Wednesday, January 22, 2020

Materi Ke-Indonesia-an “Perwujudan Kwalitas Nilai Integritas Berbangsa Masyarakat Indonesia”



A.    Refleksi Nasionalisme berbingkai Sejarah
Ketika disinggung tentang Indonesia, maka sudah barang tentu sedikit banyak akan muncul beberapa wacana tentang sejarah, bagaimana besaran luas wilayahnya yang terdiri dari banyaknya pulau-pulau kecil yang mendiami, dan berbagai ragam kearifan budaya yang menjadi identitas Negara. Setelah lahir perjanjian Tordessilas yang membelah dunia menjadi dua bagian yakni bagian timur menjadi bagian Portugis dan bagian barat diserahkan kepada Spanyol dengan Eropa sebagai titik tengahnya, Indonesia juga ambil bagian dalam membuat bangsa lain tertarik sehingga menjadi salah satu tujuan destinasi singgahnya legiun asing yang merupakan masa awal kolonialisasi.
Kolonialisasi yang dilakukan pada periode sekitar awal abad 15 kepada Indonesia bukan tanpa alasan. Indonesia merupakan Negara primadona karena letaknya yang strategis sebagai rute pelabuhan dagang dan dikaruniai melimpahnya kekayaan alam. Potensi tersebut dijelaskan oleh Tan Malaka dalam bukunya Madilog, menurutnya bahwa minyak di Sumatera, Kalimantan, dan Irian sudah tersohor ke seluruh dunia. Bauksit dan alumunium keduanya telah digunakan untuk membuat baja yang kuat dan keras sudah dikerjakan di Riau dan Asahan. Benda perang seperti timah, getah, dan kopra (untuk bom TNT), semua itu terdapat di Indonesia melebihi di belahan dunia yang lain. Bahkan lebih jauh, Tan Malaka menulis bahwa salah seorang penulis buku asal Amerika pernah meramalkan kalau suatu Negara seperti Amerika ingin menguasai samudera dan dunia, maka ia harus merebut Indonesia terlebih dahulu sebagai sendi kekuasaannya.
Kondisi yang demikian telah tercium oleh bangsa-bangsa yang lain sehingga berbagai upaya kolonialisasi dan imperilisasi dari sejumlah bangsa lain telah membuktikan tentang hipotesa tersebut. Beratus-ratus tahun bangsa Indonesia dijajah dan beratus-ratus tahun pula kekayaan bangsa Indonesia dikeruk oleh para penjajah. Pada saat itu menjadi semacam fase-fase awal kemerosotan moral yang timbul dari kesewenangan dan doktrinisasi kasar tak berujung. Selain itu,ideologi kaum penjajah juga tetap tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk mengerdili hak dan martabat bangsa yang dijajah.
Bak gayung bersambut, tidak ada seonggok makhluk di belahan dunia manapun yang selamanya nyaman dan merasa terbuai dengan pengasingan harga diri, martabat, dan ideologinya. Nasionalisme yang seringkali diartikan faham kebangsaan yang timbul dari  suatu kelompok masyarakat untuk mencintai bangsa dan negaranya pada trek-nya juga biasanya akan timbul ketika iklim kenegaraan seperti itu. Pada akhirnya banyak gerakan-gerakan bermunculan untuk-setidaknya-berani mengemukakan pola pikir dan gagasan-gagasan yang selama ini secara terus-menerus di bumi hanguskan. Misalnya sebuah gerakan persatuan yang dihelat pada 28 Oktober 1928,  bahwa kesatuan berbangsa mendapatkan prestise dengan diadakannya kongres Sumpah Pemuda di Jakarta dengan berbangsa, bertumpah darah dan berbahaa Indonesia.

