam waktu paling lama 30 hari sejak pengucapan putusan/penandatanganan kesepakatan tersebut.
Keberadaan lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa sebagai media penyelesaian sengketa keperdataan di luar pengadilan telah dilegislasi oleh UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Hanya saja, putusan arbitrase mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin eksekusi dari pengadilan. Putusan arbitrase mempunyai kekuatan mengingat para pihak. Satu-satunya jalan menolak putusan arbitrase apabila alasannya terpenuhi adalah mengajukan permohonan banding kepada Mahkamah Agung yang memutus untuk tingkat pertama dan terakhir.
Sebagaimana konsep sebagian fuqaha tentang tahkim, perkara-perkara yang dapat diselesaikan melalui lembaga arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa ini hanya sengketa keperdataan misalnya dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase pada sengketa atau perkara pidana yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Guna menjamin obyektifitas dan proporsionalitas putusan arbitrase, seseorang yang dapat diangkat menjadi arbiter harus memenuhi syarat-syarat:
                              1.       cakap melakukan tindakan hukum
                              2.       berumur minimal 35 tahun
                              3.       tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihay bersengketa
                              4.       tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase, dan
                              5.       memiliki pengalaman dan menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
Dalam kaitan ini, hakim, jaksa, panitera, dan pejabat peradilan lainnya tidak diperkenankan diangkat sebagai arbiter. Hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya obyektifitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbiter.
Perlu ditambahkan, bahwa persyaratan jenis kelamin untuk dapat diangkat arbiter tidak disebutkan dalam undang-undang arbitrase. Ini menunjukkan bahwa wanita dan laki-laki dapat diangkat arbiter sepanjang memenuhi syarat-syarat yang disebutkan di atas. Ketentuan tersebut berbeda dengan apa yang disebutkan dalam pasal 617 ayat (2) Regleman Acara Perdata yang melarang wanita sebagai arbiter. 
Ditinjau dari segi jenisnya bahwa tahkim atau arbitrase dapat terbagi menjadi tiga jenis, diantaranya adalah:
1.      Arbitrase Nasional (umum)
Arbitrase nasional adalah arbitrase yang bersifat umum dan dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai jenis konflik akibat semua jenis kontrak perdata dan tunduk pada hukum nasional dalam suatu negara. Indonesia telah mensahkan atau memiliki sebuah  lembaga arbitrase nasional yang bernama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI dibentuk berdasarkan UURI No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. BANI dapat menyelesaikan konflik yang berdasarkan kontrak dan tunduk pada Hukum Nasional Indonesia. BANI sendiri berdiri tepat pada tanggal 3 Desember 1977 yang bergerak di bidang komersial meliputi bidang perdata, perdagangan, industri, keuangan bahkan politik. Pendirinya adalah R. Subekti (Ketua MA), H. Priyatna, Haryono Tjitrosoebono (Ketua Ikatan Advokat Indonesia), dan Suswanto Sukendar (Ketua KADIN).[8]

2.      Arbitrase khusus
Arbitrase khusus adalah arbitrase yang menyelesaikan konflik secara khusus dalam bidang tertentu seperti bidang ekonomi syariah  atau keuangan, industri, olahraga dan sebagainya. Arbitrase khusus lebih spesifik pada arbitrase syariah yang menyelesaikan sengketa dalam bidang ekonomi syariah yang meliputi kegiatan ekonomi seperti bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, bisnis syariah dan sebagainya. Majelis Ulama Indonesia mendirikan sebuah badan arbitrase muamalat indonesia (BAMUI) pada tanggal 21 oktober 1993. Kemudian berdasarkan keputusan MUI  nomor kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 desember 2003 BAMUI resmi dirubah menjadi BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) yang merupakan badan yang berada dibawah MUI. Dimana keputusan BASYARNAS tidak dilaksanakan secara sukarela melainkan berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan

3.      Arbitrase internasional
Arbitrase untuk menyelesaikan konflik yang berdsarkan kontrak internasional dan tunduk pada hukum internasional. Yaitu proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase di luar wilayah RI, dengan alasan untuk menghindari ketidakpastian yang berkaitan dengan proses pengadilan (litigasi)di pengadilan nasional
Contoh penggunaan arbitrase internasional adalah kasus kontrak antara pemertintah RI dan PT. Newmont Nusa Tenggara (NNT). Ketika terjadi perselisihan mengenai kontrak tersebut, pemerintah RI meminta UNCITRAL untuk menyelesaikan konflik tersebut, arbitrer UNCITRAL kemudian memutuskan NNT melakukan wanprestasi.[9]
Sementara dalam keberadaan berlakunya  masa keputusan arbitrase terdiri dari dua macam yakni :
a.     Arbitrase ad hoc atau arbitrase sementara
Arbitrase ad hoc merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk dapat menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu sifat dari arbitrase ad hoc bersifat insidentil, dimana kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu, apabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara maka keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhir dengan sendirinya.
misalnya UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul arbitrase.
b.      Arbitrase institusional,
Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Saat ini lembaga tersebut dikenal dengan berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) di Indonesia, atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri. BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi standar klausul arbitrase sebagai berikut: "Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir". Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation Comission of International Trade Law) adalah sebagai berikut: "Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau sehubungan dengan perjanjian ini, atau prestasi, pengakhiran atau sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai dengan aturan-aturan UNCITRAL.”
Sementara di Indonesia sendiri terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase yaitu: Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)  dan  Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).


Kesimpulan

Lembaga tahkim adalah sebuah lembaga yang melayani dan menangani dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapi dua orang atau lebih dengan menunjuk seseorang yang dianggap memiliki kemampuan dan sifat adil dan bijaksana.
Di dalam Kitab Al Mughni, Ibnu Qudamabh menerangkan bahwa hukum yang ditetapkan oleh hakam berlaku dalam segala rupa perkara, terkecuali dalam bidang nikah, li’an, qadzaf, qishash. Dalam hal ini termasuk wewenang penguasa. Pengikut-pengikut Asy Syafi’I mempunyai dua pendapat dalam masalah ini.
Ibnu Farhun dalam Kitab At Tabshirah mengatakan bahwa putusan hakam itu berlaku dalam bidang-bidang harta tidak berlaku dalam bidang pidana, li’an, qishash, qadzaf, talak, atau menetukan keturunan. Pihak-pihak yang mentah-kimkan itu boleh, menolak putusan hakam, sebelum hakam itu mengeluarkan putusannya.
Apabila suatu perkara sudah diputuskan oleh seorang hakam, kemudian diajukan kepada hakim, maka hakim boleh membenarkan putusan itu jika sesuai dengan mazhabnya. Dan boleh dia membatalkan putusannya jika berlawanan dengan mazhabnya.
Di Indonesia, lembaga Tahkim ini dikenal dengan arbitrase. Lembaga arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam pasal 1 angka 8 disebutkan: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa”.


Daftar Pustaka

Ash Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1970. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta. Bulan Bintang.
______________________. 1997.  Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang. PT Pustaka Rizki Putra.
Arifin, Zaenal. “Arbitrase Dalam Perspektif  Hukum Islam”, dimuat dalam Majalah Himmah vol. VII no. 18 Januari -April 2006
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Mukhlas, Oyo Sunaryo Perkembangan Peradilan Islam. 2011. Bogor: Ghalia Indonesia.
Quran Surat an-Nisa 35
Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 1999 Cetalkan ke-1. 2000. Jakarta: Sinar Grafika.
Wirawan, Konflik Dan Manajemen Konflik. 2010, Jakarta: Salemba Humanika



[1] Muhammad Hasby Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997) hal. 81
[2] Kamus Besar behasa Indonesia (KBBI)
[3] Zaenal Arifin, “Arbitrase Dalam Perspektif  Hukum Islam”, dimuat dalam Majalah Himmah vol. VII no. 18 Januari -April 2006, hal.. 67-68
[4] ____________________________, Sejarah Peradilan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal.. 59
[5] Quran Surat. An Nisa’ 35
[6] Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 1999 (Cet. I: Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 3
[7] Oyo Sunaryo Mukhlas, “Perkembangan Peradilan Islam”, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, hal, 22.
[8] Wirawan, Konflik Dan Manajemen Konflik, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hal., 215
[9] Konflik Dan Manajemen Konflik, hal 219-221