B.     Indonesia di Tengah Pusaran Globalisasi Dunia

Globalisasi telah menjadi raksasa kehidupan dunia yang tidak bisa dihindari. Globalisasi seakan telah menggilas setiap ruang dan jarak antar Negara yang berjauhan sekaligus. Kemajuan teknologi informasi telah menjadi salah satu karya nyata persembahan globalisasi terhadap dunia. Bahkan, kemajuan teknologi dan informasi telah menjadi infrastruktur yang menopang gerakan globalisasi dan ekonomi neoliberal. Dengan mutakhirnya teknologi, para pemilik modal besar, dengan mudah memindah modalnya dari suatu Negara ke Negara lain.
Selain itu, sistem moneter dan pengetahuan juga dikuasai oleh para pemilik modal raksasa, terutama Negara-negara maju, sehingga mempersempit ruang gerak bagi Negara-negara berkembang, apalagi Negara yang masuk taraf kemiskinan. Itulah salah satu aturan main yang terjadi di tengah globalisasi, dengan prinsip utama kapitalisasi yang mengakar. Dalam gerakan global, tidak ada lagi ruang bagi Negara berkembang. Karena yang memiliki hak dominan adalah Negara-negara kaya yang bermodal. Apalagi dalam konsep international division of labour theory world-system, Negara-negara bermodal luar biasa-lah yang memungkinkan akan menguasai sistem ekonomi dunia sebagai Negara-negara pusat. Sementara imbasnya, Negara-negara berkembang hanya akan berposisi sebagai “barang taruhan”.
Negara-negara berkembang telah dijebak dengan kekuatan modal oleh Negara-negara besar, sehingga tidak bisa berbuat lebih dari apa yang telah ditentukan oleh Negara pemodal dalam berbagai aspek. Dan pada kenyataannya, Indonesia kini tengah berada dalam posisi tak menjanjikan, sehingga kebijakannya baik dalam skala nasional tetap tidak bisa dipisahkan dari aturan main yang telah ditentukan Negara-negara pemodal.
Negara-negara pusat (Pemodal) memainkan peran strategisnya dalam setiap perumusan aturan internasional melalui lembaga-lembaga internasional. Misalnya, ISO (International Standard Organization) yang menjadi salah satu aturan internasional dalam masalah perdagangan lintas Negara. Cara pandang penentuan aturan dalam ISO tentu saja mengacu pada cara pandang dunia pertama, yang tentu saja berbeda dengan cara pandang Negara-negara berkembang yang banyak merugikan banyak Negara dunia ketiga yang cenderung menghadapkan pada hukum besi mekanisme pasar. Bahkan beberapa lembaga internasional dibentuk oleh Negara-negara besar sebagai amunisi untuk “Menjebak” Negara-negara lemah. Institusi seperti PBB, WTO (World Trade Organization), IMF (International Monetary Fund), dan institusi regional seperti Uni Eropa dan NAFTA (North America Free Trade Agreement). Institusi itulah yang menciptakan aturan main politik skala global, terutama yang menyangkut isu-isu perdagangan dan keamanan internasional. Perkembangan politik internasional juga telah menggerogoti batas-batas teritori Negara, sehingga sangat berpotensi untuk memunculkan rezim internasional yang berpengaruh dalam menentukan masa depan negara-negara lain. Dampaknya, peran Negara terhadap masyarakatnya sendiri semakin kecil, tergantikan oleh rezim global yang mampu menggerakkan struktur sosial dan politik suatu Negara.
Globalisasi dan kapitalisasi juga telah melahirkan hagemoni berlebihan Negara-negara adi kuasa. Propaganda tentang pasar bebas yang di kampanyekan oleh Negara-negara kaya telah membuahkan hasil. Indonesia termasuk Negara yang “berani” menerima keberadaan pasar bebas tersebut. Menerima pasar bebas berati juga telah terikat dengan perjanjian dagang yang sangat mengikat, baik di level regional maupun internasional. Pasar bebas dan kebijakan lainnya yang di kampanyekan oleh Negara-negara kaya, pada dasarnya adalah upaya untuk menghagemoni Negara-negara berkembang sekaligus sebagai aktualisasi dari ajaran kapitalisme yang mereka anut. Kapitalisasi yang menjadi agenda besar Negara-negara kaya tidak lebih hanya bagian dari imperialisasi gaya baru terhadap bangsa lain, termasuk Indonesia. Karena setiap Negara yang menerima ajaran Negara-negara kaya tersebut sama halnya dengan telah menyerahkan dirinya untuk diperdaya.
Mereka telah menyerahkan kemerdekaannya terhadap Negara lain, sehingga kemerdekaan yang sesungguhnya tidak lagi dimiliki. Apa yang pernah dicetuskan oleh Tan Malaka, agar kita memiliki kemerdekaan sepenuhnya telah raib, karena kita telah memilih negociated independence. Indonesia seakan telah tunduk pada hukum pasar global yang diproteksi oleh Negara-negara kapital, sehingga belum memiliki kemerdekan yang sepenuhnya. Bahkan posisi Indonesia saat ini, tidak akan mungkin bisa terhindar dari proses politik internasional tersebut, karena salah satu faktornya Indonesia berada di kawasan Asia Pasifik yang strategis, baik secara politik maupun ekonomi. Apalagi Indonesia akan menyongsong MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) pada tahun 2015 sesuai hasil dari KTT ASEAN ke-12 yang dilaksanakan Januari 2007.
Tanpa kewaspadaan dan strategi jitu, Indonesia akan kehilangan banyak peran dan hanya akan menjadi aktor kecil dlam pentas dunia global. Karena aktor penting akan digantikan oleh kelompok non-negara (kalangan bisnis dan organisasi non profit). Mereka akan menjadi pemain utama dengan peran yang sangat strategis baik dalam level nasional maupun internasional.



C.    Kwalitas Nilai Berbangsa dalam Orientasi Pergerakan
Gambaran sekilas di atas merupakan peta memprihatinkan tentang gerakan global, dimana Nilai-nilai sebuah bangsa yang berkualitas semakin hambar dalam tatanan berpolitik, ber-ekonomi, ber-budaya, bahkan dalam konteks ber-pendidikan. Dalam hal ini, perlu adanya implementasi dari sikap ber-integritas. Dimana integritas sendiri bermakna mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran. Seseorang individu yang memiliki integritas pribadi akan tampil penuh percaya diri, anggun, tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang sifatnya hanya untuk kesenangan sesaat. Individu yang memiliki integritas lebih berhasil hanya sekedar bicara, pemanis retorika, tetapi juga sebuah tindakan. Bila kita  menelusuri karakter yang dibutuhkan parah pemimpin saat ini dan selamanya mulai dari integritas, kredibilitas dan segudang karakter mulia yang lainnya pastilah akan bermuara pada pribadi agung manusia pilihan al-mustofa Muhammad saw yang di utus untuk menyempurnakan karakter manusia.
Hutson (2005) dalam tulisannya Trustworthiness menyebutkan bahwa orang-orang yang memiliki integritas memiliki kemampuan di antaranya:
-          Pertama, mempertahankan keyakinannya secara terbuka dan berani. Perlunya seorang pemimpin memiliki keyakinan ketika memberikan tugas kepada bawahannya. Hal ini dimaksudkan agar dia tahu tugas seperti apa yang akan dijalankan serta orang seperti apa yang menjalankan perintahnya.
Agar dapat dijalankan dengan baik maka dia harus mampu memberikan pemahaman tentang job description. Pemimpin harus jelas dalam mendeskripsikan kepada staf atau bawahan tentang apa yang hendak dijalankan. Dan juga secara terbuka dan berani menunjukkan kelebihan dan kelemahan dari tugas tersebut. Bila hal tersebut dilakukan maka dapat dipastikan keduanya (pemimpin dan bawahan) akan siap untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan terjadi.
-          Kedua, mendengarkan kata hati dan menjalani prinsip-prinsip hidup. Kata hati tak pernah berbohong, itulah ungkapan yang sering kali kita dengar. Bila dicermati hal tersebut memang benar, karena behavior yang terlihat terkadang tidak sesuai dengan kata hati dan prinsip hidup.
Misalnya saja, ketika seorang pemimpin melakukan tindakan yang melanggar norma, pasti dalam hatinya dia tahu bahwa apa yang dilakukannya itu tidak baik dan bertentangan dengan prinsip hidupnya. Sebenarnya dia, sebagai pemimpin, juga mengetahui dampak yang dapat terjadi pada dirinya dan lingkungannya.
Namun, banyak faktor yang memengaruhi sehingga kata hati itu tidak lagi mampu ia dengarkan. Agar dapat menjalankan peran sebagai pemimpin yang memiliki integritas tinggi maka perlu untuk mendengarkan kata hati dan menjalankan prinsip hidup yang baik.
-          Ketiga, bertindak secara terhormat dan benar. Pemimpin yang memiliki integritas yang tinggi tentunya memiliki kemampuan untuk bertindak terhormat dan benar. Namun, posisi atau kedudukan yang terhormat tidak selalu diikuti dengan perilaku yang benar. Sehingga pemimpin sering kali terjebak oleh posisinya dan memanfaatkannya untuk hal-hal yang tidak terhormat. Hal ini menunjukkan inconsistency dalam kepemimpinannya.
Bila hal tersebut terus terjadi dalam menjalankan kepemimpinannya, dia tidak akan dapat bertahan lama dalam posisi dan kedudukannya tersebut. Konsistensi antara peran dan kedudukan dalam menjalankan tugas sebagai pemimpin menjadi sangat penting.
-          Keempat, terus membangun dan menjaga reputasi baik. Setiap orang berharap untuk selalu memiliki reputasi yang baik dipandang oleh lingkungannnya. Untuk meraih, membangun, dan menjaga reputasi yang dapat dibanggakan tidaklah mudah, semua itu harus dilalui dengan kerja keras dan pencitraan positif yang terus-menerus.
Sebagai bagian dari Indonesia, PMII memiliki tanggung jawab yang besar untuk merespon kondisi Indonesia di tengah berbagai macam polemik bangsa yang secara periodik terus-menerus mengancam ke-stabilan bangsa ini. Ide dan aksi-aksi rasional PMII juga sangat dibutuhkan oleh bangsa ini, agar kembali menjadi bangsa yang bukan hanya merdeka 69 tahun silam, akan tetapi juga merdeka untuk jutaan tahun yang akan datang. Diam atas kondisi ini, bagi PMII sama halnya lari dari tanggung jawab dan membiarkan bangsa ini tercekik secara perlahan.
Segala momentum perjuangan yang dulu ada dan telah dilakukan oleh para pejuang bangsa ini, hendaknya dijadikan tolak ukur dan cerminan diri untuk berpikir ataupun bertindak. Karena PMII merupakan lumbung para intelektual kritis yang ber-kwalitas dalam berpikir dan bersikap selalu didasari oleh nilai integritas, maka fungsinya adalah sebagai “rem” ketika bangsa ini mulai mengendorkan dan mulai acuh kepada nilai-nilai dan dan norma integritas berbangsa. Oleh karena itu, posisi PMII sebagai class of struggle (kelas pejuang), yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai obyek perjuangan, sehingga berjuang menjaga kehormatan dan kemerdekaan bangsa menjadi salah satu tugas wajib PMII.

SELAMAT BERPROSES,,,SALAM PERGERAKAN!!!!!